Luna Lovegood inside. Noda Megumi outside.

Sabtu, 31 Agustus 2013

PERNAH NGGAK?

Pernah nggak?
Suatu hari saat kamu tidak menunggu siapapun, seseorang mengetuk pintu
Kamu mengintipnya lewat jendela
Bukan orang asing, tapi juga bukan orang yang kamu duga akan datang
Juga bukan orang yang sedang kamu harapkan bertamu

Awalnya kamu biasa saja, membuka pintu yang sudah lama terkunci
Menerimanya di teras depan
Lalu tiap hari dia mengetuk pintu, membuatmu mempersilakannya masuk
Awalnya hanya lima menit, lama-lama ia bertamu berjam-jam
Dan kamu mulai membukakan pintu ke ruang tamu

Dia menawarkan kebersamaan, yang awalnya tidak kamu harapkan, tapi toh akhirnya membuatmu kecanduan bersamanya
Membuatmu ingin menawarkan dia untuk tinggal lebih lama
Supaya bisa bercerita lebih panjang,
Tentang foto-foto di ruang tamu, bahkan sampai kotak harta karunmu yang kamu simpan rapi terkunci di lemari kamarmu

Tapi toh dia harus pulang setiap kali malam datang
Kamu ingin dia tinggal selamanya disana dan tidak pergi lagi
Padahal sejak awal kamu tahu kalian tidak mungkin bisa bersama
Mungkin karena begitu banyak perbedaan, terlebih justru karena satu persamaan

Pernah nggak?
Suatu ketika, dia tidak lagi mengetuk pintumu setiap hari
Jarak dan kesibukan selalu menjadi penyebab
Lalu kamu merasa ada yang hilang
Kamu pikir hanya rutinitas yang hilang
Tapi ternyata tidak

Lalu percakapan hanya terjadi singkat-singkat
Hanya jika kalian berpapasan di depan rumah
Kamu ingin bertamu ke rumahnya, memulai percakapan, tapi takut mengganggu kesibukannya

Padahal mungkin – hanya mungkin – dia takut kamu bosan menerimanya
Dia sedang menunggu kamu yang memulai
Bertamu ke rumahnya, supaya dia bisa bercerita tentang foto-foto di ruang tamunya, dan kapsul waktu yang dia simpan terkubur di halaman belakang rumahnya

Kamu mulai menduga
Mungkin kamu hanya pengisi waktu baginya
Saat dia kembali sibuk, dia sudah tidak memerlukanmu
Lalu kamu berkesimpulan sendiri, sudah waktunya untuk mengunci pintu lagi

Toh dulu kamu sendirian, sebelum dia mengetuk pintu.
Mungkin kamu akan segera terbiasa sendirian lagi.
Sama seperti dulu.
Tapi ternyata, semuanya tidak pernah sama lagi.

Pernah nggak?
Hal itu terjadi pada hatimu?




Jumat, 30 Agustus 2013

NEBENGERS



Di hari ulangtahun saya yang ke-20 ini (#laluDigamparPetugasKelurahan) saya mau cerita tentang salah satu pencapaian saya. Bukan, bukan. Saya belum akan menikah. Pacar aja nggak punya #malahCurhat. Oke, abaikan.

Kali ini saya mau cerita tentang salah satu komunitas yang saya ikuti. Bukan komunitas anak-gaul-Depok, atau komunitas pecinta-SuperJunior atau penggemar-JKT48. Saya mau cerita tentang sebuah komunitas bernama @nebengers. Ini merupakan komunitas tebeng-menebeng bagi orang-orang yang peduli pada kemacetan Jakarta lalu ikut bertindak, alih-alih hanya sekedar mengeluhkannya tiap hari.
Prinsip dr komunitas ini adalah mem#BeriTebengan, men#CariTebengan atau #ShareTaksi. Orang-orang yang rute kerja/kuliahnya searah bisa saling mem#BeriTebengan. Hal ini meminimalisir kemubaziran seat di mobil atau motor. Bayangin deh, 1 mobil bisa diisi 4 orang tapi cuma diisi 1 orang. Duh, keliatan banget jomblonya nggak sih? Selain bisa mengurangi volume kendaraan (yang semoga bisa mengurangi kemacetan Jakarta), tapi juga bisa menghemat dan mempererat pertemanan #tsaaahhh #kibasJilbab. Kita bisa share biaya bensin, share ongkos tol, share ongkos taksi, share makanan, share cerita, ya kali-kali bisa share hati juga #yakaleeeee.

