Beberapa pekan sblm saya menikah, saya bertemu seorang teman. Lalu dia bertanya "Mbak Ni, katanya lo mau nikah ya? Yah, gue gimana dong? Gue masih jomblo aja nih. Lo jgn nikah dulu dong"
* * *
"That day we learned, when your friend fails, you feel bad,,, but when he is in the top, you feel worse" (Farhan Qureshi, 3 idiots)
Farhan nampaknya dengan tepat menyoroti perilaku manusia masa-masa ini. Jika dipikir2 lg skrg, mungkin kita adl orang2 spt itu. Kita sedih jika teman kita gagal, tapi lebih sedih lg kl teman kita lbh berhasil drpd kita.
Mungkin kita adl orang yang akan merasa lebih baik jika melihat orang lain lbh buruk drpd kita.
Mungkin kita adl orang yang suka membandingkan diri dgn orang lain.
Mungkin kita mencari kenyamanan dan pembenaran atas apa yg kita lakukan dg menyalahkan orang lain yg melakukan suatu hal dg cara yg berbeda. Ibu yg bekerja paruh waktu di luar rumah merasa lebih hebat dg cara meremehkan ibu yang bekerja penuh waktu di rumah. Sementara ibu yg penuh waktu di rumah merasa lebih mulia dg cara menistakan ibu yg bekerja paruh waktu di luar rumah.
Mungkin untuk membuat orang lebih bersimpati kepada kita dg cara membandingkan kesedihan kita dg orang lain. Masih ingat setahun lalu ketika orang2 membandingkan teror di satu negara dg teror di negara lain? "Saat negara itu diteror, rame2 ubah foto FB dan nulis #PrayFor ,,,, tapi saat negara ini diteror, ga ada yg ubah foto FB dan nulis #PrayFor". Padahal tanpa membandingkan yg satu n yg lain, penduduk di kedua negara yg diteror sama takutnya. Kenapa kita perlu menunjukkan bahwa kita yg paling teraniaya dg cara meremehkan penderitaan yg dirasakan orang lain?
Lalu skrg2 ini, byk yg menulis "Lo ga suka Donald Trump krn dia tdk adil thd minoritas. Pdhl dsni yg mayoritas jg tdk adil thd minoritas"
Padahal yg mayoritas bukannya bermaksud menghalangi yg minoritas untuk memimpin. Ini hanya soal pilihan dan preferensi.
Padahal yg mayoritas bukannya bermaksud menghalangi yg minoritas untuk memimpin. Ini hanya soal pilihan dan preferensi.
Mungkin untuk menunjukkan kita beriman, kita harus menunjukkan bhw orang lain kafir. Padahal kita adl kafir bg satu sama lain. Dalam agama kita, dia adl kafir. Dalam agama dia, kita adl kafir. Jika begitu, mengapa kita perlu menyebut orang lain kafir, jika hny untuk membuat kita merasa beriman?
Ada satu hal yg saya pelajari ketika sekolah di negara dimana muslim adl minoritas. Saat berdiskusi ttg agama dgn teman2 saya disana yg beragama lain, saya tetap bs menyampaikan bahwa Islam adl agama yg benar (menurut saya) tanpa perlu menyalah2kan atau mengkafir2kan orang lain. Tanpa saya mengatakannya pun, semua teman saya dsna tahu bhw saya menganggap tdk ada agama yg benar selain Islam. Tapi dg tdk menyalah2kan agama mereka, itu mencegah pecahnya perdamaian di lab.
Tanpa bilang bahwa Al Qur'an (dipakai) berbohong, kita jg tahu bahwa beliau tdk meyakini Al Qur'an, dan itu sah2 saja. Tapi dg tdk mengkambinghitamkan kitab suci agama lain, maka harusnya beliau bs mencegah pecahnya perdamaian bangsa. Maka sesungguhnya menjaga lisan sama pentingnya dgn menyatakan kebenaran.
Tanpa bilang bahwa Al Qur'an (dipakai) berbohong, kita jg tahu bahwa beliau tdk meyakini Al Qur'an, dan itu sah2 saja. Tapi dg tdk mengkambinghitamkan kitab suci agama lain, maka harusnya beliau bs mencegah pecahnya perdamaian bangsa. Maka sesungguhnya menjaga lisan sama pentingnya dgn menyatakan kebenaran.
Itulah mengapa saya tdk setuju jika ada pemimpin (orangtua, guru, bos, profesor, gubernur atau presiden) yg menganggap bahwa yg terpenting adl menyatakan kebenaran tanpa memperhatikan lisan.
Anak seperti apa yg diharapkan tumbuh dr orangtua yg selalu bilang "Heh kampret! Sholat lu! Lu mau masuk neraka hah?!". Meskipun perintahnya untuk sholat adl sesuatu yg benar, jika tdk dinyatakan dg baik, maka efek sakit hatinya akan lbh besar drpd efek kebaikannya.
Anak seperti apa yg diharapkan tumbuh dr orangtua yg selalu bilang "Heh kampret! Sholat lu! Lu mau masuk neraka hah?!". Meskipun perintahnya untuk sholat adl sesuatu yg benar, jika tdk dinyatakan dg baik, maka efek sakit hatinya akan lbh besar drpd efek kebaikannya.
Meski begitu, saya sepenuhnya paham bahwa ketidaksepahaman bs menimbulkan ketidaksukaan, betapapun kita mencoba menyatakannya dg santun. Maka kita tdk berkewajiban menyenangkan hati (atau sependapat) semua orang (atau mayoritas). Kita hny berkewajiban menyampaikan kebenaran dgn tetap menjaga perasaan dan menjalin silaturahmi. Jika kita sdh menyampaikan kebenaran dg cara santun dan tetap di-unfollow, sesungguhnya itu hny kuasa Tuhan yg membolak-balikkan hati.
Mungkin kita adl orang yg suka membandingkan dua hal yg sama2 buruk hny untuk menunjukkan bahwa kita lbh baik.
"Masih mending mana pemimpin yg santun tapi korup, drpd pemimpin yg kasar tapi amanah?" Seolah2 pemimpin yg amanah tdk bisa berlaku santun.
"Masih mending mana pemimpin yg santun tapi korup, drpd pemimpin yg kasar tapi amanah?" Seolah2 pemimpin yg amanah tdk bisa berlaku santun.
Mungkin kita adl orang perlu menunjukkan bahwa kita teraniaya, spy orang lain terlihat jahat.
Mungkin kita adl orang yg perlu mengumumkan ke semua orang bahwa yg berdiri di pelaminan itu adl mantan kita yg dulu direbut oleh pria di sebelahnya.
Serupa dg orang yg mengumumkan bahwa ada "aktor politik" yg ingin menjatuhkan, yg membayar dua juta orang untuk menyatakan pendapatnya.
Mungkin kita adl orang yg perlu mengumumkan ke semua orang bahwa yg berdiri di pelaminan itu adl mantan kita yg dulu direbut oleh pria di sebelahnya.
Serupa dg orang yg mengumumkan bahwa ada "aktor politik" yg ingin menjatuhkan, yg membayar dua juta orang untuk menyatakan pendapatnya.
Mungkin sejak kecil kita dididik untuk bersaing shg lupa caranya bekerja sama. Dalam persaingan, orang lain harus jadi lebih buruk sepaya kita bisa jadi nomor satu. Mungkin itu kenapa kita perlu melihat orang lain salah spy kita merasa benar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar