Luna Lovegood inside. Noda Megumi outside.

Minggu, 27 November 2016

PERCAYA

Seperti banyak teman kami sudah tahu, saya dan suami adl dua orang yg sgt berbeda, termasuk dalam cara menghabiskan uang. Dia hobi menghabiskan uang untuk gadget. Saya hobi menghabiskan uang untuk makanan dan buku. Tapi diantara banyak perbedaan kami, kami pny cara yg sama untuk menghabiskan waktu bersama: nonton Detective Conan.
Salah satu pasangan yg suka bikin geregetan (selain fakta bhw smp sekarang Conan belum gede2 juga yg bikin geregetan) dr manga itu adl Heiji Hattori n Kazuha Toyama. Heiji dan Kazuha telah bersahabat (atau TTM) sejak selamanya. Mereka saling mengenal sejak mereka bs mengingat sehingga mereka sudah sgt mengenal satu sama lain. Dalam salah satu film, saat sedang membonceng Kazuha dg motornya, sang pelaku kejahatan menyerang Heiji dengan panah, tp panahnya meleset. Setelah itu Heiji balik mengejar pelaku tsb sambil tetap membonceng Kazuha.
Saat adegan itu, saya bilang ke suami "Kalo kamu ngebut kayak Heiji, pasti udah aku pukulin, dan aku minta turun."
Tapi saat itu saya sadar, Kazuha tdk memukuli Heiji dan minta turun dr motor karena Kazuha sudah mengenal Heiji sejak kecil. Kazuha tahu bahwa bagaimanapun Heiji ngebut, Heiji akan tetap memprioritaskan keselamatan Kazuha. Kazuha percaya bahwa Heiji tdk akan mencelakakannya. Kalaupun akhirnya motornya terpaksa menabrak atau jatuh, Kazuha tdk akan menyalahkan Heiji, karena Kazuha percaya bhw Heiji tdk melakukannya dg sengaja.

Ini seperti saya dan Bapak saya. Bapak pny kebiasaan mengendarai motor dg kecepatan 40 km/jam dan sgt sabar di jalanan, nggak suka nyelip2 sembarangan. Saking hati2nya Bapak di jalanan, setelah puluhan tahun dibonceng Bapak, saya bahkan bisa tertidur di motor sambil memeluk Bapak. Saya tdk takut Bapak akan ugal2an di jalanan, dan saya percaya bahwa Bapak akan memprioritaskan keselamatan kami. Oleh karena itu, jika ada masalah saat membonceng motor Bapak, saya tdk menyalahkan Bapak, krn itu pasti terjadi tdk disengaja atau krn terpaksa.
Kepercayaan Kazuha pada Heiji, maupun kepercayaan saya pd Bapak, hny bisa terbentuk oleh pengalaman yg tdk sebentar. Perlu bertahun-tahun untuk mendapatkan kepercayaan sedalam itu.


Dalam hubungan dalam masyarakat juga begitu. Kita perlu mempercayai satu sama lain shg tdk mudah curiga dan dipecah belah. Dan kepercayaan semacam itu hanya bisa terbentuk oleh pengalaman dalam waktu yg lama.
Oleh karena itu, jangan berharap orang lain akan percaya bahwa Islam adalah rahmat bagi semesta kalau kita sbg umat Islam tdk bisa membawa ketenangan bagi sekitar. Kita tdk bisa meminta orang lain percaya bahwa Islam adl agama terbaik kalau kita sbg muslim suka telat kalo janji, suka lupa bayar utang atau tdk profesional dlm bekerja. Orang lain ga akan percaya bahwa Islam adl agama yg benar kalau kita sbg umat muslim hobi share berita dari portal berita abal2 hanya krn isi beritanya mendukung hipotesis kita, atau kita hobi share artikel yg membanggakan kelompok sendiri dan menjelek2kan kelompok lain pdhl beritanya blm tentu benar. Orang lain tdk akan percaya bahwa muslim adl orang2 yg berpikiran luas kalau kita hanya hanya terus mengumbar keburukan seseorang (lalu melupakan semua kebaikan dan prestasinya) padahal awalnya kita tidak suka hanya pada satu keburukannya. Jgn berharap orang lain akan melihat Islam sbg agama yg damai dan penuh kasih sayang (rahmat) kalau mereka melihat kita suka membanding2kan penderitaan masyarakat yg satu dg masyarakat yg lain.
Kalau orang2 di sekitar kita melihat perilaku kita yg santun, bijak dan penuh kasih sayang scr konsisten selama bertahun2 sehingga mereka percaya bahwa kita adl muslim yg baik, maka jika suatu saat kita marah saat melihat keburukan, maka orang lain tidak akan menilai kita "baperan", "sensitif" atau "rasis". Mereka akan paham bahwa kita marah krn melihat keburukan yg terjadi, bukan karena membenci orang, ras atau kelompok tertentu.
Sebelum orang lain percaya bahwa kita adl umat yg baik, mereka akan terus menganggap kita baperan, tidak welas asih dan rasis saat kita memerangi keburukan. Jangan salahkan mereka. Mungkin ini juga salah kita yg tdk bisa membuat mereka percaya.

Keburukan tdk akan berubah mjd baik jika kita memeranginya dg cara yg buruk. Cara yg buruk hanya akan membuat niat baik untuk membenahi dilihat sebagai perusakan.


Jadi kapan saya bisa tidur di atas motor yg dikendarai suami saya, spt saya bs tidur saat membonceng motor Bapak?

Minggu, 20 November 2016

MENGINGAT

Sejak ponsel saya rusak dan otomatis akun twitter ter-log-out dan saya lupa password twitter saya, otomatis saya mengalihkan ocehan saya di facebook.
Beberapa ocehan ternyata cukup panjang, tapi tidak tersimpan sebagai Note, sehingga sulit untuk ditelusuri ulang. Oleh karena itu, hari ini saya menelusuri ulang halaman facebook saya, dan menyalin ocehan-ocehan panjang saya dalam blog ini. Berharap lebih mudah ditelusuri ulang, dan dapat menjadi pelajaran jika di masa mendatang saya mengalami masalah serupa, atau sebagai pengingat jika di masa mendatang saya berubah menjadi orang yang saya benci kelakuannya hari ini.

Mari saling mengingatkan.

PEREMPUAN HEBAT

Dibalik pria yang hebat, selalu ada wanita hebat. Kalau bukan ibunya, pasti istrinya (atau mungkin sekretarisnya? ;p)

Dan tidak ada laki-laki hebat yang mau menikahi perempuan yang tidak hebat. Kalau kamu mengenal laki-laki hebat yang istrinya kelihatan biasa-biasa saja, bisa jadi:
1. Si istri memiliki kehebatan yang tak kasat mata (#apasih) yang tidak bisa dilihat oleh sembarang orang. Hanya orang-orang terdekatnya yang bisa tahu kehebatannya. Misalnya meski tampaknya biasa saja, si istri ternyata punya kesabaran yang luar biasa, doa yang luar biasa, visi-misi keluarga yang luar biasa, sifat keibuan yang luar biasa, managerial keuangan keluarga yang luar biasa, kekayaan orangtua yang luar biasa (ini sih suami matre), dukun yang luar biasa (yaelah) .... atau kecerewetan yang tiada tara (haha).
2. Standar kehebatan kamu yang perlu diubah/ diperluas. Kalau standar "wanita hebat" versi kamu adalah yang tinggi putih cantik kaya raya semlohai, berarti standar kamu sempit banget. Atau kalo kamu nyari istri hanya yang pintar masak, hobi beberes rumah, rajin nyetrika baju ... mungkin kamu nyari asisten rumah tangga bukan nyari istri.
Saya ga bilang bahwa perempuan yang tinggi putih cantik kaya raya semlohai itu bukan istri yang hebat. Saya juga ga bilang bahwa perempuan yang pintar masak, hobi beberes rumah dan rajin nyetrika baju itu mendingan jadi asisten rumah tangga aja. Hanya saja, kadang kita terlalu sempit mendefinisikan "perempuan hebat". We judge people easily. Inget kasus "Ibu bekerja vs Ibu bekerja di rumah" yang sempet heboh di FB beberapa waktu lalu kan? Perempuan yang bekerja sibuk posting "buat apa sekolah tinggi2 kalau di rumah aja", sementara perempuan yang bekerja di rumah heboh membalas "mendingan anak gue dong dididik sama sarjana, daripada anak lo dididik pembantu". Duh! Padahal nggak ada lho ibu bekerja yang dengan entengnya ninggalin anaknya di pagi hari, dan bisa jadi ibu yang nggak bekerja di luar rumah itu justru lebih sibuk daripada ibu bekerja. Jadi sodara-sodara, jangan maksa orang lain untuk memakai sepatumu.
Begitu juga tentang "istri hebat". Jangan dengan mudahnya menilai kehebatan orang lain. Kamu nggak jadi hebat dengan meremehkan orang lain, dan sebaliknya, kamu nggak jadi butiran debu karena mengakui dan belajar dari kehebatan orang lain.
3. Kamu lagi nonton drama Korea. No comment kalo ini mah. Udah nikmati aja ceritanya.


Jadi kalau nanti kamu lagi jalan-jalan di mall trus lihat om-om tampan-kaya raya-mirip Lee Min Ho lagi gendong anak kecil, jalan berdampingan dengan perempuan yang penampakannya biasa2 aja, jangan buru2 bilang "Mas, dalam Islam, poligami itu diperbolehkan lho". Bisa jadi yang di sebelahnya itu baby sitter anaknya (halah) ... trus istrinya jalan di belakang sambil siap2 melemparkan tombaknya ke kamu.

BANGGA

Kita pasti pernah lihat iklan susu formula di televisi Indonesia. Gara-gara minum susu formula tertentu, si anak jadi bisa membawakan minuman untuk tamu. Lalu para tamu akan bilang "Duh, pinter banget si. Anak siapa sih ini?" Hal ini mengindikasikan bahwa jenis susu formula yang diminum tidaklah sepenting asal-usul anak tersebut, bahkan meski sudah jelas itu anaknya Ibu Neneng.
Di sisi lain, kalau ada anak yang badung banget dan suka manjat pohon mangga tetangga, pasti pertanyaan pertama yang ditanyakan adalah "Ini anak siapa sih?"
Begitulah. Bagaimanapun, dalam hidup kita tidak pernah bebas dari penilaian orang-orang. Sialnya, entah itu perbuatan baik atau perbuatan buruk, orang-orang akan selalu mengaitkan perilaku kita dengan orang-orang yang kita sayangi. Itulah mengapa bahkan sayapun, sebagai orang yang sebenarnya tidak pernah peduli dengan pendapat orang lain, kadang terpaksa mengikuti arus demi meminimalisiri orang-orang bilang "Itu anak perempuan yang berantem terus sama anak cowok itu anaknya siapa sih?" atau "Itu anak perempuan yang selalu menang lomba makan sama anak cowok itu, anaknya siapa sih?"

Mungkin begitulah, salah satu cara menunjukkan kecintaan kita kepada orang-orang yang kita sayangi adalah dengan menjaga nama baiknya dan membuatnya bangga (tentunya selain mengikuti perintah dan menjauhi larangan dari orang yang kita sayangi)
Mungkin begitu juga kalau kita ingin menunjukkan kecintaan kita kepada agama kita, Nabi Muhammad SAW dan Allah SWT. Menjadi rahmat bagi semesta, seperti yang dicontohkan Rasulullah, bukannya menjadi ancaman bagi orang lain. Menjadi umat yang bermanfaat, berprestasi dan membuat orang lain bertanya "Dia itu muslim ya? Baik ya. Pintar pula". Misalnya gitu.
Ngomong-ngomong, inget nggak dulu waktu masih SD, kadang ada anak bandel yang suka mengolok-olok nama orangtua kita misalnya? Meski kita tahu bahwa kehebatan orangtua kita tidak akan berkurang hanya karena bercandaan anak cemen, tapi toh kita tetap marah mendengar olok-olokan itu dan membela orangtua kita kan, karena kita sayang kepada orangtua kita. Mungkin begitulah cara kita menunjukkan kecintaan kita.

Jadi sudahkan kita menunjukkan kecintaan kita kepada agama, Rasulullah dan Pencipta kita?
Selamat Tahun Baru Hijriah. Mari hijrah, menjadi lebih baik dan lebih bermanfaat dan membanggakan.

CEMBURU

Katanya, cemburu itu tandanya sayang. Jadi kalau nggak cemburu, berarti mungkin ga sayang.
Tapi sebenarnya nggak cemburu bukan berarti nggak sayang. Bisa jadi:
1. Dia sebenarnya cemburu, hanya saja dia tidak mau menunjukkannya karena wajah kita menjadi sangat jelek saat marah dan cemburu. Bagi beberapa orang, mempertahankan wajah cool sangat penting :p
2. Karena dia percaya. Dia percaya bahwa sebanyak apapun fansmu atau sepopuler apapun kamu, kamu tidak akan pergi. Dia percaya bahwa kamu bisa menjaga kepercayaannya, sehingga dia tidak perlu merasa takut atau cemburu lagi.
Jadi kalau dia cemburu terus, bisa jadi dia nggak percaya bahwa kamu bisa dipercaya ... atau dia yang nggak percaya pada dirinya sendiri. Dia mungkin nggak percaya bahwa dirinya pantas buat kamu.

- Jang Jae Yeol & Ji Hae Soo -
- Gwenchana, Sarangiya-

SEPEDA, YOGHURT dan DRAMA KOREA

Ada orang yang meski sepedanya berkali-kali rusak, tetap tidak mau ganti sepeda. Meski kadang repot sendiri karena harus berkali-kali membawa sepeda ke bengkel, dan meski sebenarnya punya cukup uang untuk membeli sepeda baru, orang ini tetqp tidak mau membeli sepeda baru. Bisa jadi dia pelit. Tapi mungkin juga krn dia sudah merasa nyaman dengan sepedanya. Karena sepeda itu sudah membawanya menuju tempat2 menakjubkan.
Orang seperti ini, kalau sudah suka pada satu merk yoghurt tertentu, biasanya juga tidak mau makan yoghurt yang lain. Orang lain mungkin bertanya "Emang nggak bosan?". Tapi orang jenis ini biasanya punya batas rasa bosan yang melebihi orang normal. Bahkan kadang saat orang lain sudah bosan berteman dengannya, orang ini tetap tidak merasa bosan. Hmmm mungkin juga karena dia jenis orang yang membosankan shg tidak ada orang lain yang bisa membuatnya lebih bosan lagi.
Orang yang membosankan ini, kalau suatu saat pacaran sama Lee Min Ho, mungkin tiap minggu dia akan mengajak pacarnya bersepeda bersama hanya untuk membeli yoghurt kesukaannya.

PERJALANAN BERSAMA

Mungkin ada beberapa alasan mengapa saya suka pergi kemana-mana sendirian.
Alasan pertama, dan alasan yang paling jelas, adalah karena saya terlalu lama sendiri (trus nyanyi lagunya Kunto Aji #halah) sehingga saya terbiasa kemanapun sendirian. Banyak orang yang bertanya "kok bisa sih nonton bioskop sendirian?" atau "kok makan di restoran sendirian?", tapi anehnya saya tidak pernah merasa kegiatan-kegiatan tersebut aneh jika dilakukan sendiri.
Alasan kedua, karena saya merasa lebih bebas sendirian. Bukannya saya tidak punya teman nonton atau makan bareng, tapi ada kalanya nonton dan makan sendirian memang lebih menyenangkan. Kita bebas menentukan makan apapun, atau nonton film apapun yang kita mau, tanpa harus mempertimbangkan apa yang ingin dimakan/ditonton orang lain.
Alasan ketiga, karena saya tidak suka bertanggungjawab atas orang lain. Saya bisa dengan mudah menentukan mau makan/ nonton apa, tapi lebih sulit kalau ditanya "kita mau makan apa nih?". Kalau saya salah memilih makanan untuk diri saya sendiri dan ternyata tidak enak, toh saya sendiri yang menikmatinya. Kalau saya salah memilih film dan ternyata tidak bagus, toh saya sendiri yang mati kebosanan menontonnya. Tapi kalau saya harus memilihkan makanan/ film yang akan dinikmati/ ditonton orang lain, saya akan merasa bersalah jika ternyata makanan/ film yang saya pilih mengecewakan orang lain (bahkan meski orang tersebut tidak menyalahkan saya) Saya tidak suka membuat keputusan untuk orang lain. Mungkin itu kenapa saya belum bisa menjadi pemimpin yang baik.

Itu kenapa saya lebih suka melakukan perjalanan sendiri. Saya bisa menentukan destinasi sendiri, dan bahkan jika saya melakukan kesalahan atau nyasar dimana-mana selama perjalanan, hanya saya sendiri yang menderita, dan tidak melibatkan orang lain dalam kesulitan yang saya sebabkan. Kalaupun melakukan perjalanan bersama-sama, saya lebih memilih menjadi pengikut dibanding menjadi orang yang mengatur perjalanan. Saya bukan pengikut yang cerewet, sehingga saya dengan mudah mengikuti perjalanan yang telah diatur oranglain. Kalaupun selama perjalanan kami nyasar kemana-mana, setidaknya saya tidak didera perasaan bersalah karena telah menyebabkan oranglain nyasar. Saya tidak keberatan tersesat (karena nyasar memang salah satu bakat saya), saya hanya tidak tahan menghadapi perasaan bersalah jika membuat orang lain susah. Itu mengapa saya tidak suka mengatur perjalanan untuk orang lain.

Itulah mengapa saya kagum pada mereka yang berani melakukan perjalanan bersama. Karena saat kita memutuskan untuk berjalan bersama orang lain, berarti kita telah berani bertanggung jawab atas orang lain. Saat kita berani melakukan perjalanan hidup bersama orang lain, bukan berarti kita tidak takut akan mengecewakan orang tersebut .... hanya saja kita berani untuk percaya pada diri sendiri bahwa kita akan berusaha sekuat tenaga membahagiakannya. Mereka yang berani melakukan perjalanan bersama, meski tidak bisa selalu bisa mengambil keputusan yang tepat dan mungkin akan menyakiti orang yang bersamanya, tapi mereka berani bertanggungjawab, tidak berlarut-larut pada rasa bersalah, dan berfokus memperbaiki keadaan.

Jadi kalau sampai sekarang saya masih pergi kemana-mana sendirian, mungkin karena saya belum berani menentukan rute perjalanan untuk orang lain dan takut membuat orang lain tersesat. Mungkin saya masih terlalu takut mengecewakan orang, terlalu khawatir tidak bisa membahagiakan orang lain, dan tidak berani menghadapi rasa bersalah.


Groningen, 5 Januari 2016

HARI

Saya adl orang yang tidak punya ambisi dalam hidup. Seperti orang normal pada umumnya, saya tentu punya tujuan, keinginan atau kesukaan pada hal tertentu, tapi saya tidak pernah begitu berambisi atau terobsesi pada hal tsb.
Misalnya, meskipun saya suka nonton drama Korea dan mendengarkan lagu2 Korea, saya tdk pernah mengidolakan artis Korea ttt sampai saya mengetahui segala hal ttgnya.
Saya jg tdk pernah tll ingin pergi ke suatu tempat ttt (kecuali Mekah). Saya suka mengikuti teman2 yg mengajak berpergian, tp saya tdk pernah pny keinginan u/menginisiasi perjalanan ttt. Kalau tidak ada yg mengajak, saya hny akan tidur saja di rumah.
Saya jg memiliki rencana2 dalam hidup, tapi saya tdk pernah tll terobsesi atau memiliki target ketat dlm mencapai tujuan tsb. Saya berencana menikah, memiliki 2 anak dan jd ibu rumah tangga ... tapi saya tdk pernah tll fokus mencari jodoh (pantesan jomblo mulu).
Bahkan kl ada teman yg tanya tentang hobi saya, saya bingung mnjawabnya. Saya nyaris tdk pny hobi ttt. Saya menyukai bbrp hal tp tdk pernah terlalu tekun menjalaninya. Maka biasanya saya menjawab bhw hobi saya adl makan dan tidur.

Malang bagi Ibu saya krn memiliki putri spt saya yg tdk memiliki ambisi dalam hidup. Bukannya saya tidak tahu bahwa Ibu saya sempat kecewa ketika saya lebih memilih mjd guru dan berhenti dr pekerjaan saya sblmnya di industri farmasi yg menjanjikan masa depan (stdknya scr finansial) yg lbh cerah. Menurut beliau, dgn kecerdasan saya (yg meski hnya sepersepuluh kecerdasan beliau), saya bs memiliki masa depan yg lbh baik di industri farmasi (stdknya dlm hal finansial) drpd sekedar mjd guru. Tapi krn saya memang orang yg tdk pny ambisi dlm karir, saya lbh memilih kesenangan saya (mengajar --- dan curhat). Ibu merasa saya menyia2kan potensi saya. Meski demikian, beliau tetap mendukung keputusan yg membuat saya bahagia.
Seperti halnya manusia bergolongan darah B, saya cenderung hidup dg santai dan "lihat nanti aja", yg penting hepi. Oleh karena itu, setiap hari rasanya sama bagi saya. Karena tidak pernah ada hal istimewa yg hrs saya lakukan, atau tujuan ttt yg saya sgt ingin capai, maka setiap hari terasa sama. Beberapa hari mgkn lebih membahagiakan dibanding hari2 lainnya, misalnya hari gajian (ya iyalah) atau hari kelahiran orang2 tersayang bagi saya. Beberapa hari mgkn lbh menyedihkan drpd hari2 lain, misal saat mantan saya (Min Ho) akhirnya pny pacar (halah), atau saat Western Blot saya gagal. Selebihnya, semua kesedihan dan kebahagiaan datang di hari2 saya silih berganti.

Maka tidak ada yg istimewa ttg perayaan tahun baru bagi saya.
Bbrp orang merayakannya. Tapi saya tdk merasa ada yg perlu dirayakan. Saya merasa perlu mensyukurinya, tentu saja, bahwa saya telah berhasil melalui 1 tahun lagi. Mengingat2 lagi rahmat yg diberikan Tuhan kpd saya hingga saat ini, tentu saja itu perlu disyukuri. Tapi bukan u/dirayakan. Karena toh semua pencapaian saya di tahun ini hanya mgkn tjd krn rahmatNya.
Beberapa orang membuat resolusi tahun baru. Saya sudah tidak pernah lg membuatnya sjk bbrp tahun lalu. Saya hanya bercerita pada Tuhan ttg rencana dan keinginan saya, tp saya tdk pernah lagi menetapkan bahwa di tahun ttt saya harus memilikinya. Saya sadar bahwa Tuhan lebih tahu kapan waktu yg tepat bagi saya u/ memilikinya.

Yesterday is a history.
Yang bisa kita lakukan adl mensyukurinya dan mengambil pelajaran darinya. Jangan lagi menyesalinya. Disesali atau tidak, masa lalu tidak bs berubah.

Tomorrow is a mystery.
Yang bisa kita lakukan adl merencanakannya. Tapi tdk perlu mengkhawatirkannya. Kecemasan tidak mengubah apapun kecuali kita mengubah kecemasan mjd tindakan.

Today is a gift.
Yang bisa kita lakukan adl menjalaninya dg sepenuh hati. Hari ini cuma sekali, kita tdk bs mengulangnya. Hari ini akan mjd masa lalu di esok hari, jgn sampai besok kita menyesali masa lalu krn kita melewatkam hari ini.

Today is present.
Hadiah dari Tuhan. Yg bs kita lakukan adl mensyukurinya (dan salah satu cara mensyukuri nikmat Tuhan adl dgn memanfaatkannya dg sebaik2nya) Dan berbahagia dengannya. Jgn tunggu bsk u/ berbahagia. Krn mgkn tidak akan ada esok hari.


Selamat menikmati hari terakhir di tahun ini, teman. Mari mensyukuri hari2 yang telah lewat. Dan mari berdoa untuk hari2 mendatang yg lebih baik dan bermanfaat.


Praha, 31 Desember 2015

JAKET

Malam ini pas saya lagi lihat2 foto2 slm dua pekan terakhir ini, saya spt baru sadar bhw dimanapun lokasinya, saya sll berfoto dgn jaket tebal merah warisan dr mbak Awalia Febriana. Kalau dilihat2, saya geli sendiri melihat foto saya, krn saya nampak gemuk dan "berotot" dg jaket super tebal tsb haha. Lalu kl saya bandingkan dg foto2 adik saya, kok dia nampak kece-langsing ya dg jaket hitamnya. Sempat merasa menyesal krn tidak memakai jaket lain yg nampak lbh langsing (kan nanti jd ga ada yg naksir saya lagi, hiks). Tapi kalau mengingat bahwa jaket super tebal ini sdh menyelamatkan hidup saya dr kedinginan di Eindhoven dan Budapest, saya tdk jadi menyesal sudah memutuskan membawa jaket ini bersama saya. Jaket ini memang yg paling layak menemani saya berkeliling ke enam negara. Bukan karena penampilannya, tapi karena kenyamanan dan jasa2nya menyelamatkan hidup saya.

Mungkin spt itulah pasangan hidup. Bukan hanya yg nampak kece diajak kondangan atau reuni (ketemu mantan), tapi yg paling membuat kita nyaman dan aman/terlindung.
Maka kalau sesekali kita mulai merasa pasangan (suami/istri) tetangga lebih kece, ingatlah kembali jasa2 pasangan kita. Bukankah dia yg sdh rela mengorbankan byk hal demi bersama kita? Mungkin dia tidak perlu mengorbankan hal2 tsb jk bersama orang lain. Bukankah dia yg paling membuat kita nyaman, shg kita perlu jaim lagi, atau tdk perlu khawatir mendengkur, di hadapannya? Bukankah dia yang sdh menjagamu, dan menjaga kepercayaanmu? Bukankah kamu yg sdh memilihnya menemani perjalananmu? Lalu apa kamu skrg menyesal sdh mengajaknya bersamamu?

Praha, 30 Desember 2015

TAHU DIRI

Manusia kdg lupa bhw keinginan hrs sebanding dg kemampuan dan usaha (plus doa).
Kl ingin menyelenggarakan suatu program tp sumber dayanya kurang (krg dana atau krg SDM) maka diperlukan usaha yg lbh u/mengusahakan sumber daya yg lain, atau setidaknya usaha yg lebih u/ mengikhlaskan kl hasilnya ga sesempurna yg kita bayangkan (kombinasi orang perfeksionis tp ga byk bisanya, adl kombinasi yg nyebelin).
Kalau ingin jd orang sukses, tp dr keluarga yg krg mampu, maka tentu usahanya (dan doanya) hrs lbh besar drpd orang lain.
Kalau ingin lulus S3 pdhl ga pinter2 amat (ky saya, hiks), maka usaha (belajar) n doanya hrs dilebihkan drpd orang2 lain yg memang sdh pd dasarnya pintar.
Kalau ingin jd wanita bekerja dg keluarga yg tetap terurus, maka perlu kemampuan multitasking yg melebihi wanita normal, atau kemampuan finansial u/ minta bantuan seseorang mengurus anak dan rumah. Orangtua kita harusnya menghabiskan masa tuanya dg ibadah n bermain dg cucu, bukan mengurus cucu dan rumah kita.
Kalau ingin lulus kuliah dg nilai baik pdhl kita ga pintar pd mata kuliah tsb, maka kita perlu belajar lbh byk drpd teman2 lain atau perlu bertanya lbh byk pd dosen.
Kalau sudah merasa bhw kita krg berhasil dlm ujian dan rasanya perlu ujian remedial, jangan buru2 mudik! Atau kl udh terlanjur mudik, ya itu risiko pribadi kl hrs balik mudik sblm waktunya u/ujian ulang.
Kombinasi murid spt di bawah ini adl tipe murid yg akan lgsg saya gorok di depan mata saat dia mhadap saya:
1. Jrg masuk kuliah/praktikum, atau titip absen
2. Jrg mengerjakan tugas
3. Nilai ujian menyedihkan
4. Beli tiket mudik meski nilai ujian blm diumumkan
5. Pas udah mudik n tnyta nilai ujiannya jelek, heboh minta remedial ke dosen (mahasiswa tu pernah sadar ga si bhw bikin soal ujian itu ga semudah bikin keributan di lab?)
6. Pas dosennya udh bersedia ngasih remedial, trus dia masih nawar dan berusaha membujuk dosen u/ remedial stlh dia balik dr kampung.
7. Kalau ga berhasil membujuk ujian remed stlh balik mudik, dia msh berusaha membujuk dosen u/ memberinya tugas tambahan asal bs lulus matakuliah tsb.
Ketahuilah, teman, bahwa manusia yg kemampuan, usaha, dan doanya kecil tapi kemauannya besar, pasti kemaluannya kecil (baca: ga tau malu)

TERLALU BAIK

Kata orang, kalimat kayak gini ni cuma omong kosong "Kamu pantas mendapat yang lebih baik daripada aku". Kadang itu dipakai sebagai kalimat pamungkasi untuk menolak atau minta putus kalau kita nggak punya alasan yang masuk akal atau takut menyakiti perasaan yang ditolak.
Well, kalau kita tahu bahwa kita nggak cukup baik buat dia, harusnya kita berusaha untuk menjadi lebih baik dan menjadi yang pantas buat dia kan? Jadi harusnya nggak ada alasan untuk ngomong "kamu terlalu baik buat aku" kan?

Tapi, teman, kamu baru akan tahu bahwa kalimat itu bukan sekedar omong kosong atau alasan penolakan belaka pada saat kamu sangat menyayangi seseorang dan tahu bahwa dia akan jauh lebih baik tanpa kamu. Saat itu kebahagiaannya adalah pertimbanganmu yang terbesar.
- Runi & Rama -


Groningen, 11 Desember 2015

CUMA

Pernah nggak kita mendengar kata-kata ini "Ya ampun, padahal aku cuma minta tolong gitu doang lho, tapi dia nggak mau nolongin. Padahal aku nggak minta uang lho."
Atau pernah dengar yang begini: "Aku cuma minjem uang sedikit doang lho, tapi dia pelit banget nggak mau minjemin. Aku kan nggak minta, cuma minjem, pasti dibalikin"
Padahal mungkin, orang yang kita mintai tolong bukannya tidak mau menolong. Hanya saja, yang kita minta tidak sesuai dengan kemampuannya untuk menolong.
Bagi orang yang tidak punya banyak waktu/ tenaga, maka dimintai bantuan uang justru lebih mudah drpd dimintai bantuan tenaga. Di sisi lain, bagi orang yang tidak punya kelebihan uang, akan lebih senang hati jika bisa membantu dengan tenaga dan waktunya.
Maka bagaimanapun, rasanya penting untuk menyadari bahwa berat/ ringannya suatu urusan tidak sama bagi semua orang. Orang yang dekat dengan kita pasti akan dengan senang hati membantu kita. Maka jika ia tidak bisa membantu, itu pasti bukan karena tidak mau membantu, tapi karena bantuan yang kita butuhkan tidak sesuai dengan bantuan yang bisa dia berikan.

KELAKUAN

Beberapa hari lalu saya ngobrol dengan seorang teman tentang lowongan kerja di suatu perusahaan. Saya tahu bahwa dia tertarik untuk bekerja di perusahaan tersebut, tapi dia memutuskan untuk melewatkan lowongan tersebut.
"Kalau gue melamar kesana, maka bos gue adalah si Ibu itu," begitu alasannya. Si Ibu yang kita bicarakan adalah mantan atasannya dulu, yang sekarang bekerja di perusahaan yang menawarkan lowongan kerja untuk teman saya itu.
Seperti teori yang telah kita ketahui bersama, seperti juga yang pernah disampaikan oleh Raditya Dika dan Pandji Pragiwaksono dalam stand up comedy mereka, kalau kamu punya pacar, kamu cuma bisa mendapatkan dua hal dari tiga hal pada pacar kamu: kecantikan, kepandaian, atau kewarasan. Jadi kalau kamu merasa beruntung banget punya pacar yang cantik dan pintar,,, waspadalah, mungkin pacar kamu sakit jiwa :p
Untung gue nggak cantik dan nggak pinter (eh tapi ga ada yang bilang gue waras juga sik -___-)

Seperti itulah kira-kira si Ibu bos yang diceritakan teman saya itu: cantik, pintar ... tapi sakit jiwa. Kata Raditya Dika, "Cewek yang cantik dan pintar pasti sadar bahwa dirinya cantik dan pintar. Maka biasanya dia menjajah pacar mereka." Hahaha. Bayangkan kalau yang cantik, pintar dan sakit jiwa itu bosmu. Habis hidup lo!
Mengapa teman saya menyebut bosnya "sakit jiwa"? Karena tidak ada yang bisa memuaskan si bos tersebut. Tidak ada satupun anak buahnya yang memiliki kinerja bisa memuaskan beliau. Tidak ada satupun anak buahnya yang memiliki kinerja yang baik (menurut beliau). Itu mengapa tidak ada orang yang betah menjadi anak buahnya lebih dari satu tahun. Bahkan seorang teman lain yang lulus dari perguruan tinggi di luar negeri sekalipun tidak bisa memuaskan beliau. Sampai-sampai ada lelucon "Pasti si Ibu bos susah orgasme" #ikiuwoppooo
Mungkin standar kinerja si Ibu sangat tinggi sehingga hanya bisa dicapai oleh si Ibu Bos sendiri. Tapi saya pernah dengan cerita juga bahwa si Ibu bos mengeluh kepada Plant Directornya (#trusBaper) "Aduh kerjaan saya banyak. Masa saya kerjakan sendiri. Saya mau rekrut anak buah ni Pak". Lalu dijawab oleh Plant Director "Makanya bu, kalau punya karyawan itu dibina, jangan dibinasakan melulu"
Gara-gara si mantan bosnya itu, teman saya pun memutuskan untuk tidak melamar ke perusahaan tersebut. "Si Ibu masih lama pensiunnya ya? Satu-satunya cara gue bisa masuk perusahaan itu ya harus nunggu Ibunya pindah kerja atau Ibunya meninggal". Ini agak-agak gimana sih ya harapannya. Tapi karena saya juga mengetahui kelakukan si Ibu bos, jadi saya memahami perasaan teman saya yang mengatakan hal tersebut. Trus teman saya bertanya kepada saya "Kenapa juga atasannya si Ibu itu nggak bertindak atau ngasih peringatan gitu ya, supaya si Ibu nggak semena-mena?", lalu saya menjawab "Mungkin bos besar juga sudah pernah ngasih peringatan, tapi karena performancenya oke (diluar kelakuannya yang ajaib), jadi nggak ada alasan untuk memecat juga. Mungkin bos besar juga udah males menghadapi kelakuan Ibu itu." Ada pepatah bilang "Kalau berantem sama orang gila, yang waras harusnya ngalah." Mungkin si bos besar menerapkan pepatah tersebut.
Lagipula, bentuk paling jahat dari kebencian bukan perlawanan... tapi pengabaian. Jadi kalau pacar kamu masih suka marahin kamu karena telat makan atau begadang mulu, harusnya kamu bersyukur. Karena kalau dia udah nggak pernah marah lagi dan mengabaikan kamu, itu bentuk akhir dari kebencian kepadamu.