Saya sudah follow @nebengers ini sejak musim hujan tahun ini, Januari (saya bahkan bikin cerpen yang terinspirasi dari akun ini >> bisa dibaca di sini: http://niechan-no-sensei.blogspot.com/2013/01/banjir.html ). Pada masa itu, akun @nebengers ini sangat berjasa mempertemukan orang-orang yang terjebak banjir/macet dan ingin mencari tebengan atau mencari teman bareng naik taksi (mahal ye booo kalo naik taksi macet-macet dan banjir gitu). Karena suka pada konsepnya, sejak itu saya follow akun ini dan memantau TLnya, mencari-cari adakah anak-gaul-DurenSawit lain yang searah dgn saya ke Tebet atau Depok. Terutama yang pakai motor sih. Saya nggak tertarik mencari tebengan mobil, toh tetap aja terjebak macet. Kalo motor kan enak, bisa nyelip-nyelip, jadi bisa hemat waktu :)

Mengapa tadi saya bilang bahwa bergabung dengan @nebengers ini sebagai pencapaian? Well, saya bisa bilang bahwa ini adalah loncatan yang lumayan besar dalam pergaulan saya. Aslinya saya orang yang pemalu (#laluDisorakinSekampung). Anak nggak gaul Jakarta. Dan emang anak kurang gaul. Selalu sungkan memulai percakapan. Suka curiga sama kebaikan orang lain. Dan sederet tingkah ajaib lain. Tapi dengan melihat anak-gaul-nebengers ini saling memberi tebengan dan mencari tebengan dengan berlandaskan rasa saling percaya, saya belajar percaya juga. Juga belajar membuka diri (meski belum bisa membuka hati #CurhatDeuiiii).

Oiya, nebengers ini punya prinsip "Tak kenal maka tak nebeng". Maka mereka sering mengadakan kopi darat (ya masa minum kopi sambil berenang) alias kumpul-kumpul bagi yang berdomisili di wilayah tertentu untuk saling mengenal. Setelah kenal dan saling tahu rute satu sama lain, diharapkan tebeng menebeng bisa terjadi. Daripada dua mobil dengan rute yang sama keluar rumah dan memenuhi jalan Jakarta, kan mending saling tebeng menebeng aja ya?
Nah, saya sendiri sebenarnya belum pernah ikutan kopdar nebengers. Tadi saya udah bilang kan ya bahwa saya pemalu? Saya sering salah gaya kalau berada diantara kerumunan. Saya ini introvert sebenarnya. Makanya saya nggak pernah ikutan kopdar itu. Sayapun nggak pernah secara aktif mempost rute #CariTebengan. Yang saya lakukan hanya terus memantau TL @nebengers dan mencari pem#BeriTebengan yang searah.

Meski demikian, setelah 7 bulan memfollow @nebengers dan dua kali gagal tebeng-menebeng karena ternyata rutenya tidak tepat searah atau waktu keberangkatan yang berbeda, akhirnya saya menemukan partner nebeng yang cocok.

@ssaamm_b #BeriTebengan Buaran-Kasablanka| via BKT| 6.45| motor 1 seat| share cerita

Ini twit ditinjau dari segala sisi cocok banget sama kriteria saya. Baik rute maupun waktu janjiannya. Terutama karena pakai motor, jadi bisa nyelip-nyelip. Hehehe.
Setelah meneliti akun twitternya @ssaamm_b, ditinjau dari jumlah follower dan twitnya yang cukup banyak, fotonya juga bukan telor-teloran, barulah saya merasa yakin bahwa itu bukan akun fiktif. Setelahnya saya memberanikan diri untuk bertanya apakah rutenya melalui stasiun Tebet. Dan setelah serangkaian mensyen-mensyenan dan DM-DMan, akhirnya kami sepakat untuk bertemu keesokan paginya.
Seperti saya bilang di awal, memulai percakapan dan perkenalan dgn orang baru benar-benar bukan gaya saya yang pemalu. Untungnya, partner nebeng saya ini orangnya asik diajak ngobrol, jadi meski agak kikuk di awal, lama-lama saya asik juga ngobrol sama dia.

Nah, kenalan dulu ah. Ini nih partner nebeng saya >> @ssaamm_b. Syamsul Bachtiar. Karena namanya, saya pikir dia orang Sumatera, maka pas awal kenalan, saya panggil “abang”. Ealaaaah, ternyata orang Tegal. Yaudah, saya langsung ganti panggilan jadi “mas”. Mas Sam ini baik banget deh. Sekarang saya boleh lho jadi penebeng tetapnya dia. Hehehe. Dan yang paling saya suka dari Mas Sam adalah gaya naik motornya. Santai, tapi nyelip-nyelipnya jago dan nggak grasa-grusu. Duren Sawit – Tebet yang biasa saya tempuh selama 1,5 jam dengan metromini (yang ngetem melulu dan sering terjebak macet sepanjang Jalan Kolonel Sugiyono sampai Kasablanka), sekarang cukup 30 menit bersama Mas Sam. Kece badai emang ni orang naik motornya.

Beberapa teman yang mendengar cerita saya ini banyak yang nggak percaya. Bagaimana mungkin dua orang yang nggak saling kenal bisa nebeng dan memberi tebengan.
“Lo nggak takut dibawa kabur atau diculik, Ni?” tanya salah seorang teman saya.
Pertanyaan ini sudah masuk dalam pertimbangan saya sejak saya pertama kali follow @nebengers. Tapi kalau dipikir-pikir lagi, apa gunanya orang menculik saya? Saya ini makannya banyak. Belum juga berhasil minta uang tebusan, penculiknya pasti tekor duluan karena biaya makan saya banyaaakkk bangeeettt. Jadi, kemungkinan diculik nyaris dianggap nol persen.
“Lo nggak malu jadi penebeng?” kata teman yang lain.
Naik metromini dan kereta CommuterLine yang bukan kendaraan pribadi juga namanya nebeng sih. Nebeng pak sopir dan pak masinis :p
Seperti yang saya ceritakan di awal, tebeng menebeng ini bisa dilakukan dengan term&condition tertentu sesuai kesepakatan kedua belah pihak. Sharingnyapun bisa bermacam-macam sesuai kesepakatan: share biaya bensin, share ongkos taksi, share ongkos tol, share makanan sampai share cerita. Beruntung pemberi tebengan saya ini orangnya baik hati, jadi dia mau menerima saya sebagai penebeng tetap dengan syarat minimal. Bahkan pas awal ngobrol, Mas Sam bilang, “Share doa aja, Mbak.” Lhaaa...baik banget ni orang.
“Lo naik mobil aja sih Mbak,” kata adik saya. Dia bekerja di Toyota Astra, “Tabungan lo kan udah cukup beli mobil. Beli sama gue aja, dapet diskon.”
Saya bukannya berniat jadi penebeng sejati seumur hidup. Tapi melihat kondisi jalanan Jakarta, sampai saat ini saya belum berniat menambah kemacetan dengan membeli mobil. Toh selama ini saya masih bisa survive dengan naik kendaraan umum. Apalagi sekarang saya punya partner nebeng yang baik, makin membuat saya enggan membeli mobil.
Saya berharap semoga kelak kondisi transportasi umum di Jakarta (baik angkot, metromini, bis maupun kereta) akan lebih baik sehingga orang-orang mau beralih dari menggunakan kendaraan pribadi menjadi menggunakan kendaraan umum. Dan sebenarnya, naik kendaraan umum tuh nggak hina kok. Kalau kita lihat kondisi di Jepang atau Belanda, kendaraan umum merupakan pilihan transportasi utama ketimbang kendaraan pribadi, padahal tingkat perekonomian mereka lebih baik lho daripada Indonesia. Di negara-negara itu bahkan orang-orang nggak malu berpergian dengan bersepeda.
Terinspirasi dari seorang dokter di tempat saya bekerja dulu yang selalu pulang-pergi kantor dengan bersepeda, saya bercita-cita membeli rumah di daerah Depok, dekat dengan kampus saya, supaya bisa ngampus dengan bersepeda J Btw, di kampus saya memang sedang menggalakkan GoGreen lho, makanya disediakan fasilitas bis kuning (bis kampus) dan sepeda kuning (sepeda kampus) supaya mahasiswanya lebih suka naik transportasi umum ketimbang naik kendaraan pribadi masing-masing.
Jadi, alih-alih berniat beli mobil (yang akan menambah kemacetan Jakarta dan Depok), sekarang saya sedang menabung untuk bisa membeli rumah di dekat kampus nih, supaya bisa bersepeda ke kampus. Doakan saya ya teman J

Nah, begitulah cerita saya kali ini tentang salah satu pencapaian saya di ulangtahun saya kali ini. Thx to @nebengers yang mengenalkan salah satu solusi kemacetan Jakarta ini, dan juga sudah mengenalkan saya dengan Mas Sam. Makasih juga Mas Sam yang udah bersedia menerima saya sebagai penebeng tetap. Semoga kebaikannya dibalas oleh Allah dengan kebaikan yang lebih besar. Aamiin.

Ciaoooo. Selamat tebeng-menebeng, kawan J Mari kurangi kemacetan dan polusi Jakarta, dimulai dari diri sendiri.






Rabu, 28 Agustus 2013

KEBETULAN


Kebetulan adalah takdir yang menyamar.

Kebetulan sekali, nyaris sebagian besar kisah saya dimulai pada bulan ini. Bulan Agustus.
Sepuluh tahun lalu, saya dinyatakan diterima sebagai mahasiswa UI pada bulan ini.
Enam tahun yang lalu saya difoto dengan toga untuk pertama kalinya, pada bulan ini.
Lima tahun yang lalu saya disumpah menjadi seorang farmasis profesional, juga pada bulan ini.
Di tahun dan bulan yang sama, saya resmi diterima bekerja di perusahaan idaman saya (meski saya sebelumnya telah bekerja di perusahaan lain)
Dua tahun kemudian, pada bulan yang sama, saya meminta ijin pada bos saya untuk berhenti mejadi anak buahnya dan kembali melanjutkan impian saya. Menjadi guru.
Setahun yang lalu, bos menelepon saya dan memberi selamat atas kelulusan saya, pada bulan yang sama.
Dan jangan dihitung berapa kali kejadian yang menjadi turning point dan learning issue buat saya terjadi di bulan ini.
Selalu bulan Agustus.

Bukankah semua hal yang terjadi itu terlalu banyak jika hanya dianggap sebagai suatu kebetulan?



Takdir adalah kebetulan-kebetulan yang direncanakan Tuhan.

Sejak beberapa tahun yang lalu, saya tidak pernah lagi percaya pada kebetulan. Terlalu banyak hal-hal yang terjadi pada diri saya, baik yang masuk akal maupun tidak, yang membuat membuat saya berpikir bahwa cerita-cerita kecil ini merupakan potongan puzzle yang tercecer. Saya hanya sedang mengumpulkan cerita-cerita yang tercecer itu, menyusunnya dalam satu frame besar, supaya saya bisa melihat gambar utuhnya.
Gambar utuhnya sudah didesain oleh Sang Pencipta. Lalu Ia menyebarkannya di muka bumi, untuk saya temukan dan kumpulkan. Hidup rasanya hanya serangkaian usaha untuk mengetahui rencana besar Tuhan yang disebarkannya di antara kita dalam bentuk “kebetulan-kebetulan.” Dan bagi saya, entah mengapa seringkali potongan “kebetulan-kebetulan” itu saya temukan pada bulan Agustus seperti ini. Well, saya bisa bilang bahwa angka 8 adalah angka keberuntungan saya, itu mengapa bulan Agustus juga adalah bulan keberuntungan saya.


Takdir adalah kumpulan keringat dan air mata yang dilarutkan dalam doa-doa yang terus mengalir.


Bulan Agustus tahun ini, banyak pertanyaan-pertanyaan saya yang akhirnya menemukan jawabannya. Pun banyak pertanyaan-pertanyaan baru yang muncul. Untuk mempertemukan pertanyaan dengan jawaban itu, tidak ada jalan lain selain mengarungi sebuah sungai yang membentang diantara keduanya, dimana mengalir keringat dan air mata. Doa-doalah yang membuat sungai itu tak berombak besar sehingga bisa dilalui.
Terima kasih kepada semua orang yang sudah menjadi bagian dalam kisah saya. Untuk semua tangan yang memegang tangan saya saat akan jatuh. Untuk semua hati yang selalu mendengarkan. Untuk semua bahu dan punggung tempat bersandar. Dan untuk semua doa-doa yang membantu saya menyeberangi “sungai” itu.


Rasanya bukan kebetulan juga jika dua orang dari sahabat-sahabat saya sedang mengalami momen spesialnya pada bulan ini. Yang seorang sedang menyelesaikan disertasinya di London. Dan yang seorang lagi baru memulai PhDnya di Groningen. Saya berharap bisa segera menyusul mereka dan menemukan jawaban atas pertanyaan saya sendiri. Mungkin di bulan yang sama tahun depan? Semoga. Aamiin.


Nyaris sebagian besar kebetulan dalam hidup saya terjadi pada bulan ini. Bulan Agustus.
Yang jelas, cerita tentang saya memang dimulai pada bulan ini. Bulan Agustus.




Tepat di depan matamu ada sungai mengalir
Luas, sebuah sungai yang besar
Walaupun gelap dan dalam, walaupun arusnya deras
Tidak perlu ketakutan walaupun kau terpisah
Tepian pasti ada
Lebih percayalah pada dirimu

Di dalam hatimu juga ada sungai mengalir
Cobaan, sungai berat dan pedih
Walaupun tak berjalan baik, walaupun kadang tenggelam
Tak apa mengulang lagi dan janganlah menyerah
Disana pasti ada tepian
Suatu saat kau pasti akan sampai

Jangan alasan untuk diri sendiri
Jika tak dicoba tak akan tahu
Tiada jalan selain maju, selalu
Teruslah melangkah di jalan yang kau pilih

-- RIVER, JKT48 --


Sabtu, 10 Agustus 2013

ALEX DAN RORA

“Haish, fotonya nggak bagus. Kita ulang lagi.”
Gadis itu memperlihatkan gambar yang terambil di kamera ponselnya kepada seseorang yang duduk di sampingnya.
“Apanya yang nggak bagus, Rora?”
“Lo merem nih, Lex.”
Orang yang bernama Alex itu manyun. “Lo juga jangan menggembungkan pipi begitu saat difoto. Maksudnya biar lucu ya?”
Sekarang Rora yang gantian manyun sambil memukul bahu Alex. Tapi yang dipukul justru tertawa terbahak dengan puas. Rora suka melihat warna wajah Alex yang kemerahan saat tertawa. Mungkin itu karena kulit Alex yang sangat putih.
“Sini, kita foto lagi.”
Rora menyiapkan ponselnya, menghadap ke arah mereka dengan kemiringan empat puluh lima derajat seperti kebiasaan para anak alay masa kini. Dengan malas, Alex mengikuti keinginan Rora.
Rora melihat layar ponselnya dan mendapati hanya separuh wajah Alex yang tertangkap di dalamnya.
“Sini mendekat! Muka lo nggak kelihatan, Lex,” kata Rora, susah payah menjauhkan ponselnya supaya bisa menangkap wajah Alex juga.
Agak malas, tapi tidak tega melihat Rora, Alex mengambil ponsel itu dari tangan Rora. Tangannya lebih panjang dari tangan gadis itu sehingga tidak perlu bersusah payah mengatur jarak kamera. Ia melihat ke layar ponsel, mendekatkan duduknya kepada Rora dan merangkul gadis itu supaya wajah mereka berdua tertangkap kamera ponsel.
Alex melirik Rora yang sedang memasang gaya andalannya, membentuk “victory” dengan kedua jarinya. Kelakuan gadis itu tidak pernah berubah. Ia tersenyum. Lalu menekan ikon kamera di ponsel itu.
Rambut ikal dan rambut lurus. Si hitam dan si putih. Si mata besar dan mata kecil. Utara dan selatan.



