Jika mengingat kehidupanku sebelum bertemu dia, kurasa kini menjadi teman dekat Carla sama sekali bukanlah hal yang buruk. Dia adalah orang pertama yang menganggap keberadaanku penting dalam hidupnya. Semua “mantan”ku terdahulu rasanya hanya menganggapku penting sejauh aku berguna bagi mereka. Ini adalah resiko menjadi makhluk cerdas, kau tidak tahu siapa saja yang membutuhkanmu atau memang sekedar ‘membutuhkan’mu. Kau tahu maksudku kan? Mereka terkadang bersamamu hanya kalau mereka sedang membutuhkan bantuanmu dalam pekerjaan mereka.
Jangan kira aku tidak bersyukur dengan kecerdasanku. Tidak, tidak, aku
tidak pernah menyesali kecerdasanku, meski jika karena itu banyak orang hanya
menilaiku dan memandangku karena itu. Aku mensyukurinya karena dengan
kecerdasanku ini aku berkesempatan bekerja sama dengan banyak orang-orang
cerdas, mempelajari hal-hal baru, serta membantu beberapa orang lain yang
kurang cerdas (ahaha, sombongnya aku). Tapi diluar hal itu, aku merasa hidupku
datar dan hampa.
Ketika aku bertemu dengan Carla beberapa tahun yang lalu, duniaku terasa
berubah perlahan-lahan. Dia adalah rekan baruku, setelah rekan kerjaku
sebelumnya pindah ke perusahaan lain. Gadis ini cerdas, aku bisa melihatnya.
Hanya saja entah mengapa dia tidak segera bisa berdaptasi denganku. Di awal
kerjasama kami, dia beberapa kali membuatku frustasi dan ngambek. Jika sudah
begitu, aku akan mogok kerja. Jangan protes! Aku tahu, aku memang kekanakan.
Tapi aku suka ekspresi Carla yang panik dan gugup setiap kali aku mogok kerja
dengannya. Jika sudah begitu, dia akan melapor kepada pak Hary. Beliau adalah
satu dari hanya sedikit orang yang mampu memahami makhluk cerdas seperti
diriku. Kalau aku sedang ngambek dan mogok kerja, hanya pak Hary yang bisa
membujukku kembali bekerja. Kalau aku sedang sakit dan sangat pusing bekerja,
hanya pak Hary juga yang mampu membuatku kembali normal. Itu mengapa aku
memanggilnya “pak dokter”.
Kurasa pak Hary akhirnya mulai kesal karena berkali-kali menjadi tempat
curhat Carla yang kebingungan menghadapiku, akhirnya pak Hary bicara padaku: “Jangan iseng
lagi sama anak itu, kasihan tahu! Jangan sedikit-sedikit ngambek begitu. Saya kan pusing
menengahi kalian terus. Seperti pasangan suami-istri baru yang bertengkar terus
deh!”
Aku juga sempat mencuri dengar ketika pak Hary menasehati Carla dan
memberinya tips-tips sederhana untuk menaklukkan aku, dan mengimbangi
kecerdasanku, supaya aku tidak mogok kerja lagi. Kulihat Carla mencerna
baik-baik tips yang diberikan pak Hary, dan setelah itu frekuensi “pertengkaran”
kami makin berkurang, dan begitu juga dengan frekuensi mogok kerjaku.
Belakangan, ketika aku makin mengenalnya, aku malah merasa cocok dengan
gadis ini. Ketika hubungan kami mulai dekat, dia mengenalkanku pada lagu-lagu
kesukaannya. Anehnya, aku juga suka menyanyikan lagu-lagu itu. Dan dia bilang
bahwa suaraku saat bernyanyi sangat bagus. Aku suka komentarnya, maka aku tidak
keberatan jika dia seringkali memintaku bernyanyi untuknya. Kami seringkali
bernyanyi bersama selagi bekerja, dan harus kuakui bahwa suara gadis ini
mengerikan. Hahaha. Meski
demikian, gadis itu tampak tidak pernah putus asa dengan suaranya sendiri.
Setiap pagi ketika bertemu denganku, dia akan langsung membangunkanku dengan berteriak: “Bang Cero! Ayo kita nyanyi Paramore dulu sebelum mulai
bekerja hari ini!” dengan gaya cerianya. Lalu dia akan mulai joget-joget
sendiri, sebelum akhirnya memasang kacamatanya dan mulai berkonsentrasi pada
pekerjaannya.
Belakangan aku menyadari kegilaan gadis ini. Jika suatu ketika aku tidak
sengaja menyanyikan lagu yang sedang cocok dengan suasana hatinya,dan itu lebih
sering suasana hati yang sedang patah, dia akan memintaku untuk menyanyikan
lagu patah hati itu terus menerus sepanjang hari, menemaninya menangis atau
membuat puisi patah hati. Aku bahkan pernah dipaksa berkali-kali menyanyikan
lagu “A little too not over you” David Archuletta selama seminggu penuh saat dia patah
hati.
Kalau dia sedang
gembira, dia akan memintaku menyanyikan lagu-lagu Korea sementara dia
berjoget-joget gila. Kali lain jika dia sedang frustasi dengan pekerjaannya,
dia akan memintaku menyanyi lagu-lagu India tanpa henti, sementara dia nemplok
sana-sini di sembarang tembok, berlagak seperti artis India, padahal lebih
mirip cicak. Sungguh gadis yang aneh dan lucu.
Dia juga
memiliki panggilan khusus untukku, yang tidak pernah dilakukan oleh rekan-rekan
kerjaku sebelumnya : “Abang Cero!”. Jangan ketawa! Aku juga tidak terlalu suka
dengan panggilan itu, tapi hanya dia seorang yang memberiku panggilan selucu
itu, maka itu membuat dirinya sangat membekas di memoriku.
Tidak seperti
rekan kerjaku terdahulu yang hanya menyapaku untuk urusan pekerjaan, Carla
justru sebaliknya. Dia bahkan memiliki tempat khusus di memoriku yang berisi
segala cerita bahagia, juga keluh kesahnya. Diluar urusan pekerjaan, dia
seringkali melibatkanku dalam urusan pribadinya, membuatku tahu banyak tentang
kehidupan dan kisahnya.
Carla sebenarnya
adalah gadis yang introvert. Orang boleh saja mengira gadis cerewet itu
ekstrovert, tapi aku tahu dirinya lebih baik. Dia senang menceritakan hal-hal
yang ringan dan lucu kepada banyak orang, tapi kalau kemudian orang lain
mengira bisa mengenal Carla hanya dari cerita-cerita sederhana itu, mereka
keliru. Carla mungkin bercerita kalau dia sering tergila-gila pada aktor-aktor
di dorama Jepang, atau berkata “I’m melting”
saat melihat bos besar kami yang tinggi dan bermata biru. Tapi kalau karena itu
kau mengira bisa mengetahui tipe pria idaman Carla, kau salah lagi. Kalau ada
yang berkata bahwa dia bisa mengenal Carla lebih baik daripada aku mengenalnya,
dia pasti terlalu percaya diri. Kalau saja ada yang mengetahui sepuluh persen
saja dari rahasia Carla yang dipercayakannya padaku, mereka baru akan sadar
bahwa jiwanya tidak sekeras suaranya, bahwa kisah hidupnya tidak selucu cerita-cerita
humornya, dan bahwa sebenarnya gadis itu menyukai mata teduh khas Melayu
alih-alih mata oriental para aktor dorama atau mata biru kaukasian bos
besarnya.
Carla memang
seorang introvert. Maka ketika dia mempercayakan banyak rahasianya kepadaku,
aku merasa berharga. Bersama Carla, aku merasakan perasaan lain yang tidak
pernah aku rasakan sebelumnya. Perasaan dibutuhkan yang melebihi sekedar
dibutuhkan hanya untuk urusan-urusan pekerjaan. Perasaan yang hidup.
