Hari Minggu adalah hari yang paling aku suka, sekaligus paling kubenci. Karena pada hari itu aku bisa menghabiskan waktu bersamanya, dan hanya pada hari itu aku bisa bersamanya. Pekerjaannya sebagai Plant Director sebuah perusahaan food and beverage multinasional dan pekerjaanku sebagai mahasiswi membuat kami sangat sibuk sampai tidak punya waktu bertemu kecuali setiap hari Minggu saja.
Karena hanya satu hari itu yang kami punya, kami berusaha memanfaatkannya dengan baik. Tiap Minggu pagi, aku punya seorang murid les privat yang harus kutemani belajar, maka kebersamaan kami baru dimulai setelah itu. Dia akan menjemputku di rumah muridku saat aku sudah selesai mengajar. Lalu dia akan membawaku ke rumahnya. Tidak seperti pasangan lain yang menghabiskan akhir pekan di mall, bioskop atau theme-park, kami biasa menikmati sepanjang hari Minggu kami di rumahnya.
Dia pintar sekali memasak. Sering sekali ia memasak untuk kami berdua. Aku biasanya hanya membantunya mengupas bawang, memotong wortel atau menghabiskan masakannya. Dia bilang, ada dua hal yang membuatnya senang memasak. Pertama, karena dia senang makan. Kedua, karena dia senang melihatku makan. Dia bisa sangat hilang kendali saat memasak. Dia bisa memasak sepuluh jenis makanan dengan porsi besar padahal hanya kami berdua yang akan memakannya. Lalu dengan semena-mena ia akan menjadikanku kambing hitam.
“Kamu harus bertanggung jawab!” katanya.
“Memangnya saya menghamili siapa?”
Lalu dia akan tertawa sambil menyodorkan semua masakannya ke depan mukaku, menyuruhku menghabiskannya, tidak peduli pada program dietku. Padahal dia sendiri yang selalu memanggilku “pipi bakpao”, tapi dia jugalah yang merusak semua rencanaku untuk menguruskan pipi.
“Kamu tega membuat saya menghabiskan semua ini? Kamu mau lihat hipertensi saya kumat lagi?” selalu begitu ancamannya, membuatku tidak tega.
Tidak jarang juga dia memaksaku belajar memasak padanya. Kuberi tahu kau, kawan, bukannya aku tidak pintar memasak, hanya saja baginya masakanku selalu kurang gula, atau kelebihan garam, atau terlalu banyak cuka. Intinya, dia selalu mengejekku dan mempertanyakan keperempuananku.
“Kamu tuh perempuan atau bukan sih? Kok saya lebih pintar masak daripada kamu?” katanya, sering menyindirku sambil tertawa mengejek.
Kalau sedang sinting, aku membalasnya dengan membuka satu kancing teratas kemejaku lalu berkata: “Mau bukti?”
Lalu dia hanya tertawa sambil bilang “Coba aja buka kalau berani!”
Dia tahu bahwa aku tidak pernah berani meski dia hanya menggertak.
Di hari Minggu yang lain dia memintaku membantunya berkebun. Ini adalah kegiatan yang paling kubenci. Aku suka semua bunga yang ditanamnya di pekarangan rumahnya, tapi kalau harus membantunya mengurus semua tanaman itu, aku sebal. Dia sudah punya tukang kebun untuk merawat semua bunga itu, kenapa harus berkotor-kotor berkebun juga? Apa gunanya membayar tukang kebun kalau kau masih harus berkebun sendiri.
Tapi berkebun dan memasak adalah hobinya. Dan aku terlalu mencintainya untuk menolak menemaninya melakukan hobinya. Akhirnya aku mengalah.
Dulu aku terlalu tinggi hati. Kupikir, selalu aku yang berkorban dan mengalah demi dirinya. Selalu aku yang meng-iya-kan semua keinginannya. Selalu aku yang menuruti semua permintaannya. Selalu aku yang mengikuti semua perintahnya. Aku pikir, dia tidak mungkin bisa mengalahkan rasa cintaku. Tapi belakangan ini aku sadar, sepertinya aku terlalu besar kepala. Dia mengalah sama banyaknya dengan pengorbananku. Bolehkah kalau aku GR bahwa rasa sayangnya kepadaku sama besarnya dengan rasa cintaku padanya?
Minggu pagi kami selalu diawali dengan menonton anime kesukaanku, Chibi Maruko Chan, meski dia sebal sekali pada film kekanakan begiitu. Dia selalu berkata bahwa dia tidak habis pikir mengapa gadis seusiaku masih saja menonton acara semacam itu. Kami memang sudah saling kenal sejak aku lahir, maka dia sangat maklum ketika melihatku yang masih SD tergila-gila pada anime Cardcaptor Sakura. Tapi karena sampai sekarang aku masih menonton anime semacam itu, dia merasa aku tidak normal.
