Luna Lovegood inside. Noda Megumi outside.

Minggu, 20 Mei 2012

ALMA dan ARKA


 Sejak sore Almazia Rahmi sudah sibuk sendiri. Gadis berusia 13 tahun itu merasa gugup tanpa bisa dicegahnya. Dia tidak tahu harus memakai baju apa. Apa kalau dia memakai baju yang terlalu rapi, lelaki itu akan mengira dirinya berlebihan? Atau malah kalau dia pakai kaos kebangsaannya, apa lelaki itu akan berpikir bahwa dirinya jorok sekali? Apa dia perlu memakai parfum? Lipgloss mungkin? Apa poninya akan disisir model Chibi Maruko-Chan, atau dijepit supaya tampak imut?

Alma tidak pernah mengerti mengapa setiap malam minggu dia harus merasa panik seperti itu. Tapi di hadapan orang lain, apalagi di hadapan kakaknya, dia harus berpura-pura bersikap santai, atau dia akan diledek habis-habisan oleh warga serumah.

Menjelang jam tujuh malam, jantung Alma makin berdebar-debar. Dan jantungnya serasa akan melompat keluar rongga dadanya ketika dia mendengar suara bel rumahnya sendiri.

Dengan jantung berdebar, tapi bergaya sok santai, Alma akan membukakan pintu untuk sang tamu yang sudah dinanti-nantikannya.

“Hai Alma! Cantik banget.”

Alma merasa jantungnya berhenti berdetak saat itu juga saking senangnya. Melihat senyum lelaki itu, Alma rasanya akan meleleh hingga tidak bersisa. Lututnya lemas.

“Kak Alya udah siap, Ma?” lelaki itu bertanya dengan suaranya yang dalam.

Jantung Alma kembali berdetak. Pertanda ia kembali ke alam nyata. Lelaki itu bernama Arkadia Rahman. Pacar kakaknya.



*                   *                   *





Setelah lima tahun, Alma menjadi sangat terbiasa dengan kehadiran lelaki itu di rumahnya. Dia sudah menjadi semacam pangeran pujaan bagi Alma. Orang yang dipuja dan digilainya. Orang yang selalu bisa membuatnya jatuh cinta dan patah hati di saat yang sama. Orang yang membuatnya berdebar-debar dan tersayat-sayat saat melihat senyumnya. Orang yang dinantikan datang setiap minggu ke rumahnya, tapi datang untuk menemui kakaknya sendiri. Orang yang mengenalkannya pada keironisan cinta pertama.

Arkadia Rahman.

Maka ketika akhirnya Alya putus dengan Arka, Alma merasa tercabik antara senang dan kecewa.





Alma mengira dengan putusnya Alya dan Arka, kesempatannya untuk mendekati Arka jadi terbuka. Tapi ternyata dia salah besar. Alya dan Arka putus setelah lima tahun pacaran karena Alya berselingkuh dengan pria lain saat mereka menjalani hubungan jarak jauh, saat Alya kuliah di Jakarta sementara Arka kuliah di Bandung.

Segala cara telah dilakukan Alma untuk bisa dekat dengan Arka. Sekuat tenaga ia belajar agar bisa kuliah di kampus yang sama dengan Arka. Tapi saat ia berhasil mengejar Arka hingga ke Bandung, Arka mengabaikannya. Pertama kali bertemu Alma di kampus, Arka hanya berjalan melewatinya tanpa menyapa, pura-pura tidak kenal.

Alma sudah tahu rasa sakitnya melihat lelaki yang dicintai merangkul kakak sendiri. Tapi mendapati lelaki itu mengabaikannya, rasanya jauh lebih menyakitkan. Alma sudah tidak tahu lagi, apa yang harus dilakukannya? Apakah ia harus berusaha menjadi seperti kakaknya supaya bisa membuat Arka jatuh cinta? Atau harus berusaha agar tidak mirip kakaknya karena hanya membuat Arka makin membencinya?

Tidak mudah untuk hidup menjadi bayang-bayang orang lain. Tapi kalau memang itu yang dibutuhkan untuk bisa berada di dekat seseorang, mungkin memang itulah yang harus dilakukan. Meski hanya sebagai bayang-bayang.







Alya mulai khawatir melihat adiknya menjadi dekat dengan Arka. Hubungannya dan Arka putus secara tidak baik-baik. Fakta itu membuatnya khawatir bahwa Arka akan membalas dendam padanya melalui adiknya.

“Jangan jatuh cinta sama Arka, dek,” kata Alya seringkali.

“Kenapa?”

“Berarti lo emang jatuh cinta sama dia ya?” terka Alya, ngeri mendengar jawaban Alma yang sama sekali tidak mengelak.

Alma hanya angkat bahu dan melengos.





*                          *                             *





“Lo suka sama gue kan? Mau jadi pacar gue?” Arka bertanya singkat.

Tujuh tahun Alma menunggu. Tujuh tahun Alma berharap. Tujuh tahun Alma mendekat. Akhirnya Arka mengatakan hal itu.

Saking senangnya, Alma tidak bisa menjawab apa-apa. Dia hanya mengangguk dan tersenyum.





Alma tahu, Arka tidak pernah benar-benar mencintainya. Arka juga tidak pernah benar-benar memintanya menjadi pacar. Setelah mereka pacaran, hanya Alma yang terus berusaha mendekat. Menelpon. Menanyakan kabar. Memberi semangat. Mengajak kencan. Arka tidak pernah melakukannya.

Alma tahu, di hati Arka hanya ada Alya. Setiap Alma menyebut nama kakaknya, Arka langsung marah. Betapa besar kemarahan Arka, menjelaskan besarnya cinta yang masih disimpan Arka untuk Alya. Bagi Arka, Alma hanyalah pengganti Alya. Objek pembalasan dendam Arka.

Tapi meski Alma sudah tahu hal itu sejak awal, Alma tetap tidak mau melepaskan Arka. Meski Alya mati-matian memperingatkannya.

“Gue pernah mengkhianati dia, Ma. Gue nggak mau dia menyakiti lo demi balas dendam ke gue,” kata Alya berkali-kali.

Dan berkali-kali juga Alma hanya tersenyum.

Alma sudah tahu semua itu sebelum Alya mengatakannya. Dia hanya tidak mau tahu. Alma pikir, mungkin kalau dirinya membiarkan Arka menyakitinya, Arka tidak akan menyimpan dendam lagi pada Alya. Mungkin hanya dengan cara itu Arka akan melepaskan masa lalu. Dan mungkin dengan demikian suatu saat nanti Arka akan bisa mencintainya. Mungkin.







Setelah Arka lulus kuliah dan bekerja di Jakarta, mereka nyaris tidak bertemu lagi. Arka tidak pernah sengaja datang ke Bandung untuk menemui Alma. Tidak juga menelponnya.  Mereka sudah dua tahun berpacaran, tapi itu semua hanya status. Berbagai cara sudah dilakukan Alma untuk mencairkan hati Arka, tapi Arka selalu bersikap dingin dan kasar. Alma tahu bahwa Arka melakukan semua itu untuk menyakitinya, dan lebih jauh, untuk menyakiti Alya.

Tapi Alma tidak membiarkannya terjadi. Apapun yang dilakukan Arka terhadapnya, Alma tidak pernah menceritakannya kepada Alya. Dan dia juga tidak pernah membiarkan Alya berpikir bahwa Arka menyakitinya.

Well, yeah, mungkin dia emang tulus sama lo. Selama ini gue hanya terlalu curiga,” kata Alya akhirnya, karena selalu melihat Alma bercerita tentang Arka dengan wajah ceria.

“Kak Alya terlalu kuatir,” kata Alma sambil nyengir. Menelan kepedihan sendiri.





*                          *                             *





Ada masanya kau tidak bisa lagi bertahan. Atau cara bertahan yang paling baik adalah menyerah. Bagi Alma, itulah jalan yang harus diambilnya.

Beruntung bagi Alma karena dia tidak harus berhadapan langsung dengan Arka saat minta putus darinya. Dia tidak akan kuat jika harus menatap mata itu dan memutuskan hubungan.

“Kenapa tiba-tiba minta putus?” tanya Arka dari seberang telepon.

“Aku yang salah, Kak,” jawab Alma. Jeda panjang terjadi sebelum akhirnya Alma berkata: “Aku nggak bisa LDR kayak gini terus Kak.”

“Apa ada orang lain?” Alma bisa menangkap keperihan dalam suara Arka.

Alma menghembuskan nafas. “Iya. Maaf ya Kak.”

“BRENGSEK! Kalian kakak-adik sama aja!”

Telepon ditutup dengan kasar. Hati Alma hancur menjadi serpihan. Dia pernah bertekad untuk menyembuhkan luka hati Arka yang pernah disebabkan oleh Alya. Tapi sekarang dia justru melukainya dengan cara yang sama.

Tapi bagi Alma, semua ini jauh lebih baik. Perpisahan yang menyakitkan seperti ini tidak akan meninggalkan kenangan indah yang akan terlalu sulit dihapus. Dia ingin dirinya segera terhapus dari ingatan Arka.



*                          *                             *





Arka tidak mengira akan bertemu Alya setelah bertahun-tahun. Masih secantik dulu, meski sekarang tubuh gadis itu gemuk karena sedang hamil. Dia juga tidak menyangka akan bertemu Alya justru di taman pemakaman seperti itu.

“Aku baru aja dari makamnya. Kamu mau kesana juga?” tanya Alya.

Arka tidak mengerti dengan apa yang dikatakan Alya. Dia datang ke pemakaman itu untuk ziarah ke makam ayahnya. Apa Alya sedang membicarakan ayahnya juga?

Melihat ekspresi bingung Arka, Alya mengulangi pertanyaannya.

“Kamu kesini mau ziarah ke makam Alma juga?”

Arka terpaku. Dia merasa salah mendengar.

“Maaf  ya waktu itu aku nggak kasih kabar ke kamu, Arka. Sebelum meninggal tiga bulan lalu, Alma bilang kamu sedang tugas ke luar negeri. Dia nggak kasih nomor ponsel terbaru kamu. Aku nggak tahu harus menghubungi kamu kemana.”

Baru kali itu Arka tahu apa yang dimaksud “rasanya seperti disambar petir”. Seluruh badannya kaku. Otaknya beku. Hatinya hangus. Dia merasa kebas seketika.

Alma meninggal?!

“Kamu baru balik ke Indonesia?” Alya bertanya.

Arka yang sedang kalut hanya bisa menjawab dengan gumaman.

“Makasih ya Arka,” kata Alya kemudian. Arka makin bingung, kenapa Alya harus berterima kasih kepadanya. “Kamu udah bikin dia bahagia di waktu-waktu terakhirnya. Kalau dua tahun lalu kamu nggak memintanya jadi pacarmu, mungkin dia udah menyerah sejak dokter bilang dia kena kanker otak.”

Arka diam. Tidak tahu harus merasa seperti apa lagi.







Arka merasa terpukul dengan berita yang didengarnya. Dia baru putus dengan Alma tiga bulan lalu. Dan sekarang dia mendapat kabar bahwa Alma meninggal? Pada bulan yang sama dimana Alma minta putus darinya? Arka merasa terusik oleh fakta itu. Dia tidak tahu harus bertanya pada siapa. Terlalu memalukan jika seorang pacar tidak tahu bahwa pacarnya sakit parah hingga meninggal. Tapi Arka merasa penasaran setengah mati.

Tiba-tiba dia teringat sesuatu. Yang bisa memberinya petunjuk.



*                          *                             *





Orang-orang bertahan pada impiannya.

Aku bertahan pada kamu.

Begitu sederhana alasannya

Andai kamu mau membaca hatiku.

---------------------------------------------------------------------------------------



Hanya saat kamu tidak lagi marah ketika namanya disebut,

saat itulah aku tahu bahwa kamu sudah tidak mencintainya lagi,

Dan aku tidak bisa membayangkan kapan itu akan terjadi.

Cintamu padanya, yang sebesar kemarahanmu atas pengkhianatannya,

seperti tidak berujung.

-------------------------------------------------------------------------------------------



Aku tidak bisa bertahan

Kupikir begitu

Tapi kupikir bisa bertahan

Asal ada kamu.

--------------------------------------------------------------------------------------



Kalau aku bilang bahwa aku tidak bisa bertahan

Apa kamu akan mempertahankan aku?

Atau justru meninggalkanku?

--------------------------------------------------------------------------------------



Berapa lama lagi waktu yang tersisa?

Apa masih cukup untuk mencairkan kebekuan hatimu?

Atau lebih baik aku membiarkanmu pergi?

-------------------------------------------------------------------------------------



Rasanya sakit ditinggalkan

Jadi biarkan aku yang meninggalkan kamu

Boleh kan sekali ini aku egois?

Karena rasanya sudah terlalu sakit

-------------------------------------------------------------------------------------









 Dulu ketika dirinya dan Alya masih berpacaran, dan hubungannya dengan Alma masih sangat dekat seperti kakak-adik, Alma sering mengirimkan link blognya kepada Arka setiap kali gadis itu selesai menulis cerpen atau puisi terbarunya di blog. Arka suka membaca tulisan-tulisan Alma. Tapi sejak dirinya putus dengan Alya lima tahun lalu, Arka tidak pernah lagi mengunjungi blog itu.

Kini, ketika ia harus mencari petunjuk mengenai apa yang telah terjadi pada gadis itu, hanya blog itulah satu-satunya hal yang bisa memberinya petunjuk. Dan benar saja, ada begitu banyak hal yang bisa diketahuinya dari tiap tulisan Alma yang dibacanya.

Gadis itu benar-benar mudah dibaca ... andai Arka mau membacanya.

Arka sungguh-sungguh berharap bisa membaca tulisan-tulisan itu sebelum semua hal ini terjadi. Tapi tentu saja sekarang semua itu hanya sekedar harapan.

Arka membaca puisi yang terakhir kali di-post-kan oleh Alma di dalam blognya. Ditulis pada tanggal yang sama ketika Alma minta putus darinya. Dan Arka merasa penyesalannya akan abadi.





Kamu yang selalu aku cintai,

Kamu yang tidak pernah mencintai aku,

Aku menyerah

Tanganku tidak sampai lagi

Meraih hatimu



Aku pergi,

Arka.





“Mau tahu pendapatku, Arka? Alma cuma pernah satu kali jatuh cinta. Itu kamu.”



*                             *                            *