Apa kamu percaya jodoh?
Aku
selalu percaya tentang jodoh. Meski aku tidak pernah benar-benar percaya bahwa
jodoh terus berlanjut dari kehidupan yang satu ke kehidupan berikutnya, dalam
reinkarnasi. Aku mempercayai hal yang berbeda. Bagiku, hidup di dunia hanya
sekali. Tapi itu bukan berarti jodoh hanya satu. Aku tidak pernah menganggap
jodoh hanya mengacu pada hubungan romansa pria dan wanita yang berujung pada
sebuah pernikahan hingga maut memisahkan.
Itu
mengapa aku merasa kita berjodoh. Meski sejak awal aku bisa melihat dengan
jelas jalan di hadapan yang kita jalani, dan ujung perjalanan ini tidak akan
pernah sampai kemana-mana, aku tetap menganggap kita berjodoh.
Apa
kamu ingat bagaimana kita pertama kali bertemu? Aku ingat.
Apa
kamu ingat bagaimana dulu kita mulai saling bicara? Aku ingat.
Kamu
pasti tidak ingat. Tidak apa-apa. Biar aku ceritakan lagi.
Kamu
datang, tanpa tendensi. Aku menerima, tanpa pretensi.
Kamu
datang, tanpa agenda. Aku menerima, tanpa curiga.
Meski
begitu, aku tidak segera menurunkan tiraiku. Sampai beberapa waktu lamanya,
kamu masih mengira hidupku selalu baik-baik saja. Lama setelahnya baru aku
berani menurunkan pertahananku perlahan-lahan. Karena kamu yang terlebih dahulu
berani membuka wilayah gelap gulitamu.
Apa
kamu ingat bagaimana kita memulai semua ini? Kamu pasti tidak ingat. Tidak
apa-apa. Biar aku ceritakan lagi.
Dulu
aku yang sering menasehatimu dan membesarkan hatimu. Lucu ya, betapa dulu aku
sok bijaksana. Nyatanya, semakin hari kita bersama, justru aku yang banyak
belajar darimu. Makin hari aku makin menyadari, sejak awal aku sama sekali
tidak bijaksana, tidak juga dewasa. Aku cuma berpura-pura begitu. Kamulah yang
sebenarnya lebih dewasa dan bijaksana. Mungkin kamu hanya berpura-pura inferior
supaya aku bisa menasehatimu, lalu kamu ingin aku belajar dari nasehatku
sendiri.
Dulu
aku selalu tertawa-tawa, berpura-pura segalanya baik-baik saja, dan
berpura-pura kuat. Lalu kamu mengatakan bahwa tidak apa-apa kalau orang lain
tahu bahwa kita tidak baik-baik saja. Katamu, kita tidak perlu selamanya
bersikap kuat. Itu kenapa aku mulai sedikit-sedikit membuka sisi gelap gulitaku
di hadapanmu.
Lalu
aku mulai merasa nyaman bersandar padamu. Dan jadi berlebihan. Aku jadi
terbiasa lalu merasa lemah saat tidak bisa bersandar di bahumu. Dan aku jadi
makhluk menyebalkan. Mungkin kamu juga sebal, tapi kamu terlalu memaklumiku
sehingga tidak pernah mengaku bahwa aku memang mulai bersikap manja dan
menyebalkan.
Dulu
aku selalu berpikir bahwa menunjukkan perasaan sama artinya dengan menunjukkan
sisi lemahku yang selama ini aku tutupi. Itu mengapa aku tidak pernah mau
mengakui perasaanku.
Tapi
kamu mengatakan, “Aku juga nggak pernah berani mengakui perasaan sebelumnya.
Tapi di hadapanmu, aku memberanikan diri, belajar jujur sama perasaanku
sendiri. Tapi kamu bahkan nggak pernah mau memulai BBM aku kalau aku nggak BBM
kamu duluan.”
Lalu
aku mulai membuka diri.
Kangen nggak sama aku?,
tanyamu lewat BBM.
Lama
aku menimbang-nimbang sampai akhirnya aku memberanikan diri mengaku, Iya, kangen.
Tapi
kemudian aku menjadi berlebihan. Berlebihan menunjukkan rasa sayangku sampai
kamu merasa risih. Berlebihan cemburu pada orang-orang yang penting bagimu,
karena dengan naifnya aku merasa harusnya aku yang paling penting bagimu.
Berlebihan membuatmu merasa bersalah jika kamu tidak membalas BBMku, padahal
aku seharusnya memahami kesibukanmu.
Aku
menjadi orang yang tidak lebih baik bagimu. Bagi diriku sendiri. Dan bagi
oranglain.
Tapi
sekarang aku sudah sadar. Kamu sedang berusaha membuatku belajar. Iya kan?
Aku
belajar, bahwa tidak apa-apa sesekali menurunkan topeng baik-baik saja. Sesekali.
Tidak apa-apa sesekali menunjukkan perasaan dengan jujur. Sesekali.
Tidak apa-apa sesekali menunjukkan perasaan dengan jujur. Sesekali.
Aku
juga belajar, mungkin tidak apa-apa sesekali berpura-pura tertawa atau berpura-pura
kuat. Karena berpura-pura mungkin awal yang lumayan untuk membiasakan diri,
sehingga suatu saat nanti kita bisa benar-benar
tertawa dan benar-benar kuat.
Terima
kasih sudah datang di kehidupanku. Kurasa kita benar-benar jodoh. Tuhan
mengirimmu untuk membuatku belajar.
Terima
kasih sudah datang di kehidupanku. Tetaplah disini. Jangan hanya mampir. Meski ini permintaan egois, karena kita sama-sama tahu bahwa kita tidak pernah
akan kemana-mana. Tapi jangan pergi.
Terima kasih sudah datang di kehidupanku.
Jangan pergi. Atau bosan.
Jangan pergi. Atau bosan.
Aku
akan menjadi lebih baik. Tidak lagi berlebihan menutup diri, atau berlebihan
menyayangimu.
Terima
kasih sudah datang.
* * *
PING!
Tio
membuka BBMnya.
Fian
: Seharian ini kamu nggak BBM aku?
Tio
tersenyum, menahan diri.
Tio
: Takut kamu masih sibuk.
Fian
: Kita seharian nggak ngobrol, kamu kangen sama aku nggak?
Aku kangen banget. Tapi
Tio mengetikkan jawaban yang lain.
Tio
: Aku baik-baik aja.
membuat teringat pada seseorang kak :-)
BalasHapuskisahnya mirip dengan ini, hahaha