“Jangan
lagi berusaha menanggungnya sendirian. Berbagilah sama saya.”
“Makasih
ya, kamu selalu mau bantuin saya, meski itu bukan tanggung jawab kamu.”
“Saya
bukan anak kecil lagi. Mulai sekarang, kamu bisa percaya sama saya.”
“Saya
selalu percaya sama kamu. Saya tahu saya selalu bisa mengandalkan kamu.”
“Itu semua demi kamu. I love you, Kak.”
“Hah?”
“I
do.”
“You’re
kidding me.”
“No,
I’m not!”
“Pakai
kacamata, Raka!”
“Apa?”
“Pakai
kacamatamu! Saya bukan Rani, Indah, Putri, Fanny, Hana, Yuri, ...”
“Saya
tahu. Kamu Nida.”
“Jadi,
kenapa saya?”
“Apa
masalahnya?”
“Saya
cuma salah satu diantara mereka kan? Saya bukan mantan-mantan kamu yang
cantik-cantik itu. Kenapa harus saya? Saya bukan satu-satunya buat kamu kan?”
* *
*
“Kamu sadar nggak, Nid? Cuma kamu yang selalu
ada di samping saya sejak kecil.”
“Kan
kita sahabatan dari SD, Bram.”
“Kamu
yang ada waktu saya ketawa, nangis, bete, marah, ...”
“...
dan ngorok pas tidur.”
“Er,
yeah, itu. Kamu ingetnya pas bagian ngoroknya doang.”
“Hahaha.”
“Nggak
ada fans-fans saya yang tahu bahwa saya suka ngorok.”
“Trus
saya harus bangga menjadi satu-satunya orang yang tahu bahwa kamu suka ngorok?”
“Hahaha.”
“Kamu
juga yang ada pas saya butuh teman curhat.”
“Waktu
kamu nangis-nangis gara-gara putus sama Winda?”
“Kamu
yang selalu ada. Dari dulu sampai sekarang. Dan saya nggak mau cuma sampai
sekarang doang. Saya mau selamanya. Jangan pergi dari saya.”
“Emangnya
saya pernah pergi?”
“Cuma
kamu satu-satunya buat saya, Nida. Nggak ada yang lain. Cuma kamu.”
* * *
“Saya
bukan satu-satunya buat kamu kan, Raka?”
“Emang
bukan. Kamu bukan satu-satunya pilihan.”
“Dasar
player. Hahaha.”
“Saya
cinta sama kamu bukan karena saya nggak punya pilihan lain, Kak. Saya memilih
kamu diantara banyak yang bisa saya pilih. Saya membuat kamu menjadi yang terpilih, bukan karena kamu satu-satunya
pilihan yang saya punya.”
“Gimana
kalau ternyata saya bukan pilihan terbaik? Gimana kalau nanti kamu menemukan
yang lebih baik lagi daripada saya?”
“Didn’t you listen to me, Nida? Saya
milih kamu karena kamu yang terpilih,
yang saya pilih. Bukan karena kamu yang terbaik.”
* * *
“Saya
cinta sama kamu, Nida.”
“Jangan
bilang cinta, Bram. Kamu cuma terbiasa bersama saya. Itu cuma kebiasaan, bukan
cinta.”
“Terlalu
terbiasa sampai saya nggak bisa mendefinisikan hidup kalau kamu nggak ada di dalamnya.”
“Kamu
cuma belum mencoba hidup tanpa saya.”
“Saya
nggak bisa hidup tanpa kamu. Cuma kamu yang selalu ada buat saya.”
“Cuma saya. Iya, cuma saya. Sekarang cuma saya satu-satunya pilihanmu. Bayangkan
kalau suatu hari nanti kamu menemukan pilihan lain selain saya.”
“Dan
apa maksudnya itu?”
* * *
“Saya
nggak mau kamu selalu anggap saya sebagai adik atau murid, Kak.”
“I’ve told you I didn’t think you are, Raka.”
“Kalau
gitu, kamu mau jadi teman saya?”
“Saya
kan emang selalu jadi teman kamu.”
“Mau
jadi teman hidup saya?”
“Hah?”
“Jangan
cuma jadi teman saya sekarang. Jadilah teman hidup saya. Selamanya.”
“
...”
“Nida.”
“Raka.”
“Hmm?”
“Segitunya
kamu cinta sama saya?”
* * *
“Jangan terburu-buru bilang cinta, Bram, hanya
karena kamu nggak tahu bahwa ada yang lain yang bisa kamu cinta. Saya nggak mau
jadi pilihan satu-satunya. Saya mau menjadi yang
terpilih diantara banyak yang lain yang bisa dipilih.”
“Apa
kamu punya pilihan lain selain saya?”
“Apa
kamu pikir selama ini saya nggak akan punya pilihan lain?”
“Bukan
gitu.”
“Itu
kenapa kamu merasa saya nggak mungkin pergi? Itu kenapa kamu nggak merasa perlu
memperjuangkan saya?”
“Bukan
gitu, Nid.”
“Jangan
jadikan saya satu-satunya pilihan, Bram, or
worse sebagai pilihan terakhir setelah kamu nggak menemukan yang kamu cari
pada fans-fans kamu itu.”
* * *
“Segitunya
kamu cinta sama saya, Raka?”
“Segitunya.”
“Sebesar
apa?”
“Lebih
besar daripada yang bisa kamu tanggung. Lebih besar daripada yang bisa saya
jawab. Saya mau bertanggung jawab atasmu. Nikah sama saya ya.”
* * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar