Alkisah, di suatu hari saya datang menghadiri syukuran pernikahan
seorang teman. Di sana saya bertemu dengan seorang teman lama. Saya nggak menyangka
akan bertemu dengan dia di sana setelah lama nggak bertemu. Ternyata, dia sepupu
dari suaminya teman saya. Maka, sebagai
teman lama yang sudah lama tak bertemu, bertukar kabarlah kami.
“Kerja dimana sekarang?” dia bertanya memulai.
“Di Depok.”
“Jauh banget. Rumahnya Nia masih di Duren Sawit kan?”
“Iya, masih di sana.”
“Kok jauh banget kerjanya di Depok? Perusahaan apa?”
“Oh, aku nggak kerja di perusahaan. Aku sekarang ngajar.”
“Ngajar? Guru?”
Saya melihat perubahan wajah teman saya itu.
“Guru?” dia mengulangi. “Seriously? Guru?”
“Yeah,” saya menjawab, masih sambil nyengir, meski menyadari perubahan
wajahnya. “Kenapa emangnya? Nggak pantes ya?”
Dia tersenyum. Oh, oke, senyumnya lumayan ganteng meski sepertinya itu jenis underestimating-smile. Sesaat mengalihkan konsentrasi saya.
“Nggak nyangka aja kamu jadi guru. I
mean, kenapa mau jadi guru?”
“Hah?”
“Kamu kan waktu sekolah dulu pinter ... “ katanya. Oh, oke, sekarang saya emang nggak pinter
sih. “Kenapa cuma jadi guru?”
“Ada yang salah kalo jadi guru?”
Dia nggak menjawab pertanyaan
saya dan langsung mengalihkan pembicaraan. Mungkin dia merasa nggak enak sama
saya. Tapi dari percakapan sekilas itu, saya jadi mikir: Jadi kalo orang pinter nggak pantes jadi guru? Jadi yang jadi guru itu
harusnya orang bodoh atau gimana?
“Kamu kerja di mana?” giliran saya yang balik bertanya.
Dia menyebutkan sebuah perusahaan internasional yang bergerak di
perminyakan. Suara dan ekspresinya memperlihatkan rasa bangga. Wajar saja, dia
bekerja di perusahaan bergengsi, dengan posisi dan salary yang oke dan dia jelas bukan tukang minyak tanah :p
Oh oke, dia memang nggak bilang apa-apa. Tapi saya bisa menduga kemudian,
mungkin dia pikir bahwa pekerjaan saya sebagai guru itu bukan jenis pekerjaan
yang prestisius dibanding pekerjaannya yang berpenghasilan besar itu.
Tiba-tiba seseorang datang menghampiri kami dan menyapa saya.
“Kak Nia!”
Yak, dan saya lupa nama anak itu. Tapi saya mengenalinya sebagai salah
satu mahasiswa Farmasi UI. Sok kenal
aja, saya balik menyapa gadis itu. Ternyata
dia adalah pacar dari adiknya suami teman saya. Kamu bingung bacanya?
Oke, forget it.
Ajaibnya, anak itu mengajak saya bersalaman. Dan kami salaman. Lebih
tepatnya, anak itu mencium tangan saya.
Sekarang saya ngerti perasaan bos saya yang suka merasa risih kalau
saya cium tangan beliau. Sementara saya merasa itu sebagai bentuk rasa hormat,
mungkin bos tidak suka saya begitu karena menjadi merasa sangat tua jika saya
melakukan itu padanya, padahal beliau hanya beberapa tahun lebih tua dari saya.
Sekarang saya mengerti, betapa tidak enaknya dianggap begitu tua sampai perlu
dicium tangannya. Saya bertekad, lain kali kalau ada anak Farmasi UI yang cium
tangan pas ketemu saya, nilainya langsung saya diskon 50% *ketawa nenek sihir*
Melihat adegan ajaib itu, teman saya bertanya: “Adik kelasnya Nia?”
“Iya,” jawab saya sambil nyengir risih.
Eh, tapi si anak itu malah menjawab: “Muridnya kak Nia.”
Haissshh,,, terlihat makin tua lah saya.
“Oh, di SMA?” teman saya menduga.
“Nggak Mas, aku udah kuliah. Aku muridnya kak Nia di kampus,” anak itu
menjawab.
Oke, saya tiba-tiba merasa sepuluh tahun lebih tua.
Teman saya melirik saya dengan bingung. “Di kampus?”
“Kak Nia itu dosen saya,” kata anak itu.
Prok-prok-prok. Saya jadi 20 tahun lebih tua.
“Kuliah dimana?” teman saya tampak makin penasaran dan terus bertanya
pada anak itu.
“Farmasi UI.”
Beruntung proses introgasi itu segera berakhir ketika ponsel anak itu
berbunyi. Ia pamit pergi. Lalu saya kembali berduaan dengan teman saya.
“Kamu bilang kamu guru?” teman saya bertanya. Anehnya, kali ini dengan
antusias.
“Emang.”
“Ternyata kamu dosen.”
“Kan sama-sama mengajar.”
“Tapi kan beda. Kamu dosen. Keren.”
Bagi beberapa orang, mungkin profesi dosen terdengar lebih prestisius daripada profesi
guru. Saya bukan tidak bersyukur, tapi bukankah esensi dari menjadi dosen dan
guru adalah sama? Sama-sama mengajar? Hanya subjek pelajaran dan tingkatannya
saja yang berbeda kan? Atau pemikiran saya ini terlalu sederhana.
Tidak lama kemudian teman saya bertanya: “Eh, Nia dateng sendirian?”
“Iya.”
“Nggak sama pacar?”
Oke, ini pertanyaan disturbing nomer satu. Kayaknya di setiap acara
pernikahan selalu ada pertanyaan kayak gini ya?
“Nggak punya pacar. Hehehe.” Saya mau menjawab bagaimana lagi selain
dengan cengiran nestapa, coba?
“Aku juga nggak punya pacar.”
Emang gue nanya?
Meski begitu, saya sedikit bersyukur, saya bukan satu-satunya makhluk
mengenaskan di acara pernikahan ini.
“Eh, boleh minta nomer handphone?” dia bertanya kemudian.
Hmm,,, ini kode bukan sih? Tapi kenapa nggak dari tadi sih nanyanya?
Oh, mungkin karena tadi saya cuma seorang guru, jadi dia nggak tanya nomer
handphone saya?
Saya nyengir sendiri memikirkannya.
Perception can be deceiving,
indeed.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar