Bagi beberapa orang, hujan datang membawa masa lalu.
Bagi Rainy, hujan bukan sekedar tetesan air dari langit.
Hujan adalah penyebabnya ada. Hujan adalah alasannya terlahir di dunia ini.
Hujan adalah masa lalunya, dan entah mengapa selalu menyertai segala hal buruk
dalam hidupnya. Mungkin karena itulah hujan pula menjadi namanya. Mungkin
karena itu pulalah ia membenci namanya sendiri. Karena ia membenci hujan.
Baginya, hujan berarti tangisan langit.
Hanya satu orang yang mampu membuatnya percaya bahwa hujan
bukan tangisan langit, tapi berkah dari Tuhan. Guntur, lelaki
pecinta hujan. Dialah yang mengajari Rainy menikmati warna langit yang mendung.
“Gue nggak suka jadi anak SMA begini.
Seragamnya putih-abu-abu. Kayak warna langit mendung. Kelabu, abu-abu, muram,” kata Rainy suatu
ketika.
“Lihat yang bener, Ray. Mendung itu ada untuk
melindungi manusia dari matahari yang terlalu panas. Mendung itu meneduhkan,” balas Guntur,
menertawakan pendapat Rainy.
“Mendung itu kayak mata sembab yang siap nangis sewaktu-waktu.”
“Mendung itu yang mengantarkan air langit buat bumi. Berkah
dari langit buat makhluk Tuhan di bumi.”
“Tapi hujan bikin banjir.”
“Hujan yang sama juga mengisi sumur-sumur yang kering dan
hutan-hutan yang gersang.”
Rainy menoleh pada sahabatnya. Menatap mata
kelabu lelaki itu. Dan sejak itu dia mencintai warna abu-abu.
Lelaki itu juga yang mengenalkan aroma tanah basah
padanya.
“Tarik nafas yang dalam, Ray,” kata Guntur di hari lain,
di halte bis kampus mereka, ketika menunggu hujan reda.
“Apa?”
“Tarik nafas, pelan dan dalam,” kata Guntur lagi, sambil
menggenggam tangan Rainy.
Rainy menarik nafas, bukan karena mengikuti perintah
Guntur, tapi karena tercekat saat lelaki itu menggenggam tangannya.
“Terasa kan?” tanya Guntur.
“Ap ... apa?”
“Terasa kan? Bau tanah basah.”
“Oh, itu ...” jawab gadis itu singkat, menutupi
salah tingkahnya.
“Bau sejuk kayak gini cuma bisa dinikmati setelah hujan.
Cuma lo yang bisa bikin aroma menentramkan begini.”
“Eh?”
“Cuma hujan yang bisa bikin tanah mengeluarkan aroma terbaiknya.
Cuma hujan. Rainy. Kamu.”
Rainy tertegun.
“Jangan lagi membenci nama lo sendiri, Rainy.”
Lelaki itu menatapnya, serius. Pada mata lelaki itu Rainy
menemukan kilatan cahaya yang membuat hatinya bergemuruh. Dia tahu,
lelaki itu akan menjadi bagian penting dari hidupnya. Dan benarlah firasat
Rainy bertahun-tahun lalu itu. Kini lelaki itu sudah menjadi bagian dari hidupnya, lebih
dari sekedar sahabat atau pacar. Lelaki itu kini adalah keluarganya.
Adik iparnya.
Kini Rainy makin membenci hujan. Warna langit yang abu-abu dan
gelegar suara dari langit selalu membawa kenangan manis tentang cinta
pertamannya. Guntur. Tapi seperti makan makanan yang terlalu manis bisa
menyebabkan sakit diabetes, maka mengenang memori yang terlalu manis kadang
juga bisa menyebabkan rasa sakit yang sama kronisnya dengan diabetes. Membuatmu
selalu ketergantungan pada lagu-lagu patah hati untuk menghilangkan kenangan
yang terlalu manis, seperti halnya pasien diabetes sangat tergantung pada
injeksi insulin untuk menetralisir gula darahnya.
Hujanlah yang membuat Rainy pertama kali
menyadari cintanya pada Guntur. Tapi di hari hujan jugalah Guntur membuatnya
patah hati.
“Sebenarnya, gue udah lama pengen ngomong ini
ke lo, Ray. Tapi gue selalu takut,” kata Guntur suatu hari.
“Eh?”
“Gue mau mengakui perasaan gue. Tapi lo
jangan marah ya?”
Tanpa bisa dicegah, jantung Rainy memompa
darah lebih banyak ke seluruh tubuhnya. Tapi dia berpura-pura tidak berespon
apa-apa.
“Udah lama gue naksir sama Tari, Ray.”
Jantung Rainy berhenti berdetak. Berhenti.