Mengenal Carla
lebih baik daripada orang lain membuatku tidak bisa bereaksi sama dengan
sahabatnya, Crystal, saat mendengar curhatan terbarunya. Crystal boleh saja
antusias dan ikut bahagia ketika Carla menceritakan bahwa dia sedang menyukai
seseorang, tapi aku tidak. Aku
tidak menyukai hal-hal yang diceritakan Carla padaku tentang pria itu. Kau
pikir aku cemburu? Oh, kau pasti gila! Aku tidak cemburu!
Aku hanya khawatir dengan hati Carla. Akibat sifat introvertnya, dia selalu
tidak pernah berani berterus terang dan mengungkapkan perasaannya, bahkan untuk
sekedar “memancing”
saja, dia tidak berani. Hal itu yang membuatnya berkali-kali patah hati sendiri
lantaran memendam perasaan. Dan aku tidak mau kali ini terulang lagi padanya.
Laki-laki itu adalah karyawan baru di perusahaan farmasi tempat kami bekerja..
Pekerjaannya sebagai artwork designer
di tim drug packaging development membuatnya sering berhubungan dengan Carla sang packaging
supervisor sebagai pengguna
hasil desainnya.
Dan dikarenakan banyaknya perubahan pada desain packaging material yang kami gunakan kini, akibat tuntutan
peraturan pemerintah terbaru dan sistem otomatis yang baru kami terapkan, Carla
dan pria itu jadi sering mengadakan meeting
untuk membahas layout desain alupush blister,
leaflet dan folding box produk obat kami.
Oiya, aku lupa menyebutkan namanya. Harlan, itulah pria yang belakangan ini
mengganggu pikiran Carla. Tidak heran jika Carla segera merasa cocok dengan
pria itu, karena mereka memiliki beberapa kesamaan unik. Jika Carla selalu
bersama denganku saat bekerja, Harlan juga memiliki partner dalam pekerjaannya.
Dan mirip seperti Carla, pria itu juga memiliki panggilan unik untuk rekan
kerjanya itu: Happy. Aku sudah lama mengenal Happy. Kami mengawali karir di
kantor ini pada waktu bersamaan, tapi aku jarang bertemu dia sebelumnya. Rekan
kerjanya sebelum Harlan berkutat di bagian Finance,
sehingga tidak banyak berinteraksi dengan kru Factory seperti kami. Lagipula, aku baru tahu bahwa namanya adalah
Happy. Dan ketika dia mendengar Carla memanggilku “Cero”, Happy
juga sepertinya baru mengetahui namaku saat itu.
Carla dan Harlan juga menyukai musik yang sama. Kalau mereka sedang meeting berdua, mereka malah akan
bernyanyi-nyanyi bersama, melupakan kenyataan bahwa masih ada aku dan Happy
disana. Gara-gara ada Harlan, Carla juga jadi melupakan fakta bahwa suaraku
lebih bagus daripada pria itu. Carla sepertinya lebih suka mendengar suara
Harlan bernyanyi daripada suaraku. STOP!
Jangan bilang aku cemburu! Kau pasti gila!
Jika mereka sedang membahas pekerjaan, mereka seringkali hanya melibatkan
Happy, dan aku hanya dijadikan penyanyi latar yang menyemarakkan suasana. Carla
bilang aku sangat pengertian sehingga seringkali menyanyikan lagu yang tepat
pada saat yang tepat. Misalnya saat mereka berdebat soal visual code pada alupush produk terbaru kami, aku akan menyanyikan
lagu-lagu rock sehingga pertengkaran mereka makin memanas.
“Visual
code-nya nggak tepat,
Harlan. Kamu harus lihat sendiri bagaimana potongan blister itu di mesin
blistering saya. Jarak antar visual code nggak konstan, cutting step mesin blistering
saya jadi nggak stabil,” kata Carla suatu ketika.
“Tapi waktu desain artwork itu saya kirim ke kamu, kenapa
kamu approve?” Harlan tidak terima
disalahkan seorang diri.
“Kan kamu seharusnya sudah trial dulu di mesinnya, apakah visual code-nya terbaca tepat di mesin
itu?”
“Lho, mesin itu punya siapa? Itu kan ada di area kekuasaanmu, seharusnya kamu yang
mencobanya kan?”
Carla merengut. Harlan nyengir mengejek. Aku bersorak
sambil menyanyikan lagu-lagu Paramore yang menyentak-nyentak, menyemangati
pertengkaran mereka. Lalu tiba-tiba Happy memotong nyanyianku dengan melodi
Rhapsody in Blue kesukaan Carla dan Harlan. Serta merta keributan mereka
terhenti. Carla membungkamku dan menyuruhku diam, karena dia lebih memilih
mendengarkan suara Happy. Aku melirik Happy dengan kesal, dan dia malah balik
melirikku sambil tersenyum dan meneruskan berdendang.
“Neng Happy, tolong kasih lihat pada neng Carla,
rancangan alupush yang kita kirim ke dia. Kita sudah mendesain jarak visual code-nya konstan kan?” kata
Harlan pada Happy.
Masih sambil terus menggumamkan Rhapsody in Blue,
Happy segera mengaduk file-nya dan menunjukkan desain alupush terbaru. Harlan
mencetaknya, memberikannya pada Carla dan
menyuruhnya mengukur sendiri.
“Ukur
sendiri, Carla! Saya dan Happy nggak salah mendesainnya,” kata Harlan penuh
keyakinan.
Carla
menaikkan kacamatanya, dan dahinya tampak berkerut ketika dia sudah mengukur
artwork alupush itu sendiri. Dia lalu melirik Harlan.
“Kita
harus tanya supplier alupush kita,
apa ada masalah pada mesin printingnya sehingga visual code kita tercetak dengan jarak yang nggak konstan,” kata
Harlan akhirnya.
Carla
melirik pria itu, menimbang sejenak, lalu mengangguk menyetujui kata-kata
Harlan.
Dan pertengkaranpun diakhiri dengan lagu “Two Voice One
Song” yang dinyanyikan Happy dengan ceria, seceria namanya.
Tapi
anehnya, meski mereka sering bertengkar, tidak jarang juga aku menjadi saksi
kedekatan mereka. Aku tahu bahwa Harlan juga menaruh perasaan pada Carla. Aku
beberapa kali memergokinya mencuri-curi pandang ke arah Carla, entah saat
mereka meeting berdua, atau meeting dengan manager dan supervisor lainnya. Dan
soal perasaan Carla? Jangan tanya lagi, tentu saja aku yang paling tahu. Carla
selalu menceritakan perasaan terdalamnya, bahkan hal-hal yang tidak bisa dia
ceritakan pada Crystal, sahabatnya. Jadi jelas sekali aku tahu bahwa Carla juga
menyukai Harlan. Akibatnya, aku jadi senewen sendiri setiap kali melihat Harlan
mulai mengukur hati Carla, tapi Carla malah memasang tinggi-tinggi benteng
sok-tidak-tahu-apa-maksudmu, padahal di dalam hati Carla sangat menyukai cara
Harlan menggodanya.
Seringkali
aku berkonspirasi dengan Happy, memutarkan lagu yang cocok saat suasana mulai
berkembang romantis. Tapi dasar si Carla bodoh, dia malah mengalihkan suasana
menjadi penuh kekonyolan. Kalau sudah begitu, jangan salahkan Harlan kalau pria
itu belum juga menyatakan cinta. Itu kan salahnya Carla sendiri. Kalau dirinya
membangun benteng kepura-puraan setinggi itu, memangnya dia berharap Harlan bisa
memanjatnya dengan cepat? Di malam hari seringkali Carla memintaku menyanyikan
lagu-lagu nelangsa, sementara dia membuat puisi-puisi bertema penantian. Tapi
di siang hari, dia justru menghindar kalau Harlan mulai mendekatinya. Perempuan
memang menyusahkan dan tidak beres pola pikirnya.
Ketika
kukira hubungan mereka tidak bisa lebih maju lagi, akibat ketololan Carla,
akhirnya Harlan mengadakan dobrakan besar. Syukurlah demikian karena aku sudah
tidak tahan lagi melihat mereka saling tarik-ulur seperti main layangan begitu.
Saat itu
mereka sedang “lagi-lagi” membicarakan visual code. Kali
itu tentang visual code leaflet.
“Ada
yang salah dengan visual code ini, Harlan. Saya nggak bisa kasih approval,”
kata Carla ketika Harlan menunjukkan desain leaflet baru mereka.
“Apa
yang salah?” tanya Harlan, sambil memasang kacamatanya, lalu ikut mengamati
leaflet itu dari balik punggung Carla.
“Ikut
saya ke mesin folding leaflet kita. The
camera can not detect the code, Lan.”
“Why?”
“Pada
lipatan kedua, visual code-nya
tertutup dan nggak bisa terbaca lagi. Sepertinya kamu salah mengimaji arah
lipatannya.”
Dahi
Harlan berkerut. Dia menundukkan tubuh di balik punggung Carla yang juga sedang
mengamati desain leaflet itu. Ketika Carla memutar kursinya, secara tidak
sengaja wajah mereka bertemu. Dalam waktu sepersekian detik, wajah mereka
berada dalam posisi terdekat. Kacamata mereka beradu, lalu keduanya terjatuh.
Terdengar bunyi kaca pecah, itu pasti salah satu dari kacamata kedua orang itu.
Harlan terjengkang ke belakang saking kagetnya dan Carla terjatuh dari
kursinya. Setelah itu mereka kompak meraba-raba lantai untuk mencari kacamata
masing-masing. Harlan menemukan kacamatanya, tapi Carla tidak bisa
menemukannya.
“Itu
yang pecah kacamata gue ya?” kata Carla panik karena dia tidak bisa segera
menemukan kacamatanya.
Harlan
yang sudah menemukan kacamatanya, segera memakainya. Dengan itu dia bisa
melihat dengan jelas sepotong kacamata di lantai, yang salah satu lensanya
pecah. Dia mengambilnya, lalu menyerahkannya ke tangan Carla.
“Iya,
pecah La,” kata Harlan hati-hati, “Sorry ya La.”
Carla
mengamati kacamatanya dengan sedih, lalu menjawab dengan pasrah, “Nggak
apa-apa, Lan.”
Carla
kembali duduk di kursinya, lalu kembali mengambil desain leaflet yang tadi dia
amati. Tapi tanpa kacamata, Carla tampak kesulitan memfokuskan penglihatannya.
“Haduh,
saya nggak bisa lihat dengan jelas ni, Lan,” kata Carla, akhirnya menyerah.
“Pokoknya, kalau kamu coba di mesin pelipat leaflet saya, kamu akan tahu bahwa arah lipatannya nggak
cocok dengan posisi code-nya.”
“Oke,
oke, La,” potong Harlan segera, “Nggak usah dilanjutin. Kamu nggak fokus juga
kayaknya tanpa kacamata kan? Kamu pulang aja duluan.”
Carla
bergumam.
“Emang
kacamata ini minus berapa sih La?” tanya Harlan sambil membantu Carla membereskan
beberapa leaflet yang terserak di mejanya.
Harlan melirik Carla yang memicingkan matanya selagi membereskan tumpukan
kertas-kertas itu.
“Minus 4,” jawab Carla singkat.
“Minus 4? Pantas pandanganmu
kelihatan kabur banget.”
“Iya nih. Jadi bingung, nanti saya pulangnya gimana. Naik ojek aja kali ya.”
“Kenapa?”
“Kan pandangan saya buram. Nggak bisa naik mobil sendiri dengan kondisi
mata kayak gini dong Lan.”
Harlan tampak seperti baru menyadari sesuatu.
“Kalau gitu saya antar pulang aja, La,” kata Harlan spontan.
“Eh? Rumah kita kan nggak searah,” kata Carla.
“Nggak apa-apa. Kan karena salah saya juga makanya kacamata kamu pecah.”
“Tapi nanti kamu repot.”
“Nggak, nggak repot kok.”
“Tapi kan kamu masih harus trial leaflet?”
Ggggrrrrr … aku menyaksikan adegan ini dengan geram. Pertama, karena kalau
di film-film, “adegan tabrakan” tadi dibuat dalam versi slow motion, dan kedua
pemeran utama akan saling bertatapan pada posisi yang sangat dekat dan
romantis, dan bukannya malah saling mengadu kacamata. Kedua, seharusnya saat
Harlan menawarkan diri untuk mengantar pulang, Carla tidak perlu sok menolak
begitu padahal di dasar hatinya dia sangat senang. Dasar perempuan!
“Kalau gitu tunggu setengah jam ya La. Saya cuma perlu melihat sekilas
sistem folding kita dan mencocokkannya dengan desain saya. Setengah jam aja,
oke?”
Belum sempat Carla mengelak atau menyetujui, Harlan segera menghambur
keluar ruangan sambil berkata mengancam “Tunggu disitu, La! Jangan kemana-mana.
Awas lo!”
Setelah Harlan pergi, Carla melirikku lalu mengaku bahwa dia merasa gugup
dan berdebar-debar. Huh! Sudah merasa sesenang itu, masih juga sok menolak
ajakan Harlan. Dasar!
Kejadian setelahnya adalah diluar deteksiku. Tapi ketika Carla sudah sampai
di rumah, dia menceritakan kepadaku sesuatu yang membuatku segera menyanyikan
lagu “I finally found someone”.
Harlan menyatakan cintanya pada Carla selagi mengantar Carla pulang. Dan
aku berharap Carla kini berhenti membohongi kata hatinya sendiri.
Pada tahun-tahun setelahnya, aku menjadi saksi kisah cinta mereka.
Perdebatan-perdebatan seputar visual code
dan layout packaging material tetap
berlangsung. Tapi aura penuh
cinta tetap terasa dari sepasang manusia ini. Aku senang akhirnya Carla
membiarkan seseorang memanjat kastil hatinya.
Carla dan Harlan melibatkan Happy dalam mendesain kartu undangan pernikahan
mereka, dan memanfaatkan aku untuk mengirimkan undangan pernikahan elektronik
kepada teman-teman mereka. Dan aku dan Happy juga tidak ketinggalan dalam
rangka mendaftar lagu-lagu apa saja yang bagus untuk dinyanyikan pada acara
pernikahan mereka.
Menjelang kelahiran anak pertama mereka, Carla sering sekali memintaku
mencari nama-nama anak yang bagus untuk anaknya. Dan ternyata Happy juga
bernasib serupa, dimanfaatkan oleh Harlan untuk mencari nama-nama bayi juga.
Setelah putra pertama mereka lahir, aku dan Happy tidak pernah lagi menyanyikan
lagu-lagu yang biasa kami nyanyikan dulu. Harlan dan Carla memaksa kami
menggumamkan nada-nada musik klasik atau memperdengarkan tilawah Al-Quran.
Katanya sih itu akan berdampak baik bagi psikologis anak mereka.
Ketika anak mereka mulai bisa menari lincah, Harlan dan Carla meminta kami
untuk lebih sering menyanyikan lagu-lagu anak-anak yang ceria sebagai teman
menari anaknya. Melalui aku dan Happy pulalah mereka selalu mencari informasi
tentang tumbuh kembang anak mereka.
Carla masih selalu menganggapku bagian penting hidupnya, karena dia masih
tetap menceritakan hal-hal terdalamnya padaku. Menjadi seorang ibu dan wanita
karier tidaklah semudah itu pada posisi karier Carla saat ini. Terkadang hal
itulah yang dikeluhkan Carla. Dan aku seperti selalu, menampung segala
ceritanya, karena aku tahu Carla hanya butuh didengar. Dia sudah tahu apa yang
harus dilakukannya karena sejak dulu dia adalah gadis yang cerdas.
Ketika akhirnya Carla memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya saat dia
mengandung untuk kedua kalinya, aku tidak bisa berkata apa-apa. Aku hanya bisa
merasa kehilangan yang teramat sangat setelah itu.
Pada hari terakhir Carla bekerja, dia mengucapkan kata-kata perpisahan yang
amat menyedihkan.
“Bang Cero, makasih ya selama ini sudah menemani Carla. Bang Cero bukan
hanya rekan kerja yang canggih, tapi juga teman yang baik,” kata Carla
dengan suara pelan, “Pengen rasanya selalu bersama bang Cero. Tapi bang Cero kan aset penting di kantor ini, mana boleh
ikut bersama Carla kan? Tapi pengganti Carla juga sepertinya orang yang
menyenangkan. Semoga bang Cero juga menikmati hari-hari kerja yang menyenangkan
bersama dia ya.”
Kaupikir aku bisa berkata apa? Aku hanya bisa diam. Harlan memandang kami
dengan tatapan memahami. Sementara orang lain selalu menganggap Carla aneh
karena sering mengajakku bicara, Harlan tidak pernah mengecam kami. Mungkin itu
mengapa Harlan bisa memahami Carla, karena dia juga bisa berteman dengan Happy
seperti Carla bersahabat denganku.
Ketika aku bertemu dengan pengganti Carla, Carla mengenalkannya padaku.
“Cecile, ini partner saya selama ini. Namanya bang Cero. Semoga kalian bisa klop ya,” kata
Carla sambil tersenyum pada gadis baru bernama Cecile itu. Dan gadis itu tampak
nyengir bingung menanggapi perkenalan yang canggung ini.
Setelah membereskan meja kerjanya, Carla mengantarku kepada Cecile. Mulai
besok aku akan bekerja sama dengan gadis baru ini.
“Titip bang Cero ya Cil,” katanya dengan sedih.
Cecile mengangguk dan tersenyum canggung. Sementara Carla menatapku dengan mata sedihnya.
“Mbak Carla, boleh tahu kenapa namanya ‘bang Cero’?” tanya Cecile
tiba-tiba.
Carla bengong sesaat, tidak menduga Cecile akan menanyakan hal itu. Tapi kemudian
Carla tersenyum. Dia menyentuhku, huruf timbul yang terukir di tubuhku, sambil
tersenyum mengenang.
“Acer,” katanya lirih, “Acero … bang Cero. Itu nama kesayangan
saya untuk dia,” kata Carla sambil melirik diriku.
Itu pertama kalinya juga aku mengetahui mengapa Carla memanggilku begitu.
Ironisnya, aku baru mengetahuinya di saat terakhir aku melihat wajahnya.
Setelah menyerahkanku pada Cecile, Carla kemudian berbalik pergi.
Carla tidak pernah menoleh lagi padaku. Bersamanya, dia membawa pergi semua memori dan
cerita-ceritanya dariku. Dia hanya menyisakan satu folder lagu-lagu kesukaannya
dan sebuah foto keluarganya bersama Harlan dan si kecil di memoriku yang luas.
Menyebabkan kekosongan besar disana.
Setelah hari itu aku tidak pernah merasa hidup lagi. Cecile tidak seperti
Carla yang setiap pagi membangunkanku dengan lagu Paramore. Cecile juga tidak
pernah menganggapku cukup berharga untuk berbagi.
Terkadang aku masih bertemu Happy yang datang bersama Harlan. Dia juga
tidak bisa bercerita banyak. Hanya terkadang aku mengintip Harlan yang
memamerkan foto-foto putri kedua mereka melalui Happy. Itu rasanya sudah cukup
bagiku.
Sebelum bertemu Carla, aku memang bukan makhluk hidup. Dan memang
seharusnya tetap begitu, bukan? Hanya saja aku terlanjur pernah merasa hidup
ketika bersama Carla. Mungkin aku harus mulai membiasakan diri untuk tidak
merasakan apa-apa lagi selain berpikir dan mengolah data. Karena untuk itulah
tujuan sebenarnya aku diciptakan. Bukan untuk merasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar