Sudah
seberapa jauh kamu berjalan? Seberapa tinggi kamu mendaki? Seberapa lama kamu
melangkah? Seberapa luas kamu menjelajah? Seberapa dalam kamu menyelam?
Dan yang lebih
penting, seberapa banyak pelajaran yang sudah kamu kumpulkan?
Kemarin saya
menghadiri defense ceremony 3 orang teman saya. Saya selalu suka menghadiri
acara ini. Beragam perasaan selalu bercampur baur. Seperti beberapa tahun lalu
saat saya jadi mahasiswa baru di UI, berdiri di bangku paduan suara,
menyanyikan lagu-lagu wisuda untuk kakak-kakak yang baru saja menyelesaikan
studinya. Seperti itulah saya sekarang. Menyaksikan senior-senior saya
menyelesaikan PhD-nya. Penuh rasa bahagia, bersemangat, tapi juga sekaligus nervous.
Berapa lama
waktu yang saya butuhkan untuk bisa menjadi sehebat mereka? Apa saya bisa jadi
sehebat mereka, mampu menjawab semua pertanyaan dan mempertahankan hasil
penelitian saya? Bagaimana supaya bisa jadi sepintar mereka?
Itulah
pertanyaan-pertanyaan yang melintas di pikiran saya saat hadir pada defense
ceremony mereka.
Lebih dari
itu, saya bertanya-tanya, hal-hal apa saja yang telah mereka lalui sehingga
mereka bisa menjadi sehebat itu?
Belakangan
ini saya sering memperhatikan komen-komen yang muncul pada banyak foto-foto
yang diunggah teman-teman di media sosial. Terutama foto perjalanan.
Kebanyakan
komentarnya seperti ini: “Bagus ya pemandangannya. Enak banget kamu bisa kesana.”
Nggak ada
yang salah dengan komentar-komentar itu. Tapi belakangan ini saya jadi merasa
lucu aja. Betapa sering kita menyaksikan kebahagiaan orang lain, lalu mengira
kebahagiaan itu diraih tanpa susah payah. Dan betapa sering kita mengasihani
diri kita sendiri dan mengira bahwa diri kita tidak seberuntung orang lain yang
selalu menampilkan foto-foto kebahagiaannya.
Seperti kata
pepatah, rumput tetangga memang selalu tampak lebih hijau. Ya iya lah, soalnya
kita cuma menikmati keindahannya saja. Kita nggak ikutan susah payah menyiram
dan memupuk rumput di halaman rumah tetangga itu. Yang kita nikmati hanya
keindahan warna hijau terhampar di halaman rumah tetangga. Andai kita tahu tiap
hari si tetangga harus menyiram kebunnya dan tiap minggu harus memangkas rumput
di halamannya supaya tetap terlihat rapi, mungkin kita yang pemalas ini bakal
bilang “iya sih, rumput tetangga lebih hijau, pantes aja modal pupuk dan modal
tenaganya besar.”
Seperti juga
kata pepatah, pacar sahabat selalu nampak lebih cantik. Andai kita tahu
seberapa besar modalnya sahabat untuk membelikan baju-baju bagus dan membayari
perawatan di salon, dan seberapa lama waktu yang si sahabat perlukan untuk
menunggu pacarnya dandan dan seberapa lelah si sahabat menemani pacarnya
keliling mall, mungkin kita jadi berpikir “Ah, nggak usah punya pacar
cantik-cantik asal nggak ngerepotin dan nggak berat di ongkos.” Haha.
Seperti itu
juga saat kita melihat foto-foto teman.
Dua bulan
lalu, saat Dirgahayu Indonesia ke 69, saya dan beberapa sahabat jalan-jalan ke
Luxembourg. Pastinya, kami langsung post foto-foto perjalanan kami dong. Pemandangannya
bagus-bagus, dan foto-foto kami tampak cerah ceria semua. Pantas saja
teman-teman lain berkomentar “Wah, pemandangannya bagus. Iri deh, pengen bisa
kesana juga.”
Mereka nggak
tahu bahwa kami harus berjalan 3 km dari hotel untuk sampai ke halte bis
terdekat, kami hanya bisa makan kebab dari waktu ke waktu karena nggak yakin
dengan kehalalan makanan lain, kami harus hujan-hujanan mencari hotel yang
letaknya jauh dari pusat kota.
Yang mereka
lihat hanya foto-foto keindahan dan kebahagiaan. Tanpa tahu perjuangan di
baliknya.
Kita sering
iri pada perjalanan hidup orang lain karena yang kita lihat hanya happy endingnya saja, tanpa pernah
benar-benar tahu bagaimana perjalanannya. Kalaupun kita tahu lika-liku yang
sudah dilaluinya, toh kita tidak pernah benar-benar tahu apa yang dirasakannya
pada jalan-jalan yang telah ditempuhnya.
Kita kadang menderita karena iri melihat kebahagiaan
orang lain yang ditampilkan di atas pentas, tanpa kita tahu penderitaan orang
tersebut dibalik panggung.
Seringnya
kita iri betapa seseorang bisa sukses kuliah jalan-jalan di luar negeri
tanpa tahu bahwa dulu dia bukan murid terpandai di sekolah sehingga perlu
banyak perjuangan untuk bisa menyamakan kecepatan dengan murid-murid lain, atau
bahwa dia pernah jadi murid paling introvert sejagat raya dan bagaimana
perjuangannya untuk bisa diterima oleh teman-temannya, atau bahwa dibalik
kesuksesannya ada masalah keluarga yang tidak pernah diceritakannya pada orang
lain, atau sekeras apa perjuangannya mengusahakan beasiswa. Hal-hal seperti itu
sering luput dari penglihatan kita. Dan dengan cepat kita iri kepada teman yang
beruntung tersebut, tanpa tahu tentang “cerita di balik layar”nya.
Kita sering
iri pada orang lain, tapi sebenarnya mungkin ada orang lain yang melihat kita
dengan tatapan iri yang sama. Bagi orang lain, mungkin kita juga tampak sebagai
orang beruntung itu. Tapi kita terlalu sibuk iri pada orang lain sehingga nggak
sadar pada nikmat yang telah kita miliki.
Sawang sinawang. Manusia
kadang terlalu sibuk iri kepada orang lain, lalu lupa bahwa dia memiliki hal
yang membuat orang lain iri juga. Lalu lupa mensyukurinya, hingga nikmat yang
sudah dimiliki itu tidak lagi terasa nikmat.
Iri itu
penting, supaya kita terpacu untuk mencapai yang lebih tinggi. Tapi bersyukur
itu lebih penting. Karena kalau kita bersyukur, Tuhan akan menambah nikmatNya.
Dan bersyukur itu bukan hanya dalam hati dan dalam ucapan, tapi juga dalam
tindakan. Dengan memanfaatkan semua nikmat yang telah diberikan Tuhan, sehingga
bisa menghasilkan sesuatu yang lebih bermanfaat lagi, misalnya.
Jadi
sekarang tiap kali menyaksikan defense ceremony teman-teman, saya selalu
berpikir “Dia pasti sudah melalui hari-hari yang berat sehingga bisa jadi
sehebat sekarang.” Dan pasti saya harus melalui hari-hari seberat itu juga
kalau ingin menjadi sehebat itu.
Berikut saya
kutip beberapa stellingen dari
disertasi ketiga teman saya yang defense kemarin:
Whether a fish in water is in its element
strongly depends on water quality (Floris Grasmeijer)
Facing many problems in life is a good lesson
to become wise (Muhamad Insanu)
One best book is equal to hundreds friends,
but one best friend is equal to a library (Niu Xiao Yu, modified
from Dr. APJ Abdul Kalam)
Beruntung
bagi saya karena saya memiliki “keluarga” baru disini. Bapak-ibu kos yang baik
hati. Juga dua sahabat yang banyaaak membantu penelitian saya. Dan teman-teman
lain yang membuat hidup jauuuhhh lebih menyenangkan di negeri asing ini.
Kepada dua
sahabat saya disini (iya, kamu. Kamu tahu bahwa kamu yang saya maksud), saya
kadang bertanya, bagaimana jadinya hidup saya disini tanpa kalian. Saya pasti
bisa hidup tanpa kalian, tapi pasti jauh lebih berat dan susah. Semoga Tuhan
memudahkan hidup kalian seperti kalian sudah membuat hidup saya lebih mudah dan
menyenangkan disini.
Sudah
seberapa jauh kamu berjalan? Seberapa tinggi kamu mendaki? Seberapa lama kamu
melangkah? Seberapa luas kamu menjelajah? Seberapa dalam kamu menyelam?
Dan yang
terpenting, seberapa banyak nikmat yang telah kamu syukuri?
Terima kasih.
BalasHapusTerimakasih atas tulisan reflektifnya mbak.
BalasHapuskita memang selalu sibuk iri pada kebahagiaan orang lain tanpa mikir apakah dia sudah kehilangan banyak hal selama ini
BalasHapusFacing many problems in life is a good lesson to become wise (Muhamad Insanu)...ini bener sekali...become more stronger, more adaptable etc.
BalasHapus