Bahwa sesungguhnya menulis bukan hanya sekedar merangkai kata menjadi kalimat. Menulis itu membuat hal-hal yang tersirat menjadi tersurat, berkata tanpa perlu berkata-kata, menyampaikan ide tanpa menjadi sok tahu, menginspirasi tanpa menggurui, curhat tanpa terlihat berkeluh kesah, menyentuh tanpa harus menyentuh. Menulis juga berarti mengabadikan pikiran, membekukan kenangan dan membuktikan bahwa kita pernah ada.
Dan betapa suatu tulisan bisa begitu mempengaruhi kehidupan seseorang. Karena teriakan belum tentu akan didengar semua orang, tapi tulisan mungkin bisa menyampaikan kata dengan lebih baik.
Karena sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi sebanyak-banyak manusia lain, maka manfaat apakah yang bisa diberikan seorang mahasiswa kepada masyarakat? Mungkin menulis adalah salah satu caranya. Karena kata bisa lebih tajam daripada pedang, dan bisa menyentuh lebih halus daripada sutera. Itu mengapa saya ingin terus menulis.
Cuma itu aja kata-kata yang saya kirim untuk mendaftar acara WORDISME yang digagas oleh mbak Alberthiene Endah. Saat itu saya nggak menyangka, atau lebih tepatnya nggak terlalu banyak berharap, tulisan saya itu akan cukup bagus untuk bisa dipilih oleh mbak Alberthiene dan mas Chiko. Jadi waktu akhirnya pada tgl 31 Oktober saya dikirimi email oleh mas Chiko yang bertuliskan “SELAMAT!! KAMU TERPILIH MENJADI SALAH SATU PESERTA WORDISME”, saya langsung mikir “Ini bukan April Mop kan?”. Jangan ketawa! Saya tahu saya tolol banget, kan jelas-jelas itu “Haloween Day”, bukan “April Mop”. Geblek to the max deh :p
Kekagetan saya masih berlanjut saat mas Chiko mengirim undangan acara tersebut. Pembicaranya itu lho ... SUBHANALLAH banget. Saya jadi makin excited sekaligus nervous. Mengingat para pembicaranya keren-keren banget, saya langsung menyimpulkan bahwa acara ini bukan acara sembarangan. Dan pastinya pesertanya bukan orang sembarangan pula. Dan diantara segala yang keren-keren itu, siapalah saya yang cuma seorang mahasiswa yang sedang belajar menulis ini. Jadilah saya makin gugup.
Hingga tibalah waktunya tanggal 19 November itu, kemarin Sabtu. Berhubung saya ini “anak-nggak-gaul-Jakarta”, jadilah saya sengaja berangkat pagi-pagi sekali, demi mengantisipasi kalau nanti saya nyasar. Begitu sampai di tempat acara dan registrasi, saya langsung ketemu mas Chiko. Oke, nggak ketemu sih sebenarnya. Saya cuma registrasi tepat di depan mas Chiko. Perasaan saya tercabik antara mau ngajak kenalan, atau nggak (saya kan anak pemalu). Dan perasaan saya terus tercabik-cabik sepanjang acara. Itu pembicaranya kok ndilalahnya ya semua orang yang twitternya saya follow lho. Semua orang yang kata-katanya selalu berhasil bikin saya ketawa, mengerutkan dahi sampai terharu. Mahfumlah saya akhirnya mengapa acara ini dinamakan WORDISME. Karena semua orang yang berada di sekeliling saya saat itu, terutama para pembicaranya, (termasuk pesertanya juga sih) adalah para pecinta kata. Orang-orang yang menggunakan kata-kata sebagai jalan hidup untuk menghibur, menginspirasi, menyentuh dan memberi. Itulah yang membuat saya dilema sepanjang acara, apakah saya akan berani menyapa mereka dan bilang: “Mas/ mbak, saya Nia. Selama ini selalu jadi penikmat kata-kata mbak/ mas di twitter lho.”
Dan inilah orang-orang yang bertanggung jawab atas kegalauan saya seharian itu: mbak Alberthiene Endah, mas Chiko Handoyo, mas Mayong, mas Alexander Thian, bang Raditya Dika, mbak Clara Ng, mbak Windy Ariestanty, mas Salman Aristo, mas Aditya Gumay, mbak Miund (ini bukan nama asli kan ya?), mbak Artasya, mas Hilbram Dunar. Eh, pengen juga sih sebenernya ketemu kak Rahne, tapi kak Rahnenya nggak dateng. Tapi intinya, meski saya sudah bergalau-galau ria seharian, lagi-lagi karena ketololan dan saking pemalunya saya, sampai acara berakhir, saya nggak berani menegur satupun orang-orang hebat itu lho. Ihiks. #jedot-jedotin-kepala.
Oke, move on dari cerita galau.
Menghitung adalah keahlian saya. Maka begitu masuk ke ruang acara, secara otomatis mata saya segera men-scan seluruh ruangan. Enam jalur kursi di sebelah kiri, lima jalur di tengah dan tujuh jalur di sebelah kanan. Delapan belas baris ke belakang. Dengan cepat saya menghitung bahwa akan ada sekitar 325 orang yang akan memenuhi aula itu. Wow! Untuk sebuah workshop yang diselenggarakan gratis, 325 peserta dengan goody-bag yang superheboh isinya itu, membuat saya mengucap SUBHANALLAH lagi. Mbak AE seperti sukses besar menggandeng begitu banyak sponsor untuk acara ini. #tepok-tangan J
Menghadirkan Gramedia dan Gagas Media di satu workshop, menggandeng Chic dan Femina di saat yang sama ... kemarin itu adalah momen bertabur para penulis hebat. Dan bukan hanya penulis, kemarin ternyata banyak peserta yang berasal dari media penerbitan dan broadcast. Di sana, saya benar-benar cuma seekor teri di lautan yang luas dan dalam. Orang-orang bicara tentang tulisan-tulisan mereka, tentang ide, impian dan dunia-penuh-kata. Betapa saya benar-benar cuma penulis diary yang tulisannya belum bisa menggugah begitu banyak orang. Dan betapa saya ingin seperti mereka yang hanya dengan kata bisa mengubah hidup dan pikiran orang-orang.
Dan rasanya kata-kata indah dan penuh ilmu memenuhi aula lt.7 gedung Gramedia Kompas kemarin. Saya pernah belajar menulis kepada dua orang penulis keren sebelumnya. Mbak Windry Ramadhina adalah guru pertama saya. Mbak Ari (Kinoysan) Wulandari yang kedua. Dan kemarin saya bisa bertemu begitu banyak guru keren dalam satu kelas. Rasanya tuh ibarat seorang murid yang di-tutor oleh banyak guru menjelang UAN. Exciting banget!
Berikut adalah beberapa materi pelajaran yang sudah saya kumpulkan dari guru-guru saya itu:
1. Mbak Clara Ng bilang, menulis adalah kemampuan berbahasa yang tertinggi. Untuk mencapainya, kita harus banyak membaca terlebih dahulu. Mbak Ari juga pernah mengajarkan hal serupa pada saya. Kalau kita mau menulis satu buku, kita harus membaca sedikitnya 100 buku sebelumnya. Sama seperti kita mau nulis satu tesis, kita harus sudah membaca 100 jurnal sebelumnya (pecahkan kaca supaya nggak dikira lagi ngomong sama diri sendiri).
2. Kata mbak Clara Ng juga bilang bahwa menanyakan bagaimana caranya mendapatkan ide kepada seorang penulis sama saja seperti menanyakan bagaimana caranya berlari kepada seorang pelari. Ide itu ada dimana saja, selalu ada di sekitar kita, asalkan kita menajamkan hati. Kita hanya perlu memilih, mana ide-ide yang bisa dikembangkan. Kalo kata mbak Ari, tidak seharusnya penulis kehabisan ide. Yang harus kita lakukan adalah mendahului tulisan. Selalu catat ide sekecil apapun yang melintas di pikiranmu. Suatu saat kelak, ide kecil itu pasti bisa jadi ide besar. Sama nih kayak kata mbak Petty yang bilang bahwa kita harus segera menulis saat ingin menulis, jangan ditunda.
3. Kata mbak Clara (lagi), kenalilah diri kita sendiri sebelum menulis. Tulislah apa yang kita suka, apa yang kita rasa. Setelah itu, baru kenalilah media yang akan kita tuju. Carilah media yang sesuai dengan tulisan kita. Kalau sejak awal kita hanya berfokus pada media, tulisan kita nggak punya ciri dan jiwa #eeaaaa.
4. Kata mbak Alberthiene, menulis bukan hanya merangkai kata, tapi juga meneropong hati dan menerjemahkan rasa itu dalam bentuk kata. Penulis seharusnya bisa mengkonfigurasi perasaan-perasaan (kalimat “konfigurasi perasaan” ini terdengar sangat sesuatu bagi saya lho mbak J ) di sekitarnya, lalu menuliskannya. Karena hanya sesuatu yang ditulis dari hati yang bisa sampai ke hati pembaca.
5. Mbak Hetih bilang, semua cerita di dunia ini sudah pernah diceritakan. Kisah cinta macam apa yang belum pernah diceritakan di dunia ini? Hanya kita yang perlu menulisnya lagi dengan cara yang berbeda. Kalo kata bang Raditya Dika mah, “It’s not about what you say, but how you say it”. Ciyeee banget deh bang Dika :p
6. Mbak Hetih dan mbak Windy Ariestanty bilang, tulisan seseorang bisa dinilai dari halaman pertamanya. Maka kita harus membuat tulisan pembuka menjadi semenarik mungkin. Buat plot yang menarik dan karakter yang kuat. Nasehat ini persis sama seperti yang diajarkan mbak Windry Ramadhina kepada saya, saat saya pertama kali belajar menulis kepada beliau.
7. Kalau kata mbak Djenar Maesa Ayu, menulis itu adalah kebutuhan. Kata mas Salman Aristo, menulis itu pekerjaan yg tiap detik kita pikirkan. Dan tepatlah begitu. Karena saya bertemu dengan seorang teman yang mengatakan bahwa menulis membuatnya tetap waras dan tidak jadi bunuh diri.
8. Dan terakhir, kata-kata yang kemarin bikin saya terpesona banget justru datang dari orang yang nggak saya harapkan. Melihat kelakukannya yang konyol, saya nggak menyangka kata-kata sebijak itu datang darinya. Bang Dika bilang: “Jangan hanya menulis saat good-mood. Teruslah menulis bahkan saat bad-mood, minimal 1 halaman. Tulisan lo pasti jelek. Kalau sebulan lo bad-mood terus, maka lo sudah akan menghasilkan 30 halaman tulisan jelek. Saat mood lo oke, 30 halaman tulisan jelek itu akan jadi 30 halaman tulisan bagus.” Uhuy banget bang Dika. Persis seperti kata mbak Ari, biasakan menulis apapun setiap hari.
Jadi ternyata meski antar penulis memiliki gaya yang berbeda-beda, ternyata mereka semua punya satu kesamaan ya. Mereka adalah para pecinta kata, yang tetap berkata dalam keadaan apapun. Yang tetap berkarya tanpa peduli mood. Yang menjadikan diri menjadi sponge yang selalu menyerap semua ide di sekitarnya, menyerap semua rasa, dan menerjemahkannya dalam kata.
Selain ilmu-ilmu yang Subhanallah banget, di acara itulah juga saya bertemu teman-teman baru: mbak Pipit, Dyah, mbak Ayu dan mbak Nadia. Ketemu anak UGM, Unpad dan UI. Terjebak dilema busway-mogok-gara2-belum-ngisi-BBG (gara-gara itu saya jadi lebih tahu Jakarta, bukan sekedar Duren Sawit-Depok doang). Mendengar nasehat tentang dunia kuliah dan kerja. Dan bahwa semua orang punya masalah masing-masing, yang hanya kita sendiri yang bisa memutuskan untuk berhenti atau terus maju. Ketemu orang-orang yang berjuang dengan kata, terinspirasi oleh kata dan menyembuhkan diri dengan kata. Dan saya menjadi terhubung dengan orang-orang yang mencintai kata.
WORDISME! WORD.IS.ME!
Tulisan ini saya dedikasikan untuk:
- Ambar Mirantini, yang udah suggest sayau/ follow twitter mbak Alberthiene dan yang pertama kali ngasih tahu saya ttg acara WORDISME ini, tapi malah nggak bisa ikutan. Aku berhutang ilmu padamu, teman. Jadi aku share disini ya J
- Mbak Alberthiene, yang sudah menggagas acara ini, memberikan kesempatan bagi “penulis diary” amatir seperti saya ini untuk belajar menulis. Makasih ya mbak J. Makasih juga buat mas Chiko (yang bikin galau krn ga bisa menyapa, hehe) dan kru-kru yang lain yang sudah membuat acara ini terwujud. Juga buat kak Rahne yang kata-katanya seringkali menggelitik dan menginspirasi.
- Semua mbak dan mas pembicara yang sudah membagikan ilmunya yang luar biasa. InsyaAllah ilmu yang bermanfaat, pahalanya nggak akan terputus. Betapa beruntungnya saya bisa bertemu guru-guru yang luar biasa seperti mbak dan mas.
- Buat mbak Deva, yang punya mimpi yang sama dgn saya. Mari kita jadi penulis dan menginspirasi banyak orang!
- Buat Diny (semoga ilmu ini bermanfaat juga untuk dirimu menulis brosur/ packing insert produk obatnya) dan Baitha (inget Bay, kalau mau nulis satu tesis, harus baca 100 jurnal dulu #GamparDiriSendiri, hehehe)
- Buat temen-temen baru: Dyah, mbak Pipit, mbak Nadia dan mbak Ayu. Ayo kita semangat menulis!!!! Semoga kita bisa ketemuan lagi ya di acara WORDISME berikutnya. Aamiin ya Rabb J
- Dan yang terutama, kepada Rabb yang Maha Rahim, terima kasih sudah mengijinkan orang-orang baik itu membagikan ilmu kepada anak bodoh ini. Semoga Engkau memudahkan mereka mengadakan acara ini lagi, sehingga makin banyak orang yang bisa belajar menulis dan menjadi orang yang bermanfaat bagi lebih banyak orang. Bukankah di mataMu, sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi sebanyak-banyak umat?
Btw, kemarin tuh kayaknya saya salah kostum deh, jadi kelihatan lebih tua. Orang-orang kok tampak ragu ya setiap kali saya bilang bahwa saya ini mahasiswa semester 3?