Terlalu sering membaca komik Detective Conan, tanpa sadar saya sering
menerapkan metode deduksi dalam kehidupan saya sehari-hari. Deduksi adalah proses
pengamatan fakta-fakta umum untuk penarikan kesimpulan sesuatu hal yang khusus.
Misalnya, secara umum semua manusia pasti makan dan minum. Maka karena saya
adalah manusia, dapat disimpulkan bahwa saya, secara khusus, pasti makan dan
minum juga. Begitulah saya terbiasa berpikir.
Tapi dalam menalar suatu hal tidak melulu bisa menganut metode deduksi.
Kadang kita harus pakai metode induksi atau silogisme. Pemilihan metode yang
tidak tepat dalam menalar sesuatu atau pengamatan yang dangkal pada suatu fakta
akan menyebabkan pemahaman yang keliru, yang sering kita kenal dengan istilah sesat pikir.
Dalam pengalaman saya menalar berbagai hal, Fiersa adalah salah satu
kasus, meski bukan kasus satu-satunya, yang berhasil menjerumuskan saya dalam kesesatan berpikir. Tentu ini bukan
karena Fiersa penganut ajaran sesat yang menyebarkan ajaran sesat seperti
beberapa Eyang atau Mbah yang sering kita lihat di televisi. Seperti saya
katakan tadi, kesesatan berpikir sangat mungkin terjadi jika kita memilih
metode penalaran yang keliru atau melakukan pengamatan yang terlalu dangkal.
Terhadap Fiersa, tentu saja dua hal itu yang menyebabkan saya selalu tersesat. Pertama, karena kedangkalan
pikiran saya, saya menilai lelaki ini hanya dari satu sisi tertentu, katakanlah
hanya dari tweet-tweetnya. Padahal bisa saja kan seseorang nge-tweet galau
sambil ngupil atau ngetweet sinis sambil nonton Crayon Shinchan? Ah manusia,
termasuk saya, seringkali terlalu cepat membangun persepsi sebelum benar-benar melihat. Kedua, saya mengambil
kesimpulan dengan metode penalaran yang keliru. Terbiasa menggunakan logika
deduktif, saya lupa bahwa tidak semua hal bisa digeneralisir. Hanya karena
secara umum kita bisa menilai seseorang dari tulisannya, bukan berarti tidak
mungkin orang-orang khusus memang sengaja ingin dirinya dinilai dari tulisannya
kan? Hanya karena semua manusia bernafas, bukan berarti semua orang hidup. Fiersa berhasil
menjungkir-balikkan penalaran saya. Dalam istilah sains yang biasa saya pakai,
mungkin ini yang disebut anomali. Pengecualian. Exception.
Kata orang, manusia-manusia sains seperti saya ini kaku, entah sikap atau
pola pikirnya. Mungkin benar juga. Ah, kan, sadar atau tidak sadar saya lagi-lagi
mengeneralisir. Hanya karena saya sendiri yang kaku, bukan berarti semua orang
sains itu kaku seperti kanebo kering kok. Fahd dan Fiersa adalah dua orang yang
pelan-pelan mengubah saya. Fahd dengan tulisan-tulisan di blog dan bukunya.
Fiersa dengan lagu dan monolognya di twitter. Dari Fahd saya belajar bahwa
seorang peneliti sains-pun boleh romantis dan tidak melulu berkutat dengan
erlenmeyer atau reagen kimia. Dari Fiersa saya belajar bahwa menjadi berbeda
tidak akan membuatmu mati.
Dulu sekali, saya selalu takut menjadi berbeda. Takut dianggap aneh dan
tidak lazim. Tapi lama-lama saya sadar, menyamakan diri dengan orang lain toh
tidak membuat saya benar-benar sama. Saya justru merasa ada orang lain yang
menumpang di dalam tubuh saya. Fiersa, entah dia sadar atau tidak, menunjukkan
bahwa menjadi berbeda bukan dosa, sejauh perbedaan kita tidak menyakiti atau
merugikan orang lain. Orang-orang mungkin melihat kita dengan tatapan berbeda,
itu pasti, tapi tidak apa-apa kan? Toh Tuhan memang sengaja menciptakan manusia
berbeda-beda.
Setelah lulus kuliah, orang-orang berlomba mendapatkan pekerjaan dengan
status bergengsi dan penghasilan tinggi. Fiersa memilih membuka studio
rekamannya sendiri, menjadi penyanyi dan merekam lagunya sendiri sambil
membantu penyanyi dan band lain mewujudkan impiannya. Ketika mengetahui cerita
ini, saya merasa bahwa keputusan saya untuk mengejar impian saya tidaklah
terlalu aneh atau keliru. Saya bukan satu-satunya orang yang melepaskan
penghasilan besar demi impian.
Orang-orang lain bernyanyi supaya bisa terkenal, punya banyak fans dan
menghasilkan banyak uang. Fiersa bernyanyi supaya bisa didengarkan. Selagi
orang-orang mengejar target penjualan album rekaman mereka, Fiersa justru
mempersilakan para penggemarnya mengunduh lagu-lagunya secara gratis di
fiersa.tk .
Orang-orang menyalahkan hujan yang menyebabkan banjir. Fiersa mensyukuri
hujan.
Orang-orang, rasanya termasuk diri saya sendiri, mengeluhkan tinggal di
Indonesia yang penuh dengan politik busuk dan kesemrawutannya. Fiersa tetap
menemukan alasan untuk mencintai tanah airnya.
Saya pikir, Fiersa ini pasti penganut aliran anti-mainstream J
Kata orang, tak kenal maka tak sayang. Jadi berdasarkan insting
ke-sotoy-an saya, saya pikir keputusan Fiersa kali ini adalah caranya yang
ingin mengenal tanah airnya lebih dekat sehingga bisa lebih mencintainya. Saya
sendiri merasa belum sanggup sefrontal dia (dan teman-teman seperjalanannya),
meninggalkan pekerjaan dan menghabiskan sebagian besar tabungan untuk
menjelajahi Indonesia selama hampir delapan bulan ke depan. Itu mengapa saya
selalu takjub pada keberanian mereka untuk mengambil keputusan yang berani ini.
Saya tidak tahu apakah Fiersa masih akan sempat berinteraksi dengan
teman-temannya di twitter saat nanti menjelajahi pelosok-pelosok Indonesia.
Jadi anggap saja ini salam perpisahan dari saya.
Kata orang, salah satu alasan orang berpergian adalah supaya ia tahu
kemana ia ingin kembali pulang. Selamat bertualang, Kang. Selamat bercinta dengan
Pertiwi. Semoga bertemu dengan apa yang
dicari. Jangan lupa pulang setelah menemukan rumah untuk kembali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar