Yang kutuju bukan dia, tapi kamu.
Ini tentang cinta. Tapi bukan cinta segitiga. Ini tentang
cerita cinta yang seperti lingkaran. Aku berada di dalamnya. Dan aku tidak
melihat cinta ini ada ujungnya.
Awalnya di dalam hidupku hanya ada Fandy. Dia adalah kakak
kelasku sejak SMU. Sekarang dia jadi atasanku di kantor penerbitan. Aku selalu mengekornya sejak lama,
kemanapun ia sekolah, kemanapun ia kuliah, kemanapun ia bekerja. Dia selalu
baik padaku dan tidak pernah mengabaikanku. Tapi dia juga tidak pernah
menganggap keberadaanku penting. Aku adalah "orang kebanyakan"
baginya, padahal ia spesial dalam hatiku. Perasaanku padanya tidak pernah
bersambut.
Fajar datang kemudian. Dia adalah penulis muda berbakat.
Dan aku adalah desainer cover dan lay-out novelnya, sekaligus pembaca setianya
sejak ia memulai debutnya 2 tahun lalu. Dia sudah menerbitkan 2 buah novel dan
sebuah buku kumpulan cerpen sampai saat ini. Dan meski ia penulis baru,tapi aku
langsung jatuh cinta pada kata-katanya, diksi-diksinya, dan kisah-kisah yang
diceritakannya. Kami sekarang berkawan akrab. Dia bahkan punya panggilan khusus
untukku.
"Hai Fungi, si anak jamur!" begitulah
Fajar sering memanggilku. Hanya dia yang berani-beraninya menambahkan
panggilan "anak jamur" di belakang nama asliku. Biasanya aku manyun
saja dipanggil begitu.
Jangan tanya inspirasi apa yg didapat orangtuaku sehingga
bisa memberiku nama seunik ini. Aku sudah bertanya pada ibuku beberapa kali dan
memastikan bahwa alasan di balik namaku bukan karena ibu bermimpi bertemu peri
jamur psilosibin.
"Si bos nerima naskah terbaru gua dong, Fung,"
kata Fajar, datang ke mejaku dengan wajah sumringah dan jumawa, khas gayanya.
Dia baru saja keluar dari ruangan Fandy.
"Wah, selamat ya Jar," kataku,tersenyum tak
kalah lebar. Ternyata senyum memang selalu menular.
"Tapi kayaknya banyak bagian yang kena bantai,"
lanjutnya.
"Yaelah Jar, kalau semua naskah yang masuk nggak
perlu 'dibantai', buat apa editor digaji? Hahaha."
Fajar tertawa menanggapi leluconku yang nggak lucu.
Bersamanya aku tidak pernah merasa akan terlihat bodoh meski melucu seaneh
apapun.
"Traktir-traktir dong, Jar!" lanjutku, bercanda.
"Beres, Fung! Sekalian biaya permohonan ijin. Gua
meminjam nama lo di novel terbaru gua."
"Eh?"
Fajar menunjukkan draft novelnya. Aku membaca
sinopsisnya. Dia memakai namaku sebagai nama tokoh utamanya.
Baru saja aku ingin lanjut mencandai dan meminta royalti
padanya atas penggunaan namaku, tapi Fajar membuatku bungkam
dengan kata-katanya.
"Penyanyi menyatakan cinta dengan lagunya. Pelukis
dengan lukisannya..." Fajar memberikan draft itu di tanganku, "...
penulis dengan kata-katanya. Baca hati gua, Fungi."
Aku bengong seketika, tidak mengerti maksudnya. Dan masih
bengong sampai dia berlalu ketika kak Fandy memanggilnya kembali ke ruangannya.
"Gua traktir lo besok ya Fung," kata Fajar sebelum pergi.
Gara-gara kata-kata Fajar itulah, untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku berhasil menamatkan membaca novel sepanjang 400 halaman hanya dalam
semalam. Aku membaca isi hati lelaki
itu. Dan itulah awal mulanya kisah kami.
*
* *
"Kamu udah lihat Fajar datang, Fung?"
Pagi-pagi sekali Fandy sudah mendatangi mejaku, membuat
pagiku cerah ceria.
"Belum lihat dia, Kak. Kenapa?" kataku.
"Nanti kasih tahu saya kalau dia udah datang
ya," Fandy berpesan.
"Siap bos!" aku tersenyum lebar. Dan Fandy
membalas senyumku, kecil saja.
Setelah Fandy masuk ke ruang kerjanya, aku mengalami
dilema sendiri. Aku sebenarnya sedang berusaha menghindari Fajar. Bukan karena
aku membencinya. Manusia seperti Fajar adalah jenis manusia yang sangat
sulit untuk dibenci. Dia terlalu menyenangkan untuk dijauhi. Aku hanya belum
siap bertemu dengannya sekarang. Bagaimana kalau dia menanyakan tentang
novelnya? Apa aku sebaiknya berpura-pura belum selesai membaca novelnya?
Dilema itu terus berkecamuk sampai hampir tengah hari.
Fajar baru datang hampir menjelang makan siang. Dia masuk terburu-buru dengan
tampang masih mengantuk.
"Heh, anak jamur!" sapa Fajar sambil menepuk
bahuku dengan terlalu keras, "Bang Fandy nyariin gue ya?" lanjutnya,
tergopoh-gopoh.
"Dari tadi pagi, Jar!" jawabku.
"Mati gue! Tadi gue ketiduran abis begadang nulis.
Haduh, dibantai deh nih gue!"
Aku menepuk bahunya sambil tertawa. "Sana masuk!
Berdoa dulu ya!"
Kulihat Fajar berkomat-kamit sekilas sebelum masuk ke
ruang kerja Fandy. Aku mengantarnya dengan tawa. Sejenak aku lupa bahwa tadi
aku berencana menghindari Fajar. Well, yeah, harus diakui bahwa Fajar adalah
jenis makhluk yang susah dihindari ... dia punya pesona yang kuat untuk
menarik orang-orang ke sekelilingnya.
Sepuluh menit kemudian Fajar dan Fandy keluar ruangan.
Wajah Fajar tampak sumringah. Dia berhasil selamat.
"Saya tunggu di mobil," aku mendengar Fandy
berkata pada Fajar. Fajar menjawabnya dengan anggukan dan senyuman.
Fandy melangkah menuju lift. Lalu Fajar mendatangi
mejaku.
"Gue datang tepat waktu. Si bos udah laper. Dia
ngajak lunch," kata Fajar, tersenyum lega.
"Selameeeettt, selameeettt," aku menepuk-nepuk
punggung Fajar.
"Ikut yuk Fung!"
"Heh?!"
"Bang Fandy bilang boleh ngajak lo."
"Hah?! Ngapain aku ikut?"
"Karena lagi-lagi lo yang kebagian mendesain novel
ini."
"Hah?"
"Lunch meeting kitaaahhh. Udah, ayok ah!"
Fajar menarik tanganku. Dan siang itu untuk pertama
kalinya setelah bertahun-tahun mengekor Fandy, akhirnya aku bisa makan siang
bersamanya. Dan ternyata itu bukan terakhir kalinya.
* * *
Entah sejak kapan tepatnya, aku jadi makin sering bersama
Fandy. Kemajuan hubungan kami selama beberapa minggu ini bahkan seribu kali
lebih baik jika dibandingkan dengan hubungan kami selama bertahun-tahun. Aku
belum pernah sedekat ini dengannya. Kami beberapa kali makan siang bersama,
nonton bioskop, atau sekedar ke toko buku. Dia bahkan beberapa kali mengantarku
pulang. Dalam beberapa minggu terakhir aku merasa punya penyakit jantung akut,
jantungku jadi lebih sering berdebar dibanding yang pernah dilakukannya seumur
hidup.
Memang sih, kalau dipikir-pikir, dalam hampir semua adegan
itu kami tidak pernah benar-benar berduaan. Seringkali ada Fajar bersama kami.
Tiap Fandy mengajakku jalan, dia selalu mengajak Fajar serta. Dan tiap aku
janjian dengan Fajar, Fandy selalu mengekor. Aku jadi punya banyak spekulasi.
Ini Fajar yang sedang membantuku dekat dengan Fandy, atau justru sebaliknya?
Apakah Fandy yang sedang berusaha mencomblangi aku dan Fajar?
Tapi beruntung juga demikian. Aku nyaris tidak pernah
punya waktu berduaan dengan Fajar sehingga aku tidak perlu bingung menyiapkan
jawaban. Coba pikir, bagaimana aku tega menyakiti hati laki-laki sebaik Fajar?
Dia terlalu baik untuk ditolak. Sayangnya, aku sudah terlanjur jatuh cinta pada
orang lain.
Meski demikian, sepandai-pandai tupai melompat, akhirnya
ketangkep juga. Begitulah aku. Setelah berkali-kali menghindar, akhirnya aku
terdampar juga pada suasana berduaan dengan Fajar. Takdirlah namanya.
"Sudah membaca hati gue?" tanya Fajar akhirnya.
Dan aku tidak bisa lagi mengelak dari menyakiti hatinya.
Aku mengangguk.
"Bisakah menerimanya?"
Aku menghela nafas sebelum menjawab dengan berat hati,
"I'm so sorry, Jar."
Gantian Fajar yang menghela nafas. Aku menatapnya,
memohon maaf setulus hati.
"Gue sudah menduganya," kata Fajar kemudian.
"Lo suka sama orang lain ya?"
Dengan ragu dan sungkan, aku mengangguk.
"Bang Fandy?"
Kaget, aku tidak menyangka Fajar bisa menebaknya dengan
tepat.
"Emang kelihatan banget ya?" aku balik bertanya.
"Itulah kenapa gue sering ajak dia jalan bareng kita.
Supaya lo mau jalan bareng gue," jawabnya.
Mengertilah aku sekarang. Prediksiku tepat. Pastilah Fandy
berniat membantu mencomblangiku dengan Fajar.
"Tanpa kak Fandy, aku mau kok jalan-jalan sama
kamu," jawabku cepat.
Fajar mengangguk, sambil tersenyum memaklumi, masih
dengan wajah berpikir. Dia lalu berbalik, hendak pergi.
"Fajar!" aku memanggil, menahannya sesaat.
"Apa setelah ini kamu akan menjauhiku?"
"Apa lo pengen gue menjauhi lo?" Fajar balik
bertanya.
"Akan terdengar sepertinya aku egois banget ...
"
"Menjadi egois sesekali, ga salah kok."
"Aku nggak mau kehilangan sahabat sebaik kamu."
Fajar tertawa. "Syukurlah. Gue juga ga mau
kehilangan si anak jamur. Hahaha."
Aku manyun, tapi merasa lega.
"Gue nggak akan meninggalkan lo, kecuali lo yang
memintanya," lanjut Fajar.
"Egois banget ya aku. Memintamu tetap bersamaku,
padahal aku nggak bisa kasih harapan apa-apa."
"Gue nggak butuh harapan. Gue butuh lihat lo senyum. Dan
bersama Fandy, lo tersenyum lebih cantik dibanding saat bersama gue."
"Makasih banyak ya, Jar. Kamu baik banget."
Lelaki itu tersenyum. Aku merasa tidak bisa kehilangan
senyum itu.
You are my endorphine, while I am
giving you heartache
We are sinners, we are liars, yet
these lies taste so honest
When you smile the world stops, so
please don’t cry, not because of me
Coz it’s you, it’s always you, it’s
always been you
I’m down on my knee, I put everything
on your hand
Hold me close gorgeous as I whisper
you “I heart thee”
(I Heart Thee, FIERSA BESARI)
* * *
Bahkan setelah aku menolak Fajar, Fandy nampaknya tidak
menghentikan usahanya untuk mencomblangi kami. Dia masih sering mengajak aku
dan Fajar pergi bersama. Rasanya aku ingin bilang padanya bahwa usahanya
sia-sia karena aku bukan cinta pada Fajar, tapi justru padanya.
Suatu hari Fandy mengajakku nonton. Melalui SMS kepada
Fandy, Fajar bilang akan ikut nonton juga, tapi ternyata dia tidak datang.
Beberapa saat sebelum film dimulai, aku menerima SMS Fajar: Gue nggak akan
datang. Kalian nonton berdua aja. Good luck ya.
Aku terharu karena menyadari Fajar mau membantuku mendekati
orang lain setelah aku menolaknya. Sayangnya, bahkan sampai Fandy mengantarku
pulang, perbincangan kami tidak jauh-jauh dari masalah pekerjaan.
"Sayang banget tadi Fajar nggak jadi ikut
ya," kata Fandy selagi ia mengantarku pulang.
"Iya, dia ada urusan mendadak," aku menimpali.
"Eh,ngomong-ngomong, sudah terpikir desain cover
untuk novel Fajar?"
Aku mengangguk. "Aku mau taruh gambar buku di
sampulnya. Gambar sebuah buku yang bentuknya seperti bentuk hati, terbuka, siap
dibaca."
Fandy mengerutkan kening sesaat.
"Percaya nggak? Kemarin Fajar juga mengusulkan
desain serupa. Soulmate banget deh kalian, seperti orang pacaran," kata
Fandy.
"Nggak Kak, kami nggak pacaran," jawabku
buru-buru.
Fandy tersenyum sambil mengangguk-anggukan kepala.
"Jadi Kakak nggak perlu berusaha mencomblangi
kami," lanjutku, memberanikan diri.
"Hah?"
Fandy menoleh kepadaku. Tatapan matanya seperti bingung.
"Kalau aku bilang bahwa aku nggak akan jatuh cinta
padanya, apa Kakak akan tetap bersikap baik sama aku?"
Fandy mengernyitkan dahi.
"Kakak bersikap baik padaku demi mendekatkan aku dan Fajar kan? Berhenti berusaha
menjodoh-jodohkan kami, Kak. Nggak akan berhasil."
"Nggak ngerti apa maksudmu."
"Kak Fandy tahu yang aku maksud."
"Apa kelihatannya saya sedang menjodohkan
kalian?"
"Buktinya, tiap mengajakku jalan, Kak Fandy selalu
mengajak Fajar juga."
"Jangan GR. Saya bukan orang sebaik itu."
"Aku nggak cinta sama Fajar ... " kataku
akhirnya.
Fandy masih tersenyum.
"Selama ini mataku cuma melihat Kak Fandy. Yang aku
tuju bukan dia, tapi Kakak."
Senyum Fandy raib. "Kalau gitu, menyerahlah sekarang," katanya
tiba-tiba. Raut wajahnya serius.
Aku terdiam. Jantungku berhenti berdetak. Apa Fandy baru
saja menolakku? Tanpa basa-basi?
"Kak Fandy udah punya pacar?" aku bertanya
takut-takut. Aku mendengar suaraku sendiri yang seperti mencicit.
"Nggak."
"Ada perempuan lain yang Kakak suka?"
"Nggak."
"Kalau gitu, aku masih bisa berharap ... ?" bisa
kudengar suaraku melemah.
"Serius, jangan berharap!" jawabnya tegas. Dia
menatap jauh dan fokus ke jalanan di hadapannya, menyupir. Bahkan dia tidak
melirikku sama sekali.
Apa itu penolakan mutlak?
* * *
"Gimana tadi nonton sama bang Fandy?" suara Fajar segera terdengar begitu aku mengangkat telepon darinya.
Aku menghela nafas, lebih kepada usaha untuk mencegah air
mataku menetes.
"Dia nolak aku, Jar," jawabku akhirnya.
"HAH?!"
Suaranya Fajar membuatku kaget setengah mati. Kenapa dia
mesti kaget sampai teriak begitu sih? Bikin aku makin jiper saja.
"Lo berani menyatakan cinta ke dia?!" Fajar bertanya, seperti orang membentak.
"Nggak ngerti setan apa yang merasukiku tadi, Jar," aku mendengar diriku sendiri bicara dengan nada frustasi.
"Kenapa dia nolak lo, Fung? Emang dia bilang
apa?"
"Dia cuma bilang, jangan berharap!"
Lagi-lagi aku menghela nafas. Fajar tidak bertanya lagi.
Dia pasti bingung mendengar berita inj, antara senang atau harus berpura-pura
ikut prihatin dengan nasibku.
Lama kami saling terdiam dengan ponsel di telinga
masing-masing, sampai akhirnya Fajar bicara.
"Apa cuma dia yang bisa bikin lo jatuh cinta,
Fung?"
Aku tidak segera menjawab.
"Bahkan meski dia nggak cinta sama lo?" lanjut Fajar.
"Kelihatan jelas ya?"
"Matanya saat melihat lo, sama seperti mata lo saat
melihat gue. Nggak ada cinta di dalamnya."
"Maaf ya Jar," kataku pelan. Terbersit rasa
bersalah karena sudah menolak Fajar. Aku pasti kualat padanya sehingga sekarang
Fandy menolakku.
"Cinta nggak bisa dipaksa, Fung. Bukan salah lo juga.
Gue cuma berharap suatu saat nanti tatapan mata lo saat melihat gue akan
berubah."
"Bagaimana kalau aku berharap hal yang sama terhadap Kak
Fandy?"
Terdengar Fajar menghela nafas.
"Maka kesempatan gue sama kecilnya seperti kesempatan
lo."
Aku lemas.
* * *
Setelah insiden itu, tidak pernah lagi ada jalan-jalan
bertiga. Tidak seperti hubunganku dan Fajar yang tidak berubah meski aku sudah
menolaknya, Fandy justru kelihatan sekali menjauhiku.
Sekarang kutanya padamu, kawan, apa yang lebih menyakitkan
dari penolakan? Yeah! Pengabaian! Diabaikan dan dianggap tak ada jauh lebih sakit daripada ditolak.
Fandy tidak pernah lagi bicara padaku kecuali soal deadline
desain beberapa novel. Kami tidak pernah bicara berdua, dia hanya bicara padaku
saat meeting bersama kru lainnya. Dan itu rasanya lebih menyakitkan daripada
ditolak.
Setelah menunggu dan mencari kesempatan bicara berdua
dengan Fandy, akhirnya aku mendapatkan kesempatan itu. Suatu hari kami bertemu
di elevator. Tidak ada selain kami yang berada di dalamnya. Dan aku
mengumpulkan keberanian untuk bicara pada Fandy.
"Maaf soal yang waktu itu, kak," kataku,
hati-hati.
Fandy tidak segera menjawab, dan itu membuat hatiku
kebat-kebit.
"Saya cuma nggak mau memberi kamu harapan," kata
Fandy akhirnya. Wajahnya datar.
"Kenapa Kakak berusaha menjodohkan aku dan Fajar?"
Mati lu, Fung! Udah ditolak kok masih berani ngomong
gini?!, aku memaki diriku sendiri.
"Cinta sejati itu membebaskan, bukan mengikat,"
kata Fandy tiba-tiba.
"Hah?!" aku tidak mengerti apa maksud perkataan
Fandy.
"Mencintai berarti bahwa kebahagiaannya adalah alasan
kebahagiaanmu ... meski alasan kebahagiaannya bukanlah kamu."
Aku mencerna kata-kata Fandy. Lalu entah kenapa aku jadi
tercekat sendiri. Sekuat tenaga aku memberanikan diri bertanya dan bersuara,
bahkan meski aku tidak punya keberanian untuk mendengar jawabannya.
"Dan Kak Fandy bahagia kalau melihat Fajar bersamaku?"
Fandy tidak menjawab.
"Fajar bilang, dia bahagia kalau melihatku bahagia
bersama Kak Fandy. Kebahagiaan macam itu yang Kak Fandy maksud?"
Dia tetap diam. Aku kehilangan arah.
"Kamu nggak akan bahagia bersama saya, Fungi,"
kata Fandy kemudian.
"Sama seperti Fajar yang nggak akan bahagia
bersama saya."
"Kalau gitu, mungkin Fajar akan bahagia bersama
saya?"
Kerongkonganku kering.
"Tapi dia mencintai saya," kataku, frustasi.
"Dan kamu mencintai saya?"
"Dan kak Fandy mencintai ... ?"
Aku tidak berani melanjutkan prediksiku. Lagi-lagi dia diam.
"Aku nggak melihat cinta ini ada ujungnya," aku
frustasi.
"Haruskah ada ujungnya?" Fandy balas bertanya.
Pintu elevator terbuka. Kami sudah sampai di kantor kami.
Frustasi dan depresi, aku pergi mendahuluinya. Dan dia tidak mencegahku. Dia
memang tidak pernah mencegah kepergianku. Aku saja yang berkeras tidak pergi
dari sisinya.
"Aku sudah tahu, Jar."
Aku langsung menelepon Fajar begitu sampai di mejaku.
Kejamnya aku, setelah menolak Fajar, aku malah menjadikannya tempat curhat
favorit untuk menceritakan keluh kesah tentang lelaki lain.
"Tahu apa?" suara Fajar tetap terdengar sabar.
"Kak Fandy emang nggak mungkin cinta sama aku."
"I'm so sorry to hear that, Fung." Suara Fajar terdengar simpatik.
"I'm so sorry, Jar."
"Apa artinya itu?"
"Aku masih cinta dia."
"Meski dia nggak akan membalas cinta lo?"
"Kamu sendiri?"
"Gue juga nggak bisa berhenti mencintai lo."
"Dia juga mungkin nggak bisa berhenti mencintai ...
"
Fajar menungguku menyelesaikan kata-kataku. Dia memang
selalu menungguku.
"Aku nggak melihat cinta ini ada ujungnya."
"Kalau gitu, putus ikatannya. Lo akan bisa melihat
ujungnya."
"Apa itu artinya aku harus melepas Kak Fandy?"
"Atau gue yang harus melepas lo?"
"Aku nggak bisa kehilangan sahabat sebaik kamu."
"Kalau gitu mungkin cinta ini memang ditakdirkan
nggak berujung."
"Mungkin memang harus begitu?"
Tak ada kisah tentang cinta
yang bisa terhindar dari air mata
Namun ku coba menerima, hatiku membuka
siap untuk terluka
yang bisa terhindar dari air mata
Namun ku coba menerima, hatiku membuka
siap untuk terluka
Cinta tak mungkin berhenti secepat saat aku
jatuh hati
Jatuhkan hatiku kepadamu sehingga hidupku pun berarti
Cinta tak mudah berganti, tak mudah berganti jadi benci
Walau kini aku harus pergi tuk sembuhkan
hatiJatuhkan hatiku kepadamu sehingga hidupku pun berarti
Cinta tak mudah berganti, tak mudah berganti jadi benci
(Cinta Tak Mungkin Berhenti, TANGGA)
*
* *
"Kak Fandy, bisakah kita berteman seperti dulu,
seperti selama ini sebelum kak Fandy tahu perasaanku?"
Dia tidak menjawab. Dan aku tidak bisa menerka ekspresinya
yang berada di seberang telepon. Aku memilih bicara padanya lewat
telepon saja. Aku pasti tidak akan punya kekuatan untuk menatap matanya
langsung.
"Saya nggak bisa kasih kamu apa-apa, bahkan harapan
sekalipun," Fandy menjawab setelah beberapa lama.
"Aku nggak minta harapan. Aku cuma minta Kak Fandy
nggak menjauhiku lagi. Bisakah menganggapku seperti Fungi yang selama ini Kakak
kenal?"
Fajar bilang tidak akan menyerah terhadapku. Tapi dia
tidak memaksaku. Jadi aku juga belum mau menyerah mencoba membuat Fandy
mencintaiku. Meski aku juga tidak bisa memaksanya.
"Saya nggak bisa memaksamu pergi dari saya kan?"
tanya Fandy.
Aku tercekat.
"Kak Fandy ingin aku menjauhi Kakak?" aku
mengatur suaraku supaya tidak terdengar mencicit dan tetap tenang.
Keheningan panjang dari kedua sisi telepon, membuat
jantungku kebat-kebit, sampai akhirnya Fandy memecah keheningan.
"Besok nonton Breaking Dawn yuk."
"Aku, Fajar dan Kak Fandy?"
Fandy tertawa. Akhirnya aku bisa mendengar suara tawanya
lagi. Suara tawa Fandy masih bisa membuatku berdebar-debar.
"Yeah, kita kan tetap trio kwek-kwek," kata
Fandy terkekeh.
Akupun ikut tertawa. Bukan tertawa karena lelucon Fandy.
Aku sebenarnya menertawakan kisah kami.
Sampai sekarang aku tetap tidak melihat cinta ini ada
ujungnya.
Tanganku kosong, genggamlah
Pundakku kuat, rebahlah
Sampai kapan kau membeku?
Sembunyi di rasa sakitmu
Coba kau cari siapa yang mampu
menunggumu
Akulah orang itu, akulah orang itu
Dan bila ada yang ingin tua bersamamu
Akulah orang itu, akulah orang yang
kau cari
(Kala, FIERSA BESARI)
Makasih buat Fungi yang sudah saya pinjam namanya padahal belum ijin. Cerpen ini juga, sedikit-banyak, terinspirasi dari lagu-lagu kang Fiersa. Jadi sambil membaca cerpen ini, kalian bisa sambil mendengarkan lagu-lagunya. Cek di link berikut ini deh:
Terima kasih sudah membaca, mantemaaaannnn :)
Suka yang ini juga, nama tokohnya sama hahaha...
BalasHapusEntah kenapa cerita ini kok ngena banget:')
BalasHapus