Di malam minggu nan galau ini entah mengapa pikiran saya sedang “agak
bener”. Nah, mumpung saya lagi “bener” nih, saya mau membahas sesuatu
yg “rada bener”.
Jadi ceritanya, di malam minggu yang
galau ini, ada satu tontonan di MetroTV yang makin bikin saya galau.
Bukan galau scr pribadi, tapi galau sbg seorang farmasis (tuh kan,,
malaikat apa pula yg sedang mengilhami saya nih?)
Bahasan
MetroFiles hari ini (yang ditayangkan jam 7 malam ini) berjudul “Farmasi
Untuk Negeri”. Berikut saya cuma ingin mereview beberapa poin yang
membuat saya galau ketika menonton tadi ,,, dan akan mencoba sotoy
mengomentari beberapa komentar para komentator (pusing nggak bacanya?
maklumlah, ini ditulis oleh orang yang “rada” bener)
1.
Dibandingkan negara industri di Eropa, US, Jepang etc, penemuan obat di
Indonesia sangat buruk. Alih-alih berfokus pada pengembangan obat
kimiawi, Indonesia sebaiknya mengembangkan riset di bidang obat yang
berasal dari bahan alam. (dr. Bunyamin) à setuju ini mah sama Bapak
pendiri Kalbe Farma ini. Alih-alih terus terpaku & berusaha
menyaingi negara yg lebih maju, kenapa kita tidak menjadi “trend
setter”. Alih-alih berfokus pada pengembangan bahan obat kimiawi, knpa
ga justru mengembangkan bahan obat dari alam. hehehe. Ini ibarat:
“daripada menunggu pintu terbuka, kenapa nggak masuk lewat jendela saja”
(ngajarin maling).
2. Indonesia masih ketergantungan
impor bahan baku obat. (dr. Bunyamin) à bener banget. Jangankan bahan
baku obat, lha wong eksipien aja masih import tho. Di Asia, kita malah
belum ada apa2nya dibanding India & China soal produksi bahan baku
ini. Apa saya kuliah ke India aja yah? barangkali aja bisa sekalian
casting jd aktris bollywood kan? #SingWarasNgalah . hehehe.
Oiya,
soal industri bahan baku obat di Indonesia, spt kata dr. Bunyamin, baru
bisa dilakukan jika industri kimianya sudah baik. Kan sintesis obat
butuh solven, reagen, dsb. Kalau reagennya saja nggak ada (dan fasilitas
sintesisnya ga ada), bagaimana mau membuatnya? Paracetamol Indonesia
aja katanya kualitasnya masih jauh dr kualitas Paracetamol punya India.
3.
Kurangnya industri berbasis riset, menyebabkan industri farmasi kurang
berkembang. Hal ini juga disebabkan karena kurangnya kerjasama antara
industri farmasi dgn institusi pendidikan serta kurangnya dana riset
dari pemerintah. (dr. Bunyamin) à inilah mengapa riset yg dilakukan
industri farmasi hanya sebatas variasi eksipien, penampilan dan bentuk
sediaan à dananya jg terbatas sih ya. Dan soal kerjasama dgn instansi
pendidikan,,, mungkin universitas harus mulai mengambangkan riset-riset
yang aplikatif, bukan sekedar teori shg hasil penelitian bisa
dimanfaatkan bersama dgn industri farmasi. Dengan demikian, dana
penelitian bisa dioptimalkan oleh instansi pendidikan, tp hasilnya jg
bisa dirasakan oleh industri farmasi.
Mengutip kata2 Pietra bbrp
waktu lalu: Riset-riset di universitas itu kebanyakan masih bersifat
teori dan hanya demi memenuhi tuntutan kelulusan, jd tidak bisa
dimanfaatkan oleh industri farmasi.
4. Beberapa komentar berikut, saya satukan dalam satu topik, krn saya akan membahasnya scr parallel:
-
Paradigma kefarmasian telah beralih kpd patient oriented, sehingga
hendaknya apoteker bukan hanya berada di balik meja, atau bahkan hanya
sekedar pasang nama di apotek.(Ahaditomo)
- Apoteker hrs lgsg
berhadapan dgn pasien, sehingga peran apoteker bukan sekedar jual-beli
obat , tp juga memberikan pelayanan informasi obat (PIO) (Dani pratomo)
Terhadap
kedua pernyataan tersebut di atas, itu jg bikin galau. Bukannya saya
nggak setuju dgn “peran apoteker sbg PIO di apotek” sehingga harus
selalu berada di apotek selama jam buka apotek. Bukan juga nggak setuju
dgn slogan “no pharmacist, no service”.
Kadang2, sering
dibandingkan antara praktek dokter (yang kliniknya tutup kalau dokternya
nggak ada), sementara kalo apotek tetap buka meski apoteker nggak ada.
Kalau
mau ditelisik lebih jauh, mungkin sebenarnya bukan para apoteker yang
tidak mau menjalankan perannya dgn optimal, tapi karena penghargaan
orang yang kurang thd peran apoteker.
Peraturannya sih apoteker
harus stand-by di apotek selama jam buka apotek. Tapi apoteker mana yang
mau stand-by 8 jam per hari kalau cuma digaji 1 juta per bulan (jangan
tanya saya, “Memangnya ada apoteker yg cuma digaji segitu? “ADA! Percaya
deh. Makanya dia ga stand-by di apotek.)
Kadang penghargaan kita
terhadap profesi tertentu itu sangat memalukan. Daripada menggaji besar
para koruptor itu, bukankah seharusnya menggaji guru dgn lebih layak?
Kan profesi gurulah yg mendidik anak2 bangsa kita. Anak-anak bangsa dgn
kualitas seperti apa yang kita harapkan dari guru yang mengajarkan
matematika dgn tdk fokus karena sambil memikirkan berasnya yang habis di
rumah?
Begitu juga dgn apoteker. Apoteker kan juga pekerjaan
profesi spt dokter ya? Yang resikonya thd keselamatan pasien sama
besarnya, jd mengapa tidak dihargai scr berimbang?
Kalau
membandingkan antara gaji saya dgn gaji adik saya yg anak teknik, kok
rasanya nyesek ya? Resiko pekerjaan adik saya nampaknya tidak sebesar
resiko pekerjaan saya yg kalau salah pakai alupush untuk kemasan tablet
saja bisa membahayakan pasien. Tapi kenapa adik saya gajinya lbh besar?
Di industri farmasipun gajinya orang2 finance tuh kadang lbh besar lho
drpd gaji apoteker pada level yg sama. Padahal, resiko pekerjaannya thd
keselamatan manusia lbh kecil.
Hal-hal semacam itulah yang membuat
apoteker tdk menjalankan fungsinya secara seharusnya. Jangan bilang
soal “kerja itu kan ibadah”! Hanya karena tujuan kerja kita sebagai
ibadah, maka bukan berarti kita tidak pantas dihargai dgn layak kan?
Kalau
kata dr. Bunyamin: “Kalau suatu usaha mau maju, SDM mesti diperhatikan.
“ à totalitas dan pengabdian thd pekerjaan bukan berarti menghilangkan
profesianalisme dan kebutuhan untuk dihargai dengan pantas!
Tapi
ini seperti pisau bermata dua sih ya. Kalau para apotekernya sendiri
tidak membiarkan dirinya digaji rendah, pasti para PSA/ pemilik industri
farmasi/ RS juga terpaksa menggaji dgn layak kan?
“Habis gimana
dong. Ya sudahlah, 1 juta juga cukup kok. Toh sebulan sekali doang ke
apotek,” begitu komentarnya. Kalau sudah begitu, bingung juga deh, mana
dulu yg harus diperbaiki: peraturannya, atau apotekernya atau sistemnya?
Rasanya spt lingkaran setan.
Andai IAI punya kebijakan ttg standar gaji apoteker.
Membuat
peraturan soal “no pharmacist, no service” saja TIDAK AKAN PERNAH
BERHASIL kalau tdk disertai dgn penetapan standar gaji apoteker. Kalau
IAI sudah menetapkan standar gaji apoteker, dan semua apoteker sepakat
u/ tidak mau bekerja jika tidak digaji dgn layak, dan ada peraturan
tegas tentang “no pharmacist, no service” ini ,,, pasti nantinya dgn
terpaksa PSA juga akan menyesuaikan gaji apotekernya dgn standar tsb
kok. Dgn gaji yg sesuai, apoteker pasti akan bekerja dgn optimal di
apotek (bukan cuma datang sebulan sekali),,, dan wacana “pharmaceutical
care” bukan lagi sekedar omong kosong.
Yah,
begitulah kira2 sesi menggalau saya malam ini. Sungguh ke-sotoy-an saya
membuat note semacam ini. Tapi tidakkah ada yang berpikiran sama dgn
saya? Atau hanya saya yang berpikiran nyeleneh soal hal-hal ini? Hahaha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar