Luna Lovegood inside. Noda Megumi outside.

Selasa, 21 Agustus 2012

CINTA TAK BERUJUNG


Yang kutuju bukan dia, tapi kamu.





Ini tentang cinta. Tapi bukan cinta segitiga. Ini tentang cerita cinta yang seperti lingkaran. Aku berada di dalamnya. Dan aku tidak melihat cinta ini ada ujungnya.

Awalnya di dalam hidupku hanya ada Fandy. Dia adalah kakak kelasku sejak SMU. Sekarang dia jadi atasanku di kantor penerbitan. Aku selalu mengekornya sejak lama, kemanapun ia sekolah, kemanapun ia kuliah, kemanapun ia bekerja. Dia selalu baik padaku dan tidak pernah mengabaikanku. Tapi dia juga tidak pernah menganggap keberadaanku penting. Aku adalah "orang kebanyakan" baginya, padahal ia spesial dalam hatiku. Perasaanku padanya tidak pernah bersambut.

Fajar datang kemudian. Dia adalah penulis muda berbakat. Dan aku adalah desainer cover dan lay-out novelnya, sekaligus pembaca setianya sejak ia memulai debutnya 2 tahun lalu. Dia sudah menerbitkan 2 buah novel dan sebuah buku kumpulan cerpen sampai saat ini. Dan meski ia penulis baru,tapi aku langsung jatuh cinta pada kata-katanya, diksi-diksinya, dan kisah-kisah yang diceritakannya. Kami sekarang berkawan akrab. Dia bahkan punya panggilan khusus untukku.

"Hai Fungi, si anak jamur!" begitulah Fajar sering memanggilku. Hanya dia yang berani-beraninya menambahkan panggilan "anak jamur" di belakang nama asliku. Biasanya aku manyun saja dipanggil begitu.

Jangan tanya inspirasi apa yg didapat orangtuaku sehingga bisa memberiku nama seunik ini. Aku sudah bertanya pada ibuku beberapa kali dan memastikan bahwa alasan di balik namaku bukan karena ibu bermimpi bertemu peri jamur psilosibin.

"Si bos nerima naskah terbaru gua dong, Fung," kata Fajar, datang ke mejaku dengan wajah sumringah dan jumawa, khas gayanya. Dia baru saja keluar dari ruangan Fandy.

"Wah, selamat ya Jar," kataku,tersenyum tak kalah lebar. Ternyata senyum memang selalu menular.

"Tapi kayaknya banyak bagian yang kena bantai," lanjutnya.

"Yaelah Jar, kalau semua naskah yang masuk nggak perlu 'dibantai', buat apa editor digaji? Hahaha."

Fajar tertawa menanggapi leluconku yang nggak lucu. Bersamanya aku tidak pernah merasa akan terlihat bodoh meski melucu seaneh apapun.

"Traktir-traktir dong, Jar!" lanjutku, bercanda.

"Beres, Fung! Sekalian biaya permohonan ijin. Gua meminjam nama lo di novel terbaru gua."

"Eh?"

Fajar menunjukkan draft novelnya. Aku membaca sinopsisnya. Dia memakai namaku sebagai nama tokoh utamanya.

Baru saja aku ingin lanjut mencandai dan meminta royalti padanya atas penggunaan namaku, tapi Fajar membuatku bungkam dengan kata-katanya.

"Penyanyi menyatakan cinta dengan lagunya. Pelukis dengan lukisannya..." Fajar memberikan draft itu di tanganku, "... penulis dengan kata-katanya. Baca hati gua, Fungi."

Aku bengong seketika, tidak mengerti maksudnya. Dan masih bengong sampai dia berlalu ketika kak Fandy memanggilnya kembali ke ruangannya.

"Gua traktir lo besok ya Fung," kata Fajar sebelum pergi.



Gara-gara kata-kata Fajar itulah, untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku berhasil menamatkan membaca novel sepanjang 400 halaman hanya dalam semalam.  Aku membaca isi hati lelaki itu. Dan itulah awal mulanya kisah kami.





*                          *                          *





"Kamu udah lihat Fajar datang, Fung?"

Pagi-pagi sekali Fandy sudah mendatangi mejaku, membuat pagiku cerah ceria.