Mentari adalah adik perempuan Rainy. Dua tahun lebih
muda daripada Rainy dan Guntur. Gadis itu memiliki sifat yang berkebalikan dengan
Rainy. Ceria, bersemangat dan meluap-luap,
tepat seperti namanya.
Jantung Rainy berhenti berdetak mendengar
pengakuan Guntur. Dia berharap semua itu hanya ilusi di kepalanya. Tapi
sayangnya otaknya masih berfungsi sangat baik. Nalarnya mulai memutar waktu ke
beberapa bulan belakangan ini.
“Eh, udah lama nggak karaokean. Yuk, Ray!”
ajak Guntur suatu hari.
“Ngapain karaokean berduaan? Mana seru?”
jawab Rainy malas.
“Ajak Tari aja!”
Sejak itulah Guntur makin sering mengajak
Tari ikut dalam acara hang-out
mereka: nonton, karaokean atau makan. Bahkan beberapa kali Guntur datang ke
rumah Rainy saat jelas-jelas Rainy sedang tidak ada di rumah. Ternyata semua
itu cara Guntur untuk mendekati adiknya. Ternyata selama ini Guntur berada di
sisinya hanya demi mendekati adiknya, bukan dirinya.
“Gue selalu merasa bersemangat kalo ngobrol sama Tari.
Leluconnya garing tapi nggak tertebak. Dia selalu datang dengan
kejutan-kejutan. Gue suka,” lanjut Guntur, bercerita dengan mata berkilat-kilat. “Apa gue boleh jadi adik ipar lo,
Ray?”
Terdengar bunyi guntur dan kilatan cahaya dari
langit. Rainy berharap petir itu akan menyambarnya saja hingga mati.
Benarlah kata orang bijak: Tidak
ada yang bisa mencintai seseorang yang tidak mencintai dirinya sendiri. Jadi bagaimana Rainy bisa
mengharapkan Guntur mencintainya kalau Rainy tidak mencintai dirinya sendiri? Maka saat Guntur memintanya
menjadi kakak iparnya, Rainy cuma bisa membalas dengan senyum. Senyum tak
bermakna.
* * *
Terdengar bunyi guntur dan kilatan cahaya
dari langit. Wajah langit sudah sangat kelabu, siap meraung dan membanjiri bumi
dengan air matanya. Rainy mulai menyesal. Sabtu sore, mendung, sendirian.
Harusnya tadi dia berdiam di rumah saja, bukannya jalan-jalan keliling Jakarta
demi menghalau kebosanan.
Rainy menegadahkan telapak tangannya. Setetes
air sampai di telapak tangannya. Ia selalu tepat waktu memprediksi datangnya
hujan. Sesuai dengan namanya.
Ia mengeluarkan payung dari tasnya tepat
sebelum gerimis mulai berlomba turun. Ia segera membuka payung ungunya, seperti
yang juga dilakukan beberapa orang lain yang berdiri di sekitarnya. Mereka
segera membuka payung masing-masing. Tapi pria yang sejak tadi berdiri beberapa
meter di sampingnya tampak tidak membawa apa-apa, termasuk payung. Pria yang
kira-kira berusia 50 tahunan itu tampak agak bingung menghadapi hujan yang
mendadak turun. Tidak ada halte di sepanjang jalan itu yang bisa menjadi tempat
berteduh.
Rainy melangkah mendekat dan membagi
payungnya dengan lelaki itu tanpa berkata-kata. Si Bapak terpana sesaat ketika
menoleh pada Rainy. Rainy membalas tatapan heran itu dengan senyuman sambil
menundukkan kepala singkat.
“Makasih ya Mbak,” kata si Bapak sambil
tersenyum lebar.
Rainy mengangguk sambil membalas senyum Bapak
itu.
“Nunggu kendaraan apa, Pak? Kok dari tadi
nggak cegat angkot apa-apa?” tanya Rainy.
“Nunggu taksi, Mbak. Tapi dari tadi kok nggak
ada taksi lewat sini ya?”
“Kurang tahu, Pak. Saya jarang ke daerah
sini. Mungkin emang jarang. Tunggu aja Pak. Semoga ada taksi lewat sini.”
“Mbak nunggu taksi juga?”
“Nggak, Pak. Saya nunggu mikrolet yang ke
Senen.”
“Angkot yang itu?” Lalu tiba-tiba Si Bapak
menunjuk sebuah mobil biru yang melaju ke arah mereka.
Beberapa orang di sekitar Rainy mengulurkan
tangannya, meminta mikrolet itu berhenti. Setelah mobil biru itu berhenti,
orang-orang tersebut naik ke dalamnya dan mobil itupun melanjutkan
perjalanannya.
“Lho, Mbak nggak naik? Katanya nunggu
mikrolet itu?” tanya si Bapak karena Rainy tidak bergerak sedikitpun.
Rainy tersenyum.
“Hujannya lumayan deras, Pak. Saya tunggu
Bapak sampai dapat taksi.”
Si Bapak mengucapkan terima kasih dan maaf
berkali-kali sampai membuat Rainy tidak enak hati. Dia bukan orang sebaik itu.
Dia hanya tidak tega melihat pria seusia itu kehujanan.
“Masih banyak mikrolet yang akan lewat Pak.
Santai aja,” jawab Rainy.
Ketika lima belas menit kemudian, setelah
lima mikrolet lewat tersia-sia di depan matanya, akhirnya sebuah taksi datang
juga. Rainy memayungi Bapak itu sampai naik ke taksinya lalu membungkuk pamit.
“Mbak rumahnya dimana? Sekalian saja saya
antar naik taksi ini,” kata si Bapak sebelum Rainy beranjak pergi.
“Nggak apa-apa Pak. Saya naik mikrolet aja.
Hati-hati ya Pak.”
Rainy membungkuk sekali lagi, tersenyum, lalu
membantu si Bapak menutupkan pintu taksi. Ketika taksi itu sudah melaju,
barulah si Bapak itu teringat sesuatu. Dia belum mengucapkan terima kasih yang
layak kepada gadis yang sudah menolongnya itu. Dia bahkan tidak tahu nama gadis
itu. Ketika dia menoleh ke arah gadis berpayung ungu itu, dia melihat gadis itu
sedang menaiki angkot yang sejak tadi ditunggu si gadis.
Lelaki tua itu berharap bisa bertemu dengan
gadis itu sekali lagi untuk membalas budi.
Tuhan rupanya mendengar doa lelaki itu.
Beberapa minggu kemudian ia bertemu lagi dengan gadis berpayung ungu itu. Kali
itu di perusahaannya. Gadis itu ternyata melamar sebagai Finance Controller di perusahaannya. Akhirnya si Bapak menemukan
cara membalas budi.
“Jadi, sudah cocok dengan penawaran
perusahaan kami kan? Jadi kapan bisa mulai masuk kerja?” kata si Bapak kepada
gadis berpayung ungu itu.
“Saya ... diterima, Pak?”
“Iya. Kamu diterima,” si bapak menjawab tanpa
ragu, sambil tersenyum lebar.
“Bapak bahkan belum mewawancarai saya tentang
apapun?”
Rainy sudah terkejut untuk kedua kalinya
sepagian itu. Pertama, ketika bertemu dengan Finance Director yang akan mewawancarainya, yang ternyata adalah si
Bapak yang beberapa minggu yang lalu ditemaninya menunggu taksi kala hujan.
Ternyata namanya Pak Arman, Finance
Director perusahaan farmasi yang akan menjadi bos besarnya nanti. Kedua,
ketika tanpa interview terkait pekerjaan,
tiba-tiba Pak Arman sudah menanyakan kapan ia siap bekerja.
“Saya sudah baca CV kamu. Nilai-nilai kuliah
bagus. Sudah berpengalaman di Finance
selama tiga tahun. Hasil psikotest juga cocok.”
“Bapak bukan menerima saya karena kejadian
itu kan Pak?” tanya Rainy curiga.
“Saya bukan bos sebaik itu, Rainy. Saya
bahkan bisa sangat menyebalkan.”
Pak Arman tertawa lebar. Rainy tersenyum
canggung.
“Jadi? Kapan?” tanya Pak Arman lagi.
“Saya harus mengundurkan diri dulu ke
perusahaan saya yang sekarang, Pak.”
“One-month-notice?
Oke. Kalau begitu bulan depan?”
Pak Arman mengulurkan tangan sambil
tersenyum. Rainy membalas tersenyum, lalu menjabat tangan calon bosnya, tanda
sepakat.
* * *
Ternyata benar kata Pak Arman. Dia bukan bos
sebaik itu. Sejak awal pria berkacamata oval itu sudah memberinya tugas untuk
meng-assess proses produksi di
Manufacturing Division.
“Rainy akan menjadi Controller untuk Manufacturing
Division. Project pertama kamu
adalah mempelajari cost efficiency
apa yang bisa kita lakukan di Production
Department,” perintah si bos di hari pertama bekerja, tidak lama setelah beliau
mengenalkannya dengan seluruh rekannya di Finance
Division.
Sejak itu, Rainy lebih banyak menghabiskan
waktunya bersama kru Manufacturing
daripada kru Finance. Rainy bahkan
jadi lebih sering berdiskusi, bertengkar dan berhura-hura dengan Production Supervisor dibanding dengan
bosnya sendiri. Rupanya si Production
Supervisor juga sedang ditekan oleh
Bu Yeni, sang Production Manager, untuk mengefisienkan production cost di departemennya. Jadilah Rainy dan si Production Supervisor merasa menjadi
teman senasib sepenanggungan.
