Luna Lovegood inside. Noda Megumi outside.

Minggu, 04 Desember 2011

SANG CENAYANG



            Ibu sayang,
           Ibu pasti cenayang deh. Aku sudah sadar dari dulu bahwa Ibu adalah cenayang. Selama ini aku cuma nggak mau percaya, berusaha mengabaikan semua fakta yang nyata itu.
Karena sekarang aku sudah percaya bahwa Ibu memang cenayang, aku tahu bahwa Ibu juga tahu bahwa aku pernah sangat marah sama Ibu. Ingat setahun yang lalu, 10 Oktober 2010, waktu lelaki itu akhirnya menikahi gadis lain? Waktu itu Ibu pasti merasakan bahwa aku sempat marah sama Ibu kan? Bagaimana mungkin aku nggak marah, Ibu selalu berpura-pura nggak tahu bahwa kami saling mencintai sejak sepuluh tahun lalu. Ibu selalu bilang bahwa aku masih harus menyelesaikan sekolah setiap kali lelaki itu bilang menginginkanku. Setelah aku selesai kuliah, Ibu mengganti strategi dengan selalu mengalihkan pembicaraan setiap kali lelaki itu mulai pembicaraan tentang aku. Akhirnya aku nggak bisa menyalahkan lelaki itu waktu akhirnya dia menyerah terhadapku dan memulai dengan gadis lain. Hubungan kami kayaknya memang cuma seperti roda: kadang di bawah, dan akhirnya nggak pernah sampai di atas, karena hubungan kami seperti roda mobil yang mogok. Berhenti. Nggak pernah sampai kemana-mana. Dan akhirnya kami dengan kesepakatan-tak-terkatakan memutuskan untuk mengambil jalan masing-masing. Menyelesaikan sesuatu. Yang bahkan nggak pernah dimulai.
Waktu itu aku sempat marah sama Ibu. Tapi kemudian aku mengingat-ingat lagi masa lalu kita. Ini bukan pertama kalinya Ibu melarangku melakukan sesuatu. Dulu Ibu juga pernah mati-matian melarangku kuliah di Unpad (Universitas Padjajaran) kan, cuma karena nggak mau aku tinggal jauh dari Ibu. Padahal waktu itu aku sama sekali nggak yakin bisa masuk UI, dan pilihan yang paling mungkin bagiku saat itu cuma Unpad. Tapi demi Ibu, akhirnya aku nekat milih UI. Dan akhirnya, meski hasil try-out SPMBku nggak pernah menembus standar UI, saat SPMB sungguhan, aku justru diterima di UI. Saat itu aku bersyukur karena Ibu berkeras melarangku memilih Unpad.
Ibu ingat juga waktu Ibu lagi-lagi melarangku melanjutkan sekolah ke Chiba University? Waktu itu aku juga marah. Tapi setahun kemudian ada berita tentang gempa dan tsunami di Jepang, dan Chiba adalah salah satu kota yang terkena dampaknya. Lagi-lagi, saat itu aku bersyukur karena Ibu melarangku kuliah disana.
Tuh kan, Ibu cenayang banget deh. Ibu selalu tahu apa yang akan terjadi padaku. Larangan Ibu selalu tepat. Ibu keukeuh mengelak bahwa Ibu memang punya kekuatan cenayang. Ibu bilang, itu namanya “insting keibuan”. Well, mungkin juga begitu. Ibu selalu pakai kata-kata sakti: “Nanti kalau kamu punya anak, kamu pasti bisa merasakan juga yang Ibu rasakan sekarang.”
Sekarang, setahun setelah lelaki itu menikahi perempuan lain, aku masih belum bisa mensyukuri larangan Ibu. Tapi aku percaya, suatu saat nanti aku pasti akan menemukan alasan yang bikin aku mensyukuri larangan Ibu untuk nggak bersama laki-laki itu. Iya kan Bu? Ibu pasti udah merasakan bahwa dia bukan yang terbaik buat aku kan? Karena Ibu adalah cenayang kan?
Orang bilang, omong kosong itu kata-kata: “Mencintai tidak harus memiliki.” Tapi bagiku, itu bukan bualan, Ibu sayang. Belakangan ini aku sudah sampai pada satu kesimpulan bahwa  nggak ada gunanya memiliki, jika cinta itu akan menyakiti orang lain yang juga mencintai aku. Karena cinta harus memilih, dan kadang pilihan-pilihan yang ada bukanlah sesuatu yang bisa dipilih dengan mudah. Apalagi kalau pilihan itu adalah antara lelaki yang aku cintai dengan Ibu tersayangku. Jangan suruh aku milih, Bu. Ibu tahu bahwa aku akan selalu memilih Ibu. Orang bilang, cinta akan selalu menemukan jalannya. Tapi karena kami nggak pernah bisa menemukan jalan kemana-mana, jadi akhirnya aku cuma bisa menghibur diri dengan berpikir bahwa dia bukan “the love of my life”.
Orang-orang datang dan pergi dalam hidupku. Beberapa orang membekas di hati terlalu dalam. Dan dari sedikit orang itu, ada orang-orang yang hatinya saling terkait denganku. Dan seperti semua ikatan, ada yang ikatan yang selamanya tidak bisa lepas, seperti ikatan darah. Ada ikatan yang sejak awal nggak pernah berarti apa-apa. Dan ada ikatan yang meski aku ingin mempertahankannya, tapi aku tahu aku harus melepaskannya. Karena melepaskan sangat menyakitkan, tapi mempertahankan akan lebih menggiriskan. Ibu pasti tahu apa maksudnya kan?
Kalau Ibu tanya, apa aku menyesali keputusanku untuk memilih Ibu, aku akan jawab “nggak”. Bahkan setelah lewat setahun, hatiku masih terus merasa sakit, Bu. Ibu pasti tahu rasanya kan? Tapi aku nggak pernah menyesal sudah menuruti larangan Ibu. Aku juga nggak menganggap keputusanku sebagai perngorbanan kok Bu. Bukan! Kata semulia “pengorbanan” cuma layak disandingkan pada jasa-jasa tanpa pamrih Ibu terhadapku. Sombong banget kalau aku mikir bahwa dengan memilih Ibu ketimbang lelaki itu adalah sebuah pengorbanan. Itu hanya bakti yang sudah selayaknya aku lakukan demi Ibu yang sudah membahagiakanku sejak kecil. Penderitaan kecil hatiku nggak akan sebanding dengan kebahagiaan Ibu.

Ibu sayang,
Kalau nanti Ibu sudah menemukan lelaki yang membuat Ibu merasa bahagia kalau melihatku bersamanya, kasih tahu aku ya Bu. Aku percaya sama Ibu. Entah itu karena Ibu adalah cenayang, atau karena itu “naluri keibuan”, aku pasti percaya sama Ibu. Hanya dengan orang yang bisa membuat Ibu bahagia, aku akan bersamanya. Karena Ibu pasti tahu yang paling baik buatku kan? Karena cintanya Ibu buatku adalah perpanjangan cinta dari Rabb Yang Maha Rahim di bumi ini kan?

Ibu sayang,
Jangan berhenti jadi cenayangku ya Bu J



Dari klien setia Sang Cenayang Hebat




Senin, 21 November 2011

You Jump, I Jump : WORDISME

Bahwa sesungguhnya menulis bukan hanya sekedar merangkai kata menjadi kalimat. Menulis itu membuat hal-hal yang tersirat menjadi tersurat, berkata tanpa perlu berkata-kata, menyampaikan ide tanpa menjadi sok tahu, menginspirasi tanpa menggurui, curhat tanpa terlihat berkeluh kesah, menyentuh tanpa harus menyentuh. Menulis juga berarti mengabadikan pikiran, membekukan kenangan dan membuktikan bahwa kita pernah ada.
Dan betapa suatu tulisan bisa begitu mempengaruhi kehidupan seseorang. Karena teriakan belum tentu akan didengar semua orang, tapi tulisan mungkin bisa menyampaikan kata dengan lebih baik.
Karena sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi sebanyak-banyak manusia lain, maka manfaat apakah yang bisa diberikan seorang mahasiswa kepada masyarakat? Mungkin menulis adalah salah satu caranya. Karena kata bisa lebih tajam daripada pedang, dan bisa menyentuh lebih halus daripada sutera. Itu mengapa saya ingin terus menulis.