Bagaimana dua orang yang berkebalikan bisa bersahabat? Kau bisa bertanya pada Alex dan Rora. Mereka adalah dua makhluk yang sangat berbeda. Nyaris dalam segala hal. Rora sangat banyak cakap, dan juga banyak gaya. Dan meskipun Alex bukan orang yang pendiam, tapi dia memang lebih tenang dan pasif. Tapi toh mereka tahan bersahabat selama bertahun-tahun.
Sejak kuliah sampai masing-masing sudah bekerja, mereka tetap terus berhubungan dengan intensitas yang tidak juga menurun. Tidak ada tips khusus untuk mempertahankan persahabatan dengan banyak perbedaan. Yang mereka lakukan bukan mengabaikan perbedaan, tapi justru menyadari perbedaan masing-masing.

*               *               *
Rora sibuk menyeruput kuah baksonya sambil terus-terusan menyeka air mata dan menyusut ingusnya. Pemandangan ini membuat Alex merasa heran sekaligus jijik.
“Lu ngapain sih Ra? Mau makan apa nangis?” tegur Alex dengan wajah mengernyit.
“Pedas, tahu!” Rora menyergah. Tidak peduli pada protes sahabatnya, dia meneruskan gaya makannya yang menjijikkan itu.
Alex penasaran melihat kuah di mangkuk bakso Rora. Jelas warnanya kontras dengan kuah bakso di mangkoknya sendiri yang berwarna merah menyala. Mengabaikan rasa jijiknya, ia nekat menyendok kuah bakso gadis dihadapannya dan mencecapnya.
Ini mah apanya yang pedas sih?
“Ke dokter sana, Ra. Indera pengecap lo udah rusak kali. Ini manis banget.”
Tampak kikuk sesaat, tapi Rora tidak mengalihkan tatapannya dari mangkok baksonya. Dia terus menunduk, menekuri mangkoknya dan terus menyuap. Air mata terus mengalir di pipi-pipinya. Gadis itu mengabaikan komentar Alex. Hal itu membuat Alex curiga.
“Jangan makan sambil terus-terusan buang ingus, ah. Jorok banget lo!” tegur Alex lagi. “Pantesan lo belum punya pacar juga.”
Kali itu Rora tertawa kaku.
“Iya. Pantas aja nggak ada cowok yang naksir gue.”
Alex merasa Rora sedang menertawakan diri sendiri. Hal itu sama sekali bukan gaya Rora. Ada yang salah dengan anak ini, pikir Alex.




