Tiara membuka
tirai jendela ruang rawat VIP itu dan cahaya matahari pagi menerobos masuk ke
ruangan itu. Kemudian dia membuka jendelanya, dan udara pagi yang segar
perlahan berhembus masuk. Tiara
membalikkan badan dan tersenyum pada seseorang yang terbaring di tempat tidur.
“Kamu datang terlalu pagi, Tiara!” sapa
orang di tempat tidur itu. Namun, meski kata-kata orang itu terdengar seperti
sebuah protes, dia tetap tersenyum pada Tiara.
“Bapak yang bangun terlalu siang,” balas Tiara tidak
mau kalah. Dia tersenyum sambil menarik sebuah kursi ke samping tempat tidur
dan duduk di situ.
“How’s
your week?” tanya lelaki
itu kemudian. “How’s your job?”
“Hectic.
Rusuh. Nggak karuan, as always. But great,” jawab Tiara sambil nyengir. “And how about yours?”
“Bosan,” jawab lelaki itu
sambil merengut.
Tiara tersenyum
maklum. Sebulan terkurung di kamar ini, dengan hanya sesekali keluar, pasti
membuat orang frustasi.
Saat itu seorang
perawat memasuki kamar rawat tersebut dan membawakan sarapan untuk sang pasien.
Setelah berpesan pada Tiara agar memastikan pasien yang bandel tersebut
menghabiskan sarapannya dan meminum
obatnya, perawat itu pergi sambil tersenyum dan geleng-geleng kepala.
Setelah sang
perawat keluar kamar, Tiara nyengir nakal pada sang pasien.
“It will break the Standard Operating
Procedure, but it will be fun. Wanna try, Sir?”
Sang pasien nyengir lebih nakal lagi.
“Absolutely,” jawabnya dengan suka cita.
Tiara
segera melancarkan strateginya untuk menyelamatkan lelaki itu dari kebosanan.
Lelaki yang selalu menjadi bosnya di kantor. Lelaki yang usianya 20 tahun lebih
tua darinya. Lelaki yang selalu menyayanginya seperti anak sendiri. Lelaki yang
dicintainya ... bukan seperti ayahnya.
Arman
Permana, namanya.
“Hari ini kamu kelihatan lain,” kata Pak Arman akhirnya.
“Oh ya?” Tiara malah
balik bertanya.
“Lagi ada masalah?”
“Nggak ada, pak,” jawab Tiara mengelak.
“Masalah kantor? Atau pribadi?”
“Nggak ada apa-apa, Pak.”
“Saya boleh tahu? Mungkin saya bisa bantu?” Pak Arman tidak peduli
pada jawaban Tiara yang mengelak itu.
Tangan Tiara berhenti mengupas apel. Lalu dia menjawab pertanyaan Pak
Arman sambil tetap menunduk.
“Semalam Valdi melamar saya,” jawab Tiara sambil
melanjutkan kembali mengupas apel di tangannya. Kepalanya masih menunduk karena
tidak berani melihat wajah Pak Arman.
Suasana hening seketika. Memang menegangkan, tapi Tiara memang tidak
mengharapkan komentar apa-apa. Dia bahkan tidak tahu harus mengharapkan
komentar seperti apa.
“Bagus kan kalau gitu. Jadi kenapa muka
kamu murung gitu?”
Kata-kata yang diucapkan Pak Arman itu membuat Tiara bagai tersengat listrik. Dia
mengangkat wajahnya dan mendapati Pak
Arman tersenyum padanya. Tiara memang tidak tahu ekspresi
apa tepatnya yang dia harapkan dari Pak
Arman, tapi jelas bukan ekspresi seperti itu.
“Kamu menerima lamarannya?” tanya Pak Arman
kemudian.
“Apa saya harus menerimanya?”
“Kelihatannya dia laki-laki baik,” lanjut pria itu.
Tiara, dengan hati tercabik, menundukkan kembali wajahnya dan mulai
mengupas apel lagi.
”Kamu kelihatan cocok sama Valdi.”
Saat itu tiba-tiba jari Tiara teriris pisau. Dia mengeluh sesaat, membuat Pak Arman
kaget ketika melihat jari telunjuk Tiara berdarah. Pak Arman
segera menegakkan posisi duduknya untuk melihat jari Tiara. Dia menarik jari
gadis itu untuk memeriksa, tapi Tiara segera menarik tangannya dari genggaman Pak Arman.
Dia lalu pergi ke kamar mandi tanpa berkata apa-apa.
Tiara kembali dari kamar mandi beberapa menit kemudian, sambil menghisap
telunjuknya. Matanya tampak
memerah.
“Tangan kamu nggak apa-apa? Minta plester sama
suster sama,”
kata Pak Arman,
tampak mengkhawatirkan gadis itu. “Dan eh, mata kamu
kenapa? Kamu nangis? Apa sakit banget?”
”I’ve got to go now, Sir,” kata Tiara buru-buru.
Dia menyembunyikan suara paraunya dengan berpura-pura terus menghisap jarinya. Dia segera menyambar tasnya, lalu pergi dengan hanya
mengucap salam.
Dia melanjutkan tangisannya di salah satu koridor terpencil di RS itu.
Kemudian dia pulang setelah tangisannya mereda, meski kesedihannya tidak juga
reda.
Lelaki
yang dicintainya menyuruhnya menikah dengan lelaki lain. Ironisnya cinta.
“I love you, Tiara. I do.”
Tiara terpana. Matanya bertatapan dengan mata Pak Arman.
Mata itu kini tidak lagi memancarkan tatapan cerdas setajam elang yang selalu
disukai dan dikagumi Tiara. Beberapa bulan yang lalu, mata itu masih
bersinar-sinar penuh semangat. Tapi kini cahayanya redup oleh usia dan
penyakit.
Tiara tetap memandang pria itu. Perlahan tapi pasti, mata Tiara basah, dan
akhirnya setitik air mata jatuh. Tidak
seperti biasanya, dia tidak lagi bersusah payah untuk menyembunyikan air
matanya itu.
“Saya pikir Bapak nggak pernah memperhatikan saya...” kata
Tiara. Tapi kemudian suaranya tercekat. Dia tidak bisa melanjutkan kata-katanya lagi.
“Selama ini saya selalu mengamatimu.
Memandangmu. Melihat
ke arahmu. Kamu yang nggak pernah sadar,” balas Pak Arman.
“Bapak selalu melihat ke depan, dan nggak pernah menoleh
pada saya, padahal saya selalu disamping Bapak.”
“Kamu selalu ada di hadapan saya, maka saya selalu melihat
ke depan...”
Tiara menatap Pak Arman dengan bingung. Selama ini dia yang
selalu membuntuti lelaki itu (kalau tidak mau disebut mengejar). Dia
mati-matian mendapatkan simpati lelaki itu. Dia selalu berada di belakang dan
memandang punggung tegap lelaki itu dengan perasaan yang terpendam. Bagaimana
mungkin lelaki itu melihatnya.
“Saya melihatmu sebagai masa depan saya. Maafin saya karena
sudah lancang berpikir
begitu.”
Kali ini Tiara sudah benar-benar tidak tahu harus berkomentar apa lagi.
Semua neuron otaknya berhenti berfungsi akibat perasaan bahagia dan derita yang
meluap dan tak terkontrol. Dia hanya menangis.
“Kenapa Bapak ngomong begini sekarang?” tanya Tiara di tengah isak tangisnya.
“Maaf, Tiara. Maafin saya. Saya selalu takut mengaku selama ini karena saya takut kamu akan membenci saya dan
menganggap saya nggak tahu malu. Saya takut kamu akan menjauhi saya karena itu. Tapi
sekarang saya merasa sudah nggak punya waktu lagi. Terserah anggapannmu sekarang, tapi
saya harus mengatakannya.”
“Bapak pasti
bercanda. Siapalah saya sampai
Bapak bisa …”
“Kamu adalah
gadis yang mengembalikan cinta dalam hidup saya,” jawab Arman cepat, “Saya pikir saya nggak akan pernah jatuh
cinta lagi setelah pengkhianatan mantan tunangan saya dulu. Saya nggak menyangka saya akan
jatuh cinta pada gadis kecil seperti kamu.”
“Tapi saya kan ... ”
“Saya tahu bahwa kamu sudah menganggap saya sebagai
ayahmu. Saya juga sadar bahwa gadis seusiamu lebih pantas jadi anak saya.
Jangan pikirkan kata-kata saya yang nggak pantas ini. Saya cuma ingin mengaku, membiarkan beban perasaan bertahun-tahun ini lepas.
Saya cuma
ingin kamu tahu, sebelum saya meninggal ... ”
“How dare you, Sir!”
potong Tiara kesal. Dia kesal karena bahkan di saat sakit pun Pak Arman tetap bersikap
seperti sang bos, mengintimidasi dan tak membiarkannya menyelesaikan
kata-katanya. Padahal Pak
Arman sedang dalam kondisi kritis saat ini, tapi dia tetap
berkuasa… kharismanya tak terkalahkan.
Pak Arman terpaksa menghentikan ocehannya saat
mendengar Tiara membentak. Dia menarik nafas dalam karena udara makin sulit
masuk ke paru-parunya, bahkan meski dia sudah memakai ventilator. Dia merasa
waktunya makin dekat. Tapi dia lega karena telah berhasil mengungkapkan isi
hatinya yang telah dipendamnya beberapa tahun ini kepada gadis yang
dicintainya.
Meskipun begitu, dia juga merasa hina, karena tidak sepantasnya mencintai
gadis semuda itu. Dan gadis itu pasti kini memandangnya dengan jijik atau
marah. Tapi dia tidak terlalu peduli. Waktunya sudah dekat, jadi dia harus
mengatakannya, apapun resikonya. Dia tahu bahwa dia akan patah hati lagi. Tapi
ini pasti menjadi episode patah hatinya yang terakhir. Tidak akan ada lagi rasa
sakit hati yang dapat menyiksanya setelah semua ini berakhir. Dan justru akan
lebih menyakitkan baginya jika hingga akhir hidupnya dia tidak juga sempat
mengungkapkan perasaannya yang telah terpendam selama beberapa tahun ini pada
Tiara.
“Kamu boleh marah sama saya, Tiara,” kata Pak Arman, dengan nafas yang mulai terengah. “Dan saya nggak
menyalahkan kalau kamu membenci saya sekarang. Tapi saya cuma
punya waktu sekarang ... atau tidak sama sekali.”
Tiara
menghentikan tangisnya dan memandang Arman dengan marah.
“Saya
marah sama Bapak!” kata Tiara keras. “What
took you so long, Sir? Mengaku sekarang cuma untuk menambah pikiran saya
aja? Apa maksudnya baru mengaku sekarang trus begitu saja meninggalkan saya? Saya sudah menunggunya sejak lama, Pak.”
Mata
hitam bertemu mata kelabu. Hujan melingkupi keduanya. Cinta dan penyesalan
menjelaskan tatapan mata itu. Karena cerita yang tidak pernah dimulai, harus
selesai ketika mata kelabu itu tertutup.
hihi..
BalasHapussalah satu sisi dari sebuah roman, gama pernah liat sisi yang sama dari "Daun yang Jatuh Tidak Pernah Membenci Angin"-nya Tere Liye. Pernah baca ka?
Actually, even though it has good story, I hate a bit the idea of 'love which is known late'. Somehow it feels like 'ngenes' #damn.. haha
anyway, we have part-time fiction writer and full-time pharmacist :D
*tinggal tunggu novelnya terbit laah...* :)
iyah gam, agak mirip ya sama novelnya Tere Liye,,, tp di novel itu beda usianya 15 tahun. hoho.
BalasHapuswell, what could be worse than leaving something behind, gam? that's why he decide to tell his feeling. terlambat lebih baik drpd tidak sama sekali, mungkin dipikirnya :p
oiya, kynya lo salah deh gam,, i'm full-time dreamer and part-time writer. pharmacist? ahaha,,, i'm not that high :p
makanya aye lebih suka kalo, "take it or leave it"
BalasHapuslove can understand, but it doesn't wait. You can take it, it means courage; or you just can let it, it means sacrifice. Haha.
Maju sekalian atau tidak sama sekali #inibarulaki.
XD