Selain soal tontonan, makanan kesukaan kami juga bertolak belakang. Dia adalah penggemar seafood, sementara aku alergi makanan laut sejak kecil. Pernah satu kali dia memaksaku makan kepiting saos padang kesukaannya. Katanya, dengan membiasakan memakannya sedikit-sedikit, alergiku akan sembuh. Tapi aku baru mencoba segigit saja, lima menit kemudian langsung muncul ruam di wajah dan seluruh tubuhku. Waktu itu aku juga sempat sesak nafas sebelum akhirnya dibawa ke rumah sakit. Sejak itu, dia sangat bertoleransi padaku soal makanan. Setiap dia mengajakku ke restoran seafood, dia akan memesankanku seekor gurame bakar madu yang besar sebagai ganti kepiting yang tidak bisa kumakan.
Sebaliknya, kalau aku alergi makanan laut, dia justru tidak suka dengan susu dan segala produk olahannya. Bukannya alergi, dia hanya tidak suka baunya, sama seperti aku benci aroma duren kesukaannya. Tapi dia tahu bahwa aku suka sekali makan es krim. Maka, berdasarkan insting ke-GR-anku, demi aku dia belajar menyukai es krim. Es krim kesukaannya adalah rasa cappucino, karena dia masih bisa mencecap rasa kopi kesukaannya menutupi aroma susu yang dibencinya.
Satu-satunya kesamaan selera kami hanya kopi. Kami berdua sama-sama pecandu kopi. Kata Ibu, dia yang pertama kali mengajariku minum kopi saat kecil. Awalnya hanya satu sendok kecil tiap pagi, tapi lama kelamaan gara-gara dia, aku tidak bisa berpikir jernih jika belum minum kopi di pagi hari. Dia membuatku menjadi pecandu kopi seperti dirinya.
Dalam suatu hubungan, kompromi dan pengorbanan adalah suatu keniscayaan. Demi yang tercinta kita mengalah. Demi yang tercinta, kita mengkompromikan banyak hal. Tanpa saling menyesuaikan diri, tidak akan ada cinta yang bertahan. Maka sesungguhnya orangtua-orangtua kita yang berhasil melewati hari ulang tahun pernikahan ke 50 tahun bukanlah karena mereka tidak memiliki perbedaan, tapi karena mereka berhasil mengkompromikan perbedaan-perbedaan masing-masing.
Meski demikian, ada hal-hal yang tidak mudah dikompromikan meski cinta tak terelakkan. Meski telah banyak hal yang kami kompromikan, meski telah sering kami mengalah satu sama lain, ada satu hal yang tidak akan pernah bisa kami kompromikan.
Waktu.
Gadis-gadis lain mengalami cinta pertama ketika mereka beranjak remaja. Itu mengapa Ibuku bingung sendiri karena sampai usia 20 tahun ini aku belum juga mengenalkan seorang lelakipun padanya. Bukannya aku terlambat mengalami cinta pertama, aku justru sudah merasakannya jauh sebelum gadis-gadis lain. Aku hanya tidak berani bilang pada Ibu. Aku bahkan tidak berani bilang pada laki-laki itu. Mungkin aku memang tidak perlu bilang pada keduanya. Toh Ibuku sudah mengenal lelaki itu, dan lelaki itu pasti sudah menyadari perasaanku, meski tidak tepat seperti yang kurasakan.
Sejak pertama kali aku bisa mengingat, aku sudah jatuh cinta pada lelaki itu. Jadi kalau mau bicara soal cinta pertama, dialah orangnya. Sampai aku sebesar ini sekarang, belum ada laki-laki lain yang berhasil menggeser posisinya di hatiku. Aku tidak tahu sampai kapan perasaan ini bertahan, meski aku sudah tahu bahwa hubungan kami tidak bisa bertahan selamanya.
Aku sudah tahu kenyataan itu sejak awal. Tapi aku selalu menolak mengakuinya. Sampai suatu hari aku dipaksa mengakui bahwa perbedaan kami terlalu jauh untuk dilampaui. Itu pertama kalinya kami menaiki tangga saat berjalan-jalan di sebuah mall karena elevator terdekat sedang rusak dan kami harus memutar jauh untuk menemukan eskalator. Itu pertama kalinya aku melihatnya terengah-engah menaiki tangga.
“Tunggu dong, naiknya jangan cepat-cepat begitu,” katanya dengan nafas putus-putus. Ia berhenti sebentar di pertengahan tangga.
Dia menarik tanganku. Aku berhenti menaiki tangga, kembali padanya dan menepuk-nepuk punggungnya.
Selama ini kupikir selalu aku yang mengejarnya karena badannya yang tinggi besar sehingga langkahnya lebar-lebar. Aku perlu melangkah dua kali lebih cepat daripada dirinya supaya bisa mengimbangi langkahnya. Untungnya ia tidak pernah keberatan melambatkan langkahnya demi aku. Berkat lelaki inilah aku terbiasa berjalan dengan langkah cepat. Nyaris semua teman lelakiku tidak ada yang bisa mengimbangi langkah kakiku.
Kini, ternyata ia yang harus bersusah payah mengejarku.
“Dulu waktu kamu masih kecil, saya menemanimu naik tangga pelan-pelan. Sekarang kamu malah ninggalin saya. Saya kan sudah tua, nggak sekuat kamu lagi kalau naik tangga. Harusnya tadi kita memutar mencari eskalator,” katanya.
Momen itulah yang menyadarku. Dia kembali mengingatkanku tentang perbedaan kami. Bahwa perbedaan kami bukan hanya soal angka.
Apa ini alasanmu tidak pernah mau benar-benar bersamaku? Apa bersamaku membuatmu sangat kelelahan seperti saat ini?
Aku kembali menepuk-nepuk punggungnya beberapa kali sambil tertawa, menutupi mirisnya perasaanku.
“Maaf,” kataku sambil tertawa. Palsu.
Kamu membalasnya dengan senyuman. Terlihat tulus.
Tidak setiap hari Minggu kami habiskan dengan kegiatan khusus. Kadang kami hanya berdiam di rumahnya seperti hari ini. Aku menunduk di atas tugas-tugas kuliah dan jurnal-jurnal praktikum sementara ia tenggelam di depan laptopnya, mengutak-atik OEE divisi produksi perusahaannya. Laptopnya bergantian memutarkan lagu-lagu Josh Groban dan Celine Dion. Berganti antara New Kids On The Block dan Super Junior. Di depan kami tersedia kue lupis kesukaannya dan tiramisu kesukaanku. Dua gelas cappucino buatanku ada di pusat kesunyi-senyapan kami. Kami asik dengan kesibukan masing-masing. Kalau ada yang berpikir bahwa berakhir pekan seperti ini hanya kesia-siaan, mereka sungguh tidak mengenal arti kalimat “bahagia itu sederhana”. Bagi kami, terutama bagiku, ini kebahagiaan tertinggi yang bisa kuraih bersamanya. Tidak berani mengharap lebih.
Kebungkaman kami terpecah oleh suara bel pintu. Dia memanggil asisten rumah tangganya untuk melihat siapa yang datang.
“Katanya teman Bapak main tenis,” kata asisten rumah tangganya, beberapa menit kemudian.
Dahinya berkerut.
“Namanya Mas Tommy,” lanjut asisten rumah tangganya.
Aku melihat senyumnya. Aku tidak suka melihat senyum itu.
Dia bangkit meninggalkan pekerjaannya, dan aku. Menemui tamunya. Lima menit kemudian, setelah pria bernama Tommy itu berhasil memarkir mobilnya di garasi rumahnya, dia mengajaknya masuk ke ruang tamu.
“Bapak lagi sibuk?” aku mendengar suara lelaki bernama Tommy itu.
Penasaran, aku mengintipnya dari ruang tengah. Lelaki itu hanya beberapa tahun lebih tua daripada aku. Mungkin akhir 20 tahun atau awal 30 tahunan. Tinggi, kurus, berkulit putih dan berwajah oriental. Tampan seperti artis Korea yang aku idolakan.
“Nggak kok. Lagi santai aja,” dia menjawab.
“Hmmm... Bapak lagi ada tamu? Apa saya mengganggu?”
Iya, ada aku disini dan kamu sudah mengganggu hari Minggu kami, kataku dalam hati. Hanya bisa kesal sendiri.
Aku mendengar dia tertawa. “Bukan tamu. Ada keponakan saya di ruang tengah.”
Apa aku sudah cerita, kawan, bahwa dia adalah sahabat ayahku sejak mereka kuliah dulu? Usianya empat tahun lebih muda daripada ayahku, tapi semua orang yang baru mengenalnya pasti mengira usianya baru kepala tiga karena wajahnya yang awet muda. Entah mengapa sampai sekarang dia belum menikah juga, aku tidak ingin tahu. Orangtuaku mengajariku memanggilnya Om, tapi aku selalu tahu bahwa dia tidak pernah menjadi sekedar paman di hatiku. Meski sepertinya, baginya, selamanya, aku adalah keponakannya.
“Mau saya kenalin sama keponakan saya?”
Aku segera membereskan jurnal-jurnal praktikumku yg berserakan. Aku ingin pulang saja. Aku tidak berminat bertemu dengan siapapun di hari istimewa ini. Hari Minggu bukan lagi hari Minggu bagiku kalau ada orang lain di antara kami. Dan entah kenapa aku tidak suka dengan pria tampan bernama Tommy itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar