Some people were born
with a heart of genuine snowman
You may hug them under
your thick coat
Build them big furnace
But still their ‘core’
left intact unmelted.
(poem by: Ambar
Mirantini)
Arya Gilang mungkin
memang terlahir demikian. Matahari boleh saja bersinar selama 18 jam seperti
matahari di langit utara saat bulan Juli, tapi Arya Gilang tidak akan mencair. Angin topan
berhembuspun, si manusia salju tidak akan tergoyahkan. Badai boleh saja
memporak-porandakan apapun dan lelaki itu tetap bergeming.
Orang – orang berteriak sekian
ratus decibel saat menaiki roller coaster, tapi wajah Arya tanpa ekspresi. Yang lain mungkin heboh
ketika air membasahi pakaian mereka saat naik arung jeram, Arya hanya akan merasa
basah. Orang
lain berteriak heboh di wahana simulation
theater Dufan, Arya tidur. Saat teman-temannya
berteriak sambil mengangkat tangan dengan gembira di wahana kora-kora, si
manusia salju turun sambil muntah-muntah. Tugas sekolah boleh
bertumpuk, wajah Arya
akan tetap datar. Jalanan boleh macet, Arya
hanya menghela nafas. Hanya
saat banjir melanda, barulah Arya
kelabakan untuk menyelamatkan semua buku-bukunya.
Dan Anfa Gianina membenci dirinya sendiri karena
bisa terpesona pada lelaki sedingin itu.
Sejak pertama kali
melihat Arya sebagai murid baru di sekolahnya, Anfa sudah memperhatikan pemuda
itu. Cowok setinggi 165 cm itu adalah murid baru dengan nilai tertinggi di
angkatannya. Usianya baru 13 tahun ketika masuk SMA, dan anak itu langsung
masuk kelas akselerasi. Dia hanya akan menghabiskan waktu dua tahun di sekolah
itu. Dan itu artinya anak itu akan lulus di tahun yang sama dengan Anfa.
Anfa mengagumi
kecerdasannya, tapi tidak pernah benar-benar tertarik pada anak itu. Postur
tubuhnya yang kurus-kecil seperti anak SMP dan sifatnya yang dingin, membuat
Anfa tidak tertarik untuk mengenal Arya lebih dekat.
Perasaan lain kepada Arya baru
muncul di hati Anfa ketika dia melihat manusia salju itu mencair. Anfa tidak
pernah melihat Arya menunjukkan
ekspresi sebelumnya kecuali saat mereka
menyaksikan bersama dari televisi di
kantin sekolah tentang korban tsunami di Aceh.
Arya meneteskan air matanya saat melihat para korban. Dan Anfa merasa ada gempa
di hatinya ketika melihat air mata itu.
Sejak saat itu,
Anfa Gianina jatuh cinta pada Arya Gilang.
Dengan
cepat cowok berusia 13 tahun itu berubah hanya dalam beberapa bulan saja sejak
pertama kali Anfa mulai jatuh hati padanya. Tubuhnya tidak lagi kurus-kecil
seperti anak SMP. Sekarang dia sudah bertambah tinggi hingga mencapai 175 cm
dalam waktu tiga bulan saja. Punggungnya tegap dan bahunya lebar. Mulai tumbuh
rambut halus di sekitar dagunya, yang membuat dagu Arya selalu tampak kelabu.
Dan ini makin membuat Anfa meleleh setiap kali melihat cowok itu.
Tapi
ada hal-hal yang memang tidak berubah. Atau tidak akan pernah berubah. Sikap
dingin Arya tidak juga menjadi hangat. Si manusia salju belum juga mencair
Rasanya
Anfa sudah mencoba segala cara untuk mencairkan hati Arya. Tapi jangankan
hatinya, mencairkan suasana dengan Arya saja Anfa tidak sanggup. Usahanya yang
terakhir malah nyaris membuat Anfa tidak sanggup lagi memandang wajah Arya.
“Sendirian aja, Ya?” Anfa membuka percakapan dengan gugup.
“Nggak kok,” jawab Arya. Matanya masih terus fokus pada buku yang
dibacanya.
“Sama siapa?” Anfa celingak-celinguk mencari orang lain di sekitar
mereka, khawatir tertangkap basah sedang melancarkan aksi PDKT.
Arya mengangkat wajahnya dari bukunya
lalu menatap Anfa. Yang ditatap jadi salah
tingkah. Mata dibalik kacamata itu benar-benar bisa menyihir. Arya kemudian menunjuk dirinya sendiri, lalu menunjuk Anfa.
“Kita berdua kan? Jadi gue nggak
sendiri,” kata Anfa, cool.
CRAP!
Anfa mencoba tenang. Sambil nyengir, Anfa berusaha agar tidak mati gaya.
Sial, tadi dia memilih cara berbasa-basi yang sangat basi.
“Cuacanya cerah ya?” Anfa mencoba
cara lain. Ini adalah standar percakapan pembuka yang dipelajarinya dari
sinetron-sinetron Indonesia. Dan biasanya cara ini selalu berhasil membuka
obrolan ...
“Masa sih? Mendung banget tuh.
Bakal hujan gede ini mah,” jawab Arya sambil menengok ke langit.
CRAP! CRAP!
... kecuali kalau cuaca sedang sangat tidak mendukung.
Pelajaran moral nomer 33: mata harus lebih tangkas dari otak, dan otak
harus lebih cepat daripada mulut. Kalau nggak pakai mata dan lupa menggunakan
otak sebelum bicara, ya begitu itu kejadiannya. Selamat menikmati!
Pelajaran moral nomer 34: jangan percaya sinetron-sinetron Indonesia! Musyrik
namanya. Percayalah hanya kepada Tuhan. Dan untuk referensi adegan romantis, lebih
disarankan menonton drama Jepang dan Korea.
Mengumpulkan sisa-sisa serpihan rasa malunya, Anfa masih belum mau
menyerah. Dia mencoba cara terakhir.
“Lu rajin banget sih Ya, belajar terus. Pantesan lo pinter banget,” Anfa mencoba mengambil hati Arya.
Arya menutup bukunya. Menatap Anfa dengan dahi berkerut. Itu jenis tatapan yang bisa membuat gadis manapun meleleh.
“Lupa pake kacamata ya?” tanya
Arya kemudian.
Anfa gantian
mengernyit,
tidak tahu apa maksud pertanyaan Arya.
“Gue nggak pakai kacamata,” jawab Anfa
dengan wajah bingung.
“Mungkin mulai sekarang, lu butuh
kacamata,” kata Arya sambil sambil bangkit dari duduknya.
Sebelum
meninggalkan Anfa, Arya mengangkat buku yang sejak tadi dibacanya, tepat di depan muka Anfa.
“Ini bukan buku kimia,” katanya Arya dengan suara datar. “Ini komik, kak.”
CRAP! CRAP! CRAP!
Anfa sudah tidak punya lagi serpihan rasa malu untuk dikumpulkan. Memangnya dia masih bisa lebih
malu daripada itu? Rayuan gagal! Ditambah lagi Arya memanggilnya “kak” dengan wajah datar dan bosan. Dengan tepat membentangkan jurang yang teramat
lebar diantara mereka. Anfa langsung ingin terjun bebas ke jurang itu. Berharap
kemudian jurang itu akan menutup dan bumi menelannya bulat-bulat.
Tiga kali usaha! Tiga kali gagal total! Tiga kali malu! Anfa merasa tidak
akan sanggup lagi memandang wajah Arya.
* * *
Semua orang mengatakan bahwa Arya
adalah manusia berdarah dingin. Tapi Arya sendiri tidak mengerti mengapa semua
orang berpikir begitu. Arya menganggap dirinya masih punya perasaan dan tidak
sedingin yang orang pikir. Dia hanya tidak terbiasa mengekspresikan apa yang dirasakannya.
Dia terbiasa menyimpan segalanya untuk dirinya sendiri.
Arya tumbuh di keluarga yang tenang
dan damai. Terlalu tenang dan damai, malah. Arya sendiri sering bertanya-tanya,
bagaimana dulu kedua orang tuanya bisa menikah karena ayah dan ibunya adalah
dua makhluk sangat pendiam sehingga terciptalah Arya sebagai perpaduan absolut
pembawa gen dominan keheningan. Jika ditanya tentang proses pacaran mereka, ibu
Arya hanya akan tersenyum malu-malu, sementara ayah Arya hanya akan menjawab
“Cinta tidak perlu dikatakan, tapi dibuktikan” dengan
tampang datarnya yang memerah. Sejak itu Arya malas menanyakan sejarah
pertemuan dua orang yang bisa saling memahami tanpa menggerakkan bibir itu.
Berdasarkan teori itulah karakter
Arya terbentuk. Dia pikir orang lain juga bisa memahaminya meski dia tidak
banyak bicara. Namun demikian Arya memandang dirinya terlalu rendah, karena
ternyata kemampuan-diam Arya di atas manusia normal. Dia bahkan mampu tidak
bereaksi pada hal semengejutkan apapun. Hal itulah yang menyebabkan teman-teman
Arya menjulukinya manusia salju.
Tidak ada yang tahan berlam-lama di
sisi manusia salju karena mereka akan langsung merasakan kebekuan yang menguar
dari Arya.
Hanya ada satu orang yang mampu
bertahan menghadapi kebekuan Arya Gilang:
Anfa Gianina.
Some people was born as sunflower.
And when she smiles, spring comes,
All sad disappear.
Beberapa orang rupanya memang
terlahir sebagai penggembira.
Anfa Gianina adalah salah satu
contohnya. Gadis itu ibarat bunga
matahari. Warna kuningnya membuat orang yang melihatnya menjadi bersemangat.
Dia punya senyum yang menular. Dan kalau matahari sedang tertutup mendung,
melihat bunga matahari bisa mengganti keceriaannya. Itulah Anfa.
Dan Anfa percaya,
meski dia bukan matahari yang bisa mencairkan si manusia salju, tapi suatu hari
musim dingin akan berakhir dan salju pasti akan mencair. Dan ketika musim semi akan datang, Anfa sudah berada di sana,
siap untuk mewarnai musim semi dengan kelopaknya.
Seperti bunga matahari yang selalu mengarah pada matahari.
Seperti juga aku. Padamu.
Meski Arya tidak mengetahui
perasaannya, tapi Anfa tetap berusaha agar bisa selalu di dekat Arya. Segala cara dilakukannya
agar bisa tetap bersama Arya, apapun caranya, meski harus menerobos rintangan
sesulit apapun.
Ketika mengetahui bahwa Arya diterima di Fakultas
Kedokteran UI melalui jalur PPKB,
Anfa tidak mau kalah. Anfa bertekad untuk lulus
SPMB FK UI bisa kuliah di tempat yang sama dengan Arya. Dia tahu bahwa kuliah
kedokteran tidak akan mudah, karena meliputi serangkaian pelajaran hafalan yang
tidak pernah bisa dikuasai Anfa. Tapi
dia tidak akan menyerah. Anfa sudah sengaja memilih jurusan IPA saat di SMU
untuk menghindari segala tetek-bengek pelajaran hafalan seperti sejarah atau
geografi. Tapi nampaknya dia tidak bisa menghindar lebih lama dari pelajaran
hafalan jika dia ingin menjadi seorang dokter.
Bahkan menjelang
SPMB, untuk terakhir kalinya, adik Anfa
menanyakan kembali keputusan kakaknya yang berkeras memilih FKUI.
“Kak, lu yakin tetep mau pilih FK?
Lu kan bego kalau suruh menghafal. Dan nyaris semua mata kuliahnya nanti
hafalan lho kak. Lu lebih pantes masuk Teknik deh.”
Anfa langsung menyikut pinggang Andi, adik lelakinya, dengan keras karena
telah mengejeknya bodoh. Well, Anfa
memang tidak benar-benar yakin bahwa dia kuat menghadapi segala mata kuliah
hafalan sejenis Biologi nantinya, tapi dia cukup yakin bahwa dirinya bisa masuk
FKUI dengan nilai-nilai Matematika, Kimia dan Fisikanya yang mumpuni.
Segera setelah berhasil menjadi
mahasiswa baru FKUI, bahkan sebelum masa OSPEKnya benar-benar berakhir, Anfa sudah
mulai merasa frustasi.
Belakangan Anfa jadi menyesali
pilihannya sendiri. Berada di kampus yang sama dengan Arya tidak lantas
membuatnya bisa selalu bersama Arya. Dia hanya bisa bertemu Arya di kelas dan laboratorium.
Berharap bisa bertemu Arya di luar kelas, sama sulitnya
seperti menghapal mekanisme obat-obat beta-blocker.
Bahkan probabilitas Anfa untuk bisa mendekati Arya nyaris sama mustahilnya
seperti probabilitasnya untuk tidak pingsan saat harus membedah kadaver. Setiap
kali bertemu di kampus, Arya hanya akan meliriknya dengan tatapan datarnya
(seperti selalu) yang akan dibalas Anfa dengan senyumnya. Hanya itu.
Dan Anfapun makin terpuruk bukan
hanya karena dia tidak bisa selalu bersama Arya, tapi juga karena tugas-tugas
kuliahnya yang banyak dan membuat frustasi. Belum pernah Anfa
merasa begitu merana dalam belajar sebelum dia masuk FKUI. Ternyata hampir
semua mata kuliahnya memerlukan kemampuan menghapal tingkat tinggi. Nilai-nilai
semester pertama Anfa tidak seperti yang diharapkannya. Dia terbiasa berada di
peringkat atas selama 12 tahun sekolah, sehingga ketika dia tidak lagi menjadi
mahasiswa top di kelasnya, Anfa langsung merasa gagal. Apalagi ditambah fakta
bahwa nilai yang diperolehnya itu juga berkat bantuan Azka, teman sekelasnya,
yang selalu membantunya belajar dan menghafal selama masa-masa ujian. Jadi bisa
dibilang, Anfa tidak sepintar itu di bidang kedokteran. Dan Anfa tidak menyukai
kenyataan itu.
Mengingat ritme kuliah, praktikum
dan OSPEK yang padat di fakultas kedokteran yang membuat masing-masing
mahasiswa sibuk sendiri, Anfa awalnya tidak benar-benar berharap ada yang bisa
membantunya melalui semua itu. Tapi beruntung
di dalam semesta dunia Anfa, Tuhan mengirimkan peri penolong untuknya.
Hari itu adalah hari pertamanya
ujian tengah semester. Mata kuliah farmakologi dasar. Semalaman Anfa telah
berjuang keras untuk menghapal, tapi hanya lima puluh persen dari bahan ujian
yang bisa dihapalnya. Ketika dia datang jam 8 pagi keesokan harinya, dia
melihat teman-temannya sudah membentuk barisan-berani-mati di sepanjang koridor
menuju ruang ujian, padahal ujian baru dimulai jam 9 pagi. Masing-masing sibuk
dengan hapalannya sendiri, membuat Anfa makin panik dengan kualitas dan
kuantitas hapalannya.
Anfa menyusuri koridor dan
menemukan satu petak lantai kosong di samping teman sekelasnya. Dia menyapa
“Hai Azka,” sekilas. Setelah melihat senyum pemuda itu sebagai jawaban atas
sapaannya, Anfa duduk di sampingnya.
“Udah
hapal, Ka?” tanya Anfa basa-basi.
“Nggak juga. Ini masih ngapalin
kok. Lo udah hapal, Fa?”
Anfa menggeleng sambil nyengir
miris. Pemuda itu membalas dengan senyuman simpatik. Membuat Anfa sedikit merasa lega bahwa dia bukan
satu-satunya orang yang belum berhasil menghapal. Tapi setelah
lewat lima menit duduk di samping
Azka, dan mendengar Azka bergumam menghapal, Anfa malah makin panik. Ternyata jawaban “nggak
juga” versi Azka berarti bahwa dia “baru-hapal-sembilan-puluh-persen”. Cowok
itu menggumamkan hafalannya dengan lancar, tanpa tersendat err-err, dan tepat
seperti yang tertulis di buku.
Benar-benar membuat Anfa takjub dan jiper. Tapi kemudian Anfa memiliki akal untuk memanfaatkan
kepintaran temannya itu.
“Ka, suara lo pas ngapalin bisa diperbesar
nggak? Gue pengen nguping dong,” kata Anfa,
dengan
cengiran merayu.
“Hah?”
Anfa adalah seorang audio-learner. Dia akan lebih mudah mengingat dan mempelajari
sesuatu yang didengarnya.
Maka ketika ia bertemu dengan Azka
yang selalu menghapal pelajaran dengan cara berbicara,
Anfa langsung merasa klop. Sejak saat
itu Anfa memutuskan untuk selalu mengekor Azka setiap kali menjelang ujian.
Selain suka
melafalkan pelajaran yang dihapalnya, Azka juga menjelaskan kepada Anfa
sambil mencoret-coret sesuatu di buku catatannya.
“Gue tuh visual-learner. Makanya
gue menghapal sambil
menggambar. Nanti pas ujian, gue bisa ingat dengan apa yang gue hapal hanya
dengan mengingat gambar yang tadi gue coret-coret itu,” kata Azka saat Anfa
menanyakan mengapa cowok itu bergumam sambil menggambar sketsa kebun kampus.
Dan sketsa yang dibuat Azka sungguh bagus menurut Anfa.
Belakangan, Anfa baru menyadari
bahwa dia juga jadi lebih mudah mengingat hapalan materi kuliahnya saat berada
di ruang ujian ketika dia teringat sketsa yang dilukis oleh Azka. Ketika menjawab soal ujian tentang mekanisme kerja
sitokrom P450, Anfa teringat pada gambar Dewi si kucing yang digambar oleh Azka
saat menggumamkan hapalannya. Karena itulah dia bisa menjawab pertanyaan itu.
Memasuki semester
kedua, Anfa mulai merasa benci pada dirinya sendiri. Dia adalah mahasiswa
kedokteran, tapi tidak ada satupun mata kuliah fisiologi dan patologi yang
dikuasainya. Sejak dulu dia sudah tahu bahwa dirinya tidak pandai menghapal.
Menghapal adalah kelemahannya. Sementara menghitung justru adalah kelebihannya.
“Lo salah masuk
jurusan deh kayaknya, Fa,” kata Azka suatu ketika, saat mereka sedang menghapal
bab kardiovaskular bersama. Anfa rasanya ingin melompat saja ke dalam sumur
daripada harus menghapal segala tetek-bengek ini.
Tanpa diberitahu,
Anfa sudah tahu diri. Dia memang tidak seharusnya menjadi mahasiswa kedokteran.
Dia tidak bisa mengahapal dengan baik semua ilmu-ilmu menakjubkan yang
diajarkan disana.
“Lo bahkan mengajar
les privat untuk pelajaran fisika, bukannya biologi,” lanjut Azka.
Anfa memonyongkan
bibirnya.
“Lu lebih cocok
masuk fakultas teknik, Fa!”
Itu juga yang dibilang si Andi, Anfa teringat kata-kata adiknya setahun lalu.
“Kok lo milih masuk
Kedokteran sih Fa?” tanya Azka kemudian. “Bukan gara-gara niat mulia untuk
menyelamatkan umat manusia kan?” Azka menyindir sambil tertawa, menertawakan gurauannya
sendiri.
Anfa makin
tersindir. Dan saat tersindir, bibirnya akan makin manyun.
“Pasti gara-gara
cowok deh. Lu nekat masuk FK demi Arya ya?”
Anjrit! “Kok lo
tahu?!” Anfa kelepasan bicara.
Dahi Arya berkerut.
“Jadi benar, lu jatuh cinta sama Arya?”
“Jangan ngetawain
gue deh, Ka!” Anfa mengancam dengan wajah merah. Dia sudah bersiap menghajar Azka
kalau cowok itu menertawakannya. Tapi ternyata cowok itu sama sekali tidak
tampak seperti akan tertawa. “Sekarang gue udah nggak naksir lagi, kali.”
“Yang bener?”
“Farmakologi udah
bener-bener mengalihkan dunia gue deh, Ka. Arya serta merta lewat dari pikiran
gue sejak makhluk bernama farmakologi ini mengusik pikiran gue,” jawab Anfa
dengan gaya lebaynya yang normal.
“Kalau gitu, lu
pindah aja deh ke Teknik deh Fa.”
“Yeee, ni anak
malah ngusir gue. Lo udah nggak betah ngajarin gue ya Ka? Lo sebel banget ya
belajar bareng gue? Gue ngganggu banget ya?”
“Eh, jangan sensi
gitu dong Neng. Santai!” potong Azka buru-buru. “Bukannya gue nggak mau lagi
ngajarin lo. Tapi lo bakal jadi cum
lauder di Teknik, Fa. Dan kalau lo terus-terusan belajar farmakologi dan
anak-cucunya, dunia lo akan teralihkan semuanya. Mungkin gue juga cuma bakal
lewat doang di pikiran lo.”
Anfa bengong. Azka
tersenyum kikuk.
“Gue suka sama lo,
Fa.”
Dunia Anfa berhenti
berputar. Dan tiba-tiba dia melihat warna jingga lain selain warna matahari
yang selama ini membuat matanya silau. Warnanya hangat, tapi tidak menyilaukan.
Seperti kamu yang baru tahu rasanya memiliki ketika
sudah kehilangan. Kamu baru akan tahu rasanya diabaikan setelah kamu dicintai.
Selama ini Anfa
sudah berusaha menjadi bunga matahari yang paling warnanya mencolok diantara
bunga-bunga lainnya, yang tumbuh lebih tinggi daripada bunga lainnya, dengan
kelopak yang lebih besar daripada bunga lainnya. Dia selalu condong kepada
mataharinya. Berharap sang matahari menoleh padanya.