"Belum lihat dia, Kak. Kenapa?" kataku.

"Nanti kasih tahu saya kalau dia udah datang ya," Fandy berpesan.

"Siap bos!" aku tersenyum lebar. Dan Fandy membalas senyumku, kecil saja.

Setelah Fandy masuk ke ruang kerjanya, aku mengalami dilema sendiri. Aku sebenarnya sedang berusaha menghindari Fajar. Bukan karena aku membencinya. Manusia seperti Fajar adalah jenis manusia yang sangat sulit untuk dibenci. Dia terlalu menyenangkan untuk dijauhi. Aku hanya belum siap bertemu dengannya sekarang. Bagaimana kalau dia menanyakan tentang novelnya? Apa aku sebaiknya berpura-pura belum selesai membaca novelnya?

Dilema itu terus berkecamuk sampai hampir tengah hari. Fajar baru datang hampir menjelang makan siang. Dia masuk terburu-buru dengan tampang masih mengantuk.

"Heh, anak jamur!" sapa Fajar sambil menepuk bahuku dengan terlalu keras, "Bang Fandy nyariin gue ya?" lanjutnya, tergopoh-gopoh.

"Dari tadi pagi, Jar!" jawabku.

"Mati gue! Tadi gue ketiduran abis begadang nulis. Haduh, dibantai deh nih gue!"

Aku menepuk bahunya sambil tertawa. "Sana masuk! Berdoa dulu ya!"

Kulihat Fajar berkomat-kamit sekilas sebelum masuk ke ruang kerja Fandy. Aku mengantarnya dengan tawa. Sejenak aku lupa bahwa tadi aku berencana menghindari Fajar. Well, yeah, harus diakui bahwa Fajar adalah jenis makhluk yang susah dihindari ... dia punya pesona yang kuat untuk menarik orang-orang ke sekelilingnya.





Sepuluh menit kemudian Fajar dan Fandy keluar ruangan. Wajah Fajar tampak sumringah. Dia berhasil selamat.

"Saya tunggu di mobil," aku mendengar Fandy berkata pada FajarFajar menjawabnya dengan anggukan dan senyuman.

Fandy melangkah menuju lift. Lalu Fajar mendatangi mejaku.

"Gue datang tepat waktu. Si bos udah laper. Dia ngajak lunch," kata Fajar, tersenyum lega.

"Selameeeettt, selameeettt," aku menepuk-nepuk punggung Fajar.

"Ikut yuk Fung!"

"Heh?!"

"Bang Fandy bilang boleh ngajak lo."

"Hah?! Ngapain aku ikut?"

"Karena lagi-lagi lo yang kebagian mendesain novel ini."

"Hah?"

"Lunch meeting kitaaahhh. Udah, ayok ah!"

Fajar menarik tanganku. Dan siang itu untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun mengekor Fandy, akhirnya aku bisa makan siang bersamanya. Dan ternyata itu bukan terakhir kalinya.







*                            *                        *





Entah sejak kapan tepatnya, aku jadi makin sering bersama Fandy. Kemajuan hubungan kami selama beberapa minggu ini bahkan seribu kali lebih baik jika dibandingkan dengan hubungan kami selama bertahun-tahun. Aku belum pernah sedekat ini dengannya. Kami beberapa kali makan siang bersama, nonton bioskop, atau sekedar ke toko buku. Dia bahkan beberapa kali mengantarku pulang. Dalam beberapa minggu terakhir aku merasa punya penyakit jantung akut, jantungku jadi lebih sering berdebar dibanding yang pernah dilakukannya seumur hidup.

Memang sih, kalau dipikir-pikir, dalam hampir semua adegan itu kami tidak pernah benar-benar berduaan. Seringkali ada Fajar bersama kami. Tiap Fandy mengajakku jalan, dia selalu mengajak Fajar serta. Dan tiap aku janjian dengan Fajar, Fandy selalu mengekor. Aku jadi punya banyak spekulasi. Ini Fajar yang sedang membantuku dekat dengan Fandy, atau justru sebaliknya? Apakah Fandy yang sedang berusaha mencomblangi aku dan Fajar?

Tapi beruntung juga demikian. Aku nyaris tidak pernah punya waktu berduaan dengan Fajar sehingga aku tidak perlu bingung menyiapkan jawaban. Coba pikir, bagaimana aku tega menyakiti hati laki-laki sebaik Fajar? Dia terlalu baik untuk ditolak. Sayangnya, aku sudah terlanjur jatuh cinta pada orang lain.

Meski demikian, sepandai-pandai tupai melompat, akhirnya ketangkep juga. Begitulah aku. Setelah berkali-kali menghindar, akhirnya aku terdampar juga pada suasana berduaan dengan Fajar. Takdirlah namanya.

"Sudah membaca hati gue?" tanya Fajar akhirnya. Dan aku tidak bisa lagi mengelak dari menyakiti hatinya.

Aku mengangguk.

"Bisakah menerimanya?"

Aku menghela nafas sebelum menjawab dengan berat hati, "I'm so sorry, Jar."

Gantian Fajar yang menghela nafas. Aku menatapnya, memohon maaf setulus hati.

"Gue sudah menduganya," kata Fajar kemudian. "Lo suka sama orang lain ya?"

Dengan ragu dan sungkan, aku mengangguk.

"Bang Fandy?"

Kaget, aku tidak menyangka Fajar bisa menebaknya dengan tepat.

"Emang kelihatan banget ya?" aku balik bertanya.

"Itulah kenapa gue sering ajak dia jalan bareng kita. Supaya lo mau jalan bareng gue," jawabnya.

Mengertilah aku sekarang. Prediksiku tepat. Pastilah Fandy berniat membantu mencomblangiku dengan Fajar.

"Tanpa kak Fandy, aku mau kok jalan-jalan sama kamu," jawabku cepat.

Fajar mengangguk, sambil tersenyum memaklumi, masih dengan wajah berpikir. Dia lalu berbalik, hendak pergi.

"Fajar!" aku memanggil, menahannya sesaat. "Apa setelah ini kamu akan menjauhiku?"

"Apa lo pengen gue menjauhi lo?" Fajar balik bertanya.

"Akan terdengar sepertinya aku egois banget ... "

"Menjadi egois sesekali, ga salah kok."

"Aku nggak mau kehilangan sahabat sebaik kamu."

Fajar tertawa. "Syukurlah. Gue juga ga mau kehilangan si anak jamur. Hahaha."

Aku manyun, tapi merasa lega.

"Gue nggak akan meninggalkan lo, kecuali lo yang memintanya," lanjut Fajar.

"Egois banget ya aku. Memintamu tetap bersamaku, padahal aku nggak bisa kasih harapan apa-apa."

"Gue nggak butuh harapan. Gue butuh lihat lo senyum. Dan bersama Fandy, lo tersenyum lebih cantik dibanding saat bersama gue."

"Makasih banyak ya, Jar. Kamu baik banget."

Lelaki itu tersenyum. Aku merasa tidak bisa kehilangan senyum itu.





You are my endorphine, while I am giving you heartache
We are sinners, we are liars, yet these lies taste so honest
When you smile the world stops, so please don’t cry, not because of me
Coz it’s you, it’s always you, it’s always been you

I’m down on my knee, I put everything on your hand
Hold me close gorgeous as I whisper you “I heart thee”

(I Heart Thee, FIERSA BESARI)





*                             *                       *





Bahkan setelah aku menolak Fajar, Fandy nampaknya tidak menghentikan usahanya untuk mencomblangi kami. Dia masih sering mengajak aku dan Fajar pergi bersama. Rasanya aku ingin bilang padanya bahwa usahanya sia-sia karena aku bukan cinta pada Fajar, tapi justru padanya.

Suatu hari Fandy mengajakku nonton. Melalui SMS kepada Fandy, Fajar bilang akan ikut nonton juga, tapi ternyata dia tidak datang. Beberapa saat sebelum film dimulai, aku menerima SMS Fajar: Gue nggak akan datang. Kalian nonton berdua aja. Good luck ya.

Aku terharu karena menyadari Fajar mau membantuku mendekati orang lain setelah aku menolaknya. Sayangnya, bahkan sampai Fandy mengantarku pulang, perbincangan kami tidak jauh-jauh dari masalah pekerjaan.

