Luna Lovegood inside. Noda Megumi outside.

Kamis, 13 Oktober 2011

Filosofi Guru

Untuk menerima ilmu, yang perlu kita lakukan adalah merendahkan hati. Bagaimana gelas bisa menerima air dari teko jika posisinya lebih tinggi daripada tekonya? Nah, filosofi murid ini pasti semua sudah pernah mendengarnya. Lalu apa yang kita lakukan untuk memberi ilmu? Apa kita perlu menjadi lebih tinggi dari murid supaya bisa menuangkan air dari teko? Secara ilmu, tentu saja seorang guru harus menguasai lebih banyak dan lebih tinggi daripada muridnya. Tapi jika itu disama-artikan dengan meninggikan hati, tentu bukan begitu maksudnya. Seorang guru saya mengajarkan saya bagaimana menjadi seorang guru.
“Niechan, saya menjadi gurumu bukan karena saya lebih pintar darimu. Saya hanya lebih dahulu mengetahui. Bukan berarti lebih banyak mengetahui.”
Itu adalah kata-kata Sensei saya. Beliau adalah guru les bahasa Jepang saya.  Mengingat gayanya yang cuek dan “semau gue”, saya tidak yakin bahwa kata-kata sedramatis itu  bisa diucapkan olehnya. Beliau pasti baru saja membacanya dari sebuah buku, atau mungkin mengutipnya dari seseorang lain. Tapi bukan itu masalahnya. Masalahnya adalah, kata-kata beliau tersebut membuat saya sangat terharu. Sensei saya adalah orang yang sederhana, mudah ditebak, suka melucu, nggak neko-neko dan apa adanya. Maka entah kata-kata itu terinspirasi dari buku manapun, jika Sensei sudah mengatakannya berarti itulah yang dipikirkannya. Dan dengan benar-benar memaksudkan kata-katanya seperti itu, terenyuhlah saya pada kerendahan hatinya.
Saya percaya, Tuhan menciptakan manusia dengan kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Tidak ada manusia yang sempurna. Pun tidak ada manusia yang tidak memiliki kelebihan. Dan Sensei saya itu adalah tipe manusia yang mensyukuri kekurangannya selagi meningkatkan kelebihannya, dan tidak sombong pada kelebihannya.
Ketika mengetahui bahwa selain menjadi mahasiswa saya juga seorang guru les privat murid SMU untuk pelajaran Kimia, Sensei memuji saya.
“Nilai sains saya sejak dulu jelek banget. Sampai sekarang aja saya sering salah kalau menghitung uang kembalian belanja,” kata Sensei sambil tertawa geli.
Saat itulah, saya yang selalu merasa bahwa Sensei saya pintar sekali sehingga menguasai lima bahasa (bahasa Inggris, Jepang, Prancis, Indonesia dan Jawa tentunya) ternyata tidak sesempurna itu. Beliau ternyata tidak menguasai perhitungan yang mudah. Sungguh bertolak belakang dengan saya. Saya cukup cepat menyelesaikan perhitungan tanpa kalkulator. Selalu mendapat nilai baik dalam pelajaran sains, terutama kimia dan biologi. Tapi selalu sulit mempelajari bahasa. Jangankan mempelajari bahasa Inggris atau bahasa Jepang, nilai bahasa Indonesia saya selama sekolahpun selalu menyedihkan jika disandingkan dengan nilai pelajaran-pelajaran sains saya. Menyedihkan.
Saya kemudian menyimpulkan bahwa Tuhan menciptakan kelebihan pada otak kiri saya dan memberikan kelebihan pada otak kanan Sensei. Itulah mengapa sebagai gurupun kita tidak boleh sombong dan memandang rendah murid. Karena dia mungkin murid kita dalam satu hal, tapi bisa menjadi guru kita dalam hal lain.
Hal serupa terjadi pada saya dan murid saya. Saya mengajar Kimia untuk seorang murid sekolah internasional. Bramantyo namanya. Orangtuanya adalah orang Indonesia, Jawa tulen. Tapi sampai berusia enam tahun, anak itu lahir dan besar di Amerika Serikat selagi sang ibu menyelesaikan program doktoralnya disana. Lebih sering dititipkan di daycare ketimbang bersama sang ibu yang sibuk riset menyebabkan Bram lebih mengenal bahasal Inggris dibanding bahasa ibunya. Ketika pulang ke Indonesia, dia mengalami kesulitan bahasa sehingga sang ibu menyekolahkannya di sekolah internasional. Sampai sekarang, Bram lebih fasih berbicara bahasa Inggris dibanding bahasa Indonesia. Sial bagi saya karena bahasa Inggris saya tidak terlalu bagus. Sial baginya, karena mendapat guru seperti saya. Tapi mengapa pula saya harus menyerah hanya karena satu kekurangan saya? Saya menerima pekerjaan itu. Mencoba bukan sesuatu yang buruk. Dan saya katakan pada sang ibu tentang keterbatasan active-English saya. Sang ibu memahami dan mengatakan “Bram paham bahasa Indonesia kok. Dia hanya sulit membalas dalam bahasa Indonesia.” Tepat berkebalikan dengan saya! Saya paham jika seseorang mengajak saya bicara dalam bahasa Inggris. Tapi karena jarang berlatih, saya seringkali terbata jika berbicara dalam bahasa Inggris.
Akhirnya yang terjadi pada kami adalah saya mengajari Bram dengan separuh bahasa Inggris – separuh bahasa Indonesia. Dan dia akan menjawab pertanyaan-pertanyaan saya dalam bahasa Inggris. Baik baginya karena bersama saya dia makin terbiasa berbahasa Indonesia. Baik bagi saya karena bersamanya saya makin terbiasa berbahasa Inggris. Malu awalnya harus bercakap dalam bahasa Inggris dengan seseorang yang lebih pandai berbahasa daripada saya. Tapi Bram cukup memahami saya. Dan selagi saya sering mengkoreksi hitungan stoikiometrinya, dia juga seringkali mengkoreksi ucapan saya yang keliru. Saya sering tertawa sendiri setelahnya, sebenarnya diantara kami siapa yang menjadi guru bagi siapa?


Hukum sebab-akibat selalu terjadi dalam segala sisi kehidupan. Jika kau ingin dicintai, maka kau harus mencintai lebih dahulu. Begitu juga dalam mengajar. Dalam proses belajar-mengajar, bukan murid yang harus memahami perkataan kita. Gurulah yang harus memahami murid terlebih dahulu. Itulah filosofi kedua yang diajarkan Sensei.
Mengajar Bram sama artinya seperti main layangan. Kalau dia sedang menarik, kau harus sedikit mengulurnya. Kalau dia terlalu terulur, kau harus buru-buru menariknya. Bram, seperti umumnya remaja, kecerdasannya sangat dipengaruhi oleh suasana hati. Kalau mood-nya sedang buruk, menghitung reaksi netralisasi saja sulitnya setengah mati. Tak perlu lagi menghapal senyawa-senyawa hidrokarbon, hapalan tentang berapa bobot atom hidrogen saja dia lupa. Kalau sudah begini, saya bingung sendiri bagaimana harus mengajarnya.
Sebenarnya, teorinya mudah saja. Bagaimana caranya agar tidak takut? Jangan takut! Jadi bagaimana supaya seorang murid jadi mood belajar? Tentu saja, buat suasana belajar jadi menyenangkan! Dan praktek akan selalu menjadi bagian tersulitnya. Bagaimana membuat suasana belajar jadi menyenangkan kalau sang murid sudah pasang tampang jutek begitu?
Belakangan saya ketahui bahwa Bram ini sebenarnya sangat mirip dengan saya. Jenis manusia audio-learner. Artinya, Bram akan lebih cepat menerima pelajaran dengan cara mendengarnya. Satu hal lain yang saya perhatikan dari seorang audio-learner adalah kami selalu membutuhkan suara di sekitar kami. Kami adalah orang-orang yang suka mendengarkan musik. Menjadi entah bagaimana lebih cerdas jika belajar sambil mendengarkan musik. Dan sementara orang-orang menyepi untuk memperoleh ketenangan untuk belajar, kami lebih senang belajar di keramaian. Sejak mengetahui fakta itu, kami mulai belajar sambil mendengarkan musik. Bram menyukai musik jazz. Dan meski saya lebih menyukai musik yang menghentak-hentak, saya mengalah dan mengijinkannya memutar musik jazz kesukaannya.
Mood bukanlah satu-satunya masalah Bram. Konsentrasi adalah masalah terbesarnya. Ada saat-saat dimana saya heran, mengapa meski Bram sedang dalam keadaan senang, tapi dia tidak fokus pada topik yang sedang saya ajarkan. Setiap kali saya membahas stoikiometri, Bram langsung mengalihkan pembicaraan. Biasanya dia tiba-tiba curhat tentang hal-hal yang dialami di sekolahnya, atau kisah cinta ala abege-nya. Awalnya, saya selalu menanggapi dengan simpatik. Lama kelamaan Bram seperti memanfaatkan kelemahan hati saya dan selalu mengalihkan topik stoikiometri saya menjadi sesi curhat. Akhirnya saya tahu juga alasannya.
Kata orang, kerjakanlah apa yang kau sukai. Atau cobalah untuk menyukai apa yang kau kerjakan. Jika tidak bisa keduanya, maka apa lagi yang bisa kau kerjakan? Hal tersebut terjadi pada kasus Bram. Bagaimana kau bisa tahan mengerjakan sesuatu yang tidak kau sukai? Suatu kali, saya memanfaatkan sesi curcol-nya Bram untuk mengorek rahasia darinya. Dan akhirnya saya tahu bahwa dia memang tidak menyukai pelajaran-pelajaran sains. Kimia dan fisika adalah salah satu yang dibencinya. Dan stoikiometri adalah salah satu yang paling dibencinya dari kimia.
Menyakitkan saat mendengar seseorang tidak menyukaimu. Sama menyakitkannya bagi seorang guru saat mengetahui bahwa muridnya tidak menyukai pelajarannya.
“So, what are you interested in, Bram?” tanya saya akhirnya.
“English Literate,” dia menjawab.
“Why did you choose these subject? Chemistry and Physics?”
“Ibu and Bapak want me to be a doctor, just like them.”
Hooo, sou desuka. Mengertilah saya sekarang. Menyukai sastra, tapi diharapkan menjadi dokter. Lima kali seminggu harus les basic math, advance math, physics, chemistry dan biology. Tiap Sabtu masih harus les piano. Kehidupan macam apapula itu? Keterpaksaan macam apa yang harus dijalaninya setiap hari?
Tapi dapat dipahami juga mengapa orangtua Bram sangat berharap dari Bram. Siapa pula yang bisa diharapkan lagi? Bram adalah anak tunggal mereka. Mungkin bagi mereka, kehidupan penulis tidaklah menjanjikan masa depan cemerlang. Itu mengapa mereka menginginkan anak tunggal mereka mengikuti jejak mereka sebagai dokter.
Jadi apa yang bisa saya lakukan? Menyuruh Bram mengejar impiannya sendiri? Atau memenuhi keinginan orangtuanya? Saya memutuskan untuk mendukung Bram untuk menuruti orangtuanya. Sejauh yang saya lihat, tidak ada yang salah dengan keinginan orangtua Bram. Maka mengapa pula harus mengorbankan kebahagiaan orangtua demi kebahagiaan sendiri jika sebenarnya kita bisa memenuhi keinginan orangtua sambil memuaskan diri sendiri.
“You like to write something? Kinda short-story?” saya bertanya, menelisik.
“No. I write poem.”
“Really?”
Bram tersenyum dan menunjukkan salah satu puisinya kepada saya. Ditulis dalam bahasa Inggris, dengan rima yang indah dan diksi yang menarik. Caranya menceritakan gadis yang disukainya dengan perumpamaan empat musim, sungguh bagus. Dan saya langsung jatuh cinta pada puisi-puisinya.
“I also like to write,” kata saya.
Bram menaikkan alisnya. Tampak tidak yakin bahwa orang seaneh saya bisa menulis sesuatu. Atau mungkin tidak yakin tulisan saya bisa lebih bagus daripada puisi-puisinya. Dan memang benar tulisan saya tidak sebagus puisinya, tapi saya pantang menyerah. Saya ambil selembar kertas, lalu saya tuliskan kata-kata yang baru saja terlintas di pikiran.

Hey kamu! Iya kamu!
Yang sering lupa reaksi netralisasi
Atau bagaimana menghitung reaksi reduksi-oksidasi
Bagaimana nanti kalau kita sudah mulai belajar asilasi?

“Sorry, I don’t  write in English,” kata saya sambil menyerahkan puisi asal-asalan itu. Bram membacanya dan dia tertawa. Sejak itu jika Bram mulai bĂȘte, kami akan saling membuat pantun atau puisi singkat. Lebih sering adalah pantun-pantun sindiran seperti diatas. Tapi sering juga saya menulis tema lain seperti ini:


It is me, Winter.
I’m not Summer who embrace you with warmth.
Neither Spring who pour you colourful cherry-blossom.
I’m just Autumn, who turns you into who you are.

“Do not feel that you are forced to fulfill your parents dream, “ kata saya pada Bram suatu kali, “They both give you everything to ensure that you will gain the best future. Make them happy. And make yourself satisfied. Keep writing on your poem, while calculating your reaction. I did the same.”
Bram tersenyum. Entah tersenyum karena nasehat saya, atau sedang menertawakan bahasa Inggris saya lagi.


Suatu ketika saya pernah ngobrol dengan ibunya Bram. Beliau menanyakan perkembangan Bram. Saya mengatakan bahwa sepertinya Bram cukup oke dalam menghapal, tapi sering terjebak oleh soal-soal hitungan. Ibunya Bram mengatakan bahwa nilai Bram fluktuatif, kadang sangat baik dan kadang juga buruk. Tidak ada pola tertentu pada hasil tes itu. Kadang Bram mendapat nilai baik dalam stoikiometri, kadang justru mendapat nilai buruk dalam soal kimia organik.
Tidak menemukan pola yang teratur pada nilai-nilanya, saya minta ijin untuk meminjam hasil-hasil tes Bram selama ini. Saya mempelajari kesalahan-kesalahan yang dibuat Bram. Setelahnya saya membuat soal sejenis untuknya, dan meminta Bram mengerjakan soal itu. Barulah saat itu saya tahu bahwa masalah Bram memang pada konsentrasi. Bram bukannya bodoh. Dia hanya tidak mampu berkonsentasi dalam waktu lama, dan seiring waktu ketelitiannya menurun.
“If you are given 1 hour to do the test, in what time you usually finish it?” tanya saya.
“30 minutes is enough for me,” jawabnya cuek.
“And what did you do in the rest of time?”
“Nothing. I just wanna do it as soon as possible.”
“You didn’t recheck your answer?”
Bram mengangkat bahunya sambil nyengir tak berdosa.
Itu masalahnya! Bram bukan bodoh. Dia hanya tidak bisa berkonsentrasi. Dan dia tidak teliti. Seringkali dia melewatkan informasi-informasi penting dalam soal. Jika saya mengkoreksi jawabannya, dia cuma nyengir sambil berkata: “Why did’t I see that clue?”
Aaarrrggghhh, geregetan! Saya geregetan!
Anak ini selalu santai menghadapi ujian, dan malah saya yang stress setiap kali dia akan ujian. Saya selalu khawatir dia melakukan kesalahan-kesalahan kecil yang tidak seharusnya dilakukan hanya karena dia tidak teliti.
Kehabisan ide, saya menerapkan filosofi–mengajar ketiga yang diajarkan Sensei. Filosofi ketiga tersebut adalah bahwa Tuhan selalu mendengar impianmu, dan seluruh alam raya akan bersatu padu mewujudkannya asalkan kita konsisten memimpikannya dan mengusahakannya. Menyebutnya sekali membuat kita menyadari sesuatu. Menyebutnya berkali-kali membuatnya tertanam di pikiran kita. Menyebutnya terus-menerus akan menerakannya di alam bawah sadar. Dan bagaimana mungkin kita tidak mengusahakan sesuatu yang terpatri kuat di hati dan pikiran kita?
Itu jugalah yang saya lakukan terhadap Bram. Prinsipnya adalah pengulangan. Jika orang cerdas bisa memahami pelajaran hanya dengan sekali mempelajarinya, bukan berarti yang tidak cerdas tidak bisa. Kita hanya perlu mempelajarinya lagi dan lagi dan lagi.
Saya membuatkan catatan-catatan ringkas untuknya. Diagram-diagram dan rangkuman dari pelajaran-pelajarannya, agar dia mudah memahaminya. Saya mengulangnya berkali-kali. Menanyainya terus-menerus, memastikan dia hapal dan mengerti. Menghapal saja tidak cukup, mengerti adalah keharusan. Dan saya juga terus-terusan mencekokinya dengan kata-kata: “Mengerjakan cepat itu baik. Mengerjakan dengan tepat, itu lebih baik. Do it fast, and ensure that you’ve done it correctly. Re-check you answer! RE-CHECK!”                 
Bram biasanya hanya nyengir-nyengir geli menghadapi kegalakan saya. Dia menganggap wajah galak saya itu lucu.
“I give you chocolate if you get a good score!” kata saya mengiming-imingi.
“Do you think I’m a little girl? I don’t want chocolate,” katanya mencemooh.
“So?”
“Willy Wonka Candy. You can only find them at KemChick.”
Ahahaha, dasar anak pintar! Nyusahin aja deh.
“Deal!” kata saya sambil tertawa. “Give me score of 90. I give you my word.”
Bram nyengir.
Sayangnya, saya tidak bisa memenuhi janji saya. Ketika akhirnya dia mendapat nilai 97 pada subjek Chemistry untuk ujian kenaikan kelasnya, saya lagi-lagi hanya bisa membelikannya coklat. Sebagai permintaan maaf, saya tulis pantun pendek untuknya.


