"Aku
ingin bersamamu. Selamanya."
"Selamanya
adalah waktu yang lama."
Apa yang kau
lakukan dua puluh atau tiga puluh tahun mendatang, atau mungkin lebih, bersama
orang itu? Satu orang yang sama yang akan selalu kamu temui setiap hari. Yang
kau lihat wajahnya pertama kali saat bangun tidur? Yang kau lihat lagi terakhir
kali saat kau akan rebah?
"Apa
yang akan kau lakukan dengannya setiap hari?"
"Kami
paling suka berjalan-jalan. Kami suka wisata kuliner. Kami juga suka
nonton."
"Hobi
yang asik."
"Tentu
saja."
"Lalu
apa lagi yang biasa kalian lakukan setiap hari?"
"Dia
biasa membangunkanku dengan Ping! di BBM ku. Aku balas mengingatkannya untuk
makan siang. Dia menanyakan apakah aku sampai kantor dengan selamat. Aku balas
mengingatkannya untuk pulang jika sudah terlalu malam."
"Sounds romantic."
"Yeah."
"Apalagi?"
"Aku
suka membaca buku. Dia suka mengoleksi buku. Dia biasa membeli untuk kemudian
diberikan padaku, menyuruhku membaca dan menceritakan isi buku itu
padanya."
"Rasanya
itu yang dimaksud saling melengkapi."
"I think so."
"Apa
saja yang biasa kalian obrolkan?"
"Terutama
pekerjaan. Kami bekerja di bidang yang sama, kau tahu? Kami biasa membicarakan
masalah pekerjaan kami."
"Apa
kalian tidak pernah kehabisan topik pembicaraan?"
"Sampai
saat ini belum."
"Kalau
nanti kalian tidak bisa lagi berjalan-jalan dan berwisata kuliner, bukankah
hidup jadi membosankan?"
"..."
"Kalau
pekerjaan sedang berjalan lancar, apa kalian tidak kehilangan bahan untuk
diobrolkan? Apa kamu tidak pernah kebingungan mencari topik obrolan saat kalian
bersama?"
"..."
"Kalau
membangunkan pagi dan mengingatkan makan sudah menjadi rutinitas, apa kamu
tidak merasa itu sekedar basa-basi?"
"..."
"Apa
kamu tidak akan bosan?"
"Kurasa
tidak. Aku bukan pembosan yang mudah berubah-ubah."
"Lalu,
apa dia juga tidak akan bosan?"
"...
aku tidak yakin."
Pernah suatu ketika aku berteman dengan
seseorang. Bukan, ini bukan jenis hubungan romantis. Kami cuma berteman. Toh
kami memang tidak boleh punya hubungan romantis ditinjau dari semua hal
yang mungkin dipikirkan manusia: ras, agama, usia, gender.
Kami sama-sama memulai dari bawah, dari
kekurangan masing-masing. Lalu kami saling menguatkan dan menyemangati. Aku
rasa itu landasan yang cukup kuat untuk sebuah hubungan pertemanan.
Kami teratur berkirim pesan. Bahkan kepada
ibuku saja aku tidak melapor sedang makan siang dimana dan makan apa. Lalu
tanpa diminta, dia mulai sering membicarakan pekerjaan dan hobinya kepadaku.
Tentang masalah pekerjaan dan teman-temannya.
Aku baru mengira kami bisa mencapai level
berikutnya, persahabatan, ketika kemudian tidak ada lagi masalah besar yang dia
hadapi di pekerjaannya. Tidak ada lagi bagian dari hobi dan teman-temannya yang
belum diceritakan padaku. Tidak ada lagi permasalahan dunia yang cukup menarik
untuk dipusingkan bersama. Tidak ada lagi film bagus untuk kami tonton dan
obrolkan. Tidak ada lagi makanan baru yang perlu kami cicipi bersama.
Dia masih mengirim pesan tiga kali sehari.
Tapi kalimatnya nyaris sama setiap kali. Seperti template message basa-basi. Lalu
lama kelamaan frekuensinya berkurang. Lalu sama sekali tiada, pada akhirnya.
Aku pikir kemiripan sifat, hobi dan
pekerjaan adalah landasan yang cukup kuat untuk sebuah hubungan pertemanan.
Tapi ternyata tidak. Apa karena aku mulai bosan padanya? Tidak. Aku masih
menunggu pesan BBMnya. Aku masih menunggu ucapan selamat pagi dan selamat tidur
darinya, meski aku tidak pernah memulainya jika ia tidak memulainya lebih dulu.
Kurasa justru dia yang bosan. Mungkin karena aku memang jenis makhluk yang
membosankan.
Tidak bisa dipungkiri, kebosanan dapat
hadir pada segala kesempatan. Termasuk dalam sebuah hubungan. Dan tiap orang
punya batas bosan tertentu. Tapi rasanya lebih menyakitkan saat dia
sudah mencapai batas bosannya lebih cepat
daripada batas bosanmu.
"Nanti
kamu pasti bosan denganku."
"Apa
itu cara lain mengatakan kamu bosan denganku?"
"Aku
tidak akan pernah bosan denganmu. Kamu selalu menyenangkan. Kamulah yang aku
khawatirkan. Aku orang yang membosankan. Kamu akan lebih dulu bosan denganku
sebelum aku bosan denganmu."
"Kalau
aku mulai bosan denganmu, apa kamu tidak berusaha membuatku tertarik
lagi?"
"Bagaimana
caranya?"
"Kalau
aku mulai jarang SMS, kamu bisa SMS aku lebih dulu. Kalau aku mulai jarang
mengajakmu nonton, kamu bisa mengajakku nonton. Kalau tidak banyak hal yang
bisa aku bicarakan, kamu bisa menceritakan tentang dirimu."
"Kamu
tahu bahwa aku bukan jenis orang seperti itu. Itu mengapa aku bilang bahwa aku
jenis orang yang membosankan. Itu kenapa tidak banyak yang tahan berteman
denganku. Karena aku membosankan dan tidak perhatian."
"Jangan
memandang rendah diri sendiri. Aku tidak merasa kau membosankan."
"Itu
karena kamu selalu datang padaku dengan segudang cerita. Dan aku pendengar yang
baik. Itu mengapa kamu belum bosan denganku. Bayangkan kalau suatu hari
nanti hidupmu mulus dan lancar. Apalagi gunanya aku yang hanya seorang
pendengar? Kamu akan kelelahan hanya untuk mencari topik pembicaraan denganku.
Kamu akan kelelahan, dan akhirnya bosan."
"Apa
kita tidak bisa bersama dalam diam?"
"Aku bisa.
Kamu?"
"Kamu
pikir aku tidak bisa?"
"Bukankah
kamu memang tidak pernah bisa diam? Bersamaku, ketika semua topik pembicaraan
sudah selesai dibahas, semua film sudah ditonton, semua makanan sudah kita
coba, apa yang akan kita lakukan? Apa yang akan kamu lakukan? Duduk diam di
sampingku?"
"Iya."
"Kamu
akan mati kebosanan."
"Tidak, jika
bersamamu."
"Hal
yang kamu katakan sekarang saat kamu belum merasakan sendiri kebosanan
itu."
"Bukankah
kita bisa melakukan banyak hal bersama selagi kita diam?"
"Menurutmu
begitu?"
"Mau
mencoba?"
Dia mengabaikanku. Selama satu jam dia
tidak bicara padaku. Dia cuma duduk di sebelahku, membuka laptopnya, memasang earphonenya, mengerjakan
entah apa. Aku tidak tahu apa maksudnya.
Aku akhirnya beranjak. Tidak tahan dengan
ketidakacuhannya dan kebungkamannya. Untuk apa dia berada di sampingku kalau
hanya untuk mengabaikan aku? Banyak hal lain yang bisa kulakukan selain
menunggunya bicara.
Aku beranjak. Saat itu akhirnya ia bicara.
"Jangan pergi," katanya.
Seringkali seseorang baru bertindak saat
dihadapkan pada kemungkinan untuk kehilangan.
“Kenapa
pergi?”
“Karena kamu
mengabaikanku.”
“Aku tidak
mengabaikanmu. Aku cuma diam.”
“Jadi untuk
apa kita di sini kalau hanya untuk saling diam?”
“Aku pikir
kita sedang menikmati kebersamaan dalam diam?”
“Lebih
tepatnya, kamu yang sendirian menikmati.”
“Apa kamu
bosan menemaniku?”
“Kau pikir
siapa yang tidak bosan duduk tanpa melakukan apa-apa, hanya melihatmu sibuk
sendiri?”
Dia tersenyum.
“Lihat?” katanya, “Katanya
kau tidak akan bosan denganku? Tapi ternyata, baru saja satu jam kau sudah
bosan. Kau yang lebih dulu bosan, sebelum aku.”
“Apa maksudnya itu?”
Dia menggenggam tangaku dan
menatap lurus ke hamparan rumput hijau di hadapan. Matahari sudah berada di
langit barat, sebagian tertutup awan berarak. Tidak mendung, tidak pula terik.
Angin menggoyang pohon randu, membuat jalanan kotor dengan kapas-kapas mentah.
“Komunikasi adalah hal yang
penting dalam sebuah hubungan,” katanya, “... tapi komunikasi tidak melulu
berarti saling berkata-kata.”
Aku menatap ke samping.
Mendapati bibirnya, yang dibingkai rahang kuat dengan banyak rambut halus di
belakang tulang pipinya, melengkung. Senyumnya mencapai matanya yang berbinar.
“Kalau nanti tidak ditemukan
lagi varian eskrim dan kopi baru, apa kita tidak akan berwisata kuliner lagi? Kalau
nanti sudah tidak ada masalah yang perlu kita obrolkan, apa itu berarti kita
berhenti berkomunikasi? Kalau nanti hidup menjadi sangat lurus, apa kita tidak
bisa belok ke pantai, atau ke hutan? Kalau nanti kita hidup bersama, apa masih
perlu aku telepon kamu sepuluh kali sehari?”
Aku terdiam. Memahami
maksudnya dan menjadi malu sendiri.
“Banyak hal yang bisa kita
lakukan bersama selagi kita tidak berkata-kata,” ujarnya lagi. “Kamu bisa
memasak selagi aku berkebun, misalnya. Kamu bisa menyuapi si bungsu selagi aku
mengajari si sulung membaca. Aku bisa mengerjakan pekerjaan kantorku selagi
kamu menonton serial tivi kesukaanmu. Dan saat kamu asik makan, aku bisa
memotretmu. Kurasa itu bukan ide buruk untuk menghabiskan hidup bersama?”
Kurasa
juga begitu. Tapi aku tidak menjawab.
“Kita tidak mungkin tidak
akan menjadi bosan satu sama lain. Bertemu denganmu setiap hari seperti ini
saja kadang membuatku bosan, apalagi kalau hidup bersamamu sampai tiga puluh
tahun lagi.”
Aku merengut. Dia tertawa.
“Tapi, memangnya kenapa
kalau kita merasa bosan? Rasa bosan kadang lebih baik daripada kehilangan rasa
nyaman saat kamu tidak ada.”
Dia memasangkan salah satu earphonenya di telinga kiriku.
“Lihat apa yang bisa aku
lakukan selagi kita tidak bicara tadi,” katanya sambil menunjukkan laptopnya. “Banyak
hal yang bisa kita lakukan bersama, sambil berbincang atau dalam diam. Jangan
takut bosan. Tetaplah di sampingku.”
Dia memutarkan lagu-lagu
yang tadi dipilihnya. Katanya ia ingin lagu-lagu itu diputar di pesta
pernikahan kami. Dia juga memperlihatkan rancangan dekorasi ruang resepsi dan
makanan-makanan yang tadi dipilihnya.
“Saatnya melakukan hobi
kita, Cinta,” dia melirikku sambil tersenyum nakal, “... mencicipi makanan.”
Angin bertiup, menggoyang
pohon randu, membuat jalanan kotor dengan kapas-kapas. Serupa sakura yang
berguguran ditiup angin musim semi. Serupa salju yang jatuh di atas kepala.
Dia membersihkan kapas-kapas
yang tersangkut di rambutku.
"Aku
ingin bersamamu. Selamanya."
"Selamanya
adalah waktu yang lama."
"Aku rasa itu tidak terlalu lama untuk dihabiskan bersamamu."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar