Luna Lovegood inside. Noda Megumi outside.

Jumat, 18 Januari 2013

BANJIR



Jakarta. Hujan. Banjir. Tiga serangkai itu selalu berjalan beriringan dengan sahabat keempat mereka. Macet. Bahkan tanpa kedua sahabatnya yang lain, kolaborasi Jakarta dengan sang Macet sudah membuat penghuninya frustasi. Apalagi saat Hujan datang mengajak sahabat karibnya, si Banjir, bersama mereka bersekongkol membuat gila semua orang, tak terkecuali.
Jakarta. Hujan. Banjir. Alex sudah tahu bahwa si tiga serangkai itu akan mengajak serta kemacetan dalam konspirasi terkutuk pagi ini. Itulah mengapa ia yang biasanya berangkat kuliah jam 6.30 pagi, khusus hari ini berangkat lebih pagi. Ia sudah siap di pinggir jalan, menunggu metromini, pada jam 6 pagi.
Tepat seperti dugaan Alex. Bahkan meski ia sudah berangkat kuliah lebih pagi, ternyata dirinya tetap tidak bisa melarikan diri dari Si Macet. Setelah lewat setengah jam, metromini yang dinaikinya hanya bergerak sejauh 500 meter. Lalu lintas sudah padat mengesot bahkan pada hari sepagi itu.
Menurut pantauan twitter, berdasarkan twit @TMCPoldaMetro dan beberapa akun lain, terpantau lalu lintas di segala wilayah Jakarta padat tanpa kecuali. Alex merapatkan jaketnya. Ia beruntung memutuskan menggunakannya pagi ini. Udara di luar sungguh luar biasa. Hujan tidak berhenti turun. Curahnya nggak nyantai. Wajar saja kalau di jalanan-jalanan Jakarta ketinggiana banjir berkisar antara 10 – 50 cm. Bahkan, lagi-lagi menurut pantauan twitter, daerah Kampung Melayu terendam setinggi 1 meter. Menurut @CommuterLine, jadwal perjalanan kereta listrik yang menuju kampusnya di Depok juga mengalami gangguan akibat banjir.
Alex mulai panik. Ia memindai semua info dari twitter dengan cepat. Secepat mungkin ia harus menemukan jalan keluar dari semua ini. Sekarang ia baru berjarak 1 km dari rumahnya padahal sudah 30 menit ia habiskan di metromini itu. Ia harus sudah sampai kampusnya jam 10 pagi ini karena sudah ada janji dengan pembimbing skripsinya. Dengan satu atau lain cara, ia harus menemukan jalan.

HimurAlex HELP! Get stucked here. Gue nyemplung BKT aja. Ga bergerak sama sekali. Mending naik rajawali atau helikopter nih?

Sisiuuulll Samaaaa. Gue nyemplung kolam HI aja nih. Macet banget Lex RT @HimurAlex (re: nyemplung BKT)

HimurAlex Nebeng SBY aja ini mah, biar semua mobil pada ngasih jalan #egois RT @Sisiuuulll (re: nyemplung rame2)

Sisiuuulll @HimurAlex Woi, si doi kantornya jg lg kebanjiran, jd ga buka jasa penebengan. Mending lo nyari tebengan di @nebengers deh

            Atas saran Sisi, teman kampusnya, Alex segera memantau timeline akun @nebengers. Disana terlihat beberapa orang mencari tebengan dan memberi tebengan kepada sesama. Ternyata di hari dimana keempat bersaudara itu berkonspirasi (masih ingat tentang si Jakarta, Hujan, Banjir dan macet itu?), semua orang kesulitan karena rute normal yang biasa mereka lalui terputus, sehingga mereka harus mengambil jalan alternatif. Kebanyakan tidak tahu harus mengambil rute mana yang tidak terhalang banjir. Tapi lebih banyak lagi yang memang tidak tahu rute alternatif selain yang biasa dilaluinya. Akibatnya, mereka mencari tebengan untuk sampai ke tempat kerja atau kampus mereka, atau sekedar tebengan untuk sampai ke tempat dimana mereka sudah tahu harus melanjutkan rutenya ke arah mana.
            Alex menemukan salah satu saksi keberhasilan akun @nebengers mempertemukan para pem#BeriTebangan dan pen#CariTebengan.

Iwed Makasih ya @nebengers ,,, hari ini akhirnya dapet tebengan dari @rajaf dan berhasil sampai kantor dengan selamat

Beberapa testimoni lain menyatakan bahwa perantara akun ini dapat dipercaya. Dan dalam kondisi mendesak ini, segala usaha patut dicoba. Alex mengetik dengan cepat.

HimurAlex Help @nebengers , #CariTebengan Duren Sawit – UI Depok. Sekarang. 1 seat. Share Bensin + Tol. Share Cemilan. Share apa aja deh.

Baru saja mem-post twit-nya, Alex menemukan twit lain yang diretweet oleh @nebengers. Meski tidak tepat seperti tujuannya, tapi setidaknya mereka searah.

SagarAbri #BeriTebengan Buaran – Jl. Raya Bogor. Sekarang. 4 seat. Nampak. Napak Tanah. Hahaha.

            Alex, yang merasa dirinya sebagai makhluk kasat mata dan menapak tanah, segera membalas twit tersebut.

HimurAlex Saya di Duren Sawit, Bang. Boleh nebeng ya? Posisi dimana Bang? RT @SagarAbri #BeriTebengan Buaran – Jl. Raya Bogor.

SagarAbri @HimurAlex Ketemu di depan mall Buaran? In 10 min? DM no.HP dong

            Alex segera turun dari metrominiya. Dia menyebrang jalan dan naik metromini ke arah sebaliknya. Beruntung di arah sebaliknya tidak terlalu macet. Selagi mengambil arah balik, Alex mengirim Direct Message  kepada si SagarAbri itu. Tidak lama kemudian, Alex menerima sebuah SMS.

Ini Abri. @SagarAbri. Kamu @HimurAlex? SMS saya kalau sudah sampai Mall Buaran. Saya otw.

            Kalau tidak ingat bahwa ia sedang berada di metromini penuh orang, ia pasti sudah menjerit kegirangan. Ya Tuhan, kok gampang banget? Makasih banget ya Tuhan. Semoga si Abri ini orang baik, Alex berdoa dalam hati selagi membalas SMS Abri.

            Lima menit kemudian Alex sampai di tempat perjanjian. Ia segera mengirim SMS lagi kepada Abri untuk menanyakan posisinya. Abri tidak membalas SMSnya, tapi langsung meneleponnya.
“Ya, Bang Abri?” sapa Alex begitu mengangkat ponselnya.
“Ini Alex?”
“Iya, Bang. Abang dimana?”
“Himura Alex?”
“Iya, Bang. Abang udah sampai Buaran?”
“Kamu pakai baju apa?”
“Jaket hitam. Rambut pendek. Tas ransel. Payung abu-abu.”
“I got you,” kata Abri cepat.
Alex melongok-longok, dimana gerangan pria bernama Abri itu.
“Saya ada di Fortuner Hitam. 1275 SAG. Di belakang kamu.”
Alex berbalik. Ia melihat sebuah mobil hitam besar, 10 meter di hadapannya. Ia melirik plat mobilnya. Tepat seperti yang disebutkan orang itu tadi.
“I got you, Bang.”
Tersenyum, Alex menutup ponselnya. Sambil berdoa semoga si pemilik Fortuner keren ini memang orang baik hati pemberi tumpangan, bukannya seorang penculik mahasiswa, Alex menghampirinya. Ia membuka pintu mobil itu dan mendapati seorang pria berambut agak ikal duduk di kursi pengemudi.
“Bang Abri?” Alex mengkonfirmasi.
“Alex?”
Alex mengangguk dan tersenyum.
“Masuk.”
Alex menutup payungnya dan masuk ke dalam mobil keren itu.
“Makasih ya Bang, mau ngasih tebengan,” kata Alex mengawali.
“No problem,” pria beralis tebal dengan hidung mancung dan agak bengkok itu tersenyum, “Oke. Kita berangkat sekarang.”
“Saya doang yang nebeng?”
“Nggak ada lagi yang mention saya selain kamu. Langsung berangkat aja.”
Alex mengangguk. Dalam hati ia khusyuk berdoa semoga Abri ini benar-benar orang baik-baik dan tidak akan menculiknya. Tadinya dia mengira akan ada beberapa orang selain dirinya yang nebeng juga. Ternyata tidak.
Abri mulai menjalankan mobilnya. Alex memasang seatbeltnya.
“Kita coba lewat Bintara, langsung turun di Tanjung Barat. How?” tanya Abri.
“Terserah Abang. Lewat tol nggak akan macet?”
“Dengan keadaan begini? You must be kidding me! Nggak mungkin nggak macet. Di semua jalan pasti macet.”
Alex nyengir kecut.
“Tapi untung ada negengers  nih, saya jadi dapet tebengan dari Abang. Saya udah bingung banget tadi lewat BKT macet banget Bang. Trus jadwal kereta berantakan pula karena banjir. Makasih banyak ya Bang.”
“Biasanya naik kereta dari Tebet ya?”
“Iya Bang, tapi Kampung Melayu banjir 1 meter katanya. Nggak bisa lewat sana.”
“Banjir kali ini kayaknya parah banget. Mirip tahun 2002 dan 2007 lalu,” Abri menambahkan, “Eh, bahkan kayaknya lebih parah. Bundaran HI aja sampai banjir.”
“Iya Bang, tadi saya baca beritanya di twitter. Duh, kenapa sih pas saya mau ketemu pembimbing malah hujan deras gini. Jadi banjir kan.”
“Jangan salahin hujan. Hujan itu berkah, tahu. Manusia yang bikin banjir, bukan hujan. Lihat tata kota kita. Atau kebiasaan orang Jakarta yang suka buang sampah di sungai.”
Alex diam, mengangguk-angguk mendengar komentar Abri. Benar juga kata pria itu, sebenarnya memang bukan salah hujan. Menyalahkan hujan sama saja dengan menyalahkan Tuhan, bukan?
“Eh, kamu udah lama follow nebengers?” tanya Abri, mengalihkan pembicaraan.
“Baru tadi pagi, di-suggest teman. Abang?”
“Belum lama juga,” jawab Abri, “Saya suka konsep awalnya. Mirip three-in-one. Mereka mengkampanyekan pengoptimalan kendaraan pribadi supaya bermanfaat bagi lebih banyak orang. Lebih hemat biaya, karena bisa share tol atau bensin. Bisa nambah teman. Sekaligus mengurangi banjir dan polusi udara. Eh, pas kondisi genting begini justru bermanfaat banget kan si nebengers ini?”
Lagi-lagi Alex mengangguk-angguk semangat. Setuju berat.
“Selama ini selain saya, banyak yang nebeng, Bang?” tanya Alex.
“Belum. Kamu yang pertama. Belum nemu yang searah selain kamu.”
Alex tertawa pelan. Dasar jodoh, pikir Alex iseng.
“Kamu harus sampai kampus jam berapa? Emang bulan gini belum libur ya di UI?” tanya Abri.
“Jam 10, Bang. Nggak ada kuliah sih, tapi mau ketemu sama dosen pembimbing.”
“Pembimbing skripsi?”
“Yup.”
“Oh, kamu lagi skripsi?”
“Baru  nyusun proposal.”
Well, good luck then.” Abri tersenyum.
“Bang Abri masuk kantor jam berapa?” Alex balik bertanya.
“Jam 9.”
“Kerja dimana, Bang?”
“Perusahaan farmasi.”
“Oh ya? Saya juga mahasiswa Farmasi, Bang.”
“Oh ya? Tapi saya bukan lulusan farmasi sih. Saya lulusan Teknik Mesin UI.”
“Wah, kita satu almamater, Bang!” Alex berseru senang.
Abri tertawa. Dari tadi anak ini sangat bersemangat. Padahal hujan di luar sangat deras dan suhu di dalam mobil tidak bisa lebih hangat lagi.
“Lihat akun twitter-mu, saya pikir kamu laki-laki,” kata Abri kemudian, sambil tertawa.
Alex nyengir.
“Nama kamu benar Alex?”
“ Yep. Alexa.”
Sou ka? Kenapa nggak tulis Alexa di twitter?”
“Hei! Nihongo ga dekimasuka, onii-san?”
Abri tertawa. “Sukoshi. Saya cuma belajar dari dorama dan anime.”
“Sudah saya duga. Akun Abang itu maksudnya Sagara kan? Sanosuke Sagara?”
“Dan kamu? Himura? Battosai kan?”
Lalu mereka tertawa berdua.
“Tapi cocok,” kata Alex kemudian. Memerhatikan postur tubuh Abri yang tinggi besar, memang mirip seperti tokoh Sano dalam anime Samurai X itu. “Saya belajar farmakognosi. Ilmu tentang tanaman obat. Ada yang namanya Abrus precatorius, Abri Folium. Nama Indonesianya adalah Daun Saga. Abri dan Saga. Benar-benar nama yang cocok buat akun twitter.”
Tawa Abri makin besar. Dia merasa tidak menyesal memberi tebengan kepada gadis tomboy ini. Anaknya enak diajak ngobrol.
“Masih suka nonton anime dan dorama, Bang? Nggak malu sama anak?” tanya Alex.
“Saya belum nikah.”
“Oh ya? Emang angkatan berapa Bang?”
“Jangan suka ngomongin angkatan.”
“Umur? Umur?”
“Apalagi umur.”
“Pasti 30 tahunan ya Bang?” Alex nekat.
“Gue turunin di jalan nih.”
Alex tertawa sambil buru-buru minta maaf. Ternyata pertanyaan tentang status pernikahan dan umur bukan hanya ditakuti oleh perempuan.
“Kalau kuliah, biasanya masuk jam berapa? Jam delapan?” Abri bertanya kemudian.
Alex mengangguk.
“Kalau mau, tiap hari kamu bisa nebeng.”
Mata Alex membesar. “Hah?”
Free. Nggak pakai share tol atau bensin.”
“Serius Bang?”
“Tapi kalau kamu punya makanan enak, saya dengan senang hati menerima. Saya gampang lapar, apalagi kalau nyetir pas macet.”
“Bang, serius?”
Abri tersenyum lebar. “Lagian, nyetir sendirian di mobil kan bete.”