Sudah lama mereka tidak menginjakkan kaki ke tempat itu sejak mereka lulus kuliah. Yap! Kampus mereka. Kali itu Alex mengajak Rora kembali kesana selepas acara makan bakso yang menjijikkan itu.
Kampus mereka adalah kampur terkenal di bilangan Depok. Tidak hanya terkenal karena mahasiswanya konon kabarnya adalah mahasiswa-mahasiswa paling pintar di Indonesia, tapi juga terkenal karena luas kampusnya yang tidak masuk akal. Alex sendiri belum menemukan kampus lain di Indonesia yang memerlukan kendaraan untuk mengelilingi seluruh fakultasnya. Saat masih menjadi mahasiswa, Alex pernah mengelilingi kampus dengan jogging. Dia melakukannya selama seminggu, dan berat badannya naik 2 kg. Mengapa? Karena luas kampusnya yang tidak masuk akal, Alex terus-terusan merasa perlu bersitirahat selama jogging. Dan tiap bersitirahat, dia menemukan tukang penjual makanan. Maka ia makan demi mengembalikan vitalitasnya. Tidak heran kalau berat badannya justru meningkat.
Bagaimana kampusnya bisa seluas itu? Ada banyak danau di kampus itu. Dan salah satunya adalah tujuan Alex membawa Rora kali itu. Pada akhir pekan, danau-danau di kampus itu memang banyak dikunjungi orang-orang, bukan hanya mahasiswa universitas itu. Beberapa keluarga bahkan menggelar tikar di pinggir danau. Tapi lebih banyak lagi pasangan kekasih.
Rora tertawa setibanya di pinggir danau. Sudah lama dia tidak melihat danau ini. “Apa lo ngajak gue ke sini buat pacaran?”
Alex menggendikkan bahu dengan cuek. “Udah lama kita nggak pacaran disini.”
Rora berlari bersemangat ke arah danau. Alex memerhatikannya sambil berjalan perlahan mendekat. Gadis itu merentangkan tangan seperti anak kecil yang kesenangan diajak orangtuanya berwisata kesana.
“Kenapa lo tiba-tiba ngajak gue kesini?” tanya Rora, menoleh. Rambut ikalnya berkibar indah saat kepalanya berpaling. Membuat Alex terkesima sesaat.
Alex kemudian duduk di hamparan rumput, tidak jauh dari tempat Rora berdiri. “Gue pikir, daripada lo nangis-beringus di atas mangkok bakso, mending lo nangis disini.”
“Eh?”
“Gue tahu lo lagi patah hati lagi.”
Wajah Rora berubah. “Emang ketahuan jelas ya?”
“Elu kan kalo lagi pengen nangis pasti ngajak ke bioskop nonton drama sedih, atau makan bakso setan tadi. Yang gue nggak ngerti, itu bakso setan cuma level satu tapi lo nangisnya ngalahin gue yang level sepuluh.”
Gadis itu nyengir miris. Dia menghampiri Alex dan duduk membelakanginya. Punggung bertemu punggung.
“Lo benar,” kata Rora kemudian.
“Gue selalu benar,” balas Alex. Biasanya dia mengatakan hal itu dengan nada bangga. Tapi kali itu dia tidak bangga bahwa terkaannya benar. “I’ve told you. He’s a gay.”
Rora hanya diam. Tapi kemudian beberapa saat kemudian Alex merasa punggungnya bergerak naik-turun. Rora gemetar, menangis tanpa suara.
“Lain kali jangan buru-buru jatuh cinta setengah mati kalo lo belum yakin dengan orang yang jatuhi cinta.”



Ini bukan pertama kalinya Rora menangisi lelaki. Bukan pertama kalinya pula Alex meminjamkan punggungnya untuk Rora bersandar. Pernah ada Doni yang menghianatinya. Ada Indra yang menjadikannya selingkuhan. Sebelum ini ada Mike yang menggantungkannya nyaris selama 3 tahun. Dan yang terakhir ini adalah lelaki baik-baik berusia 10 tahun lebih tua ini, yang kebetulan juga adalah bos Rora. Rora mengira bahwa pencariannya akhirnya menemukan jawabannya. Tapi dia lupa satu pepatah: Kalau ada lelaki baik-kaya-tampan-pintar yang masih single di atas usia 30 tahun, kau patut curiga dia unavailable.
Alex sudah memperingatkan Rora kali ini. Sejak pertama kali ia bertemu dengan lelaki pujaan Rora itu, Alex sudah menyadari bahwa lelaki ini berbeda dengan ketiga lelaki yang pernah dekat dengan Rora.



“Gue selalu suka bersandar di punggung lo. Apa gue pernah bilang itu?” kata Rora saat tangisnya reda. Tubuhnya lebih pendek daripada Alex sehingga ketika mereka duduk saling memunggungi, kepalanya tepat berada di balik bahu Alex. Ia selalu merasa nyaman meletakkan kepalanya di bahu itu.
“Sampai bosan gue mendengarnya,” Alex mendengus. Tapi ia menyimpan senyum gelinya.
Rora mendesah. “Rasanya gue takut jatuh cinta lagi.”
“Jangan takut,” jawab Alex tenang.
“Gue takut nggak bisa bangun lagi kalo jatuh sekali lagi.”
“Ada gue.”
“Apa?”
“Kalau lo belum siap bangun, ada punggung gue yang menemani lo duduk.”
“Lex ...”
“Kalau lo udah siap berdiri, ada tangan gue yang membantu.”
Rora terdiam.
“Kalau lo udah siap berlari, ada kaki gue yang berlari bersama lo.”
Rora menengadah menatap langit. Kepalanya masih bersandar di bahu Alex. Dia mendesah. “Harusnya gue emang pacaran sama lo aja.”
Kali ini Alex tidak bisa menahan diri untuk tidak tertawa, meski ia masih dapat mengontrol suaranya, mengingat mereka bukan satu-satunya yang berada di tepi danau itu.
“Baru sadar sekarang?” kata Alex menyindir.
“Bodoh ya gue? Kalau gitu, sekarang kita pacaran?”
Alex tertawa. Punggungnya bergoncang. Rora membalasnya dengan tawa yang sama.