“Gue pikir, lo harus atur schedule produksinya untuk meminimalkan changing-part mesin, Bhas,” kata Rainy
kepada si Production Supervisor.
“Gue juga udah mikir begitu, Rain. Akan lebih
efisien kalo ada line khusus terutama untuk produk-produk unggulan,” jawab Bhaskoro,
si Production Supervisor. “Berapa continous-batch harus kita susun supaya
dapat cost-efficiency yang
signifikan?”
“Hmmm... Belum gue hitung pasti.”
“Kapan gue bisa dapat perhitungan pastinya?”
“Are
you kidding me? Kenapa gue merasa seolah-olah ini tanggung jawab gue
sendiri? Ini kan wilayah kekuasaan lo. Harusnya lo yang lebih tahu kan? Lo udah
hitung lost yield dari masing-masing
tahap produksi belum?”
Bhaskoro melirik jam tangannya. Lalu gantian
melirik Rainy. Lalu tersenyum.
“Rain, lo kelihatan mulai nafsu tuh. Udah
waktunya makan sore kayaknya. Kita makan bakwan malang dulu yuk. Nanti lanjutin
lagi kerja kalau lo udah kenyang. Bahaya nih kerja sama lo kalau lo lagi
kelaparan gini.”
Rainy manyun.
“Ajak Naina yuk,” lanjut lelaki itu membujuk.
Rainy sudah curiga sejak lama. Bhaskoro ini
sepertinya memanfaatkan dirinya untuk mendekati Naina, si Packaging Supervisor. Sering sekali Bhaskoro mengajak Rainy makan
atau nonton hanya untuk kemudian mengajak Naina juga. Mungkin Bhaskoro tidak
berani mendekati Naina secara frontal sehingga membutuhkan dirinya sebagai
perantara atau mak-comblang. Kalau diingat-ingat lagi, kejadian seperti itu
rasanya sudah sering terjadi dalam hidupnya. Dulu juga Guntur melakukan hal
serupa terhadapnya untuk mendekati Mentari. Rainy mulai berpikir, mungkin
dirinya memang ditakdirkan untuk selamanya menjadi perantara kisah-kisah cinta
orang-orang di sekitarnya.
Masih manyun, Rainy mengangkat interphone di sampingnya dan menekan
nomor ekstensi ruangan Naina. Hanya dalam lima detik, interphone di ruangan seberang diangkat.
“Ya, Bhas?” jawab suara Naina.
Rainy menelepon dengan interphone dari ruangan Bhaskoro, wajar saja kalau nama yang
tertera di interphone Naina adalah
nama Bhaskoro sehingga Naina mengira Bhaskoro
yang meneleponnya.
“Ini Rainy, Na.”
“Oh. Hai, Rain! Kenapa?”
Didengar dari cara Naina menjawab telepon,
sepertinya gadis itu sedang sibuk.
“Bhas ngajak makan bakwan malang.”
“Wah! Mau banget!” jawab Naina antusias. Rainy
menekan tombol speaker sehingga Bhas
bisa mendengar suara Naina juga. “Gue juga kelaparan nih. Tapi kerjaan gue lagi
banyak banget. Sebentar lagi line Marchesini mulai packing. Gue mesti nunggu line
preparation beres dulu. Kalian duluan aja. Ntar gue nyusul yow!”
“Oke,” Bhaskoro menjawab. “Gue sama Rainy
duluan ya. Nanti lo langsung nyusul ke Bakwan Malang Cak Su ya!”
“Siap, Bro!”
Interphone di kedua
sisi ditutup. Lalu Bhaskoro menarik tangan Rainy.
“Ayo Rain, cepetan makan. Kita alihkan nafsu
membunuh lo jadi nafsu makan.”
Rainy diam saja ditarik-tarik seperti itu.
Manyun, dia mengikuti Bhaskoro keluar dari ruang produksi. Lalu mereka pergi ke
Warung Bakwan Malang Cak Su yang terletak di belakang gedung kantor mereka.
“Mendung, Bhas,” kata Rainy. Matanya menatap
keluar warung bakwan malang Cak Su selagi mereka menunggu pesanan datang.
“Bakal hujan lebat nih kayaknya,” timpal
Bhas.
Tidak lama setelahnya, gerimis turun dari
langit. Disusul dengan guntur yang menggelegar. Lalu langit menangis makin keras
dan deras.
Ponsel Riany berbunyi tak lama setelah dua
mangkok bakwan malang diantarkan ke meja mereka. Nama Naina tertera disana.
“Hujan, say. Males keluar ah gue. Maaf ya,
nggak jadi ikut kalian makan bakwan malang. Gue nitip aja deh, bungkusin satu
ya,”
Rainy menutup ponselnya lalu menyampaikan
pesan Naina kepada Bhaskoro.
