Kalau kamu punya murid bodoh, kamu bisa mencari 1001 macam cara untuk membuatnya pintar. Kalau kamu punya murid pintar, kamu harus mencari 1001 cara untuk membuat dirimu sendiri lebih pintar. Apalagi kalau muridmu punya rasa ingin tahu yg sangat besar, kau harus menyiapkan banyak jawaban untuk pertanyaan-pertanyaannya. Dan murid yang agnostik, punya rasa ingin tahu yg besar, kritis dan cerdas adalah kombinasi yang mematikan. Serius! Apalagi kalau gurunya tidak sepaham itu tentang apa yang diyakininya. Kalau salah menjelaskan, murid bisa tambah skeptis, alih-alih mendapat pencerahan.
Dialog ini sebenarnya dimulai dari percakapan antara seorang murid dan guru privatnya tentang chemical bonding. Tapi kemudian percakapan bergulir seperti bola salju, ke arah yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan per-kimia-an.
“Jadi, ikatan kimia antara hidrogen dan klorida pada senyawa HCl, itu jenis ikatan apa?” tanya Ilma kepada murid lesnya.
“Ionic bonding,” jawab Hary.
Ilma mengerutkan dahinya. “Yakin?” dia menanyakan lagi pada Hary.
“Yakin. Kan ion hidrogen bermuatan positif, dan ion klorida bermuatan negatif. Jadi ikatan diantara keduanya adalah ikatan ionik,” Hary menjawab yakin.
“Tapi biasanya kan ikatan ionik itu terjadi pada unsur metal dan non metal. Pada HCL, keduanya adalah unsur non metal. Mereka berbagi elektron, bukan transfer elektron,” Ilma membantah dengan hati-hati. Sambil menjawab, dia juga sambil mencoba melogikannya sendiri, dan dia nyaris yakin pendapatnyalah yang benar.
Hary tersenyum lalu berkata meledek, “Ah, gue nggak percaya kak Ilma ah.”
Ilma balas tertawa, lalu menjawab, “Emang lo nggak boleh percaya sama gue, Har. Percaya tuh sama Tuhan. Kalau percaya sama gue mah musyrik namanya.”
“Gue juga nggak percaya Tuhan,” jawab Hary, masih sambil senyum.
“Bocah gembhlung!” ejek Ilma sambil menertawakan Hary.
“Gue serius, kak. Gue nggak percaya sama segala tetek-bengek agama itu.”
Kali itu Hary tidak mengatakannya sambil tersenyum atau tertawa. Wajahnya tampak mulai serius. Senyum Ilma jadi ikut pudar karenanya. Tapi dia tidak tahu harus merespon bagaimana atas pernyataan muridnya barusan.
“Well, gue sih percaya bahwa Tuhan itu ada, kak,” kata Hary kemudian. “Gue cuma nggak mengerti mengapa menyembah Tuhan harus lima kali sehari, harus bersujud-sujud.”
Ilma jadi bingung sendiri bagaimana harus menanggapi pernyataan sefrontal ini.Alih-alih menjawab, Ilma malah bertanya balik.
“Kalau orang Nasrani, kenapa beribadah setiap hari Minggu?”
“Nah, gue juga nggak ngerti soal itu. Agama tuh sesuatu yang nggak masuk akal buat gue. Jadi gue percaya bahwa Tuhan ada, tapi bagi gue ritual pemujaan seperti sholat atau bernyanyi-nyanyi di gereja itu nggak ada dasar logikanya. Kenapa kita mesti berdoa pada Tuhan dengan cara begitu? Tuhan kan Maha Mendengar, bahkan isi hati kitapun Tuhan tahu. Jadi kita berdoa biasa aja, Tuhan pasti mendengar kan?”
Ilma terpaku mendengarkan.
“Jujur aja kak, gue baru tahu bahwa gue ini beragama Islam ketika berusia 7 tahun. Sebelum itu, gue nggak tahu apa itu agama. Selama kami tinggal di Belanda, orangtua gue nggak pernah membahas itu. Tapi saat pulang ke Indonesia, orang-orang menanyakan agama gue. Barulah gue tanya Mama. Dan Mama bilang agama gue Islam. Cuma itu. “
Ilma tersenyum. Miris dalam hati. Sekarang dia paham, mengapa pendidikan agama paling baik adalah sejak dini, dan oleh orangtua sendiri.
“Bagi gue, agama itu cuma ritual-ritual yang nggak ada dasar logikanya. Agama juga menyusahkan. Banyak banget larangannya. Nggak boleh minum alkohol, nggak boleh makan babi. Mencegah kesenangan-kesenangan duniawi tanpa alasan yang jelas. Memperbolehkan orang menduakan cinta, poligami itu. Bahkan memperbolehkan seseorang membunuh orang lain demi nama agama yang seharusnya menentramkan. Lihat para teroris itu. Jadi apa sebenarnya logika yang masuk akal bagi gue untuk percaya pada agama?”
Inilah yang dimaksud dengan murid yang agnostik, kritis dan cerdas sebagai murid yang membahayakan. Butuh waktu beberapa lama bagi Ilma untuk mencari alasan logis untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan Hary. Dia takut salah menjawab. Bukannya tidak pernah mempelajari agamanya sendiri, tapi baru kali ini Ilma bertemu dengan orang yang mengkonfrontirnya secara langsung.
“Kak Ilma kenapa selama ini sholat dan puasa? Karena kepercayaan kan? Karena kak Ilma sejak kecil diberitahu bahwa kak Ilma beragama Islam, dan orang Islam wajib sholat dan berpuasa. Kak Ilma melakukannya karena memang kewajiban kan? Bukan karena kak Ilma tahu untuk apa kakak melakukani itu?”
Nah, ini namanya konfrontrasi terbuka nih. Ilma tidak bisa diam saja. Dia bisa saja menjawab dengan mudah bahwa ada lima hal yang harus dilakukan seseorang untuk menjadi seorang muslim. Sholat adalah salah satu kewajiban itu. Tidak melaksanakan salah satunya, berarti seseorang tidak benar-benar bisa dianggap beragama Islam. Tapi mendengar kata “kewajiban” tanpa adanya “alasan logis” mengapa kewajiban itu diwajibkan, Ilma tahu bahwa Hary tidak akan bisa menerimanya begitu saja.
Ilma tersenyum, lebih kepada usaha untuk meredakan suasana hatinya, ketimbang untuk tersenyum pada muridnya itu. Setelah itu dia baru menjawab pertanyaan muridnya dengan hati-hati.
“Hary,” panggil Ilma sok misterius, “Sama sekali belum pernah mendengar alasan kenapa alkohol diharamkan?”
“Karena memabukkan? Jadi kalau minum segelas-dua gelas aja dan nggak mabuk, dibolehkan kan?”
“Memangnya orang mabuk akan mengaku mabuk? Orang mabuk cukup sadar untuk tahu bahwa dirinya sudah mabuk? Apa kalau kamu kuat minum berbotol-botol, itu berarti aku nggak akan mabuk kalau hanya minum segelas? Bukannya daya ambang sadar tiap orang berbeda-beda?”
Hary mengernyit.
“Alkohol diharamkan karena pada kadar sedikitpun akan merugikan. Kamu sekarang cuma minum segelas. Karena rasanya enak, besok kamu coba lagi, lebih banyak. Makin banyak. Kamu mulai ketagihan dan nggak bisa berhenti. Itu sebabnya,” kata Ilma.
“Kalau soal daging babi? Mereka bilang karena ada cacing atau telur cacing di dalam daging babi yang nggak akan mati pada suhu tinggi? Tapi teknologi memasak masa kini nggak mungkin nggak bisa membunuh itu. Jadi kenapa masih diharamkan?”
“Gue kurang tahu soal apakah teknologi memasak jaman sekarang benar-benar bisa membunuh cacing yang lo maksud itu. Yang gue tahu, apa yang kita makan, akan mempengaruhi sifat kita. Itu mengapa beberapa anak pejabat perilakunya kurang baik, mungkin karena dia diberi makan oleh harta yang nggak halal. Sama seperti contoh kasus memakan babi ini.”
“Bukan jawaban yang memuaskan,” kata Hary.
“Sorry,” jawab Ilma sambil angkat bahu. Dia berusaha tetap tampak tenang selagi otaknya terus berputar untuk bisa memberi jawaban yang memuaskan bagi rasa ingin tahu muridnya yang besar itu.
“Tentang teroris?” tanya Hary kemudian.
“Mafia-mafia Italia beragama Nasrani. Apa hanya karena orang-orang itu berkelakuan buruk, lalu berarti agama itu mengajarkan keburukan? Nggak kan? Sama seperti para teroris yang mengatasnamakan jihad.”
“Beda dong kak. Mafia-mafia itu kan juga agamanya cuma di KTP doang, nggak pernah benar-benar ke gereja mungkin. Tapi para teroris itu bukannya pemeluk Islam yang fanatik? Mereka sangat mengerti Islam kan?”
Ilma berpikir sejenak. “Kalau gurumu memberi ujian, lalu 30 orang dari 50 orang temanmu nggak lulus, itu berarti kesalahan gurumu dalam mengajar?”
“Iya lah, itu pasti gara-gara si guru bodoh dan nggak bisa ngajar. Murid sebanyak itu nggak lulus? Pasti salah gurunya.”
“Kalau 2 orang dari 50 orang murid yang nggak lulus, apa berarti gurunya salah mengajar?”
“Kalau itu mah karena muridnya aja yang bodoh dan nggak mengerti. Buktinya 48 orang yang lain lulus kok.”
Ilma tersenyum. “Begitu juga dengan agama,” katanya, “Hanya karena beberapa orang salah memahami agamanya, bukan berarti agama itu yang salah kan? Lo melihat terlalu banyak orang-orang Islam yang mencontohkan keburukan sehingga lo nggak percaya bahwa agama bisa membuat orang menjadi lebih baik. Islam itu rahmatan lil ‘alamin, Hary, rahmat bagi semesta alam. Bukan hanya rahmat untuk muslim, bukan hanya untuk manusia, tapi untuk semesta. Cobalah lebih memahaminya, kamu akan menemukannya.”
Hary mengangkat bahunya.
“Poligami?” ternyata Hary masih melanjutkan, “Saat pacaran aja, kita nggak mau diduakan, apalagi setelah menikah. Jangan bilang itu lebih baik daripada berzina! Kalau memang sudah nggak suka dengan istri pertama, ceraikan aja! Jangan diduakan!”
“Pernah dengar kenapa dulu Rasulullah berpoligami?”
“Pernah. Dia menikahi janda-janda yang suaminya meninggal saat perang. Supaya janda-janda itu nggak terlantar. Betul begitu? Tapi nggak ada korelasinya sama model poligami jaman sekarang.”
“Lo mengetahui cukup banyak untuk ukuran seorang agnostik,” kata Ilma memuji.
“Gue tahu cukup banyak untuk tidak membiarkan diri gue terhanyut dalam omong kosong soal agama, ritual-ritual ibadah, dan semacamnya.”
Ilma benar-benar merasa dirinya dalam bahaya. Sedikit saja dia salah bicara, anak ini pasti akan makin skeptis pada agama. Mungkin suatu hari nanti, jika tak terselamatkan lagi, Hary bisa berubah dari seorang agnostik menjadi seorang atheis. Bahaya!
“Haryo Wibowo,” kata Ilma.
“Kenapa sih lo manggil nama lengkap gue? Gue nggak suka, kak. Panggil Hary aja! Lo memanggil gue Haryo untuk mengintimidasi gue ya?”
Ilma tertawa. Dia sudah tahu sejak lama bahwa Hary tidak suka dipanggil dengan nama lengkapnya. Terkesan ndeso dan ‘terlalu Jawa’, katanya.Dia lebih suka dipanggil Hary, dengan pelafalan seperti Harry Potter, karena bagitulah teman-teman kecilnya di Belanda dulu memanggilnya.
“Hary,” Ilma mengulang sambil tersenyum. “Al Qur’an yang memperbolehkan poligami itu diturunkan untuk menjadi petunjuk bagi umat Rasulullah hingga akhir jaman. Mungkin ada masanya nanti keadaan yang memaksa laki-laki berpoligami, dengan alasan yang sama dengan pada masa Rasulullah. Jadi Al Qur’an membolehkannya. Sepakat dengan lo kali ini, gue merasa sekarang belum sampai pada saat yang mendesak itu sehingga pria berpoligami.”
Hary tersenyum. Kali ini pendapatnya didukung.
“Tapi lagi-lagi, hanya karena sekelompok orang, kenapa membuat lo skeptis pada sesuatu yang lo belum tahu? Sesuatu yang bahkan kamu belum mencoba mengenalnya.”
Senyum Hary memudar. Ternyata Ilma belum sepikiran dengannya.
“Dan alasan kenapa lo sholat sehari lima kali? Bukannya itu membuang waktu?” tanya Hary, masih mencecar.
“Kalo Hary mau ketemu presiden, apa yang harus lo lakukan?” Ilma balik bertanya.
“Maksud lo kak?”
“Lo harus bikin surat permohonan kunjungan ke istana negara. Melalui serangkaian prosedur. Diperiksa pasukan pengaman presiden sebelum masuk. Dan ritual lainnya. Dan itu benar-benar menghabiskan waktu.”
Hary mengernyit, seolah mulai mengerti maksud Ilma.
“Kalau lo mau bertamu ke rumah orang, lo harus meminta ijin sebelum masuk. Ada rumah yang punya bel, lo cukup menekan bel. Tapi ada rumah yang nggak punya bel, jadi lo harus mengetuk pintunya. Sama seperti ibadah, Ry.
Lu mau ketemu presiden aja ada tata kramanya. Masa ketemu Tuhan, nggak pakai tata krama? Betul lo bilang bahwa Tuhan Maha Mendengar, jadi lo cukup berdoa dalam hati, maka Tuhan mengabulkan. Tapi bahkan kepada presiden yang nggak memahami hati lo, dan belum tentu bisa mengabulkan semua keinginan lo, lo bersopan santun padanya. Masa kepada Tuhanmu yang menciptakan, mendengarkan dan mengabulkan keinginan-keinginan lo, lo nggak tahu tata-krama? Lo nggak malu?”
Hary terdiam. Dia merasa malu dan tertampar.
“Tentang kenapa kita mesti bersujud-sujud menyembah,” lanjut Ilma, “Karena itulah cara yang diajarkan Rasul. Tiap agama punya cara berbeda dalam meminta ijin masuk ke rumah Tuhannya, ada yang menekan bel atau mengetuk pintu.”
Hary terdiam. Kali ini dia mati kutu. Analogi Ilma yang kali ini cukup menghantam logikanya dengan tepat sasaran.
“Kenapa Tuhan mengharuskan kita menyembahnya?” tanya Hary, beberapa saat setelahnya. Dia nampak masih belum puas bertanya.
“Nggak harus,” jawab Ilma santai. “Tuhan nggak butuh untuk kita sembah. Justru kita yang butuh menyembahnya kan? Kalau lo bilang bahwa lo masih percaya Tuhan, maka lo tahu bahwa di saat tersulit lo akan meminta bantuan Tuhan. Lo hanya nggak mau mengikuti aturan Tuhan. Padahal kalau mau minta sesuatu presiden, lo harus mengikuti aturan dan persyaratannya.”
Perasaannya seperti tertampar bolak-balik kiri-kanan atas-bawah. Hary kaku di kursinya. Logika Ilma barusan sangat mengena. Tapi dia tetap belum bisa mengerti seluruhnya. Pertanyaan-pertanyaan bergejolak di kepalanya.
“Masih banyak hal tentang agama kita yang nggak sesuai dengan logika gue,” kata Hary akhirnya. “Pasti lo berpikir gue ini buruk banget ya kak?”
“Kenapa rasa ingin tahu itu buruk?” Ilma balik bertanya. “Seorang guru akan sangat senang kalau muridnya punya rasa ingin tahu yang besar.”
“Jadi lo nggak marah kalau lain kali gue tanya-tanya lagi?”
“Kenapa harus marah?” Ilma malah balik bertanya lagi. Kali ini sambil tersenyum. “Gue akan senang menjawab kalau gue tahu. Tapi kalau jawaban gue tetap nggak masuk akal bagi lo, carilah jawaban dari guru yang lebih mengerti agama. Bacalah Al Qur’an. Pengetahuan gue tentang agama nggak sedalam itu, Har, mungkin nggak akan bisa memuaskan kehausan ilmu lo. Belajar dari orang yang bukan ahlinya akan menyebabkan kesalahpahaman. Dan lo bisa jadi makin skeptis pada Islam akhirnya. Gue nggak mau itu terjadi. Kesalahpahaman pada orang secerdas lo adalah suatu kesia-siaan. Tanyalah pada gue. Tapi belajar juga pada yang lebih pintar dari gue.”
Hary tersenyum. “Thanks kak, lo nggak memandang rendah gue hanya karena gue nggak percaya pada agama kita.”
Ilma tersenyum. “Gue nggak akan memandang rendah pada murid gue yang pintar ini, yang mau mencari alasan tentang keimanannya.”
Hary sumringah. Ilma menjulurkan lidahnya dengan gaya lucu.
“Tapi Har, satu hal yang harus lo ingat,” kata Ilma menambahkan, “Hanya karena lo nggak tahu sesuatu, bukan berarti sesuatu itu nggak ada. Hanya karena lo nggak tahu alasannya, bukan berarti nggak ada alasannya. Mungkin lo cuma belum tahu alasannya, maka cari tahulah. Atau mungkin karena otak manusia belum sanggup mencerna alasan itu? Seperti seorang ibu yang melarang anaknya yang berusia 3 tahu bermain petasan. Ada ibu yang hanya melarang tanpa memberi tahu alasannya, karena meski dijelaskan, si anak nggak akan mengerti. Saat sudah besar dan si anak lebih mengerti, beliau akan mengatakan bahwa main petasan membahayakan karena bisa meledak. Begitu juga dengan kita dan Tuhan.”
Pada akhirnya harus diakui bahwa tidak ada hubungan guru-murid yang absolut, karena bisa jadi justru murid kitalah yang mengajari kita tentang kehidupan. Dan itulah yang dilakukan Hary. Menyadarkannya bahwa berislam tidak hanya cukup menjalankan “ritual”nya, tapi juga memahami logikanya. Meski tidak semua hal bisa dilogikakan, tapi akhirnya dia menyadari bahwa Islam adalah agama yang paling masuk akal dan logis.
Bagi Ilma, dialog absurdnya dengan sang murid, yang entah mengapa merambat dari sekedar chemical bonding menjadi bahasan akidah, telah menjadi tamparan terhadap dirinya sendiri. Dia menyesal, mengapa dia belum sedalam itu mempelajari agamanya sendiri sehingga tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan muridnya dengan memuaskan. Sejak itu Ilma bertekad memperdalam pengetahuannya tentang agamanya. Bukan karena tuntutan sebagai guru yang mengharuskannya untuk lebih tahu daripada muridnya. Tapi Hary telah mengingatkan Ilma bahwa seharusnya keinginan untuk memperdalam agamanya tidak boleh putus hanya karena dirinya sudah berislam.
Maka mencarilah!
Kau MUNGKIN akan menemukan Tuhanmu!
Tapi Tuhan PASTI menemukanmu!