"Sayang banget tadi Fajar nggak jadi ikut ya," kata Fandy selagi ia mengantarku pulang.

"Iya, dia ada urusan mendadak," aku menimpali.

"Eh,ngomong-ngomong, sudah terpikir desain cover untuk novel Fajar?"

Aku mengangguk. "Aku mau taruh gambar buku di sampulnya. Gambar sebuah buku yang bentuknya seperti bentuk hati, terbuka, siap dibaca."

Fandy mengerutkan kening sesaat.

"Percaya nggak? Kemarin Fajar juga mengusulkan desain serupa. Soulmate banget deh kalian, seperti orang pacaran," kata Fandy.

"Nggak Kak, kami nggak pacaran," jawabku buru-buru.

Fandy tersenyum sambil mengangguk-anggukan kepala.

"Jadi Kakak nggak perlu berusaha mencomblangi kami," lanjutku, memberanikan diri.

"Hah?"

Fandy menoleh kepadaku. Tatapan matanya seperti bingung.

"Kalau aku bilang bahwa aku nggak akan jatuh cinta padanya, apa Kakak akan tetap bersikap baik sama aku?"

Fandy mengernyitkan dahi.

"Kakak bersikap baik padaku demi mendekatkan aku dan Fajar kan? Berhenti berusaha menjodoh-jodohkan kami, Kak. Nggak akan berhasil."

"Nggak ngerti apa maksudmu."

"Kak Fandy tahu yang aku maksud."

"Apa kelihatannya saya sedang menjodohkan kalian?"

"Buktinya, tiap mengajakku jalan, Kak Fandy selalu mengajak Fajar juga."

"Jangan GR. Saya bukan orang sebaik itu."

"Aku nggak cinta sama Fajar ... " kataku akhirnya.

Fandy masih tersenyum.

"Selama ini mataku cuma melihat Kak Fandy. Yang aku tuju bukan dia, tapi Kakak."

Senyum Fandy raib. "Kalau gitu, menyerahlah sekarang," katanya tiba-tiba. Raut wajahnya serius.

Aku terdiam. Jantungku berhenti berdetak. Apa Fandy baru saja menolakku? Tanpa basa-basi?

"Kak Fandy udah punya pacar?" aku bertanya takut-takut. Aku mendengar suaraku sendiri yang seperti mencicit.

"Nggak."

"Ada perempuan lain yang Kakak suka?"

"Nggak."

"Kalau gitu, aku masih bisa berharap ... ?" bisa kudengar suaraku melemah.

"Serius, jangan berharap!" jawabnya tegas. Dia menatap jauh dan fokus ke jalanan di hadapannya, menyupir. Bahkan dia tidak melirikku sama sekali.

Apa itu penolakan mutlak?





*                             *                       *





"Gimana tadi nonton sama bang Fandy?" suara Fajar segera terdengar begitu aku mengangkat telepon darinya.

Aku menghela nafas, lebih kepada usaha untuk mencegah air mataku menetes.

"Dia nolak aku, Jar," jawabku akhirnya.

"HAH?!"

Suaranya Fajar membuatku kaget setengah mati. Kenapa dia mesti kaget sampai teriak begitu sih? Bikin aku makin jiper saja.

"Lo berani menyatakan cinta ke dia?!" Fajar bertanya, seperti orang membentak.

"Nggak ngerti setan apa yang merasukiku tadi, Jar," aku mendengar diriku sendiri bicara dengan nada frustasi.

"Kenapa dia nolak lo, Fung? Emang dia bilang apa?"

"Dia cuma bilang, jangan berharap!"

Lagi-lagi aku menghela nafas. Fajar tidak bertanya lagi. Dia pasti bingung mendengar berita inj, antara senang atau harus berpura-pura ikut prihatin dengan nasibku.

Lama kami saling terdiam dengan ponsel di telinga masing-masing, sampai akhirnya Fajar bicara.

"Apa cuma dia yang bisa bikin lo jatuh cinta, Fung?"

Aku tidak segera menjawab.

"Bahkan meski dia nggak cinta sama lo?" lanjut Fajar.

"Kelihatan jelas ya?"

"Matanya saat melihat lo, sama seperti mata lo saat melihat gue. Nggak ada cinta di dalamnya."

"Maaf ya Jar," kataku pelan. Terbersit rasa bersalah karena sudah menolak Fajar. Aku pasti kualat padanya sehingga sekarang Fandy menolakku.

"Cinta nggak bisa dipaksa, Fung. Bukan salah lo juga. Gue cuma berharap suatu saat nanti tatapan mata lo saat melihat gue akan berubah."

"Bagaimana kalau aku berharap hal yang sama terhadap Kak Fandy?"

Terdengar Fajar menghela nafas.

"Maka kesempatan gue sama kecilnya seperti kesempatan lo."

Aku lemas.





*                              *                         *





Setelah insiden itu, tidak pernah lagi ada jalan-jalan bertiga. Tidak seperti hubunganku dan Fajar yang tidak berubah meski aku sudah menolaknya, Fandy justru kelihatan sekali menjauhiku.

Sekarang kutanya padamu, kawan, apa yang lebih menyakitkan dari penolakan? Yeah! Pengabaian! Diabaikan dan dianggap tak ada jauh lebih sakit daripada ditolak.

Fandy tidak pernah lagi bicara padaku kecuali soal deadline desain beberapa novel. Kami tidak pernah bicara berdua, dia hanya bicara padaku saat meeting bersama kru lainnya. Dan itu rasanya lebih menyakitkan daripada ditolak.

Setelah menunggu dan mencari kesempatan bicara berdua dengan Fandy, akhirnya aku mendapatkan kesempatan itu. Suatu hari kami bertemu di elevator. Tidak ada selain kami yang berada di dalamnya. Dan aku mengumpulkan keberanian untuk bicara pada Fandy.

"Maaf soal yang waktu itu, kak," kataku, hati-hati.

Fandy tidak segera menjawab, dan itu membuat hatiku kebat-kebit.

"Saya cuma nggak mau memberi kamu harapan," kata Fandy akhirnya. Wajahnya datar.

"Kenapa Kakak berusaha menjodohkan aku dan Fajar?"

Mati lu, Fung! Udah ditolak kok masih berani ngomong gini?!, aku memaki diriku sendiri.

"Cinta sejati itu membebaskan, bukan mengikat," kata Fandy tiba-tiba.

"Hah?!" aku tidak mengerti apa maksud perkataan Fandy.

"Mencintai berarti bahwa kebahagiaannya adalah alasan kebahagiaanmu ... meski alasan kebahagiaannya bukanlah kamu."

Aku mencerna kata-kata Fandy. Lalu entah kenapa aku jadi tercekat sendiri. Sekuat tenaga aku memberanikan diri bertanya dan bersuara, bahkan meski aku tidak punya keberanian untuk mendengar jawabannya.

"Dan Kak Fandy bahagia kalau melihat Fajar bersamaku?"

Fandy tidak menjawab.

"Fajar bilang, dia bahagia kalau melihatku bahagia bersama Kak Fandy. Kebahagiaan macam itu yang Kak Fandy maksud?"

Dia tetap diam. Aku kehilangan arah.

"Kamu nggak akan bahagia bersama saya, Fungi," kata Fandy kemudian.

"Sama seperti Fajar yang nggak akan bahagia bersama saya."

"Kalau gitu, mungkin Fajar akan bahagia bersama saya?"

Kerongkonganku kering.

"Tapi dia mencintai saya," kataku, frustasi.

"Dan kamu mencintai saya?"

"Dan kak Fandy mencintai ... ?"

Aku tidak berani melanjutkan prediksiku. Lagi-lagi dia diam.

"Aku nggak melihat cinta ini ada ujungnya," aku frustasi.

"Haruskah ada ujungnya?" Fandy balas bertanya.

Pintu elevator terbuka. Kami sudah sampai di kantor kami. Frustasi dan depresi, aku pergi mendahuluinya. Dan dia tidak mencegahku. Dia memang tidak pernah mencegah kepergianku. Aku saja yang berkeras tidak pergi dari sisinya.







"Aku sudah tahu, Jar."

Aku langsung menelepon Fajar begitu sampai di mejaku. Kejamnya aku, setelah menolak Fajar, aku malah menjadikannya tempat curhat favorit untuk menceritakan keluh kesah tentang lelaki lain.

"Tahu apa?" suara Fajar tetap terdengar sabar.

"Kak Fandy emang nggak mungkin cinta sama aku."

"I'm so sorry to hear that, Fung." Suara Fajar terdengar simpatik.

"I'm so sorry, Jar."

"Apa artinya itu?"

"Aku masih cinta dia."

"Meski dia nggak akan membalas cinta lo?"

"Kamu sendiri?"

"Gue juga nggak bisa berhenti mencintai lo."

"Dia juga mungkin nggak bisa berhenti mencintai ... "

Fajar menungguku menyelesaikan kata-kataku. Dia memang selalu menungguku.

"Aku nggak melihat cinta ini ada ujungnya."

"Kalau gitu, putus ikatannya. Lo akan bisa melihat ujungnya."

"Apa itu artinya aku harus melepas Kak Fandy?"

"Atau gue yang harus melepas lo?"

"Aku nggak bisa kehilangan sahabat sebaik kamu."

"Kalau gitu mungkin cinta ini memang ditakdirkan nggak berujung."

"Mungkin memang harus begitu?"







Tak ada kisah tentang cinta
yang bisa terhindar dari air mata
Namun ku coba menerima, hatiku membuka
siap untuk terluka


Cinta tak mungkin berhenti secepat saat aku jatuh hati
Jatuhkan hatiku kepadamu sehingga hidupku pun berarti
Cinta tak mudah berganti, tak mudah berganti jadi benci
Walau kini aku harus pergi tuk sembuhkan hati



(Cinta Tak Mungkin Berhenti, TANGGA)







*                           *                           *





"Kak Fandy, bisakah kita berteman seperti dulu, seperti selama ini sebelum kak Fandy tahu perasaanku?"

Dia tidak menjawab. Dan aku tidak bisa menerka ekspresinya yang berada di seberang telepon. Aku memilih bicara padanya lewat telepon saja. Aku pasti tidak akan punya kekuatan untuk menatap matanya langsung.

"Saya nggak bisa kasih kamu apa-apa, bahkan harapan sekalipun," Fandy menjawab setelah beberapa lama.

"Aku nggak minta harapan. Aku cuma minta Kak Fandy nggak menjauhiku lagi. Bisakah menganggapku seperti Fungi yang selama ini Kakak kenal?"

Fajar bilang tidak akan menyerah terhadapku. Tapi dia tidak memaksaku. Jadi aku juga belum mau menyerah mencoba membuat Fandy mencintaiku. Meski aku juga tidak bisa memaksanya.

"Saya nggak bisa memaksamu pergi dari saya kan?" tanya Fandy.

Aku tercekat.

"Kak Fandy ingin aku menjauhi Kakak?" aku mengatur suaraku supaya tidak terdengar mencicit dan tetap tenang.

Keheningan panjang dari kedua sisi telepon, membuat jantungku kebat-kebit, sampai akhirnya Fandy memecah keheningan.

"Besok nonton Breaking Dawn yuk."

"Aku, Fajar dan Kak Fandy?"

Fandy tertawa. Akhirnya aku bisa mendengar suara tawanya lagi. Suara tawa Fandy masih bisa membuatku berdebar-debar.

"Yeah, kita kan tetap trio kwek-kwek," kata Fandy terkekeh.

Akupun ikut tertawa. Bukan tertawa karena lelucon Fandy. Aku sebenarnya menertawakan kisah kami.

Sampai sekarang aku tetap tidak melihat cinta ini ada ujungnya.





Tanganku kosong, genggamlah
Pundakku kuat, rebahlah
Sampai kapan kau membeku?
Sembunyi di rasa sakitmu


Coba kau cari siapa yang mampu menunggumu
Akulah orang itu, akulah orang itu
Dan bila ada yang ingin tua bersamamu
Akulah orang itu, akulah orang yang kau cari


(Kala, FIERSA BESARI)











Makasih buat Fungi  yang sudah saya pinjam namanya padahal belum ijin. Cerpen ini juga, sedikit-banyak, terinspirasi dari lagu-lagu kang Fiersa. Jadi sambil membaca cerpen ini, kalian bisa sambil mendengarkan lagu-lagunya. Cek di link berikut ini deh:




Terima kasih sudah membaca, mantemaaaannnn :)