“Hujan emang mengacaukan semua rencana,”
gumam Rainy pelan.
“Ah, nggak juga,” jawab Bhaskoro sambil
tersenyum santai.
Rainy menikmati bakwan malangnya dalam diam
sambil sesekali memandangi hujan yang makin menjadi. Hari masih sore, tapi
langit nyaris segelap petang.
“Lo nggak suka hujan ya?” tanya Bhaskoro
sambil memasukkan sepotong tahu ke mulutnya.
“Hmm?”
“Lo nggak suka hujan?”
Rainy tidak menjawab. Dia memakan baksonya.
“Lucu ya. Nama lo Rainy, tapi lo benci hujan.
Justru gue yang bernama Bhaskoro, malah suka hujan,” kata Bhaskoro, tertawa
pelan.
Rainy mengangkat kepala dari mangkoknya.
“Emang apa arti nama lo, Bhas?” Rainy
tergelitik.
“Matahari.”
Rainy melihat kebanggaan di wajah lelaki itu
saat ia menyebut arti namanya. Wajah lelaki itu memang selalu bercahaya,
menggambarkan sifatnya yang hangat dan ceria. Pantas saja jika kepribadian
seperti itu membuat silau banyak perempuan.
“Bhaskoro. Matahari ... Cocok sama sifat lo,”
kata Rainy.
Bhaskoro tersenyum. Menganggap itu sebagai
pujian.
“Kenapa lo suka sama hujan? Bukannya mendung
saat hujan malah membuat matahari nggak terlihat?” Rainy bertanya penasaran.
Bhaskoro menggeleng. Tetap sambil tersenyum.
“Tanpa ada hujan, nggak akan ada pelangi.”
“Apa?” Rainy tidak mengerti.
“Supaya ada pelangi, matahari harus bertemu dengan hujan.”
Bagi Rainy, hujan
selalu membawa cerita. Hujan kala itu membawanya pada cinta yang baru. Seketika
ia jatuh cinta pada lelaki matahari itu. Tapi dia tahu, kisahnya kali ini akan
sama saja akhirnya seperti cintanya pada Guntur. Bhaskoro sudah menyukai Naina.
Dan tidak mungkin mencintainya.
Rainy tidak
mengerti mengapa ia selalu menyukai laki-laki yang tidak bisa membalas
cintanya. Mungkin itu mengapa ia dinamakan Rainy. Mungkin dia memang sudah
ditakdirkan untuk selalu menangisi kisah cintanya sendiri.
* * *
Rainy tahu bahwa
dia sedang mengulang kisah cinta yang sama menyedihkannya dengan kisahnya dulu.
Dia mencintai laki-laki yang sudah mencintai perempuan lain, dan memanfaatkannya
untuk mendekati perempuan itu. Dia sudah tahu bahwa pada akhirnya dia yang akan
merasa sakit sendiri. Tapi sekarang dia punya pilihan. Dia masih punya
kesempatan untuk melarikan diri dari akhir yang tragis itu.
Rainy bertekad
untuk segera menyelesaikan project-nya dengan Manufacturing Division,
terutama Production Department. Dengan begitu ia tidak perlu lagi
bertemu dengan Bhaskoro. Ini adalah caranya mencegah sakit hati. Namun selagi ia
masih harus terus berhubungan dengan Bhaskoro sampai project mereka
selesai, Rainy memutuskan untuk tidak pernah lagi menerima ajakan Bhaskoro
untuk makan, nonton atau karaoke bareng. Dia tahu, dia hanya akan jadi
perantara untuk memecah suasana canggung antara Bhaskoro dan Naina. Dan Rainy
sudah tahu rasanya, bahwa menjadi perantara bagi orang yang dicintai jauh lebih
menyakitkan daripada cinta yang ditolak.
Dalam waktu
sebulan lebih cepat dari yang ditargetkan Pak Arman, Rainy sudah menyelesaikan
tugas pertamanya. Pak Arman menerima laporan Rainy dengan sangat senang.
“Berapa produk
yang sudah menerapkan sistem ini?” tanya Pak Arman.
“Baru tiga produk
unggulan kita, Pak. Plant Logistic dan Purchasing setuju untuk mengatur jadwal
pengadaan bahan, produksi dan pengemasan untuk 10 batch berurutan untuk
meminimalkan lost-yield dan efisiensi waktu saat machine change parts.”
“Nego sama PL dan
Purchasing itu masih lebih gampang daripada sama QA/QC. Kamu tahu, mereka
selalu cerewet soal GMP?”
“Kami juga sudah
rapat dengan QA/QC, Pak. Mereka sudah memvalidasi proses produksi dan proses
pembersihan. Hasilnya oke. Kita boleh produksi ten-continous-batch.”
Pak Arman tertawa
senang.
“Saya tahu kamu
bisa!” kata Pak Arman memuji.
Rainy mengangguk
dan tersenyum kecil. “Makasih Pak.”
“Project
selanjutnya masih terkait Manufacturing Division. Saya pikir kamu cocok
dengan Bhaskoro dan Naina dari Production Department, eh? Saya mau kamu
meneruskan kerjasama kalian. Kali ini kamu harus menganalisis working hour
di production section dan packaging section. Oke?”
Diluar sedang
hujan. Gemuruhnya terdengar sampai ke ruangan Pak Arman. Dan lebih jauh lagi,
sampai ke hati Rainy. Rainy tidak suka dengan proyeknya kali ini. Di saat dia
ingin menghindari Bhaskoro, kenapa bosnya justru menempatkannya di produksi
lagi?
Hujan. Selalu membawa berita buruk, gumam Rainy dalam hati. Miris.
* * *
“Gue udah
memikirkan caranya, Na.”
Rainy sudah datang
pagi-pagi sekali ke ruang kerja Naina, siap dengan ide dari pencerahan
tiba-tiba yang diperolehnya tadi pagi ketika merenung di jamban. Gadis itu
memang sering aneh, mencari inspirasi di jamban atau dapur.
“Cara apa?” jawab
Naina, masih dengan mata mengantuk karena semalam baru saja menyelesaikan
review 10 batch record yang akan dipakai hari ini.
“Supaya manual
packaging lo cuma butuh 5 orang di line. Kita bisa menurunkan working-hour
sangat signifikan.”
Ogah-ogahan, Naina
mendengarkan Rainy berceloteh tentang strateginya. Tapi tiba-tiba ia memotong
di tengah penjelasannya.
“Eh, Rain, besok
nonton yuk. Bete nih gue. Seminggu ini dimarahin bos mulu. Besok nonton trus
temenin gue belanja yuk,” Naina memotong, tidak sesuai konteks diskusi.
Rainy bengong
sekilas sebelum akhirnya menjawab “Iya aja deh, biar gampang. Ke Plangi (Plaza
Semanggi) lagi kan? Jam berapa?”
Naina lalu
tiba-tiba jadi bersemangat menceritakan rencana film yang akan ditontonnya dan
baju-baju yang ingin dibelinya. Juga parfum dan tas yang sudah diincarnya.
“Jadi, sekarang
gue udah boleh balik lagi ke strategi packaging kita?” tanya Rainy,
menarik kembali Naina dari dunia khayalnya di masa depan.
“Oke.”
Naina kembali tergeletak
di atas meja kerjanya.
Rainy
berkesimpulan, orang yang terlalu banyak bekerja, terlalu banyak belajar atau
terlalu banyak dimarahi bos, kesehatan jiwanya pasti terganggu. Seperti Naina
itu.
Dan hipotesis
Rainy memang benar. Naina memang terganggu jiwanya. Keesokan harinya Naina
tidak datang sesuai perjanjian. Rainy sudah menunggu di XXI Semanggi selama
setengah jam ketika akhirnya dia memutuskan untuk menelepon Naina yang tidak
kunjung datang. Dan yang ditelepon ternyata baru bangun tidur, sodara-sodara
sebangsa setanah air.
“Ini jam 12 siang,
woy! Lo lupa kita janjian?” kata Rainy, bete.
“Oh iya, maaf ya
Rain. Gue lupa. Badan gue sakit-sakit semua nih. Flu juga gue. Maaf ya, lupa
bilang kalo hari ini kita batal nonton,” jawab Naina dengan suara sengau.
Rainy menatap dua
tiket bioskop di tangannnya. Ah, tapi percuma juga dia marah-marah. Menunggu
Naina datang juga tidak membuatnya bisa menonton dengan tiket yang sudah
terlanjur dibelinya.
“Ya udah. Semoga
Senin udah bisa kerja lagi ya Na.”
“Makasih ya Rain.
Sekali lagi, maaf ya. Beneran gue lupa batalin janji sama lo. Maaf banget ya.”
Rainy bergumam
sebentar sebelum menutup ponselnya. Well, karena tiket sudah dibeli, maka
sepertinya ia terpaksa nonton sendiri. Ah, tapi dia sudah biasa melakukannya.
Nonton bioskop sendirian, maksudnya. Dia hanya akan rugi selembar tiket saja.
Untung saja ketika
ia mengantri memberli popcorn sebelum masuk bioskop, Rainy bertemu dengan teman
kantornya yang kebetulan juga ingin menonton film yang sama tapi kehabisan
tiket.
“Gue beli ya tiket
Perahu Kertas lo,” kata Bhaskoro.
“Oke. Syukur deh,
gue nggak jadi merugi gara-gara si Naina pikun,” jawab Rainy sambil mengulurkan
selembar tiket yang tadi dibelinya untuk Naina.
Tepat ketika film
akan dimulai, baru terpikir oleh Rainy. Apa hidup sedang mempermainkannya? Saat
ia selalu menghindari Bhaskoro di kantor, mereka malah dipertemukan di tempat
ini, berduaan pula. Permainan hidup kadang sangat tidak lucu dan sadis.
Selesai nonton,
Bhaskoro mengajak Naina makan sore di salah satu resto di Sky Dining. Langit
mulai gelap, bukan karena sudah petang, tapi tanda akan hujan. Rainy sudah akan
melarikan diri dengan mengatakan bahwa ia ingin buru-buru pulang sebelum hujan
turun. Tapi alam juga tidak mau bersekutu dengannya. Tidak lama kemudian hujan
turun dengan deras.
“Pulang nanti aja.
Gue anter sampe rumah setelah hujan reda,” kata Bhaskoro membujuk. “Temenin gue
makan sore dulu yuk. Laper nih.”
Sebelum menunggu
jawaban Rainy, Bhaskoro sudah menarik tangan gadis itu dan mengajaknya masuk ke
elevator dan membawanya ke lantai 10 Plaza itu.
Karena hujan
deras, mereka tidak bisa menikmati makan sore tepat di bawah langit Jakarta. Mereka
memilih resto dengan kanopi sehingga mereka tetap bisa menikmati suasana outdoor
tanpa kebasahan.
“Si Naina kenapa
nggak jadi janjian sama lo?” tanya Bhaskoro memulai, setelah mereka memesan
seporsi lasagna, semangkok cream soup dan dua gelas lemon tea.
“Lagi sakit. Sakit
jiwa tuh anak, kebanyakan kerja.”
Bhaskoro tertawa.
Diantara hujan selebat itu, tawa lelaki itu benar-benar menghangatkan seperti
matahari. Rainy merasa wajahnya menghangat.
“Sayang ya nggak
ada Naina,” kata Rainy, pahit.
“Biarin aja. Dia
perlu istirahat mental.” Lalu Bhaskoro tertawa.
Rainy balas
tertawa canggung.
“Eh, gue baru
download lagu bagus. Dengerin deh.” Bhaskoro mengeluarkan ponselnya, memasang salah
satu earphone di telinga kirinya dan yang lainnya di telinga kanan Rainy.
“Lagu siapa?”
tanya Rainy, mengatur suaranya supaya terdengar tenang, padahal jantungnya sangat
berdebar-debar menghadapi sikap manis Bhaskoro yang seperti di drama-drama Korea
yang ditontonnya.
“Penyanyi indie
asal Bandung. Lo mungkin nggak kenal. Tapi gue suka sama lagu-lagunya. Dengerin
deh. Bagus banget.”
Tenggelam, memburai mimpi
Sinarnya yang hampir padam
Sinarnya yang hampir padam
Terpapah dan tanpa arah
Biarkan harapan musnah
Hening membersit makna
Tangisan yang tak terlihat
Menuntun jejak yang rapuh
Tinggalkan perih tersisih
“Ini duet?” tanya
Rainy.
Dia langsung suka
dengan lagu itu. Baik suara penyanyi wanita dan lelakinya sama-sama bagus. Dan
sangat cocok dengan suasana hujan saat itu. Rainy juga suka pada pemilihan
diksi lirik-liriknya.
“Yang laki-laki
namanya Fiersa. Suara perempuan itu Vica,” Bhaskoro memberi tahu.
“Apa judulnya?”
“Edelweiss”
Selera musik
Bhaskoro memang tak biasa, tapi Rainy menyukainya. Bahkan setelah lagunya
habis, Rainy meminta Bhaskoro mengulang lagunya. Sambil tersenyum, lelaki itu
menuruti permintaan gadis di hadapannya.
Kali ini Rainy
mendengarkan tiap liriknya dengan seksama. Dan merasa jiwanya tersedot ke dalam
lagu itu.
Bagaimana bila kuterjatuh?
Mata Rainy
tiba-tiba bertemu dengan mata Bhaskoro.
Takkan kulepaskan genggamanku
Rainy melihat
Bhaskoro menggerakkan bibirnya, mengikuti lirik yang dinyanyikan Fiersa, si
penyanyi lelaki.
Bagaimana bila hatiku hancur?
Lalu pada lirik
berikutnya, Bhaskoro bernyanyi dengan berbisik:
Tak kubiarkan itu terjadi
Hujan berhenti
perlahan. Tersisa rintik-rintik kecil. Rainy kini bisa mendengar lagu itu
dengan lebih jelas. Begitu juga dengan suara Bhaskoro.
Pelan-pelan lelaki
itu menyentuh tangan Rainy, menggenggamnya dan melanjutkan bernyanyi:
Dunia takkan selamanya memalingkan wajah
Bawa aku pergi bersamamu tuk melihat
Gunung tertinggi, laut terdalam
Langit terindah, dan berjanjilah
Kau dan aku takkan terpisah
Rainy terpaku.
Tidak tahu harus berbuat apa.
“Gue suka sama lo,
Rain,” kata Bhaskoro ketika lagu berjudul Edelweiss itu selesai diputar
untuk kedua kalinya.
Gadis hujan itu
diam. Terdiam cukup lama. Bingung. Dan membuat lelaki matahari ikut bingung
menafsirkan.
“Bukannya lo suka
sama Naina?”
Akhirnya Rainy
bersuara dan menanyakan hal yang membuat Bhaskoro makin bingung. Lelaki itu
melongo.
“Bukannya lo suka
sama Naina?” Rainy mengulang, “Selama ini lo sering ngajak gue jalan-jalan
supaya gue bisa nemenin lo pedekate ke Naina kan?”
Bhaskoro tertawa
tertahan. Untung disitu banyak pengunjung lainnya sehingga Bhaskoro terpaksa
mengontrol tawanya. Kalau tidak ada orang lain, dia pasti sudah tertawa sambil berguling-guling.
“Pantesan waktu
itu lo nolak gue,” kata Bhaskoro.
“Hah?” Rainy
melongo, tidak mengerti. Kapan dia pernah menolak Bhaskoro? Mendengar
pernyataan cinta lelaki itu saja belum pernah.
“Selama ini justru
gue minta tolong Naina mencomblangi kita, menemani kita supaya gue nggak
canggung ngobrol sama lo. Lo salah paham, Rain,” Bhaskoro menjelaskan.
Rainy terpana,
diam.
“Jangan-jangan, lo
nggak sadar waktu gue nembak lo ya?”
“Hah?”
“Waktu gue bilang supaya ada pelangi, matahari harus bertemu dengan hujan, lo nggak ngerti maksudnya?”
“Maksudnya?
Pelangi kan memang terbentuk karena tetesan air membiaskan ....”
“Jangan pakai
teori fisika deh. Gue bego soal fisika nih,” potong Bhaskoro cepat sambil
tersenyum geli. “Maksud gue waktu itu, tiap gue ketemu lo, hari-hari gue selalu
berwarna-warni, kayak pelangi. Matahari ...”
Bhaskoro menunjuk
dirinya.
“ ... harus
bertemu hujan ...” lalu lelaki itu mempererat genggamannya pada tangan gadis di
hadapannya, “ ... supaya ada pelangi. Cuma di mata hujan, gue bisa lihat
pelangi.”
Mata Rainy
membesar dan berkaca-kaca.
“Kayak sekarang
ini. Lihat deh, ada pelangi.”
Bhaskoro menunjuk
satu sisi langit. Melengkung beberapa baris warna di cakrawala. Pelangi. Kata
pepatah, setelah hujan selalu ada pelangi. Pepatah itu kurang lengkap.
Seharusnya: setelah hujan, asalkan ada matahari, pasti akan terlihat
pelangi. Tidak akan ada pelangi tanpa hujan. Tidak akan ada juga tanpa
matahari. Harus ada keduanya, barulah ada pelangi.
Bhaskoro
memutarkan lagu duet Fiersa-Vica sekali lagi di ponselnya. Dan mereka berdua
mendengarkannya bersama melalui earphone.
Rainy menggerakkan
bibirnya dengan mata masih berkaca-kaca, terharu.
Bagaimana bila kuterjatuh?
Bhaskoro
menjawabnya:
Takkan kulepaskan genggamanku
Rainy meniru suara
merdu Vica:
Bagaimana bila hatiku hancur?
Bhaskoro membelai
lengan Rainy dan berkata:
Tak kubiarkan itu terjadi
Mata bertemu mata.
Matahari bertemu hujan. Rainy tidak pernah lagi menyesal menjadi hujan. Karena
dia memang harus menjadi hujan supaya ketika bertemu si matahari, mereka bisa
bersama menciptakan pelangi.
Dunia takkan selamanya memalingkan wajah
Bawa aku pergi bersamamu tuk melihat
Gunung tertinggi, laut terdalam
Langit terindah, dan berjanjilah
Kau dan aku takkan terpisah
“Jadi istri gue
ya?”
Mungkin bagi beberapa orang, hujan datang membawa kenangan.
Bagi beberapa yang lain, hujan menawarkan masa depan.
Apa kamu siap meraihnya?
* * *
Sambil membaca cerpen di atas, kamu bisa mendengarkan lagunya kang Fiersa Besari feat Vica yang jadi inspirasi cerpen ini.
http://soundcloud.com/fiersa/edelweiss
Selamat membaca dan mendengarkan.
lagunya emang keren, buat pendengarnya hanyut
BalasHapus