Hujan masih deras. Jakarta masih macet. Banjir dimana-mana. Tapi di dalam mobil terasa hangat bersama lagu-lagu Laruku koleksi Abri.
Alex punya firasat kemana perjalanan ini akan bermuara.


 
 
   
           
 
 
 
 



Selasa, 15 Januari 2013

JEALOUSY

"Udah mau pulang?"
"Iya." Haiva menjawab singkat sambil merapikan dokumen yang berserakan di mejanya.
"Jam segini? Tumben."
"Hmmm." Dengan satu gerakan sigap, Haiva memasukkan beberapa dokumen sekaligus ke dalam tasnya. Ia berniat menyelesaikan pekerjaannya di rumah saja.
"Buru-buru amat?"
"Udah ditungguin."
"Sama siapa? Pacar?"
Haiva hanya menjawab dengan berdehem pelan.
Mata Haris langsung membelalak. "Hah! Emang lo punya pacar?"
"Hahaha."
Haiva tidak menjawab. Ia hanya tertawa
*    *     *
"Eh Va, udah mau pulang?" Haris bertanya selagi men-shutdown laptopnya.
"Iya. Lo udah mau pulang juga kan?" Haiva menjawab sambil membereskan validation reportnya.
"Mau pulang bareng?" Haris menawarkan.
"Makasih Ris. Tapi gue udah ditungguin pulang bareng."
"Hah? Pulang bareng siapa lo? Pacar?"
Haiva tertawa. Haris manyun.
"Beneran lo udah punya pacar sekarang ya Va?"
"Ah, kata siapa?"
"Itu lo udah beberapa kali dianter pulang. Sama cowok kan?"
"Siapa bilang yang nungguin gue pulang itu cowok?"
"Tapi emang cowok kan?"
"Iya sih."
Haiva menyambar tasnya lalu melambai cepat kepada Haris.
"Duluan ya Ris."
Haris hanya memandang Haiva yang keluar ruangan dengan wajah bete.
Sudah 3 tahun mereka menjadi rekan kerja, baru belakangan ini dia melihat Haiva pulang kerja bersama laki-laki lain. Padahal biasanya Haiva nebeng pulang bareng dirinya. Haris jadi bete melihat perubahan Haiva yang tidak lagi seperti dulu, yang selalu menunggunya untuk pulang bersama.
Didera rasa penasaran, Haris membuntuti Haiva dari jauh dan mendapati gadis itu naik ke sebuah mobil yang sudah dikenal Haris. Mobil Pak Herman, IT Director perusahaannya.
Eh? Pak Herman? Kan beliau udah punya istri? Haiva nggak mungkin pacaran sama Pak Herman kan?, Haris menerka-nerka dalam hati.
*       *       *
"Lo kemarin pulang bareng Pak Herman ya?" tanya Haris keesokan paginya begitu bertemu Haiva.
"Lo lihat ya?"
Salah tingkah sesaat, Haris khawatir ketahuan membuntuti Haiva kemarin. Tapi Haris dengan cepat mengatasi salah tingkahnya. Ia buru-buru pasang tampang cool.
"Lha kan kemarin kita bareng keluar ruangan, jadi gue lihat lo naik mobil Pak Herman."
"Ooh."
"Jadi lo belakangan ini kalo nggak bareng gue, lo pulang bareng Pak Herman?"
"Yoi. Doi kan baru pindah rumah, deket rumah gue. Lumayan kalo nebeng beliau, bisa sampe rumah. Kan kalo nebeng lo, gue cuma nebeng sampe Kampung Melayu doang."
"Jiaaahh,,, ngakunya dijemput pacar? Nggak tahunya sama Pak Herman. Bohong lo ya. Padahal masih jomblo. Sok punya pacar aja lo."
"Dih. Siapa yang bilang gue dijemput pacar?"
"Lo yang bilang."
"Gue nggak pernah bilang bahwa gue dijemput pacar."
"Kalo gue ajak pulang bareng, lo jawab gue udah ditungguin."
"See? Gue nggak pernah bilang dijemput. Apalagi sama pacar. Kan lo yang nyangka gue pulang bareng pacar. Gue nggak pernah meng-iya-kan lho."
Haris manyun.
Haiva tertawa. "Jealous lo ya?"
"Dih. GR aje lo," kata Haris sok cool.
Haiva tertawa lagi. Padahal dalam hati ia berharap Haris benar-benar cemburu padanya.
*        *         *
"Pulang duluan ya Ris."
"Hah? Validation report lo udah beres?"
"Belom. Gue kerjain di rumah aja. Gue mesti buru-buru pulang."
"Udah ditungguin?"
"Yoi."
"Sama siapa?"
"Pacar."
Haris tertawa. Meledek. "Ah,paling-paling pak Herman lagi. Ahahahaha."
Haiva cuma tersenyum.
"Udah ya Ris, gue duluan. Daaah."
Haris membalas lambaian tangan Haiva sekilas sebelum kembali menekuni desain artwork packaging materialnya.