Anfa sudah berusaha
menjadi lulusan terbaik nomer dua di sekolahnya, demi bisa mengimbangi prestasi
Arya sebagai lulusan terbaik dan lulusan termuda di sekolah mereka, karena
lulus SMA pada usia 15 tahun. Anfa juga berusaha sekuat tenaga menguasai
biologi demi bisa menjadi mahasiswa FKUI agar bisa selalu bersama Arya. Dia
bahkan merelakan hobi tidurnya demi bisa menghapal biomedik dan farmakologi,
demi bisa bertahan di fakultas kedokteran bersama Arya. Tapi rasanya semua
usahanya itu tidak pernah cukup untuk membuat Arya bisa melihat ke arahnya.
Lelaki itu tetap mengabaikannya, dan memandangnya dengan datar. Hatinya tetap
dingin, tidak juga mencair, bagaimanapun Anfa mencoba menghangatkannya. Dan
terlalu lama berusaha berada di sisi Arya, alih-alih berhasil membuat hati Arya
mencair, Anfa justru merasa hatinya makin membeku.
Belakangan Anfa
mulai menyadari, bahwa matahari memang berada terlalu tinggi, sehingga tidak
mungkin menyadari keberadaan setangkai bunga matahari, meski dia sudah berusaha
tumbuh menjadi yang paling tinggi. Berusaha berkeras mengikuti si matahari
hanya membuat si bunga matahari merasa kesilauan sehingga tidak bisa melihat
hal lain di sekitarnya. Ketika akhirnya si bunga matahari sudah merasa terlalu
silau mengikuti arah matahari, dan dia memutuskan untuk mengalihkan
pandangannya, dia baru sadar bahwa ada kupu-kupu yang sudah lama berkeliaran di
sekitarnya.
Azkalah si
kupu-kupu bersayap jingga itu. Lelaki itu punya pembawaan yang hangat dan
lincah. Ibarat sayap kupu-kupu yang sewarna matahari, Azka memiliki tawa yang
bisa menghangatkan hati setiap orang yang mendengarnya. Di dekat Azka, Anfa
bisa merasa menjadi dirinya sendiri, si bunga matahari, tanpa merasa silau.
* * *
“Udah selesai
operasinya?” tanya Anfa di telepon. Dia menambahkan garis terakhir di buku
sketsanya, lalu berguling di tempat tidurnya.
“Baru aja selesai.”
“Habis ini langsung
makan ya. Pasti kamu belum makan malam kan? Jadi dokter itu ternyata profesi
yang rawan penyakit ya. Padahal kamu selalu ingetin aku buat jaga kesehatan.”
Terdengar suara
tawa di seberang telepon.
“Iya, Anfa sayang. Abis ini aku makan. Kamu
udah makan kan?”
“Udah dong.”
“Sekarang lagi
ngapain?”
Anfa melirik buku
sketsanya. Dia menjawab sambil tersenyum. “Lagi bikin desain rumah kita nanti.”
Suara tawa
terdengar lagi dari seberang telepon.
“Nggak salah deh
aku punya calon istri seorang arsitek. Jadi nggak perlu bayar jasa arsitek lagi
buat mendesain rumah.”
“Ih, dasar! Azka
tuh dari dulu nggak berubah ya. Tetep aja pelit.”
Lagi-lagi suara
tawa itu terdengar di telinga Anfa. Dan seperti selalu, suara tawa itu
menyebarkan kehangatan. Tidak membuat silau. Hanya menghangatkan dan
menentramkan.
Kadang kamu baru
tahu apa itu rasanya dingin setelah kamu merasakan kehangatan. Dan kamu baru
tahu rasanya diabaikan, setelah merasa dicintai.
Anfa kini
menyadarinya. Sekarang dia tahu rasanya dicintai.
Banyak jalan menuju
Roma. Dan terkadang kamu harus mengambil jalan memutar hanya untuk bertemu
dengan teman seperjalananmu di tepi jalan itu.
Anfa merasa harus
berterima kasih kepada Arya Gilang. Kalau bukan demi mencairkan hati sang
manusia salju, si bunga matahari tidak akan memutar jalan untuk mencari sang
matahari. Dan kalau dia tidak pernah mengambil jalan itu, andai ia tidak
mengejar Arya sampai ke Fakultas Kedokteran, Anfa tidak akan bertemu dengan Azka.
* * *