Waktu jaman kita muda dulu (jadi inget umur, sekarang udah nggak abege
lagi, hehe), kita sering menganggap diri kita paling hebat. Udah paling bangga
kalau berhasil mengelabui guru, meloloskan diri dari razia VCD bokep. Berasa
jago kalau berhasil menyusup masuk selagi teman-teman lain yang sama-sama
terlambat sekolah disuruh push-up. Dan berasa keren banget kalau berhasil
menerapkan metode mencontek mutakhir sehingga bisa nyontek tanpa ketahuan guru.
Sekarang setelah waktu-waktu terlewati dan status saya sebagai murid
mulai bergeser menjadi si “oknum
guru” itu, saya makin menyadari bahwa dulu kita sebenarnya tidak sehebat itu.
Kita sebenarnya cuma anak-anak yang dibiarkan bermain petak-umpet oleh orangtua
kita. Kita dibiarkan bersembunyi
meski mereka sebenarnya sudah tahu sejak awal dimana kita akan bersembunyi ...
karena mereka pernah memainkan permainan petak-umpet serupa.
Dulu kita merasa hebat sekali
jika bisa mengelabui guru dan berhasil nyontek tanpa ditegur guru. Kenyataannya
sekarang, setelah saya sendiri menjadi guru, saya jadi geli sendiri dengan
tingkah murid-murid yang seperti itu. Saling melirik, saling berbisik, pura-pura
meminjam tip-ex, membuat contekan dengan tulisan super kecil dan
kelucuan-kelucuan lainnya. Beruntunglah saya yang tidak pernah berani mencontek
hingga sekarang karena sebenarnya tidak ada guru yang tidak menyadari bahwa
muridnya mencontek.
Kau pikir guru-guru kita yang
pintar itu tidak tahu apa-apa saat kita mencontek? No, no! Mereka semua tahu!
Tidak ada yang tidak tahu. Yang ada hanyalah guru yang menegur dan memarahimu,
atau sekedar menyindir halus, atau justru guru yang memilih untuk mengurangi
nilaimu dalam diam.
Seperti yang tadi saya bilang,
melihat kehidupan yang sama dari sudut pandang yang berbeda, benar-benar lucu. Saya
sebenarnya tipe guru yang nggak suka mempermalukan murid di depan
teman-temannya yang lain. Jadi saat melihat anak-anak itu masih saja
menggunakan trik-trik kuno untuk mencontek, saya cuma bisa nyengir. Sindiran
adalah hal terkahir yang saya lakukan. Selebihnya, kalau mereka tetap nekat
“berusaha”, saya memilih diam dan langsung menandai nama mereka masing-masing
di daftar nilai saya. Memberi nilai terendah bagi mereka adalah hal paling baik
dan paling kejam yang bisa saya lakukan. Tidak mempermalukan mereka di depan
teman-temannya adalah hal baik yang saya pilih. Tapi memberi “imbalan setimpal”
atas kenakalan mereka bukanlah sesuatu yang tidak adil, bukan?
Begitupun terhadap kenakalan
kita yang lain. Waktu kita melompati dinding belakang sekolah demi menghindari
razia “murid terlambat”, apa kau pikir semua guru tidak tahu? Sebenarnya nggka
juga lho. Ada yang tahu kelakuanmu itu. Tapi seperti halnya saya, ada beberapa guru
yang lebih suka diam. Tidak ada yang menegurmu hanya berarti bahwa mereka
memberimu “hadiah” atas kerja kerasmu yang sudah berusaha melarikan diri.
Hahaha.
Kelucuan lain para murid
ternyata tidak melulu soal kenakalan mereka. Kisah cinta mereka adalah kelucuan
lainnya. Ketika sekarang saya mendengar curhatan mereka soal kisah cinta
mereka, saya sering nyengir dalam hati, membayangkan betapa dulu guru saya
pasti merasa lucu mendengar cerita cinta abege saya. Dulu saya pasti sama
lucunya dengan murid-murid saya sekarang, mengkhawatirkan kisah cinta
remeh-temeh.
Well, yeah, kita melakukan
hal-hal kecil saat kita masih kecil. Berpikir bahwa kita sudah besar dan sudah
melakukan hal-hal besar. Kita mengkhawatirkan hal-hal kecil saat kita masih
kecil, dan mengira bahwa hal-hal tersebut terlalu besar dan berat untuk kita
tanggung. Tapi sekarang setelah kita cukup besar, akhirnya kita tahu kan bahwa
hal-hal besar kemarin hanya sebesar yang kita bayangkan? Bahwa sebenarnya
hal-hal besar yang dulu merisaukan kita, ternyata tidak sebesar itu kan? Waktu
itu kita hanya masih kecil untuk menerima yang lebih besar. Tapi waktu kita
akhirnya menerimanya, kita akan tumbuh menjadi sebesar apa yang diperlukan
untuk kuat mengangkat beban itu kan?
Ngomong-ngomong soal menjadi
guru, itu berat juga lho.
Karena seperti kata pak Marno: “Saat kita mengajar, sebenarnya kitalah yang paling harus belajar, memastikan
diri menjadi lebih tahu daripada murid kita.”
Seorang guru memang harusnya lebih
tahu daripada muridnya, karena dialah tempat bertanya dan menimba ilmu para
muridnya. Tapi kemudian belakangan ini saya menyadari bahwa menjadi lebih tahu
dan lebih pintar bukanlah hal yang paling penting untuk menjadi seorang guru.
Berapa banyak guru-guru kita yang jenius luar biasa, tapi semua muridnya
bingung dengan pelajaran yang diajarkan? Kalau pakai istilah saya sendiri sih,
fenomena itu disebut dengan “perbedaan frekuensi otak”. Makin jauh kesenjangan
intelegensi antara guru dan murid, maka makin rentan terhadap insiden “ketidak-tersampaian
ilmu.”
“Ini guru lagi ngomong bahasa dewa kali ya?
Manusia biasa seperti kita mah nggak bakal paham bahasa dewa begitu. Frekuensi
otaknya beda sama kita, jadi nggak bisa beresonansi dgn frekuensi otak manusia
biasa seperti kita.”
Kalau murid kita sudah ngomong
seperti itu, berarti kita adalah guru tidak berguna. Sepintar apapun seorang
guru, kalau muridnya sendiri nggak paham perkataannya, berarti dia bukan guru
yang baik. Sejenius apapun guru, kalau tidak bisa mentransfer pengetahuannya
kepada murid-muridnya, lalu guru seperti apa itu? Ditambah lagi kalau sampai
murid kita sendiri takut, benci dan cenderung menghindari kita, maka sebenarnya
kita hanyalah orang yang pintar,
bukan seorang guru.
Berdasarkan teori yang saya
alami sendiri, sepintar apapun guru dan sebaik apapun ilmu yang diberikannya,
ilmu itu tidak akan pernah sampai kepada murid kalau muridnya tidak merasa
nyaman dengan gurunya. Ketidaknyamanan itu bisa terjadi karena banyak hal. Oke,
bahas satu per satu ya J
Suatu ilmu nggak akan bisa
sampai kepada murid kalau muridnya takut sama gurunya. Takut pada guru akan
berimbas pada ketakutan murid pada ilmu yang diajarkan guru tersebut, meski
ilmunya sendiri tidak menakutkan. Sebaliknya, sesulit apapun pelajarannya,
kalau murid suka dengan gurunya, biasanya mereka akan bisa menerima ilmu
tersebut dengan lebih baik. (Inget pelajaran fisika waktu nulis ini :p )
Ilmu juga nggak bisa sampai
kepada murid kalau muridnya membenci gurunya, atau gurunya juga balik sebal
pada muridnya. Bagaimana mungkin cangkir bisa menerima air dari teko kalau
cangkirnya ditutup atau tekonya tertutup? Kebencian adalah hal yang menutup
hati dan pikiran kita dari ilmu-ilmu baik yang sebenarnya ada diantara guru dan
murid. Sebaik apapun ilmu, jika disampaikan atau diterima dengan kebencian,
ilmu itu tidak akan pernah sampai kepada muridnya.
Dan kebencian bisa datang dari banyak sumber. Sikap murid yang tidak
hormat, atau sikap guru yang membuat murid jadi tidak hormat. Merasa diri
paling pintar dan sikap merendahkan murid adalah salah satu yang paling
menimbulkan kebencian.
Beberapa kali saya mendengar
seorang guru berkata: “Ah, dulu saya bisa mengerjakannya kok. Kenapa mereka
nggak bisa? Kan kita sama-sama makan nasi.”
Pernyataan tersebut bisa
mengimplikasikan dua hal. Pertama, bahwa sang guru sudah bisa membaca dan
berhitung sejak lahir (saking jeniusnya, sehingga tidak pernah menjadi orang
bodoh). Kemungkinan kedua, bahwa saking pintarnya sang guru sekarang, beliau
sampai lupa bagaimana rasanya menjadi tidak tahu.
Benar adanya bahwa para guru
pastilah lebih berpengalaman daripada murid-muridnya sehingga beliau pasti
sudah tahu bahwa soal-soal seperti itu bukan soal yang mustahil dikerjakan.
Tapi para guru seringkali lupa bahwa beliau dulu juga pernah menjadi murid yang
tidak tahu. Mereka lupa bahwa saat mereka masih muda dulu, soal-soal sepele itu
adalah hal yang besar bagi mereka. Mereka lupa bahwa dulu mereka pernah merasa
tidak bisa melakukan sesuatu sebelum akhirnya mereka menemukan cara untuk
menyelesaikannya. Mereka bahkan lupa bahwa murid memang memiliki hak
untuk bodoh, karena mereka hanya seorang murid. Mereka membayar sekolah untuk
dididik, bukan untuk diklaim sebagai orang bodoh. Jika murid-murid itu sudah
pintar, untuk apa lagi mereka sekolah dan kuliah? Para guru mungkin melupakan
fakta penting itu.
Para guru seringkali lupa dan
mengira para murid sudah sama pintar dan sama tahunya dengan mereka sekarang.
Akibatnya mereka menjelaskan dengan terburu-buru, dan terlewat menanamkan
pemahaman-pemahaman dasar yang dibutuhkan murid untuk memahami pengetahuan yang
lebih tinggi. Hal-hal seperti itu yang membuat murid jadi frustasi dalam
menerima pelajaran.
Ada kalanya saya berpikir, guru yang baik sebenarnya bukan hanya yang
paling pintar, atau yang gelarnya paling panjang ya? Guru yang baik mungkin saja
kepintarannya hanya bernilai delapan, tapi seluruhnya bisa diturunkan kepada
murid-muridnya …. alih-alih guru jenius dengan kecerdasan bernilai sepuluh,
tapi hanya sepertiga dari ilmunya yang bisa diturunkannya. Guru yang baik
rasanya bukan yang paling pintar (bukan berarti guru tidak harus pintar.
Tentunya seorang guru haruslah yang pintar), tapi juga yang paling memahami apa
yang dibutuhkan muridnya untuk menjadi pintar. Sayangnya, kecerdasan untuk
memahami murid tidak selalu berbanding lurus dengan kecerdasan intelegensia.
Itu mengapa menjadi pintar jauh lebih mudah daripada menjadi seorang guru.
Padahal, kalau dipikir-pikir lagi, untuk memahami seorang murid, nggak
sesulit itu kan? Seorang guru juga pernah menjadi abege kan? Hanya saja mungkin
ketika sudah terlalu lama menjadi guru, kita justru lupa bagaimana rasanya
menjadi murid. Ketika kita beranjak
dewasa, kita jadi lupa bahwa dulu kita juga sering melakukan
kekonyolan-kekonyolan yang sama dengan para abege itu. Lupa deh kita bahwa kita dulu pernah juga
bergaya “labil”, atau bahkan masih labil sampai sekarang, meski dalam bentuk
yang berbeda. Kita juga lupa bahwa dulu kita adalah “galauers everywhere, everytime” bahkan oleh
hal-hal yang sekarang kita anggap sepele.
Yeah, pengalaman guru memang lebih banyak. Dan guru yang sering
mengatakan “saya juga dulu pernah jadi murid, tapi nggak gitu-gitu amat deh” juga
memang pernah muda. Mungkin mereka hanya lupa, bagaimana menjadi muda dan galau :p
Tulisan ini dibuat sebagai
topik balasan dalam serial “You Jump, I Jump” antara saya dan Ambar. Pada topik
terbaru yang dipilihnya (seperti dapat dibaca pada blog berikut: http://ambareetabercerita.wordpress.com/2011/10/07/ants-story/), Ambar bercerita tentang betapa kita ini
hamba yang tidak tahu rencana Tuhan tapi dengan sok tahunya merasa bahwa Tuhan
tidak sayang pada kita. Padahal sesungguhnya Tuhan punya rencana yang lebih besar
dan lebih indah bagi kita. Kita hanya terlalu kecil untuk mengetahui rencana
besar itu saat ini.
Mengambil tema serupa, kali
ini saya membahas tentang masa lalu kita, semasa masih sekolah dulu. Ini cerita
tentang murid, dengan segala tingkah dan ke-sotoy-annya. Ini cerita tentang
murid, yang diceritakan oleh seorang murid ... yang saat ini sedang berusaha menjadi
guru.
Apa lalu saya sudah menjadi guru paling baik sehingga bisa memposting
artikel aneh macam ini? Pastinya, saya masih jauh dari menjadi guru yang baik.
Dan untuk menjadi guru seperti itu sama sulitnya dengan mendapat nilai sepuluh
dalam pelajaran fisika, bagi saya. Saya cuma seseorang yang sedang terus
belajar untuk bisa kembali memahami dunia remaja agar bisa menjadi sahabat
mereka. Bukankah pengetahuan apapun paling mudah ditransfer oleh seorang
sahabat, ketimbang oleh seorang guru?
ciieee, yg udah jadi guru, hoho :D
BalasHapusciyeee Gamaaaa :))
BalasHapusGw mah masih anak sekolahan :p