Di akhir rumpian, kita berkesimpulan "Udah nggak ada harapan Ibunya bakal berubah kecuali dengan mukjizat Ilahi. Kalau ingat si Ibu mah harapan gue cuma supaya gue inget terus kelakuan si Ibu sehingga di masa depan kelakuan gue nggak bakal kayak gitu."
Ngomong-ngomong soal kelakuan kita di masa depan, meski kita terus berusaha untuk selalu makin baik setiap hari, tidak ada yang menjamin bahwa di masa depan kita tidak akan menjadi pribadi yang menyebalkan. Kalau diingat-ingat, dulu saya suka sebel sama dosen yang suka mengeluh tentang kelakuan mahasiswa. Ada dosen yang susah move on dan ngomong gini terus "Dulu jaman saya mahasiswa ...blablabla...". Menanggapi dosen yang seperti itu, dulu saya suka ngomong gini dalam hati "Duh Pak, move on kaliiii. Ngomongin masa lalu mulu. Gimana mau ngomongin masa depan (sama saya)" #lho #salahfokus
Maksudnya, dulu saya suka sebel sama dosen yang suka membanding-bandingkan kami dengan generasinya dulu. Tapi sekarang, saat saya jadi guru, kadang saya juga suka membandingkan kelakuan anak-anak jaman sekarang dengan kelakuan kami masa sekolah dulu. Saya kadang merasa anak-anak jaman sekarang kelakukannya makin ajaib. Tapi kemudian saya berpikir, mungkin bukan kelakuan mereka yang makin ajaib, mungkin saya yang susah move on. Mungkin bukan mereka yang makin kampret, tapi karena jenis kekampretan tiap jaman berbeda. Maka saya yang harus berusaha mengupdate pengetahuan tentang kekampretan dari masa ke masa sehingga bisa berusaha meminimalisirnya.
Sekarang, mungkin murid-murid saya yang suka sebel mendengar saya mengeluhkan kelakuan mereka, seperti dulu saya sebel mendengarkan guru-guru saya mengeluhkan kenakalan kami.

Seiring berjalannya waktu ... makin banyak orang yang tidak menyukai saya.
Maka mungkin benar adanya jika ada yang bilang bahwa Tuhan memanggil orang-orang baik terlebih dahulu. Karena Tuhan menyayangi orang-orang baik ini, maka Tuhan memanggilnya lebih cepat sebelum orang-orang baik ini berubah menjadi orang-orang menyebalkan. Tuhan menyelamatkan kenangan akan orang-orang baik ini, sehingga tidak ada orang yang sempat memiliki kesan buruk terhadap orang baik ini.
Tuhan menyayangi orang-orang baik sehingga Tuhan menjaganya dari masa depan yang mungkin akan merusak kenangan baik tentang orang ini. Itu mengapa Tuhan memanggil orang-orang baik ini terlebih dahulu, sebelum makhluk-makhluk kampret seperti kita ini belum sempat menemukan kelemahan dan keburukan dari orang-orang ini. Tuhan sayang, maka Ia menjaga.
Tepat satu hari setelah saya ngerumpiin si Ibu bos sakit jiwa dengan teman saya tersebut, saya mendengar kabar bahwa salah satu teman saya meninggal. Ia meninggal di usia yang masih sangat muda, belum mencapai 30 tahun. Karena penyakit yang tidak pernah saya duga dapat menyebabkan kematian. Satu lagi tanda bahwa ajal tidak mengenal usia. Siapa yang bilang kita akan mencapai usia 50 tahun?

Apa yang lebih menyedihkan daripada melihat yang lebih muda pergi mendahului yang lebih tua?
Mungkin yang lebih menyedihkan daripada itu adalah melihat orang-orang baik pergi, sementara orang-orang sakit jiwa masih saja menguasai dunia persilatan (mungkin harus nunggu negara api menyerang).
Tapi kemudian saya sadar, tidak ada yang perlu ditangisi berlebihan. Tuhan memanggil orang baik terlebih dahulu karena Ia menyayangi orang tersebut, sehingga menjaganya dari menjadi orang menyebalkan dan sakit jiwa di masa depan.
Maka bagi kita yang masih tinggal di dunia yang penuh orang-orang kampret ini, yang kita butuhkan adalah ukhuwah ... silaturahmi dengan orang-orang baik yang tidak hanya mendukung untuk menjadi lebih baik, tapi yang juga mengingatkan saat kita mulai menjadi makhluk kampret di masa depan.
Waktu saya lagi ngerumpi di lab sama teman, saya bilang "Nanti kalau saya jadi orang yang nyebelin, ingetin saya ya.",,,, trus dia bilang "Emang situ masih bisa lebih nyebelin lagi? Sekarang aja udah nyebelin banget" -____-"

CEMBURU

Beberapa hari lalu ketika saya ngobrol sama salah satu teman saya di Indonesia, tetiba dia bilang "Kalau lihat foto jalan2 lo, gue jadi mupeng". Dan setelah diingat-ingat, bukan hanya dia saja yang bilang begitu. Beberapa teman yang lain juga pernah bilang "Iri deh lihat lo bisa jalan2 keliling Eropa"
Setiap kali mendengar kalimat ini, saya selalu dihinggapi sebersit rasa bersalah. Andai saya tidak mem-post foto2 jalan2 saya di media sosial, tentu tidak perlu ada orang yang iri.
Meski demikian, sebenarnya saya tidak pernah memasang foto jalan2 di media sosial dengan maksud pamer. Apalagi bermaksud untuk memotivasi orang lain (saya kan bukan Mario Teguh). Saya hanya suka mengabadikan momen-momen dalam hidup saya (karena saya orangnya pelupa).
Tapi kemudian saya menyadari hal lain. Meski saya sendiri sudah jalan-jalan ke beberapa negara di Eropa, saya tetap sering mupeng kalau orang lain memasang foto jalan2 di Jepang dan Korea. Saya masih suka baper melihat orang lain yang bisa jalan2 ke luar negeri tanpa memikirkan biaya perjalanan karena keluarganya berkecukupan (sementara saya baru bisa jalan2 ke luar negeri karena sekolah disini). Saya juga iri pada orang yang pergi ke tempat2 yang juga saya kunjungi, tapi berhasil mengabadikan foto yang jauh lebih cantik. Saya sering merasa minder pada orang-orang yang selalu bisa menulis hal-hal yang bermanfaat (bukan cuma bisa nulis curhatan kayak gini). Saya mupeng lihat foto ibu-ibu yang sedang menggendong anaknya. Saya iri pada orang-orang hebat dan cerdas di sekitar saya, yang selalu bersemangat, berambisi dan memiliki target masa depan yang jelas (sementara saya nggak punya ambisi lain selain jadi ibu rumah tangga). Dan saya selalu cemburu pada orang-orang yang sudah selesai dengan masalah pribadinya dan sibuk berkontribusi kepada masyarakat.

Sawang sinawang. 
Kita memang melihat rumput tetangga selalu lebih indah (karena kita tinggal menikmati keindahannya saja, tanpa pernah bersusah payah merawat rumput tetangga tersebut), sehingga yang kita lihat cuma bagian bahagianya saja. Seindah apapun taman yang kita miliki, kita akan selalu menemukan taman lain yang lebih indah.
Tapi kemudian saya berpikir, apa karena saya iri melihat orang-orang di sekitar saya, lalu mereka tidak berhak memposting foto di media sosial? Apa karena saya cemburu melihat prestasi mereka, lalu mereka tidak boleh melakukan apa2 di media sosial?
Berkaca pada pengalaman saya pribadi, tidak semua orang yang beraktivitas di media sosial bertujuan untuk pamer. Mungkin mereka hanya ingin berkabar, saling berbagi (berbagi resep masakan misalnya) atau saling memotivasi.
Sok banget ya saya menasehati orang lain supaya nggak baper-an. Padahal saya sendiri cemburuan. Mungkin tidak banyak yang tahu, tapi saya adalah orang yang mudah cemburu. Sekali saya menginginkan sesuatu tapi saya tidak/belum bisa mendapatkannya, saya akan cemburu pada orang-orang yang berhasil mendapatkan hal tersebut. Posesif dan pencemburu bukan kombinasi yang bagus kan?

Jadi apa solusinya supaya kita nggak iri melihat postingan orang lain di linimasa media sosial kita? Saya nggak tahu apa solusinya, karena saya sendiri orang yang cemburuan. Tapi seperti kata om Maggy Z "Jangan berlayar kalau kau takut gelombang", maka jangan beraktivitas di media sosial kalau kita takut jadi baperan. KIta tidak bisa mengendalikan orang lain untuk memposting atau tidak memposting sesuatu hanya demi menjaga perasaan kita. Kita sendirilah yang harus mengendalikan hati kita.

Saya pernah baca kata2 gini "Mungkin bukan mereka yang riya'. Mungkin kita yang dengki" Duh, jleb banget

NGGAK ENAK

Beberapa waktu lalu saya bertemu dengan teman yang berkunjung ke Belanda untuk urusan pekerjaan. Hari pertama tiba, dia sudah bertanya dimana bisa membeli oleh-oleh. Dia juga cerita bahwa kopernya hanya berisi seperempat bagian. Tiga perempat bagian dari kopernya kosong, dan sengaja disiapkan untuk oleh-oleh. Mendengar itu, saya merasa ada yang salah. Pertama, urusan oleh-oleh ternyata lebih penting daripada urusan pekerjaan. Kedua, oleh-oleh untuk oranglain ternyata lebih penting 3 kali lipat dibanding keperluan pribadi.
Kejadian serupa terjadi pada orang-orang yang menunaikan ibadah umroh atau haji. Banyak yang khusyuk beribadah. Tapi tidak sedikit juga yang khusyuk mencari oleh-oleh untuk kerabat dan teman. Lagi-lagi, saat berangkat umroh/ haji, mereka sengaja membawa koper yang jauh lebih besar daripada yang dibutuhkannya karena harus menyiapkan tempat untuk oleh-oleh.

Apa yang salah disini?
Ketika sekolah di Belanda, salah satu perbedaan yang saya perhatikan pada perbincangan setelah liburan adalah ... kalau orang Belanda akan bertanya "Eh kemarin ke XXX ya? Gimana disana? Ngapain aja?", tapi kalau orang Indonesia pasti nanya "Eh kemarin ke XXX ya? Mana oleh-olehnya?"
Ini obrolan ringan sebenarnya. Dulu saya juga suka menggunakan kalimat ini, bukan karena saya benar-benar ingin minta oleh-oleh dari teman yang berpergian, tapi hanya untuk memulai percakapan. Kadang juga hanya untuk menggoda. Tapi belakangan saya menyadari bahwa ada banyak teknik basa-basi atau teknik memulai percakapan yang lebih baik.
Sama halnya dengan pertanyaan "kapan nikah?", meski ditanyakan hanya untuk basa-basi membuka percakapan, atau karena memang kita peduli, tetap saja memberi beban kepada yang ditanya (berat/ringannya beban tentu tergantung objek penderita, apakah tipe jojoba atau tipe jones). Begitu pula dengan pertanyaan "mana oleh-olehnya?", meski ditanyakan hanya untuk menggoda, tetap saja memberi beban di hati yang ditanya.
Mungkin juga karena budaya "nggak-enakan" di masyarakat Indonesia, meski orang-orang terdekat tidak meminta oleh-oleh, tetap saja orang yang berpergian akan selalu mengalokasikan dana dan waktunya (dan tempat di kopernya) untuk oleh-oleh. Mengapa? "Karena nanti kalau nggak ngasih oleh-oleh, dianggap nggak sopan". Jadi kalau bagi orang Eropa, biaya berlibur mencakup transportasi, akomodasi, konsumsi dan hiburan .... tapi bagi orang Indonesia biaya berlibur juga mencakup biaya oleh-oleh.

Sifat "nggak enakan" orang Indonesia ini ternyata berimplikasi luas (#tsaahhh bahasa gue), termasuk "nggak enak kalau nggak nraktir temen pas ulang tahun" atau "nggak enak kalau nggak ngundang kawinan"
Dulu saat masih muda (iye, sekarang semua anak2 nggak ada lagi yang manggil gue "kakak", semua manggil gue "tante", jadi gue harus mengakui bahwa gue udah tua), selepas lulus sekolah, kami berencana untuk terus berkumpul sesekali untuk reuni, supaya silaturahmi terus terjalin. Supaya sekalian, kami memutuskan untuk reuni di setiap tanggal ulang tahun salah seorang diantara kami. Ide awal yang baik, tapi kemudian berubah menjadi menakutkan bagi yang ulang tahun karena khawatir akan diminta mentraktir. Kata-kata "traktir dong, kan ulang tahun" memang terdengar biasa dan hanya seperti menggoda. Tapi saya pernah berada dalam kondisi keuangan yang memprihatinkan karena harus fotokopi buku-buku/diktat farmasi yang tebalnya bisa bikin pencopet di KRL mati kalau dipukul pakai buku itu. Akhirnya, alih-alih menjadi hari yang membahagiakan, hari ulang tahun malah berubah menjadi menakutkan. Bahkan meski tidak ada teman yang meminta ditraktir, orang yang ulang tahun tetap merasa tidak enak kalau tidak mentraktir sementara teman-teman yang lain selalu mentraktir saat mereka ulang tahun.

Lain cerita tentang traktiran ulang tahun, lain lagi cerita tentang undangan kawinan. Seorang teman sudah mengadakan acara syukuran pernikahan di daerah kelahiran istrinya, tapi saat ia kembali ke kota tempatnya bekerja (sambil membawa istri yang baru dinikahinya), beberapa rekan kerja dan teman main futsalnya bertanya "kapan ngadain syukuran disini? Sekalian ngenalin istrinya ke kita-kita" Wow! Padahal biaya syukuran pernikahan di kota kelahiran istrinya saja tidak sedikit. Tapi karena merasa nggak enak dengan teman-temannya, ia kembali mengadakan acara makan-makan dengan teman-temannya, meski keuangannya setelah menikah juga belum stabil (pernah dengar kan kalau ada pasangan yang menikah dengan biaya pinjaman, sehingga setelah menikah mereka harus mencicil hutang biaya resepsi?)

Ada lagi teman lain yang bercerita tentang pernikahannya yang dilaksanakan dengan persiapan singkat karena suaminya harus berangkat sekolah ke luar negeri. Akibat persiapan yang singkat tersebut, ia terlewat mengundang beberapa orang. Dan ini menyebabkan pertanyaan beberapa orang. "Ya ampun, kok aku nggak diundang? Lupa ya sama aku?"
Pertanyaan semacam ini, meski ditanyakan dengan nada bercanda, dan tidak bermaksud memojokkan, tetap saja menimbulkan rasa bersalah pada orang yang ditanya tersebut.

Saya sendiri mengalami kejadian serupa. Salah satu teman kuliah dulu, yang masih terus berkomunikasi dengan saya (meski mungkin hnya 1 atau 2 bulan sekali) tidak mengundang saya ke acara pernikahnnya. Saya tidak tahu bahwa dia sudah menikah, sampai saya melihat foto bulan madunya.
Adalah wajar jika kita merasa kecewa jika tidak diundang oleh orang yang dekat dengan kita ke acara bahagianya. Beberapa pakan yang lalu bahkan saya sempat merasa kecewa kepada seorang teman karena tidak diajak berlibur padahal biasanya dia mengajak saya. Dengan piciknya, saya sempat berpikir "Dia kalau lagi butuh ditemani, mengajak saya jalan-jalan. Tapi kalau jalan-jalan dengan banyak teman, saya dilupakan". Serius, meski sudah sebesar ini, saya kadang bisa sangat bodoh dan berhati sempit. Tapi kemudian saya sadar, ada banyak alasan (yang kadang tidak sederhana), mengapa orang yang dekat dengan kita tidak mengajak/ mengundang kita ke acara bahagianya.

Maka sekarang, saya tidak pernah lagi bertanya mengapa saya tidak diundang. Saya juga tidak pernah lagi merasa sebal jika "dilupakan" dan tidak diajak oleh teman. Ada banyak alasan mengapa seorang teman tidak mengundang/ mengajak kita ke acara bahagianya: karena waktu persiapan yang mendesak, karena biaya yang terbatas, atau karena alasan lain. Apapun alasannya, ingatlah bahwa jika seseorang menganggap kita sebagai teman baiknya, maka ia akan selalu mengabarkan kabar gembira kepada kita. Maka jika orang tersebut tidak mengajak/mengundang kita, pasti ada alasan kuat dan mendesak. Dan jika kita memang merasa bahwa kita adalah teman baiknya, bukankah seharusnya kita memahami alasan tersebut? Jika kita dengan mudahnya merasa tersinggung dan tidak bisa memahami teman kita sendiri, mungkin kita memang bukan teman yang baik.

Mungkin begitu juga dengan oleh-oleh, atau hal lainnya. Jika seseorang menganggap kita sebagai teman baiknya, maka ia akan selalu mengingat kita, dan berusaha memberikan hal baik untuk kita, bahkan tanpa kita minta. Maka jika ia tidak memberikan hal yang kita harapkan (entah itu traktiran atau oleh-oleh, misalnya), maka ada dua alasan: dia tidak menganggap kita sebagai teman baiknya, atau dia dalam keadaan terdesak (mungkin keterbatasan finansial, waktu atau tempat). Di sisi lain, jika kita menganggap diri kita sebagai teman baiknya, tidak seharusnya kita berprasangka buruk kepada teman kita sendiri kan?


Groningen, 31 Maret 2016

LDR

"Rangga, yang kamu lakukan ke saya itu jahat."
Meski katanya selalu ada maaf jika yang melakukan kesalahan itu ganteng/cantik (haha), tapi kejahatan yang dilakukan Rangga ini, meski dilakukan oleh manusia setampan Nicholas Saputra, sangat wajar jika Cinta sulit memaafkannya.

Katanya, kalau seseorang memang mencintai kita, maka ia akan selalu berhasil menemukan satu alasan untuk menemui kita. Jika dia memang mencintai kita, maka dengan satu atau lain cara, dia pasti berusaha menghubungi kita. Jika dia memang mencintai kita ....
Maka hubungan jarak jauh tanpa komunikasi yang baik adalah suatu kemustahilan. Bohong kalau kita bisa bertahan dengan hubungan jarak jauh tanpa/dengan sedikit komunikasi, meski katanya kita saling mempercayai satu sama lain. Kalau kamu mampu bertahan lama tanpa menghubungi seseorang, mungkin karena tanpa orang tersebut hidupmu tetap baik-baik saja ... artinya keberadaannya tidak berarti dalam hidupmu. Kamu yakin bahwa kamu mencintai orang tersebut?

Jadi apa alasan Rangga bisa tahan tidak menghubungi Cinta selama 14 tahun?
Mungkin karena Rangga terlalu sibuk berlatih Jurus Tongkat Emas.



Groningen, 11 Maret 2016

SEBUTAN

Curhatan teman baru-baru ini mengingatkan saya pada note yang saya tulis tepat 2 tahun yang lalu. Hanya karena saya mengatakan bahwa pekerjaan saya adalah seorang guru, seorang teman lama saya (yang ganteng #catet) memandang saya dengan tatapan meremehkan. Beberapa menit kemudian ketika dia tahu bahwa saya adalah guru di universitas (atau disebut dosen), dia baru menanyakan nomer ponsel saya. Ternyata pekerjaan yang sama, kalau disebutkan dengan sebutan yang berbeda, akan memberikan persepsi dan efek yang berbeda.
Kasus ini serupa dengan pengalaman saya yang lain. Mungkin karena banyak orang yang masih menduga saya adalah mahasiswa S1 (#laludigorokmassal), semua murid saya memanggil saya dengan “Kak” atau “Mbak”. Saya merasa baik-baik saja dengan panggilan tersebut (#malahseneng). Tapi beberapa orang mengatakan bahwa sebaiknya saya membiasakan mereka memanggil saya “Ibu”, karena panggilan “Kak” dinilai kurang menghormati. Saat itu saya lagi-lagi disadarkan bahwa panggilan bisa berarti sangat penting di masyarakat dengan adat ketimuran seperti kita.
Padahal nih, berdasarkan penelitian saya di lapangan (#lapanganbasket), panggilan terhadap dosen tidak selalu berkorelasi dengan rasa hormat mahasiswa. Bisa saja mereka memanggil “Bapak” atau “Ibu” untuk menunjukkan rasa hormat di depan, namun memanggil dengan Bapak-Kucing-Garong atau Ibu-Ulet-Keket di belakang. Hei! Saya kan sering bergaul sama mahasiswa. Jadi saya bukannya nggak tahu bahwa mahasiswa yang sikapnya hormat di hadapan dosen bisa juga memberikan julukan lain di belakang. Bahkan saya aja tahu bahwa banyak mahasiswa yang juga suka membicarakan saya di belakang (terutama saat saya putus sama Min Ho Oppa). Jadi intinya, panggilan bukanlah satu-satunya parameter rasa hormat, meski memang benar bahwa panggilan adalah salah satu parameter.
Dari pengamatan saya, sebenarnya sopan/tidaknya panggilan terkait dengan kultur dimana kita tinggal dan bergaul. Misal kalau kita gaulnya sama anak-anak yang suka nongkrong (padahal nongkrong kan capek, mendingan duduk #malahdibahas), maka panggilan “Eh, Jabrik!” atau “Woy, Kutu!” justru menunjukkan keakraban, bukan ketidaksopanan. Atau missal saya manggil “Cumii!!!”, itu bukan berarti saya dengan memaki, tapi itu artinya panggilan sayang #halah. Atau ada orang-orang yang berpendapat panggilan “Eh, Nyet!” itu adalah tanda keakraban. Meski demikian, kita tentu tidak mengharapkan mendengar panggilan tersebut dalam forum formal kan? Dengan demikian, meski panggilan tidak selalu berkorelasi dengan rasa hormat, tentu bukan menjadi pembenaran untuk memanggil seseorang dengan panggilan sembarangan.
Contoh lain adalah penggunaan istilah “single” dan “jomblo”. Meski Dewan Kesepian Jakarta sudah menetapkan bahwa “single” karena pilihan dan “jomblo” itu karena nasib, tapi sebenarnya ini hanya tentang preferensi istilah. Saya pribadi lebih memilih istilah “available”, karena apalah artinya jomblo kalau hatinya udah taken (#malahcurhat), dan apalah arti single kalau nggak available (#ingetmantan), tetep aja nggak bisa diprospek kan? Hoho. Namun demikian, apapun istilahnya (entah itu jomblo, single atau available), faktanya adalah kamu selalu kemana-mana sendirian atau beramai-ramai, nggak pernah berduaan.
Contoh lain adalah setiap orang nanya “Nia malem mingguan kemana?”, selalu saya jawab “Wah, saya nggak pernah malem mingguan. Saya sabtu-malaman”. Karena katanya kosa kata “malam minggu” hanya ada di kamus orang-orang yang punya pacar atau suami/istri. Meski demikian, apapun istilahnya, faktanya hanya satu: waktu diantara jumat dan minggu. See? Jadi fakta yang sama, jika dilihat oleh orang yang berbeda dan dengan preferensi istilah yang berbeda, akan diidentifikasi sebagai hal yang berbeda. Pada tahap ini, harusnya kita sadar bahwa kalau kita mendengarkan terlalu banyak pendapat orang lain, kita akan pusing sendiri.
Curhatan seorang teman baru-baru ini membuat saya tergelitik. Dia tidak suka kalau hubungannya dengan teman dekatnya didefinisikan sebagai “pacaran”. Dia juga tidak suka kalau orang lain mengatakan bahwa mereka pacaran. Teman saya ini tiba-tiba mengingatkan saya pada seseorang yang saya kenal dekat, yang sangat mementingkan reputasi. Reputasi. Ternyata sebuah sebutan bisa berdampak buruk pada reputasi seseorang.
Teman saya ini lebih suka dengan istilah “calon istri” atau “calon suami” daripada istilah “pacaran”. Lagi-lagi, menurut saya, ini cuma soal sebutan/ istilah. Apapun sebutannya, kalau kamu belum nikah, belum tunangan, trus kemana-mana pergi dengan orang yang sama, padahal kalian nggak ngerjain penelitian yang sama dan kalian bukan sahabat, maka ya kamu harus siap kalau disebut “pacar” “TTM” dan istilah-istilah sejenis. Bahkan saya yang ngelab bareng sahabat saya aja bisa digosipin pacaran kok (sampai ada yang marah segala #yukmari), padahal kami jelas-jelas bersahabat. Ya apalagi teman saya ini dan teman dekatnya, yang kerja di lab berbeda tapi kemana-mana bareng terus, ya sangat wajar kalau orang-orang mengira mereka "pacaran". Jadi kalau nggak mau disebut dengan istilah “pacaran” ya jangan pergi kemana-mana berduaan. Gitu aja sih. Lagipula, apalah arti sebuah sebutan. Apapun sebutannya, kalau kita memang sudah merencanakan masa depan dengan orang tersebut, harusnya sebutan orang lain tidak terhadap hubungan kita tidak lagi menjadi terlalu penting.

Meski demikian, mungkin tidak banyak orang yang sependapat dengan saya, bahwa sebutan/panggilan/istilah/gelar tidaklah terlalu penting. Buktinya, saya masih banyak menerima undangan pernikahan yang memasang gelar akademik/ gelar keagamaan pada nama mempelai/ orangtua mempelai. Padahal itu kan undangan pernikahan, bukan surat lamaran kerja. Hal ini membuktikan bahwa bagi orang-orang Indonesia, gelar/sebutan/panggilan adalah suatu hal yang sangat penting. Namun demikian, sodara-sodara, fenomena ini nampaknya harus dimaklumi, mengingat begitu banyak alasan dibalik pilihan tersebut. Kadang meski salah satu pihak tidak ingin gelarnya ditulis, namun pihak yang lain ingin gelar tersebut ditulis, dengan alasan-alasan tertentu. Seperti kata mbak Icha (Maisya Farhati) dalam salah satu tulisannya, “it’s about marriage, not only about wedding”. Kalau kata teman lab saya dari Thailand yang sudah saya anggap abang sendiri, “Yang terpenting adalah apakah kita ingin menikah dengan dia atau nggak. Kalau kita memang ingin menghabiskan hidup bersamanya, maka harusnya urusan-urusan sepele harusnya bukan masalah sama sekali.”

Groningen, 2 Feb 2016

BENCI

Setidaknya satu kali dalam hidup, kita bertemu dg seseorang yg memiliki sesuatu yg sangat kita inginkan. Tapi bagaimanapun kita mencari, kita tidak bisa menemukan alasan untuk membenci orang tersebut. Lalu kita mulai membenci diri kita sendiri karena tidak lebih pantas untuk mendapatkan hal yg kita inginkan tsb. Sampai akhirnya kita berusaha agar menjadi lebih kuat dan lebih baik agar kita pantas mendapatkan kesempatan berikutnya.

Setidaknya satu kali dalam hidup, kita pernah ingin membenci seseorang yg tidak bisa dibenci. Saat itulah kita sadar bhw orang itu datang dan mengambil sesuatu yg kita inginkan agar di masa depan kita pantas mendapatkan hal yg kita butuhkan.

PENCARIAN

Dua hari lalu, saya membantu seorang mahasiswa untuk mengisolasi RNA dari sampel paru-paru mencit. Saat itu saya memintanya mengambil sampel yang tersimpan di freezer. Pertama kali dia datang kepada saya dengan membawa 8 dari 10 sampel yang ada. Dia bilang, dia tidak menemukan 2 sampel lainnya. Saya memintanya untuk mengecek kembali di tempat yang sama, karena kesepuluh sampel tersebut disimpan di kotak yang sama, sehingga tidak mungkin dia tidak menemukannya disana. Tapi dia kembali menemui saya 15 menit kemudian dan mengatakan bahwa dia benar-benar tidak menemukan tube berisi sampel yang saya maksud. Akhirnya saya mengikuti dia ke tempat penyimpanan sampel tersebut. Di kotak sampel tersebut, diantara 70 tube lainnya, saya tidak kesulitan menemukan 2 sampel yang dimaksud tersebut. Bukan karena saya tahu bagaimana rupa/ penampakan tube sampel yang saya cari, tapi karena saya benar-benar mencari tanpa ekspektasi apapun.

Saya bilang pada mahasiswa saya tersebut “You know what you are looking for. But you expect too much on seeing certain thing. That’s why you can not find the thing you search for eventhough it’s in front of your eyes.”

Sadarkah kita bahwa dalam kehidupan sehari-hari kita seperti itu? Kita mencari sesuatu, tanpa tahu apa yang harus kita temukan. Kita menemukan sesuatu, tanpa tahu bahwa hal tersebut yang kita cari. Mungkin itu mengapa kita merasa tidak mendapatkan apa-apa. 
Misal kita mencari kebahagiaan kemana-mana, karena orang-orang lain tampak bahagia ketika mereka berada di tempat tertentu, atau saat mencapai hal tertentu, atau saat bersama orang tertentu. Padahal apa yang membuat orang lain bahagia belum tentu membuat kita bahagia. Kita mencari kemana-mana, tanpa tahu apa yang sebenarnya ingin kita temukan. Kita menemukan sesuatu tapi tetap merasa hampa karena kita merasa bahwa bukan itu yang kita cari.

Ketika kita mencari sesuatu, di kepala kita, kita sudah membayangkan tentang sesuatu tersebut. Di satu sisi, tentu hal ini baik, karena memberi tolak ukur tentang keberhasilan pencarian. Tapi di sisi lain, bisa jadi bayangan/ harapan kita tentang target yang kita cari tersebut tidak selalu sesuai dengan hal yang ada di kenyataan.
Misalnya, kalau di pikiran kita, kita sudah menetapkan bahwa yang harus kita temukan adalah Lee Min Ho, maka wajar saja kalau kita tidak pernah menyadari Song Jong Ki yang mondar-mandir di hadapan kita.
Seperti mungkin ketika kita mencari seseorang jauh-jauh kemana-mana, padahal yang kita cari sebenarnya selama ini sudah berada begitu dekat. Selalu di dekat kita.

Pertanyaan berikutnya, mengapa meski kita telah menemukan sesuatu, kadang kita tetap merasa perlu terus mencari?


Groningen, 29 April 2016

MANTAN

Sudah beberapa pekan ini saya mengalami krisis freezer. Freezer saya sudah penuh dengan sampel sehingga saya sering numpang menyimpan sampel di freezernya partner slicing saya. Karenanya, hari ini saya mendedikasikan 2 jam waktu saya untuk beres2 freezer.
Selama 2 jam tersebut saya memilih dan memilah sampel mana saja yg sudah selesai dikerjakan dan bisa dibuang. Terutama saya hanya menyisakan sampel organ manusia untuk disimpan. Sepertiga sampel saya akhirnya dibuang. Sekarang saya punya cukup tempat untuk menyimpan sampel2 baru yang akan saya kerjakan di masa mendatang.

Kenangan dan masa lalu juga begitu. Harus dipilih dan dipilah, selebihnya dibuang saja. Karena ruang di hati kita, dan memori di pikiran kita, tempatnya terbatas. Kalau kita berkeras tetap menyimpan semua hal di masa lalu, suatu saat kita akan merasa penuh. Tidak ada lagi tempat di hati dan pikiran kita yang tersisa untuk masa depan.

Setelah akhirnya berhasil memilah dan membuang sampel2 masa lalu, saya merasa leghaaaaa banget. Jauh lebih lega dibanding saat bisa melupakan mantan #halah hahaha.

Ngomong2, orang yang suka nulis gini di media sosial:
#DearMantan, maaf ya aku nikah duluan
Atau
#DearMantan, lihat kan, aku bahagia tanpa kamu
Atau
#DearMantan, maaf aku udh move on
Sesungguhnya justru adalah orang2 yang belum move on. Para "move-on"er sejati tidak pernah lagi peduli apa yang dilakukan mantan, tidak peduli siapa yg nikah duluan, dan tidak lagi khawatir mantannya tidak tahu bahwa dia sdh bahagia.
Orang2 yang masih khawatir mantannya menganggap dia tidak bahagia adalah orang2 yang masih memedulikan apa yg dipikirkan mantannya. Maka sesungguhnya dia masih peduli pd sang mantan.

Percayalah, tidak ada yang lebih membuat cemburu hari ini selain masa lalu. Karena hari ini masih bisa mengubah hari esok, tapi ia tidak bisa mengubah masa lalu. Mungkin itu mengapa beberapa orang merasa lebih cemburu kepada mantannya si pacar daripada kepada fans2nya si pacar.


Groningen, 30 April 2016