Luna Lovegood inside. Noda Megumi outside.

Sabtu, 27 Oktober 2012

HARI MINGGU

Hari Minggu adalah hari yang paling aku suka, sekaligus paling kubenci. Karena pada hari itu aku bisa menghabiskan waktu bersamanya, dan hanya pada hari itu aku bisa bersamanya. Pekerjaannya sebagai Plant Director sebuah perusahaan food and beverage multinasional dan pekerjaanku sebagai mahasiswi membuat kami sangat sibuk sampai tidak punya waktu bertemu kecuali setiap hari Minggu saja.
Karena hanya satu hari itu yang kami punya, kami berusaha memanfaatkannya dengan baik. Tiap Minggu pagi, aku punya seorang murid les privat yang harus kutemani belajar, maka kebersamaan kami baru dimulai setelah itu. Dia akan menjemputku di rumah muridku saat aku sudah selesai mengajar. Lalu dia akan membawaku ke rumahnya. Tidak seperti pasangan lain yang menghabiskan akhir pekan di mall, bioskop atau theme-park, kami biasa menikmati sepanjang hari Minggu kami di rumahnya.

Dia pintar sekali memasak. Sering sekali ia memasak untuk kami berdua. Aku biasanya hanya membantunya mengupas bawang, memotong wortel atau menghabiskan masakannya. Dia bilang, ada dua hal yang membuatnya senang memasak. Pertama, karena dia senang makan. Kedua, karena dia senang melihatku makan. Dia bisa sangat hilang kendali saat memasak. Dia bisa memasak sepuluh jenis makanan dengan porsi besar padahal hanya kami berdua yang akan memakannya. Lalu dengan semena-mena ia akan menjadikanku kambing hitam.
“Kamu harus bertanggung jawab!” katanya.
“Memangnya saya menghamili siapa?”
Lalu dia akan tertawa sambil menyodorkan semua masakannya ke depan mukaku, menyuruhku menghabiskannya, tidak peduli pada program dietku. Padahal dia sendiri yang selalu memanggilku “pipi bakpao”, tapi dia jugalah yang merusak semua rencanaku untuk menguruskan pipi.
“Kamu tega membuat saya menghabiskan semua ini? Kamu mau lihat hipertensi saya kumat lagi?” selalu begitu ancamannya, membuatku tidak tega.
Tidak jarang juga dia memaksaku belajar memasak padanya. Kuberi tahu kau, kawan, bukannya aku tidak pintar memasak, hanya saja baginya masakanku selalu kurang gula, atau kelebihan garam, atau terlalu banyak cuka. Intinya, dia selalu mengejekku dan mempertanyakan keperempuananku.
“Kamu tuh perempuan atau bukan sih? Kok saya lebih pintar masak daripada kamu?” katanya, sering menyindirku sambil tertawa mengejek.
Kalau sedang sinting, aku membalasnya dengan membuka satu kancing teratas kemejaku lalu berkata: “Mau bukti?”
Lalu dia hanya tertawa sambil bilang “Coba aja buka kalau berani!”
Dia tahu bahwa aku tidak pernah berani meski dia hanya menggertak.
Di hari Minggu yang lain dia memintaku membantunya berkebun. Ini adalah kegiatan yang paling kubenci. Aku suka semua bunga yang ditanamnya di pekarangan rumahnya, tapi kalau harus membantunya mengurus semua tanaman itu, aku sebal. Dia sudah punya tukang kebun untuk merawat semua bunga itu, kenapa harus berkotor-kotor berkebun juga? Apa gunanya membayar tukang kebun kalau kau masih harus berkebun sendiri.
Tapi berkebun dan memasak adalah hobinya. Dan aku terlalu mencintainya untuk menolak menemaninya melakukan hobinya. Akhirnya aku mengalah.

Dulu aku terlalu tinggi hati. Kupikir, selalu aku yang berkorban dan mengalah demi dirinya. Selalu aku yang meng-iya-kan semua keinginannya. Selalu aku yang menuruti semua permintaannya. Selalu aku yang mengikuti semua perintahnya. Aku pikir, dia tidak mungkin bisa mengalahkan rasa cintaku. Tapi belakangan ini aku sadar, sepertinya aku terlalu besar kepala. Dia mengalah sama banyaknya dengan pengorbananku. Bolehkah kalau aku GR bahwa rasa sayangnya kepadaku sama besarnya dengan rasa cintaku padanya?
Minggu pagi kami selalu diawali dengan menonton anime kesukaanku, Chibi Maruko Chan, meski dia sebal sekali pada film kekanakan begiitu. Dia selalu berkata bahwa dia tidak habis pikir mengapa gadis seusiaku masih saja menonton acara semacam itu. Kami memang sudah saling kenal sejak aku lahir, maka dia sangat maklum ketika melihatku yang masih SD tergila-gila pada anime Cardcaptor Sakura. Tapi karena sampai sekarang aku masih menonton anime semacam itu, dia merasa aku tidak normal.
Selain soal tontonan, makanan kesukaan kami juga bertolak belakang. Dia adalah penggemar seafood, sementara aku alergi makanan laut sejak kecil. Pernah satu kali dia memaksaku makan kepiting saos padang kesukaannya. Katanya, dengan membiasakan memakannya sedikit-sedikit, alergiku akan sembuh. Tapi aku baru mencoba segigit saja, lima menit kemudian langsung muncul ruam di wajah dan seluruh tubuhku. Waktu itu aku juga sempat sesak nafas sebelum akhirnya dibawa ke rumah sakit. Sejak itu, dia sangat bertoleransi padaku soal makanan. Setiap dia mengajakku ke restoran seafood, dia akan memesankanku seekor gurame bakar madu yang besar sebagai ganti kepiting yang tidak bisa kumakan.
Sebaliknya, kalau aku alergi makanan laut, dia justru tidak suka dengan susu dan segala produk olahannya. Bukannya alergi, dia hanya tidak suka baunya, sama seperti aku benci aroma duren kesukaannya. Tapi dia tahu bahwa aku suka sekali makan es krim. Maka, berdasarkan insting ke-GR-anku, demi aku dia belajar menyukai es krim. Es krim kesukaannya adalah rasa cappucino, karena dia masih bisa mencecap rasa kopi kesukaannya menutupi aroma susu yang dibencinya.
Satu-satunya kesamaan selera kami hanya kopi. Kami berdua sama-sama pecandu kopi. Kata Ibu, dia yang pertama kali mengajariku minum kopi saat kecil. Awalnya hanya satu sendok kecil tiap pagi, tapi lama kelamaan gara-gara dia, aku tidak bisa berpikir jernih jika belum minum kopi di pagi hari. Dia membuatku menjadi pecandu kopi seperti dirinya.

Dalam suatu hubungan, kompromi dan pengorbanan adalah suatu keniscayaan. Demi yang tercinta kita mengalah. Demi yang tercinta, kita mengkompromikan banyak hal. Tanpa saling menyesuaikan diri, tidak akan ada cinta yang bertahan. Maka sesungguhnya orangtua-orangtua kita yang berhasil melewati hari ulang tahun pernikahan ke 50 tahun bukanlah karena mereka tidak memiliki perbedaan, tapi karena mereka berhasil mengkompromikan perbedaan-perbedaan masing-masing.
Meski demikian, ada hal-hal yang tidak mudah dikompromikan meski cinta tak terelakkan. Meski telah banyak hal yang kami kompromikan, meski telah sering kami mengalah satu sama lain, ada satu hal yang tidak akan pernah bisa kami kompromikan.
Waktu.

Gadis-gadis lain mengalami cinta pertama ketika mereka beranjak remaja. Itu mengapa Ibuku bingung sendiri karena sampai usia 20 tahun ini aku belum juga mengenalkan seorang lelakipun padanya. Bukannya aku terlambat mengalami cinta pertama, aku justru sudah merasakannya jauh sebelum gadis-gadis lain. Aku hanya tidak berani bilang pada Ibu. Aku bahkan tidak berani bilang pada laki-laki itu. Mungkin aku memang tidak perlu bilang pada keduanya. Toh Ibuku sudah mengenal lelaki itu, dan lelaki itu pasti sudah menyadari perasaanku, meski tidak tepat seperti yang kurasakan.
Sejak pertama kali aku bisa mengingat, aku sudah jatuh cinta pada lelaki itu. Jadi kalau mau bicara soal cinta pertama, dialah orangnya. Sampai aku sebesar ini sekarang, belum ada laki-laki lain yang berhasil menggeser posisinya di hatiku. Aku tidak tahu sampai kapan perasaan ini bertahan, meski aku sudah tahu bahwa hubungan kami tidak bisa bertahan selamanya.
Aku sudah tahu kenyataan itu sejak awal. Tapi aku selalu menolak mengakuinya. Sampai suatu hari aku dipaksa mengakui bahwa perbedaan kami terlalu jauh untuk dilampaui. Itu pertama kalinya kami menaiki tangga saat berjalan-jalan di sebuah mall karena elevator terdekat sedang rusak dan kami harus memutar jauh untuk menemukan eskalator. Itu pertama kalinya aku melihatnya terengah-engah menaiki tangga.
“Tunggu dong, naiknya jangan cepat-cepat begitu,” katanya dengan nafas putus-putus. Ia berhenti sebentar di pertengahan tangga.
Dia menarik tanganku. Aku berhenti menaiki tangga, kembali padanya dan menepuk-nepuk punggungnya.
Selama ini kupikir selalu aku yang mengejarnya karena badannya yang tinggi besar sehingga langkahnya lebar-lebar. Aku perlu melangkah dua kali lebih cepat daripada dirinya supaya bisa mengimbangi langkahnya. Untungnya ia tidak pernah keberatan melambatkan langkahnya demi aku. Berkat lelaki inilah aku terbiasa berjalan dengan langkah cepat. Nyaris semua teman lelakiku tidak ada yang bisa mengimbangi langkah kakiku.
Kini, ternyata ia yang harus bersusah payah mengejarku.
“Dulu waktu kamu masih kecil, saya menemanimu naik tangga pelan-pelan. Sekarang kamu malah ninggalin saya. Saya kan sudah tua, nggak sekuat kamu lagi kalau naik tangga. Harusnya tadi kita memutar mencari eskalator,” katanya.
Momen itulah yang menyadarku. Dia kembali mengingatkanku tentang perbedaan kami. Bahwa perbedaan kami bukan hanya soal angka.
Apa ini alasanmu tidak pernah mau benar-benar bersamaku? Apa bersamaku membuatmu sangat kelelahan seperti saat ini?
Aku kembali menepuk-nepuk punggungnya beberapa kali sambil tertawa, menutupi mirisnya perasaanku.
“Maaf,” kataku sambil tertawa. Palsu.
Kamu membalasnya dengan senyuman. Terlihat tulus.

Tidak setiap hari Minggu kami habiskan dengan kegiatan khusus. Kadang kami hanya berdiam di rumahnya seperti hari ini. Aku menunduk di atas tugas-tugas kuliah dan jurnal-jurnal praktikum sementara ia tenggelam di depan  laptopnya, mengutak-atik OEE divisi produksi perusahaannya. Laptopnya bergantian memutarkan lagu-lagu Josh Groban dan Celine Dion. Berganti antara New Kids On The Block dan Super Junior. Di depan kami tersedia kue lupis kesukaannya dan tiramisu kesukaanku. Dua gelas cappucino buatanku ada di pusat kesunyi-senyapan kami. Kami asik dengan kesibukan masing-masing. Kalau ada yang berpikir bahwa berakhir pekan seperti ini hanya kesia-siaan, mereka sungguh tidak mengenal arti kalimat “bahagia itu sederhana”. Bagi kami, terutama bagiku, ini kebahagiaan tertinggi yang bisa kuraih bersamanya. Tidak berani mengharap lebih.
Kebungkaman kami terpecah oleh suara bel pintu. Dia memanggil asisten rumah tangganya untuk melihat siapa yang datang.
“Katanya teman Bapak main tenis,” kata asisten rumah tangganya, beberapa menit kemudian.
Dahinya berkerut.
“Namanya Mas Tommy,” lanjut asisten rumah tangganya.
Aku melihat senyumnya. Aku tidak suka melihat senyum itu.
Dia bangkit meninggalkan pekerjaannya, dan aku. Menemui tamunya. Lima menit kemudian, setelah pria bernama Tommy itu berhasil memarkir mobilnya di garasi rumahnya, dia mengajaknya masuk ke ruang tamu.
“Bapak lagi sibuk?” aku mendengar suara lelaki bernama Tommy itu.
Penasaran, aku mengintipnya dari ruang tengah. Lelaki itu hanya beberapa tahun lebih tua daripada aku. Mungkin akhir 20 tahun atau awal 30 tahunan. Tinggi, kurus, berkulit putih dan berwajah oriental. Tampan seperti artis Korea yang aku idolakan.
“Nggak kok. Lagi santai aja,” dia menjawab.
“Hmmm... Bapak lagi ada tamu? Apa saya mengganggu?”
Iya, ada aku disini dan kamu sudah mengganggu hari Minggu kami, kataku dalam hati. Hanya bisa kesal sendiri.
Aku mendengar dia tertawa. “Bukan tamu. Ada keponakan saya di ruang tengah.”
Apa aku sudah cerita, kawan, bahwa dia adalah sahabat ayahku sejak mereka kuliah dulu? Usianya empat tahun lebih muda daripada ayahku, tapi semua orang yang baru mengenalnya pasti mengira usianya baru kepala tiga karena wajahnya yang awet muda. Entah mengapa sampai sekarang dia belum menikah juga, aku tidak ingin tahu. Orangtuaku mengajariku memanggilnya Om, tapi aku selalu tahu bahwa dia tidak pernah menjadi sekedar paman di hatiku. Meski sepertinya, baginya, selamanya, aku adalah keponakannya.
“Mau saya kenalin sama keponakan saya?”
Aku segera membereskan jurnal-jurnal praktikumku yg berserakan. Aku ingin pulang saja. Aku tidak berminat bertemu dengan siapapun di hari istimewa ini. Hari Minggu bukan lagi hari Minggu bagiku kalau ada orang lain di antara kami. Dan entah kenapa aku tidak suka dengan pria tampan bernama Tommy itu.

Jumat, 26 Oktober 2012

CERITA YANG TIDAK DIMULAI

Setelah ini saya tidak perlu lagi berpura-pura tidak mencintaimu



Aku menduga-duga, apa kata orang kalau sampai mereka tahu bahwa kau membelikanku kado ulang tahun semahal ini? Ini bukan hadiah ulang tahun yang biasa diberikan oleh seorang mantan bos kepada mantan anak buahnya.
“Coba lihat apa saja yang bisa kita lakukan dengan ini?” katamu sambil tersenyum ketika aku menolak pemberianmu.
“Kita?”
“Look. Kita bisa whatsApp, bisa YM, bisa video call. Saya bisa tahu dimana saja kamu berada. Saya bisa selalu tahu kabarmu.” Kau membuka aplikasi-aplikasi yang terdapat di dalam gadget itu sambil menunjukkannya padaku.
Aku mengernyit, tak tahan menyembunyikan keherananku.
“Kamu juga bisa cek email setiap saat. Upload dan download dokumen, foto dan video. Dan yang kamu pasti suka ... ada program microsoft office disini. Kamu bisa mengerjakan semua pekerjaanmu disini. Kamu bahkan bisa menulis cerpen, dimanapun kamu berada.”
Mataku terbuka lebar mendengar penjelasanmu tentang gadget canggih itu. Tapi entah kenapa, makin lebar mataku terbuka, makin buram sosokmu di mataku. Embun-embun entah darimana menghalangi pandanganku. Aku ingin mengenyahkan embun-embun itu, tapi kau pasti nanti menertawakanku kalau memergokiku melakukannya.
“Barang canggih di tangan seorang gaptek adalah kesia-siaan, Pak,” kataku frustasi.
“You can’t be that bad.”
Kau tertawa sambil mengelus kepalaku seperti biasa, seperti majikan yang mengelus-elus kucingnya. Aku tenggelam dalam kasih sayangmu. Kamu memang sangat memahamiku. Tidak tahan melihatku mencoret-coretkan ideku di potongan-potongan kertas, kau memberiku ini supaya aku bisa menulis apapun dimanapun aku berada.
Tapi aku tidak akan menulis cerita apapun disini, bos. Dengan hadiah ulang tahun darimu ini, mulai sekarang aku hanya akan menuliskan cerita tentang kita. Atau mungkin surat-surat cintaku untukmu, yang tidak mungkin bisa aku kirimkan kepadamu.
“Itu namanya HANDphone ya, bukan BAGphone. Bawa kemanapun kamu pergi! Awas saja kalau kamu berani nggak angkat telepon saya karena alasan handphone ketinggalan di tas.”


Tidak pernah terlalu senang, tidak juga terlalu sedih.
Harapanku tidaklah besar. Hanya selalu ingin tahu kabar baik tentangmu.

*                                  *                                   *

Pertama-tama, aku mau mengaku. Selama ini di belakangmu, aku memanggilmu “Hulk”. Kalau saja kau tahu panggilanku ini, seharusnya kau juga tahu alasannya kan? Itu karena badanmu yang tingi besar. Kau orang baik yang disayangi banyak orang, tapi tiap marah saat meeting kau selalu berubah menjadi Hulk yang ditakuti semua orang. Jadi jangan salahkan aku karena memanggilmu begitu ya, bos :p

*                                  *                                   *

Dear Boss,
Aku tidak mengerti. Kau selalu serupa dilema bagiku. Dulu saat aku masih menjadi anak buahmu, aku selalu menghadapi dilema. Aku selalu ingin berada di dekatmu dan menarik perhatianmu. Tapi itu akan sama saja artinya dengan menyerahkan diriku ke kandang macan, siap untuk diterkam dengan setumpuk pekerjaan yang tak berkesudahan. Akibatnya, selama menjadi anak buahmu aku justru tidak berani mendekatimu, dan malah selalu kabur dari jangkauan pandanganmu.
Lucunya hidup, ketika aku memutuskan untuk beralih pekerjaan dan tidak lagi menjadi anak buahmu, kita justru menjadi dekat. Bagiku, aku tidak perlu lagi ketakutan akan diberi banyak pekerjaan jika bersamamu. Mungkin bagimu, tidak ada lagi conflict of interest yang perlu dikhawatirkan sekarang saat kita bukan lagi atasan dan bawahan.
Aku tidak pernah menyesal melepaskan diri darimu. Karena pada akhirnya aku mengerti, melepaskan sebenarnya adalah cara supaya kita siap menerima sesuatu yang lebih baik. Kamu adalah buktinya.

*                                  *                                   *

Aku selalu mempertanyakan pilihan hidupmu. Mengapa kamu memilih untuk hidup selibat? Hanya tinggal bersama beberapa orang yang membantu di rumahmu, apa kamu tidak pernah kesepian? Baru setahun ini keponakanmu berkuliah di kota ini dan setiap akhir pekan menginap di rumahmu, tapi apa itu cukup mengusir kesendirianmu? Apa tidak pernah terpikir untuk memberi kesempatan bagi orang lain untuk mengisi hidupmu?
“Saya sudah tidak memikirkan hal itu lagi sekarang,” jawabmu saat aku menanyakan padamu. Sesungguhnya bukan itu jawaban yang aku inginkan. Aku bukan ingin tahu mengapa sekarang kau tidak menikah. Aku ingin tahu mengapa dari dulu kau tidak ingin menikah? Tahukah kamu, pilihan hidupmu itu menimbulkan banyak prasangka.
“Bapak tahu nggak bahwa banyak perempuan yang naksir sama Bapak?” aku memberanikan diri.
Kalau kau tahu, bos, pesonamu sudah menarik perhatian banyak perempuan. Dari ibu-ibu pejabat sampai mahasiswa yang magang di kantor kita. Dari yang gadis sampai yang janda. Mereka semua tertipu oleh penampilanmu. Survey pribadi yang kulakukan berhasil memvalidasi dugaanku, hampir mereka semua naksir padamu karena mengira usiamu baru sekitar 40 tahun. Kalau saja mereka tahu usiamu yang sebenarnya, apa mereka masih mengagumimu? Aku berani bersaing dengan mereka dan aku pasti menang, karena hanya akulah yang tetap mencintaimu, berapapun usiamu.
“Nggak mungkin saya nggak tahu,” jawabmu sambil tersenyum nakal.
Kalau begitu, kamu juga pasti sudah membaca hatiku kan?
“Dan kenapa nggak memilih salah satunya untuk dinikahi?” Aku takjub pada diri sendiri karena berani menanyakan hal sefrontal ini.
Sampai sekarang aku masih ingat senyummu. Tapi sampai sekarang juga aku masih tidak mengerti arti senyuman misterius itu.
“Saya nggak percaya mereka benar-benar cinta sama saya. Saya sudah tua. Mereka pasti cuma nge-fans doang.”
Hatiku mencelos. Sejauh itu kau sudah tidak percaya pada cinta?
“Kalau saya bilang bahwa saya sayang sama Bapak, Bapak juga nggak percaya?”
Aku bersyukur kulitku tidak putih, kalau tidak kau pasti sudah melihat wajahku yang kemerahan. Rasanya ingin terjun ke jurang saat itu juga. Kenapa aku bisa seberani itu sih?
Lalu kamu tertawa. Dan lagi mengelus kepalaku. “Percaya. Kamu sudah menganggap saya sebagai ayah sendiri kan?”
Baiklah bos. Itu penolakan yang jelas. Aku memang tidak bisa lebih maju lagi. Tapi Bapak tahu sifatku kan? Aku juga tidak mau mundur.
Puluhan perempuan mungkin sudah mencoba, lalu gagal. Aku tidak tinggi-tinggi bermimpi memenangkan hatimu. Aku hanya mengharapkan kebahagiaanmu. Tidakkah kau akan bahagia jika menikah? Jangan denganku kalau tidak membuatmu bahagia. Tapi menikahlah, dan berbahagialah. Karena melihatmu bahagia adalah alasan kebahagianku, meski aku bukan alasan kebahagianmu.

*                                  *                                   *

Beberapa tahun lalu, usiamu tiga kali usiaku. Hari ini usiaku tinggal separuh usiamu. Tidakkah jarak waktu yang memisahkan kita makin dekat? Mungkin beberapa tahun lagi usiamu tidak sampai satu setengah kali usiaku. Jangan sombong! Kau tidak setua itu, dan aku juga bukan anak kecil seperti yang kau pikir selama ini.
Apa sekarang aku sudah boleh mulai berharap?
Dear pak bos,
Selamat hari lahir ya!

*                                  *                                   *

Tidak pernah terlalu jauh, tidak pula terlalu dekat.
Aku selalu tahu dimana harus menempatkan hati.

Bos, hari ini aku senang karena kau mengajakku makan siang dan karaoke bersama dengan keponakanmu untuk merayakan hari lahirmu. Makan dan karaoke bertiga seperti ini membuatku merasa menjadi bagian keluargamu. Anggap saja aku GR, terserah.
Aku langsung merasa cocok dengan keponakanmu. Meski usiaku beberapa tahun lebih tua darinya, tapi selera kami sama. Kami sama-sama penggila dorama, anime dan manga. Dan meski dia mengejek preferensi musik K-Pop kesukaanku, tapi toh dia mau berduet denganku bernyanyi lagu “Every Heart”nya BoA.
Oiya, seperti om-nya, keponakanmu ini pandai sekali, Bos. Aku terkaget-kaget mendengar pertanyaannya yang tidak terduga saat kau sedang pergi ke toilet. Ia sengaja mengintrogasiku ketika kami hanya berduaan di ruang karaoke itu.
“Mbak naksir sama Pakde ya?” keponakanmu bertanya tanpa basa-basi.
Meski kaget, dengan gaya sok cool, aku menjawab, “Ah, sok tahu kamu.”
“Kelihatan banget tauuu, Mbak.”
“Oh ya?” masih sok kalem.
“Tadi Mbak nyanyi lagunya SHE sambil ngelirik Pakde melulu sih. Kelihatan banget lagi curhat gitu.”
Tertangkap basah begitu, aku langsung pasang wajah sok jutek.
Ngomong-ngomong, Bos, apa kau pernah dengar pepatah ini “Sesungguhnya karaoke adalah curhat yang terselubung”? Benar sekali dugaan keponakanmu itu, Bos, tadi aku menyanyikan lagu itu hanya sebagai kedok untuk menyatakan perasaanku yang sesungguhnya padamu. Tepat seperti lirik lagu itu, begitulah kata hatiku. Apa kau bisa mendengarnya? Kalau-kalau kau tidak memperhatikan lagu yang kunyanyikan tadi, sekarang kutuliskan liriknya untukmu, supaya kau bisa membaca hatiku.

Aku cinta mati padamu
Takkan sanggup aku tanpamu
Bahagiamu itu bahagiaku
Dan setiap air matamu, itulah juga kesedihanku

Aku cinta mati padamu
Jangan pernah meragukanku
Terlalu dalam cintaku ini
Mungkin aku bisa mati bila harus kehilangan dirimu

Bukan untuk sembarang hati aku katakan ini
Sungguh aku cinta kamu
Bukan untuk sembarang hati
Hingga nafas berhenti, aku rela berlelah untukmu

(Bukan Untuk Sembarang Hati, SHE)

“Pakde tahu bahwa Mbak suka sama Pakde?” keponakanmu bertanya lagi.
“Kalau kamu aja sadar, nggak mungkin beliau nggak tahu kan? Tapi saya sayang sama beliau sudah seperti ayah saya sendiri,” aku berusaha menjawab diplomatis.
Aku tahu keponakanmu tidak mempercayai jawabanku. “Kalau gitu, gue nggak mungkin manggil Mbak dengan Bude kan?”
“Nggak mungkin dong,” kata bibirku. Meski hatiku berdoa lain.

*                                  *                                   *

Tidak pernah bersembunyi, tidak juga terbuka.
Karena memendam hanya membuat sesak, tapi kadang berterus terang juga menyakitkan.

Aku ingin sekali mengirim suratku kali ini padamu, Bos. Aku ingin kamu tahu, bahwa aku tidak suka kamu menjodoh-jodohkan aku dengan orang lain. Berapa kali kamu mengajakku makan bersamanya, ternyata hanya untuk menjodohkan kami? Apa selama ini kamu baik padaku hanya supaya aku mau dijodohkan dengan lelaki pilihanmu? Tidak tahukah kau, dia mendekatimu hanya untuk memanfaatkanmu demi mendekatiku.
Sudah lama aku ingin mengatakan ini padamu, Bos. Dan hari ini kamu mengujiku di saat yang keliru, saat mood-ku sedang buruk. Bayangkan perasaanku saat menerima pesan WhatsApp darimu. Aku hampir tersenyum karena melihat namamu disitu. Tapi senyumku langsung pudar begitu membaca pesanmu.
Kamu belum punya pacar kan? Dia juga belum punya. Sudah deh, kalian pacaran saja. Cocok lho. Tipe idamannya dia ya seperti kamu itu.
Tanpa pikir panjang aku mengetik balasannya: Tipe idaman saya yang seperti Bapak.
Aku tidak perlu lagi mengirim surat ini kan? Harusnya kau sudah membaca hatiku.

*                                  *                                   *

Bertahun-tahun mengenalmu, ini pertama kalinya aku melihatmu sakit parah. Meskipun kau marah dan menjauhiku sejak aku menolak rencana perjodohan itu, tapi saat melihatmu terbaring di rumah sakit, aku tidak sanggup membalas kemarahanmu. Aku langsung luluh.
“Kayaknya vertigo Pakde kambuh, Mbak. Tadi pagi pingsan di kamar,” kata keponakanmu begitu aku datang ke kamar rawatmu.
Mengingat riwayat hipertensimu selama ini, syukurlah kau bukan pingsan karena serangan jantung atau stroke seperti yang kukhawatirkan.
“Haduh, minggu ini gue lagi ujian nih Mbak. Gue cuma bisa jaga Pakde malam hari.”
Entah kenapa tanpa pikir panjang aku langsung menelepon sekretarisku. “Beberapa hari ini saya nggak bisa masuk. Ayah saya sakit. Kabari kalau ada hal penting ya.”
Aku masih ingat tatapan aneh keponakanmu saat aku mematikan ponselku.
“Segitu cintanya sama Pakde ya Mbak?” tanyanya, frontal.
Aku tidak berani menjawab.

Bukan untuk sembarang hati
Hingga nafas berhenti, aku rela berlelah untukmu

*                                  *                                   *

Tidak pernah mengharapkan "selalu" atau "selamanya". Bagiku cukuplah "sekarang". Selebihnya, setiap detik bersamamu adalah rahmat Tuhan yang sangat kusyukuri.

Dear Boss,
Aku ingin memulai cerita kali ini dengan mengutip kata-kata penulis favorit kita di salah satu novelnya.
Semua pertanyaan selalu berpasangan dengan jawaban. Untuk keduanya bertemu, yang dibutuhkan hanya waktu (Dewi – Dee – Lestari)
Maka jika aku adalah jawaban dari pertanyaanmu, atau kamu adalah yang aku pertanyakan, bukankah untuk kita bertemu, yang dibutuhkan hanyalah waktu?
Dan benarlah demikian adanya. Betapa lucunya hidup, sungguh hanya waktu yang kita butuhkan untuk bertemu.
Dulu aku selalu berandai-andai, semisal kau lahir sedikit lebih lambat, atau aku yang terlahir beberapa tahun lebih cepat, bukankah kita bisa bertemu di “waktu yang tepat”? Tapi sekarang aku tidak pernah lagi mempertanyakan kehendak Tuhan. Bukankah kalau pengandaianku terwujud, aku hanya akan menjadi teman sekelasmu yang menyebalkan. Andaikan kita tak terpaut waktu, bukankah aku hanya akan jadi teman biasa bagimu?
Orang bilang, di hadapan cinta waktupun menyerah. Sayangnya, dalam kasus kita, hal itu tidak terjadi. Kau selalu mempertanyakan hatiku, gara-gara waktu. Aku selalu tertinggal darimu, juga gara-gara waktu. Bahkan jika kita bisa menyelesaikan masalah kita sendiri, kita masih harus menghadapi orang lain, lagi-lagi karena perbedaan waktu.
Kupikir diantara sekian banyak perbedaan kita, salah satu hal yang mempersatukan kita adalah ketidakpedulian kita kepada suara sekitar. Bukannya kamu tidak pernah mendengar cibiran orang terhadapmu karena bersama anak kecil sepertiku. Bukan juga aku tidak pernah mendengar prasangka mereka bahwa aku hanya memanfaatkan kemapananmu. Tapi kita dengan sukses mengabaikannya.
Aku yakin kau sangat mengenalku, bahwa aku tidak pernah peduli dengan omongan orang. Orang lain boleh ngomong apa saja, dan demi kamu aku bisa menganggapnya seperti hembusan angin. Tapi sayangnya, suara pelan ibuku seperti badai di telingaku, dan aku tidak bisa mengabaikannya. Beliau marah saat tahu aku menjagamu selama kau sakit.
“Apa kata orang nanti?” kata Ibu, pelan namun tajam.
“Aku nggak peduli kata orang, Bu,” jawabku. Bahkan meski kau tidak mencintaikupun, aku merasa perlu memperjuangkanmu di hadapan Ibuku. Bodohnya aku.
“Tapi Ibu peduli. Saat Ibu dan Ayah merayakan kelahiranmu, orangtuanya merayakan kelulusan kuliahnya. Kamu pikir itu rentang waktu yang sedikit?” tegas beliau.
Berapa waktu yang aku butuhkan untuk menemukanmu? Sungguh hanya waktu yang kita butuhkan untuk bertemu. Tapi ironisnya, waktu pulalah yang akhirnya memisahkan kita. Seberapa cepatpun aku berlari, dan andaipun kamu mau melambatkan langkah, waktu di antara kita memang tidak terlampaui.

*                                  *                                   *

Tidak pernah terlalu takut, tidak juga terlalu berani.
Karena cinta terlalu besar sehingga tidak ada yang perlu ditakuti.
Tapi restu terlalu jauh untuk diraih sehingga aku tidak berani bermimpi.

Pertentangan tidak hanya berasal dari Ibuku saja ternyata, Bos. Keluargamu tampak sama kerasnya menentang keberadaanku di sampingmu. Aku secara tidak sengaja mendengar pembicaraan keponakanmu dengan keluargamu yang lain. Kakak-kakak, adik dan iparmu berbondong-bondong datang ke kota ini saat mendengarmu pingsan pasti karena sangat mengkhawatirkan keadaanmu. Dan wajar saja kalau mereka makin khawatir ketika melihat gadis yang tidak mereka kenal berada di ruang rawatmu.
“Siapa perempuan itu?”
Aku yang baru kembali dari kantin langsung menghentikan langkahku tepat sebelum berbelok ke koridor ruang rawatmu. Keluargamu tampak berkumpul di depan ruang rawatmu dengan keponakanmu berada di pusat introgasi.
“Dia mantan anak buahnya Pakde, Ma,” aku mendengar keponakanmu menjawab.
“Mantan anak buah? Menyuapi mantan bosnya?”
“Si Pakde kan masih lemas, Ma, masih pusing dan belum bisa makan sendiri. Harusnya aku yang menjaga Pakde, tapi minggu ini aku ujian, jadi cuma bisa jaga Pakde malam hari.”
“Kamu sama sekali nggak curiga sama perempuan itu?” kulihat kakak iparmu yang gantian mengintrogasi keponakanmu.
“Curiga apa, Bude? Curiga dia bakal jadi istrinya Pakde?”
“Tuh kan! Saya bilang juga apa. Perempuan itu mencurigakan. Gadis semuda itu mendekati Pakde-mu, nggak mungkin karena benar-benar cinta sama Pakde-mu. Dia pasti cewek matre. Cuma ingin warisan Pakde-mu. Kita harusnya berhati-hati.”
Finally, the truth. Begitulah yang selalu disangkakan orang tentangku terhadapmu. Aku tidak peduli. Aku hanya berharap kamu mengenalku lebih baik daripada mereka.

*                                  *                                   *

Tidak pernah mengharapkan "happily ever after".
Asalkan cerita kita tidak berakhir, itu lebih dari cukup.

Sayangnya, bahkan mengharapkan pilihan terakhir itupun, aku tak berhak. Aku tidak tinggi-tinggi bermimpi bisa menaklukan hatimu. Aku cuma ingin terus berada di sampingmu, sebagai apapun aku di matamu. Aku cuma ingin keberadaanku menjadi salah satu alasanmu berbahagia. Tapi untuk keinginan sesederhana itupun, aku tidak berhak.
Ibu berkeras menjodohkanku dengan lelaki pilihannya. Lelaki yang, menurut beliau, setara dan seimbang denganku. Lelaki yang hanya 3 tahun lebih tua dariku.
Aku juga tidak pernah bermimpi tinggi-tinggi kau akan mempertahankanku. Aku cuma berharap kau tidak melepasku. Sayangnya, permintaan sederhana seperti itupun tidak bisa kau kabulkan.
“Kelihatannya dia laki-laki baik dan pintar. Fisiknya sih sepertinya tipe idaman kamu tuh. Ibumu nggak mungkin memilihkan yang buruk buatmu kan? Selamat ya,” katamu sambil tersenyum, ketika aku menceritakan tentang pria pilihan ibuku.
Well yeah, secara fisik lelaki itu memang mirip dengan dirimu. Lalu kenapa? Dia tetap bukan dirimu. Selama ini hidupku sudah berat dengan terus-menerus berpura-pura tidak mencintaimu dan hanya menyayangimu sebagai ayah. Tapi sepertinya hidupku sekarang akan jadi lebih berat. Aku harus berpura-pura tidak mencintaimu sambil berpura-pura mencintai orang lain. Aku tidak akan kuat menjalani keduanya. Sepertinya aku harus memutuskan salah satunya. Tapi selagi tetap bersamamu, aku tidak akan sanggup berpura-pura tidak mencintaimu.

*                                  *                                   *

Dear Boss,
Sekarang hatiku sudah tidak berbentuk lagi. Aku tahu kau sudah mendengarnya tadi. Dan memang begitulah tujuanku. Membuatmu melihat acting-ku.
“Kalian pikir gue benar-benar cinta sama Si Bapak?” aku menekan gemetar suaraku.
“Jadi selama ini lo cuma memanfaatkan dia? Karena kekayaannya?”
Tepat seperti itulah aku ingin mereka menduga dariku. Begitu jugalah aku berharap apa yang kau pikirkan tentangku.
“Apa ada alasan yang lebih masuk akal lagi?” jawabku getir.
Perasaan yang selama ini aku pendam terhadapmu memang tidak masuk akal, Pak. Karenanyalah aku harus terus berpura-pura. Betapa banyak orang yang berpura-pura tulus padamu. Tapi karena ketulusanku tidak lazim, aku justru terpaksa berpura-pura palsu. If you know what I mean.
Ini adalah acting terakhirku. Setelah ini kau akan membenciku. Lalu kita tidak akan saling bertemu. Lalu kita akan selesai. Aku tidak perlu berpura-pura lagi.
Aku tidak perlu lagi berpura-pura tidak mencintaimu.
Aku hanya akan berpura-pura mencintai orang lain. Sepertinya itu akan lebih mudah.

Apa yang telah kuperbuat?
Menghancurkan semuanya
Satu khilaf berbisik, dua hati terpecah
Adakah jalan pulang untukku

Aku yang bodoh melepasmu
Hal terbaik yang pernah ada di hidupku
Kini aku tak tahu bagaimana cara melangkah tanpamu

Terhempas tak membekas, bisu dan air mata
“Maaf” tidak berguna, rapuhku tanpa arah      

 (Melangkah Tanpamu, Fiersa Besari)

*                                  *                                   *

Kadang mereka yang bisa mencinta dengan merdeka lupa bersyukur. Kami yang mencinta di dalam batasan-batasan, terbiasa mensyukuri setiap kesempatan dan kebahagiaan, sekecil apapun. Itu adalah rahmat tak ternilai.

Hai pipi bakpao,
Ini pertama kalinya saya menulis surat. Saya menulisnya dengan kado ulangtahun yang saya berikan untukmu dua tahun lalu. Saya menulisnya, lalu menyimpannya di tempat yang sama dengan surat-surat cinta yang selama ini kamu tulis untuk saya, yang tidak pernah kamu kirimkan pada saya. Nasib surat inipun akan sama. Surat ini tidak akan pernah sampai padamu. Meski begitu, meski kamu tidak akan pernah membaca surat ini, saya tetap ingin bercerita, seperti selama ini kamu bercerita.
Saya tidak tahu harus mulai bercerita darimana. Mungkin lebih baik saya mulai dengan permintaan maaf. Maaf karena selama ini saya tidak pernah benar-benar percaya padamu. Bukan saya tidak mau percaya. Saya hanya terlalu takut untuk percaya. Saya tidak pernah siap menerima ketulusanmu, karena menurut saya semuanya tidak masuk akal. Bagi saya, lebih masuk akal saat mendengar bahwa kamu hanya memanfaatkan saya. Itu mengapa saya marah padamu. Maaf karena saya tidak pernah benar-benar mengenalmu dengan baik.

Pipi bakpao,
Akhirnya saya tidak bisa lagi menolak mempercayai ketulusanmu saat saya membuka mata di rumah sakit dan orang yang pertama kali saya lihat adalah kamu.
“Kamu disini?”
Waktu itu saya bertanya begitu karena tidak percaya, apa yang kamu lakukan di samping tempat tidur saya dengan sebutir air mata yang buru-buru kau hapus saat mata kita bertemu?
“Saya selalu disini.”
“Saya pikir kamu pergi.”
Saya pikir kamu seharusnya marah pada saya karena saya menjauhimu sejak kamu menolak perjodohan yang saya rencanakan untukmu. Saya ingin kamu tahu, saya menjauhimu bukan karena marah padamu. Saat membaca balasan pesan WhatsApp-mu, saya langsung menyadari bahwa kalau saya tidak segera menjauhi kamu, saya hanya akan lebih menyakiti kamu. Bersama saya, mungkin kamu akan terus berharap, padahal saya tidak berani menjanjikan apa-apa. Bersama saya, justru hanya akan mendatangkan prasangka-prasangka orang terhadapmu yang akan menyakitimu.
Tapi meski saya sudah menjauhimu, kenapa kamu tidak juga pergi meninggalkan saya? Harusnya kamu abaikan saja saya yang sudah meninggalkanmu ini.
“Saya nggak pernah pergi. Bapak yang nggak pernah melihat saya.”
Sekarang ketika kamu benar-benar pergi, saya baru bisa melihatmu dengan lebih jelas. Saya bahkan bisa melihat kita. Tidak pernah sejelas ini. Tidak pernah sejelas ini saya melihat ironi tentang kita.

Pipi bakpao,
Saya minta maaf. Bukan hanya karena saya tidak pernah berani mempercayaimu. Saya minta maaf karena saya tidak pernah bisa mengabulkan permintaan sederhanamu, bahkan untuk terakhir kalinya. Saya menyesalinya sekarang.
Saya tidak menyangka bahwa korban penodongan dan penusukan yang tidak sengaja saya saksikan itu adalah kamu. Awalnya saya hanya penasaran melihat orang-orang berkumpul di tempat parkir mall. Tapi saat saya berhasil menyibak kerumunan itu dan melihatmu terbaring dengan darah yang terus mengalir dari sisi perutmu, saya merasa separuh jiwa saya melayang.
Melihatmu terbaring berlumuran darah, harusnya saya tidak lagi memikirkan pendapat orang. Tapi saat itu saya terintimidasi oleh tatapan-tatapan orang yang berkerumun di sekitar kita. Saya memang bodoh, hanya bisa bersimpuh di samping tubuhmu yang terkapar, lalu melepasmu tanpa berusaha melakukan apa-apa.
Orang bilang, salah satu kesedihan terbesar di dunia ini adalah melihat yang muda pergi mendahului yang tua. Kenapa harus kamu yang pergi meninggalkan saya lebih dahulu?

Pipi bakpao,
Saya menulis surat ini, di ponsel ini, sambil teringat perkataan salah seorang saksi kasus penodongan yang menimpamu.
“Sebenarnya mbak itu sudah menyerahkan dompet dan tasnya ke penodong itu, Pak. Tapi waktu penodong itu meminta ponselnya, mbak itu menolak. Kalau saja mbak itu nggak berkeras mempertahankan ponselnya dan nggak berteriak minta tolong, penodong itu nggak akan menusuk mbak itu.”
Kamu bodoh sekali, pipi bakpao, kenapa demi ponsel ini kamu membahayakan nyawamu? Tapi sekarang, saat saya menemukan surat-suratmu ini tersimpan di dalamnya, saya mengerti kenapa kamu melakukan hal bodoh itu. Dan membaca surat-suratmu ini, saya kini makin menyesal karena tidak bisa mengabulkan permintaan terakhirmu.
“Di luar hujan ya, Pak?” bisikmu waktu itu dengan suara lelah, nyaris tidak terdengar karena teredam oleh suara kerumunan orang, terbaring berlumuran darah, “Saya kedinginan. Bisa tolong ... peluk saya, Pak?”
Tapi saya tidak mengabulkannya. Saya terlalu takut dengan tatapan menghakimi dari kerumunan orang-orang itu jika melihat laki-laki seusia saya memeluk gadis seusiamu. Bodohnya saya. Saya selalu takut prasangka orang lain akan menyakitimu, padahal mungkin yang paling menyakitimu adalah ketakutan saya sendiri. Maafkan saya.
Saya tidak akan pernah bisa melupakan bayangan terakhirmu. Kamu menatap saya dengan sedih karena saya tidak mau mengabulkan keinginanmu, dua butir air mata mengaliri kedua pipimu. Tapi kamu tersenyum ketika mengembalikan ponsel yang berlumuran darah ini kepadaku, kado ulang tahun yang kuberikan padamu dua tahun lalu.
Lalu kamu pergi. Lalu kamu pergi. Dalam sunyi.
Menyesal dan tercekat, saya memanggil-manggil namamu. Tidak lagi peduli pada kerumunan orang. Tapi kamu tidak kembali. Tidak pernah kembali. Apa kamu terlalu marah pada saya?
Sekarang saya cuma bisa memeluk bayanganmu. Cuma itu yang berani saya lakukan.

Pipi bakpao,
Betapa lucunya kita kan? Sudah berapa lama kita menjadi bagian hidup bagi satu sama lain. Tapi kenapa cerita kita ini tidak pernah benar-benar ada? Lalu sekarang, bagaimana saya bisa menyelesaikannya kalau cerita kita tidak pernah benar-benar dimulai?

Pipi bakpao,
Ini adalah surat pertama saya. Juga surat terakhir saya. Saya tidak akan menulis lagi. Ponsel ini, dan semua surat cinta kita yang ada di dalamnya, akan saya hancurkan segera setelah saya selesai menulis ini.
Setelah ini saya tidak perlu lagi berpura-pura tidak mencintaimu.
Saya hanya perlu berpura-pura hidup bahagia tanpamu. Rasanya itu lebih mudah.

Lima puluh tahun saya hidup tanpa kamu. Dan saya baik-baik saja. Baru lima tahun ini kamu memasuki hidup saya. Kalau sekarang kamu pergi, seharusnya saya akan tetap baik-baik saja kan? Seharusnya.

Rabu, 03 Oktober 2012

FAHD dan FIERSA

Saya mengenal kang Fadh pertama kali melalui teman saya, Ambar, yg mengikuti kelas menulis bersama kang Fahd. Dia menulis bbrp kali review ttg buku2 kang Fahd. Dari situlah saya tertarik membaca buku2 kang Fahd. "Yang Galau Yang Meracau" dan "Menatap Punggung Muhammad" adl 2 bukunya yg pertama kali menggelitik ke-kepo-an saya. Kemudian saya menemukan akun twitter kang Fahd n blognya,lalu jatuh cintalah saya pada tulisan2nya.

Sampai akhirnya kang Fahd membuat Revolvere Project, lalu saya menemukan cinta yang lain lagi. Fiersa Besari.
Seperti kang Fahd yg menghipnotis dan mengajak berpikir melalui kata2nya yg sederhana dan dalam, kang Fiersa selalu memukau dengan lirik2 dan musik lagunya. Dari keduanyalah saya menemukan inspirasi baru.

Tulisan2 kang Fahd menemani saya selama setahun ini saat saya menyelesaikan penelitian tugas akhir saya. Dan salah satu kata2nya yg paling saya ingat adalah "Terima kasih kepada diri saya sendiri krn sudah bertahan dan sudah selalu memutuskan untuk berjuang". Kata2 ini menyemangati saya selagi saya hampir putus asa menghadapi kebuntuan penelitian saya. Terima kasih.

Seringkali ketika otak saya sdg sangat buntu menghadapi penelitian di lab yg tak kunjung berhasil, menulis cerpen adalah salah satu pelarian saya untuk menemukan ide2 baru bagi penelitian saya. Tapi ada kalanya bahkan saya tidak bisa menulis cerpen apa2 saking mumetnya otak saya. Lalu kang Fiersa hadir dengan lagu-lagunya.

"Melangkah Tanpamu" adl lagu kang Fiersa yg pertama kali saya dengar selain lagu2 ciptaannya untuk Revolvere Project. Bagi saya, lagu itu termasuk dalam list lagu galau dekade ini yg sgt saya suka. Lalu saya mulai mendengarkan "Kala" dan "I Heart Thee", dan saya mulai jd penggemar kang Fiersa. Dari lagu2 itu saya malah menulis sebuah cerpen, sekaligus meminjam nama kang Fiersa untuk cerpen itu. Terima kasih.

Saya suka membaca blog kang Fahd,,, sama sukanya spt saya membaca twit2 kang Fiersa. Melalui tulisan kang Fahd di buku n blog, saya merenung dan belajar. Hal2 yg disampaikan begitu sederhana, ril, tapi sgt dalam,,, disampaikan dgn bahasa yg tidak melodrama tp sgt romantis,tapi kadang juga menyindir tajam dan tepat sasaran. Di sisi lain, lagu2 kang Fahd memberi inspirasi n nuansa baru bagi tulisan2 saya. Saya juga suka twit2 kang Fiersa yg sering romantis, kadang miris, dan tidak jarang sinis. Hidup memang begitu kan? Tidak selalu manis, meski bukan berarti selalu tdk manis.

Saya pikir, hal-hal inilah yg menyatukan kang Fahd n kang Fiersa. Keduanya punya mimpi n idealisme. Lalu saling melengkapi dgn rasa masing2. Saya tdk lupa ada kang Futih Aljihadi di Revolvere Project,yg pasti sama mengagumkannya dg kang Fahd n kang Fiersa, krn bs menghasilkan karya indah bersama. Hanya saja saya blm byk mengenal kang Futih shg ga bs byk berkomentar.

Membaca buku n blog kang Fahd sembari mengintip twit kang Fiersa dan mendengar lagunya, saya serasa mencicipi rasa yg unik dari keduanya. Manis dan asam, gurih dan pahit di saat yg sama. Hidup. Lengkap. Sebagaimana adanya.

Maka saya ikut senang ketika pada waktu yg hampir bersamaan kang Fahd akan launch buku barunya PERJALANAN RASA selagi kang Fiersa merilis album 11.11 nya. Bukankah ini yg disebut jodoh? Dua saudara berkarya bersama? Hohoho.

Akhirnya, saya mengucapkan selamat untuk kang Fahd n kang Fiersa. Tetaplah menginspirasi.

Penggemar setia F2F