*               *               *


Ada yang bilang you never know what you have until you lose it. Sebenarnya tidak tepat begitu. We always know what we have. We just never think that we would lose it.
Rora sadar bahwa Alex selalu bersamanya. Tapi dia tidak pernah sadar bahwa dia bisa saja kehilangan Alex. Alex bukan miliknya.
“Gue sudah menemukannya, Ra. Orang yang gue ingin menghabiskan hidup dengannya selamanya,” kata Alex hari itu.
Rora terpaku. “Serius?”
Serius? Selama ini Alex tidak pernah menunjukkan dia bisa jatuh cinta kepada orang lain.
“Serius. Belum pernah gue seyakin ini.” Alex menjawab dengan mantap.
Rora tertegun. Akhirnya hari ini tiba juga.
“Kenapa bengong?” Alex menjentikkan jarinya di depan wajah Rora yang termangu. Rora hanya tersenyum.
“Lo patah hati ya?” Alex mengejek.
“Iya,” jawab Rora singkat.
Alex tertawa. Gadis ini pintar beracting.
Tapi Rora tidak balas tertawa. Ia masih terus memandang Alex. Lama-lama Alex risih dan berhenti tertawa.
“Hei Rora! Ekspresi lo bikin gue takut.”
“Kenapa?”
“Orang bisa mikir bahwa lo cinta beneran sama gue dan patah hati beneran.”
“Memang kelihatan seperti bohongan?”
Stop it, Ra,” Alex tertawa sambil menggebahkan tangannya.
“Memangnya ada pacar yang nggak patah hati kalau pacarnya mau kawin sama orang lain?”
Come on! Stop playing around, Ra! Jangan bikin gue takut,” kata Alex, “Kita selama ini bersahabat. Kakak-adik. Nggak mungkin lo punya ekspektasi lebih kan?”
Rora memberi pandangan yang membuat Alex takut. Tapi beberapa detik kemudian gadis itu tertawa.
Ia bangkit dari duduknya dan memukul pelan lengan Alex dengan sebuah kertas berwarna merah di tangannya.
“Serem banget muka lo. That’s why I enjoy playing with your mind,” kata Rora sambil melangkah pergi. “Mau minum apa? Gue ambilin.”
Terpaku sesaat, namun kemudian Alex tertawa ketika menyadari bahwa Rora sedang menakut-nakutinya.
“Apa aja,” jawab Alex.
Rora beranjak ke dapurnya. Sebelum membuatkan minum untuk Alex, ia membaca sekali lagi kertas berwarna merah di tangannya. Undangan pernikahan.
Alex dan Denise.
Dan sebuah foto disana. Keduanya berkulit putih, berambut lurus dan bermata kecil.
Rora tertawa miris.
Kakak-adik? Cih!


*               *               *

Diantara milyaran manusia di muka bumi, pasti ada orang yang hatimu terkait dengannya sejak awal. Kadang adalah orang yang memiliki banyak kesamaan denganmu. Kadang justru orang yang sangat berbeda denganmu. Kadang justru dengan demikian kalian seperti potongan puzzle yang bentuknya berkebalikan tapi justru sangat “pas” saat berpasangan.
Rora dan Alex memiliki banyak perbedaan: sifat, gaya, hobi, warna kulit, ras, dan bahkan agama. Mereka hanya memiliki satu kesamaan.
“Gue nggak pernah sadar lo secantik ini,” Rora melangkah memasuki ruang rias pengantin dan mendapati seorang wanita dalam gaun putih gading berdiri lima meter di hadapannya. Wanita itu berkulit putih dan bermata kecil. “Alexandra!”
“Hai Rora!”
Mereka hanya memiliki satu kesamaan. Jenis kelamin.