Cuma itu aja kata-kata yang saya kirim untuk mendaftar acara WORDISME yang digagas oleh mbak Alberthiene Endah. Saat itu saya nggak menyangka, atau lebih tepatnya nggak terlalu banyak berharap, tulisan saya itu akan cukup bagus untuk bisa dipilih oleh mbak Alberthiene dan mas Chiko. Jadi waktu akhirnya pada tgl 31 Oktober saya dikirimi email oleh mas Chiko yang bertuliskan “SELAMAT!! KAMU TERPILIH MENJADI SALAH SATU PESERTA WORDISME”, saya langsung mikir “Ini bukan April Mop kan?”. Jangan ketawa! Saya tahu saya tolol banget, kan jelas-jelas itu “Haloween Day”, bukan “April Mop”. Geblek to the max deh :p
Kekagetan saya masih berlanjut saat mas Chiko mengirim undangan acara tersebut. Pembicaranya itu lho ... SUBHANALLAH banget. Saya jadi makin excited sekaligus nervous. Mengingat para pembicaranya keren-keren banget, saya langsung menyimpulkan bahwa acara ini bukan acara sembarangan. Dan pastinya pesertanya bukan orang sembarangan pula. Dan diantara segala yang keren-keren itu, siapalah saya yang cuma seorang mahasiswa yang sedang belajar menulis ini. Jadilah saya makin gugup.
Hingga tibalah waktunya tanggal 19 November itu, kemarin Sabtu. Berhubung saya ini “anak-nggak-gaul-Jakarta”, jadilah saya sengaja berangkat pagi-pagi sekali, demi mengantisipasi kalau nanti saya nyasar. Begitu sampai di tempat acara dan registrasi, saya langsung ketemu mas Chiko. Oke, nggak ketemu sih sebenarnya. Saya cuma registrasi tepat di depan mas Chiko. Perasaan saya tercabik antara mau ngajak kenalan, atau nggak (saya kan anak pemalu). Dan perasaan saya terus tercabik-cabik sepanjang acara. Itu pembicaranya kok ndilalahnya ya semua orang yang twitternya saya follow lho. Semua orang yang kata-katanya selalu berhasil bikin saya ketawa, mengerutkan dahi sampai terharu. Mahfumlah saya akhirnya mengapa acara ini dinamakan WORDISME. Karena semua orang yang berada di sekeliling saya saat itu, terutama para pembicaranya, (termasuk pesertanya juga sih) adalah para pecinta kata. Orang-orang yang menggunakan kata-kata sebagai jalan hidup untuk menghibur, menginspirasi, menyentuh dan memberi. Itulah yang membuat saya dilema sepanjang acara, apakah saya akan berani menyapa mereka dan bilang: “Mas/ mbak, saya Nia. Selama ini selalu jadi penikmat kata-kata mbak/ mas di twitter lho.”
Dan inilah orang-orang yang bertanggung jawab atas kegalauan saya seharian itu: mbak Alberthiene Endah, mas Chiko Handoyo, mas Mayong, mas Alexander Thian, bang Raditya Dika, mbak Clara Ng, mbak Windy Ariestanty, mas Salman Aristo, mas Aditya Gumay, mbak Miund (ini bukan nama asli kan ya?), mbak Artasya, mas Hilbram Dunar. Eh, pengen juga sih sebenernya ketemu kak Rahne, tapi kak Rahnenya nggak dateng. Tapi intinya, meski saya sudah bergalau-galau ria seharian, lagi-lagi karena ketololan dan saking pemalunya saya, sampai acara berakhir, saya nggak berani menegur satupun orang-orang hebat itu lho. Ihiks. #jedot-jedotin-kepala.
Oke, move on dari cerita galau.
Menghitung adalah keahlian saya. Maka begitu masuk ke ruang acara, secara otomatis mata saya segera men-scan seluruh ruangan. Enam jalur kursi di sebelah kiri, lima jalur di tengah dan tujuh jalur di sebelah kanan. Delapan belas baris ke belakang. Dengan cepat saya menghitung bahwa akan ada sekitar 325 orang yang akan memenuhi aula itu. Wow! Untuk sebuah workshop yang diselenggarakan gratis, 325 peserta dengan goody-bag yang superheboh isinya itu, membuat saya mengucap SUBHANALLAH lagi. Mbak AE seperti sukses besar menggandeng begitu banyak sponsor untuk acara ini. #tepok-tangan J
Menghadirkan Gramedia dan Gagas Media di satu workshop, menggandeng Chic dan Femina di saat yang sama ... kemarin itu adalah momen bertabur para penulis hebat. Dan bukan hanya penulis, kemarin ternyata banyak peserta yang berasal dari media penerbitan dan broadcast. Di sana, saya benar-benar cuma seekor teri di lautan yang luas dan dalam. Orang-orang bicara tentang tulisan-tulisan mereka, tentang ide, impian dan dunia-penuh-kata. Betapa saya benar-benar cuma penulis diary yang tulisannya belum bisa menggugah begitu banyak orang. Dan betapa saya ingin seperti mereka yang hanya dengan kata bisa mengubah hidup dan pikiran orang-orang.
Dan rasanya kata-kata indah dan penuh ilmu memenuhi aula lt.7 gedung Gramedia Kompas kemarin. Saya pernah belajar menulis kepada dua orang penulis keren sebelumnya. Mbak Windry Ramadhina adalah guru pertama saya. Mbak Ari (Kinoysan) Wulandari yang kedua. Dan kemarin saya bisa bertemu begitu banyak guru keren dalam satu kelas. Rasanya tuh ibarat seorang murid yang di-tutor oleh banyak guru menjelang UAN. Exciting banget!
Berikut adalah beberapa materi pelajaran yang sudah saya kumpulkan dari guru-guru saya itu:
1.      Mbak Clara Ng bilang, menulis adalah kemampuan berbahasa yang tertinggi. Untuk mencapainya, kita harus banyak membaca terlebih dahulu. Mbak Ari juga pernah mengajarkan hal serupa pada saya. Kalau kita mau menulis satu buku, kita harus membaca sedikitnya 100 buku sebelumnya. Sama seperti kita mau nulis satu tesis, kita harus sudah membaca 100 jurnal sebelumnya (pecahkan kaca supaya nggak dikira lagi ngomong sama diri sendiri).
2.      Kata mbak Clara Ng juga bilang bahwa menanyakan bagaimana caranya mendapatkan ide kepada seorang penulis sama saja seperti menanyakan bagaimana caranya berlari kepada seorang pelari. Ide itu ada dimana saja, selalu ada di sekitar kita, asalkan kita menajamkan hati. Kita hanya perlu memilih, mana ide-ide yang bisa dikembangkan. Kalo kata mbak Ari, tidak seharusnya penulis kehabisan ide. Yang harus kita lakukan adalah mendahului tulisan. Selalu catat ide sekecil apapun yang melintas di pikiranmu. Suatu saat kelak, ide kecil itu pasti bisa jadi ide besar. Sama nih kayak kata mbak Petty yang bilang bahwa kita harus segera menulis saat ingin menulis, jangan ditunda.
3.      Kata mbak Clara (lagi), kenalilah diri kita sendiri sebelum menulis. Tulislah apa yang kita suka, apa yang kita rasa. Setelah itu, baru kenalilah media yang akan kita tuju. Carilah media yang sesuai dengan tulisan kita. Kalau sejak awal kita hanya berfokus pada media, tulisan kita nggak punya ciri dan jiwa #eeaaaa.
4.      Kata mbak Alberthiene, menulis bukan hanya merangkai kata, tapi juga meneropong hati dan menerjemahkan rasa itu dalam bentuk kata. Penulis seharusnya bisa mengkonfigurasi perasaan-perasaan (kalimat “konfigurasi perasaan” ini terdengar sangat sesuatu bagi saya lho mbak J ) di sekitarnya, lalu menuliskannya. Karena hanya sesuatu yang ditulis dari hati yang bisa sampai ke hati pembaca.
5.      Mbak Hetih bilang, semua cerita di dunia ini sudah pernah diceritakan. Kisah cinta macam apa yang belum pernah diceritakan di dunia ini? Hanya kita yang perlu menulisnya lagi dengan cara yang berbeda. Kalo kata bang Raditya Dika mah, “It’s not about what you say, but how you say it”. Ciyeee banget deh bang Dika :p
6.      Mbak Hetih dan mbak Windy Ariestanty bilang, tulisan seseorang bisa dinilai dari halaman pertamanya. Maka kita harus membuat tulisan pembuka menjadi semenarik mungkin. Buat plot yang menarik dan karakter yang kuat. Nasehat ini persis sama seperti yang diajarkan mbak Windry Ramadhina kepada saya, saat saya pertama kali belajar menulis kepada beliau.
7.      Kalau kata mbak Djenar Maesa Ayu, menulis itu adalah kebutuhan. Kata mas Salman Aristo, menulis itu pekerjaan yg tiap detik kita pikirkan. Dan tepatlah begitu. Karena saya bertemu dengan seorang teman yang mengatakan bahwa menulis membuatnya tetap waras dan tidak jadi bunuh diri.
8.      Dan terakhir, kata-kata yang kemarin bikin saya terpesona banget justru datang dari orang yang nggak saya harapkan. Melihat kelakukannya yang konyol, saya nggak menyangka kata-kata sebijak itu datang darinya. Bang Dika bilang: “Jangan hanya menulis saat good-mood. Teruslah menulis bahkan saat bad-mood, minimal 1 halaman. Tulisan lo pasti jelek. Kalau sebulan lo bad-mood terus, maka lo sudah akan menghasilkan 30 halaman tulisan jelek. Saat mood lo oke, 30 halaman tulisan jelek itu akan jadi 30 halaman tulisan bagus.” Uhuy banget bang Dika. Persis seperti kata mbak Ari, biasakan menulis apapun setiap hari.