Hei kamu! Iya, kamu!
Yang ujian kimianya bernilai nyaris sempurna
Ingat yg aku bilang di awal jumpa?
Kau tidak bodoh, tidak juga lama
Kamu cuma perlu teliti membaca
Karena kamu sudah pintar luar biasa
Lagi-lagi dia tertawa membacanya. Entah kenapa. Saya abaikan saja tawa mengejeknya itu. Saya tahu dia sedang mengira yang saya lakukan itu konyol.


Seperti yang saya katakan sebelumnya, bersama Bram saya harus pandai menarik ulur. Memaksanya belajar tidak akan efektif. Membiarkannya bermain semaunya, juga suatu keria-siaan. Maka kemampuan berkompromi adalah hal yang harus saya miliki saat menghadapi dia. Dan saya masih harus banyak belajar soal itu.
Dalam hidup, kita menerima dan memberi. Sensei telah mengajari saya bagaimana menjadi seorang guru. Saya meneruskannya kepada Bram, bagaimana seharusnya dia belajar. Dan Bram juga mengajari saya banyak hal, bahkan mungkin lebih banyak daripada yang saya berikan. Bram mengajari saya untuk mengenal karakter, mempelajari sifat dan keinginan manusia, bersabar, berkompromi dan berstrategi. Jadi sebenarnya, kita adalah guru bagi sesama kita. Tinggal kitalah yang memilih, apakah kita ingin jadi guru yang baik atau guru yang mencontohkan keburukan.

Sabtu, 08 Oktober 2011

Student's Story



Waktu jaman kita muda dulu (jadi inget umur, sekarang udah nggak abege lagi, hehe), kita sering menganggap diri kita paling hebat. Udah paling bangga kalau berhasil mengelabui guru, meloloskan diri dari razia VCD bokep. Berasa jago kalau berhasil menyusup masuk selagi teman-teman lain yang sama-sama terlambat sekolah disuruh push-up. Dan berasa keren banget kalau berhasil menerapkan metode mencontek mutakhir sehingga bisa nyontek tanpa ketahuan guru.
Sekarang setelah waktu-waktu terlewati dan status saya sebagai murid mulai bergeser menjadi si “oknum guru” itu, saya makin menyadari bahwa dulu kita sebenarnya tidak sehebat itu. Kita sebenarnya cuma anak-anak yang dibiarkan bermain petak-umpet oleh orangtua kita. Kita dibiarkan bersembunyi meski mereka sebenarnya sudah tahu sejak awal dimana kita akan bersembunyi ... karena mereka pernah memainkan permainan petak-umpet serupa.
Dulu kita merasa hebat sekali jika bisa mengelabui guru dan berhasil nyontek tanpa ditegur guru. Kenyataannya sekarang, setelah saya sendiri menjadi guru, saya jadi geli sendiri dengan tingkah murid-murid yang seperti itu. Saling melirik, saling berbisik, pura-pura meminjam tip-ex, membuat contekan dengan tulisan super kecil dan kelucuan-kelucuan lainnya. Beruntunglah saya yang tidak pernah berani mencontek hingga sekarang karena sebenarnya tidak ada guru yang tidak menyadari bahwa muridnya mencontek.
Kau pikir guru-guru kita yang pintar itu tidak tahu apa-apa saat kita mencontek? No, no! Mereka semua tahu! Tidak ada yang tidak tahu. Yang ada hanyalah guru yang menegur dan memarahimu, atau sekedar menyindir halus, atau justru guru yang memilih untuk mengurangi nilaimu dalam diam.
Seperti yang tadi saya bilang, melihat kehidupan yang sama dari sudut pandang yang berbeda, benar-benar lucu. Saya sebenarnya tipe guru yang nggak suka mempermalukan murid di depan teman-temannya yang lain. Jadi saat melihat anak-anak itu masih saja menggunakan trik-trik kuno untuk mencontek, saya cuma bisa nyengir. Sindiran adalah hal terkahir yang saya lakukan. Selebihnya, kalau mereka tetap nekat “berusaha”, saya memilih diam dan langsung menandai nama mereka masing-masing di daftar nilai saya. Memberi nilai terendah bagi mereka adalah hal paling baik dan paling kejam yang bisa saya lakukan. Tidak mempermalukan mereka di depan teman-temannya adalah hal baik yang saya pilih. Tapi memberi “imbalan setimpal” atas kenakalan mereka bukanlah sesuatu yang tidak adil, bukan?
Begitupun terhadap kenakalan kita yang lain. Waktu kita melompati dinding belakang sekolah demi menghindari razia “murid terlambat”, apa kau pikir semua guru tidak tahu? Sebenarnya nggka juga lho. Ada yang tahu kelakuanmu itu. Tapi seperti halnya saya, ada beberapa guru yang lebih suka diam. Tidak ada yang menegurmu hanya berarti bahwa mereka memberimu “hadiah” atas kerja kerasmu yang sudah berusaha melarikan diri. Hahaha.
Kelucuan lain para murid ternyata tidak melulu soal kenakalan mereka. Kisah cinta mereka adalah kelucuan lainnya. Ketika sekarang saya mendengar curhatan mereka soal kisah cinta mereka, saya sering nyengir dalam hati, membayangkan betapa dulu guru saya pasti merasa lucu mendengar cerita cinta abege saya. Dulu saya pasti sama lucunya dengan murid-murid saya sekarang, mengkhawatirkan kisah cinta remeh-temeh.
Well, yeah, kita melakukan hal-hal kecil saat kita masih kecil. Berpikir bahwa kita sudah besar dan sudah melakukan hal-hal besar. Kita mengkhawatirkan hal-hal kecil saat kita masih kecil, dan mengira bahwa hal-hal tersebut terlalu besar dan berat untuk kita tanggung. Tapi sekarang setelah kita cukup besar, akhirnya kita tahu kan bahwa hal-hal besar kemarin hanya sebesar yang kita bayangkan? Bahwa sebenarnya hal-hal besar yang dulu merisaukan kita, ternyata tidak sebesar itu kan? Waktu itu kita hanya masih kecil untuk menerima yang lebih besar. Tapi waktu kita akhirnya menerimanya, kita akan tumbuh menjadi sebesar apa yang diperlukan untuk kuat mengangkat beban itu kan?


Ngomong-ngomong soal menjadi guru, itu berat juga lho. Karena seperti kata pak Marno: “Saat kita mengajar, sebenarnya kitalah yang paling harus belajar, memastikan diri menjadi lebih tahu daripada murid kita.”
Seorang guru memang harusnya lebih tahu daripada muridnya, karena dialah tempat bertanya dan menimba ilmu para muridnya. Tapi kemudian belakangan ini saya menyadari bahwa menjadi lebih tahu dan lebih pintar bukanlah hal yang paling penting untuk menjadi seorang guru. Berapa banyak guru-guru kita yang jenius luar biasa, tapi semua muridnya bingung dengan pelajaran yang diajarkan? Kalau pakai istilah saya sendiri sih, fenomena itu disebut dengan “perbedaan frekuensi otak”. Makin jauh kesenjangan intelegensi antara guru dan murid, maka makin rentan terhadap insiden “ketidak-tersampaian ilmu.”
 “Ini guru lagi ngomong bahasa dewa kali ya? Manusia biasa seperti kita mah nggak bakal paham bahasa dewa begitu. Frekuensi otaknya beda sama kita, jadi nggak bisa beresonansi dgn frekuensi otak manusia biasa seperti kita.”
Kalau murid kita sudah ngomong seperti itu, berarti kita adalah guru tidak berguna. Sepintar apapun seorang guru, kalau muridnya sendiri nggak paham perkataannya, berarti dia bukan guru yang baik. Sejenius apapun guru, kalau tidak bisa mentransfer pengetahuannya kepada murid-muridnya, lalu guru seperti apa itu? Ditambah lagi kalau sampai murid kita sendiri takut, benci dan cenderung menghindari kita, maka sebenarnya kita hanyalah orang yang pintar, bukan seorang guru.
Berdasarkan teori yang saya alami sendiri, sepintar apapun guru dan sebaik apapun ilmu yang diberikannya, ilmu itu tidak akan pernah sampai kepada murid kalau muridnya tidak merasa nyaman dengan gurunya. Ketidaknyamanan itu bisa terjadi karena banyak hal. Oke, bahas satu per satu ya J
Suatu ilmu nggak akan bisa sampai kepada murid kalau muridnya takut sama gurunya. Takut pada guru akan berimbas pada ketakutan murid pada ilmu yang diajarkan guru tersebut, meski ilmunya sendiri tidak menakutkan. Sebaliknya, sesulit apapun pelajarannya, kalau murid suka dengan gurunya, biasanya mereka akan bisa menerima ilmu tersebut dengan lebih baik. (Inget pelajaran fisika waktu nulis ini :p )
Ilmu juga nggak bisa sampai kepada murid kalau muridnya membenci gurunya, atau gurunya juga balik sebal pada muridnya. Bagaimana mungkin cangkir bisa menerima air dari teko kalau cangkirnya ditutup atau tekonya tertutup? Kebencian adalah hal yang menutup hati dan pikiran kita dari ilmu-ilmu baik yang sebenarnya ada diantara guru dan murid. Sebaik apapun ilmu, jika disampaikan atau diterima dengan kebencian, ilmu itu tidak akan pernah sampai kepada muridnya.
Dan kebencian bisa datang dari banyak sumber. Sikap murid yang tidak hormat, atau sikap guru yang membuat murid jadi tidak hormat. Merasa diri paling pintar dan sikap merendahkan murid adalah salah satu yang paling menimbulkan kebencian.
Beberapa kali saya mendengar seorang guru berkata: “Ah, dulu saya bisa mengerjakannya kok. Kenapa mereka nggak bisa? Kan kita sama-sama makan nasi.”
Pernyataan tersebut bisa mengimplikasikan dua hal. Pertama, bahwa sang guru sudah bisa membaca dan berhitung sejak lahir (saking jeniusnya, sehingga tidak pernah menjadi orang bodoh). Kemungkinan kedua, bahwa saking pintarnya sang guru sekarang, beliau sampai lupa bagaimana rasanya menjadi tidak tahu.
Benar adanya bahwa para guru pastilah lebih berpengalaman daripada murid-muridnya sehingga beliau pasti sudah tahu bahwa soal-soal seperti itu bukan soal yang mustahil dikerjakan. Tapi para guru seringkali lupa bahwa beliau dulu juga pernah menjadi murid yang tidak tahu. Mereka lupa bahwa saat mereka masih muda dulu, soal-soal sepele itu adalah hal yang besar bagi mereka. Mereka lupa bahwa dulu mereka pernah merasa tidak bisa melakukan sesuatu sebelum akhirnya mereka menemukan cara untuk menyelesaikannya. Mereka bahkan lupa bahwa murid memang memiliki hak untuk bodoh, karena mereka hanya seorang murid. Mereka membayar sekolah untuk dididik, bukan untuk diklaim sebagai orang bodoh. Jika murid-murid itu sudah pintar, untuk apa lagi mereka sekolah dan kuliah? Para guru mungkin melupakan fakta penting itu.
Para guru seringkali lupa dan mengira para murid sudah sama pintar dan sama tahunya dengan mereka sekarang. Akibatnya mereka menjelaskan dengan terburu-buru, dan terlewat menanamkan pemahaman-pemahaman dasar yang dibutuhkan murid untuk memahami pengetahuan yang lebih tinggi. Hal-hal seperti itu yang membuat murid jadi frustasi dalam menerima pelajaran.
Ada kalanya saya berpikir, guru yang baik sebenarnya bukan hanya yang paling pintar, atau yang gelarnya paling panjang ya? Guru yang baik mungkin saja kepintarannya hanya bernilai delapan, tapi seluruhnya bisa diturunkan kepada murid-muridnya …. alih-alih guru jenius dengan kecerdasan bernilai sepuluh, tapi hanya sepertiga dari ilmunya yang bisa diturunkannya. Guru yang baik rasanya bukan yang paling pintar (bukan berarti guru tidak harus pintar. Tentunya seorang guru haruslah yang pintar), tapi juga yang paling memahami apa yang dibutuhkan muridnya untuk menjadi pintar. Sayangnya, kecerdasan untuk memahami murid tidak selalu berbanding lurus dengan kecerdasan intelegensia. Itu mengapa menjadi pintar jauh lebih mudah daripada menjadi seorang guru.
Padahal, kalau dipikir-pikir lagi, untuk memahami seorang murid, nggak sesulit itu kan? Seorang guru juga pernah menjadi abege kan? Hanya saja mungkin ketika sudah terlalu lama menjadi guru, kita justru lupa bagaimana rasanya menjadi murid. Ketika kita beranjak dewasa, kita jadi lupa bahwa dulu kita juga sering melakukan kekonyolan-kekonyolan yang sama dengan para abege itu. Lupa deh kita bahwa kita dulu pernah juga bergaya “labil”, atau bahkan masih labil sampai sekarang, meski dalam bentuk yang berbeda. Kita juga lupa bahwa dulu kita adalah “galauers everywhere, everytime” bahkan oleh hal-hal yang sekarang kita anggap sepele.
Yeah, pengalaman guru memang lebih banyak. Dan guru yang sering mengatakan “saya juga dulu pernah jadi murid, tapi nggak gitu-gitu amat deh” juga memang pernah muda. Mungkin mereka hanya lupa, bagaimana menjadi muda dan galau :p


Tulisan ini dibuat sebagai topik balasan dalam serial “You Jump, I Jump” antara saya dan Ambar. Pada topik terbaru yang dipilihnya (seperti dapat dibaca pada blog berikut: http://ambareetabercerita.wordpress.com/2011/10/07/ants-story/), Ambar bercerita tentang betapa kita ini hamba yang tidak tahu rencana Tuhan tapi dengan sok tahunya merasa bahwa Tuhan tidak sayang pada kita. Padahal sesungguhnya Tuhan punya rencana yang lebih besar dan lebih indah bagi kita. Kita hanya terlalu kecil untuk mengetahui rencana besar itu saat ini.
Mengambil tema serupa, kali ini saya membahas tentang masa lalu kita, semasa masih sekolah dulu. Ini cerita tentang murid, dengan segala tingkah dan ke-sotoy-annya. Ini cerita tentang murid, yang diceritakan oleh seorang murid ... yang saat ini sedang berusaha menjadi guru.

Apa lalu saya sudah menjadi guru paling baik sehingga bisa memposting artikel aneh macam ini? Pastinya, saya masih jauh dari menjadi guru yang baik. Dan untuk menjadi guru seperti itu sama sulitnya dengan mendapat nilai sepuluh dalam pelajaran fisika, bagi saya. Saya cuma seseorang yang sedang terus belajar untuk bisa kembali memahami dunia remaja agar bisa menjadi sahabat mereka. Bukankah pengetahuan apapun paling mudah ditransfer oleh seorang sahabat, ketimbang oleh seorang guru?