Hamka datang ke ruang kerja Haris sepuluh menit kemudian.
"Tumben tuh si Haiva udah pulang."
"Iye tuh," jawab Haris singkat.
"Dia pulang bareng cowok pula. Tadi gue lihat di parkiran."
"Paling nebeng Pak Herman."
"Bukan mobilnya Pak Herman sih kayaknya."
"Paling nebeng orang lain kalo gitu."
"Iya kali ya? Eh, tapi lo ga jealous?"
Haris menghentikan pekerjaannya demi meladeni Hamka.
"Kenapa mesti jealous?"
"Karena dia nggak nebeng pulang bareng lo lagi."
Haris tertawa.
"Serius gue," kata Hamka, "Lo naksir Haiva kan? Nggak cemburu dia udah punya pacar?"
"Kata siapa itu pacarnya? Ah, itu mah sok-sokannya dia aja udah punya pacar. Gue yakin dia masih jomblo. Cuma pengen bikin gue jealous aja tuh."
"Tuh kan, lo jealous kan?"
"Biasa aja. Gue tahu itu bukan pacarnya. Dia mah udah disorientasi definisi pacar. Semua orang yang nganter dia pulang pasti dibilang pacar. Pak Herman aja dibilang pacar."
"Tapi yang tadi gue lihat bukan Pak Herman. Cowok. Masih muda. Curiga gue, mungkin beneran pacarnya Haiva."
"Ah, paling-paling karyawan dari divisi lain yang rumahnya searah sama dia."
"Lo tuh katanya suka sama Haiva. Kok nggak jealous? Cemburu itu tanda cinta,tau."
"Ngapain cemburu? Gue yakin si Haiva belum punya pacar kok."
"Nyesel lo kalo beneran tuh cowok adalah pacarnya Haiva."
Haris mendelik.
"Lo belom nembak dia juga kan Ris? Ntar keburu diambil orang lho."
"Nggak. Gue tahu kok dia juga naksir sama gue."
"Dih. GR amat lo. Tau dari mana si Haiva naksir lo?"
"Tuh, dari si Hana, sahabatnya Haiva. Dia bilang ke gue bahwa Haiva juga naksir gue."
"Nah terus? Kenapa lo belum bilang cinta juga ke Haiva?"
Haris tersenyum.
"Ih, gue geregetan sama lo. Udah jelas-jelas lo naksir dia. Lo juga udah tau bahwa dia naksir lo. Nunggu apa lagi? Nunggu Haiva diambil orang lain?"
"Gue nunggu waktu yang tepat."
Hamka menggelengkan kepala. "Nunggu waktu yang tepat? Waktu yang tepat itu bukan ditunggu, Ris, tapi dibuat."
Haris hanya tersenyum. Dia tahu tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Dia percaya Haiva juga mencintainya dan akan menunggunya menjemput hati gadis itu.
*          *           *
Weekly meeting selalu diadakan tiap hari Jumat pagi, 15 menit sebelum jam kerja dimulai. Bukan jenis meeting formal, tapi pertemuan itu diadakan sebagai ajang silaturahmi untuk share informasi dan curhatan para karyawan departemen QA seputar pekerjaan maupun pribadi, demi menjaga kinerja dan hubungan interpersonal yang baik antar rekan kerja. Pada saat weekly meeting itulah Haiva mengumumkan hal penting. Ia menbagikan sebuah undangan kepada masing-masing personil QA.
"Lo nikah, Va? Kok mendadak?" tanya Hilda takjub.
"Ah, nggak mendadak kali."
"Tapi gue nggak pernah tahu bahwa lo punya pacar."
"Ya emang kalo gue punya pacar, mesti gue woro-woro gitu?"
"Jangan-jangan yang beberapa bulan ini sering jemput lo pulang ya?" tanya Hamka cepat.
"Nah, pinter nih si Hamka," jawab Haiva sambil tertawa tersipu.
"Bukannya ... lo pulang bareng Pak Herman?" akhirnya Haris bersuara dengan kikuk.
Hamka melirik Haris. Tampak jelas wajah Haris yang terpukul.
"Seringnya sih gue nebeng Pak Herman. Tapi kadang-kadang dijemput juga sama pacar," kata Haiva, "Lha kan tiap mau pulang, gue pasti pamit sama lo dan bilang bahwa gue dijemput pacar."
"I thought ... you're kidding me..." Haris bergumam lirih.
Haiva tertawa.
Haris bersitatap dengan Hamka, dan sahabatnya itu memberikan tatapan mengejek.
Gue bilang juga apa, begitu kira-kira Haris mengartikan tatapan Hamka yang penuh makna itu, waktu yang tepat itu bukan ditunggu. Lo yang harus menciptakan waktu yang tepat itu. Makan tuh gengsi!
Haris makin nelangsa melihat tatapan Hamka yang seperti sedang mencemoohnya.

Hana, lo kok nggak bilang bahwa Haiva udah punya pacar? , Haris mengirim SMS kepada Hana, sahabat Haiva yang bekerja di departeman Regulatory, setelah selesai weekly meeting.
Beberapa menit kemudian, dia menerima balasan SMS Hana: Lha, gue kira lo udah tahu bahwa Haiva udah punya pacar. Kata Haiva, dia udah ngasih tau lo.
Dengan cepat Haris membalas: Kalo gue udah tau, gue nggak mungkin sekaget ini terima undangan nikahnya. Lo bilang dia cinta sama gue. Gue lagi nunggu waktu yang tepat buat bilang ke dia. Eh tiba-tiba dia udah mau nikah. Lo bohongin gue ya?
Tidak sampai semenit kemudian balasan Hana datang. Isinya sangat menusuk Haris: Haris, Haiva emang cinta sama lo. Tapi cinta nggak menunggu. Cinta itu memperjuangkan atau melepaskan, bukan menunggu. She ever loved you. She loves you no more. Dia udah menemukan  laki-laki yang memperjuangkan dia, bukan hanya menunggunya.
Haris terpaku memandang undangan pernikahan itu. Membaca nama lelaki itu
HASAN.
HAIVA dan HASAN.