Jadi ternyata meski antar penulis memiliki gaya yang berbeda-beda, ternyata mereka semua punya satu kesamaan ya. Mereka adalah para pecinta kata, yang tetap berkata dalam keadaan apapun. Yang tetap berkarya tanpa peduli mood. Yang menjadikan diri menjadi sponge yang selalu menyerap semua ide di sekitarnya, menyerap semua rasa, dan menerjemahkannya dalam kata.

Selain ilmu-ilmu yang Subhanallah banget, di acara itulah juga saya bertemu teman-teman baru: mbak Pipit, Dyah, mbak Ayu dan mbak Nadia. Ketemu anak UGM, Unpad dan UI. Terjebak dilema busway-mogok-gara2-belum-ngisi-BBG (gara-gara itu saya jadi lebih tahu Jakarta, bukan sekedar Duren Sawit-Depok doang). Mendengar nasehat tentang dunia kuliah dan kerja. Dan bahwa semua orang punya masalah masing-masing, yang hanya kita sendiri yang bisa memutuskan untuk berhenti atau terus maju. Ketemu orang-orang yang berjuang dengan kata, terinspirasi oleh kata dan menyembuhkan diri dengan kata. Dan saya menjadi terhubung dengan orang-orang yang mencintai kata.
WORDISME! WORD.IS.ME!

Tulisan ini saya dedikasikan untuk:
    1. Ambar Mirantini, yang udah suggest sayau/ follow twitter mbak Alberthiene dan yang pertama kali ngasih tahu saya ttg acara WORDISME ini, tapi malah nggak bisa ikutan. Aku berhutang ilmu padamu, teman. Jadi aku share disini ya J
    2. Mbak Alberthiene, yang sudah menggagas acara ini, memberikan kesempatan bagi “penulis diary” amatir seperti saya ini untuk belajar menulis. Makasih ya mbak J. Makasih juga buat mas Chiko (yang bikin galau krn ga bisa menyapa, hehe) dan kru-kru yang lain yang sudah membuat acara ini terwujud. Juga buat kak Rahne yang kata-katanya seringkali menggelitik dan menginspirasi.
    3. Semua mbak dan mas pembicara yang sudah membagikan ilmunya yang luar biasa. InsyaAllah ilmu yang bermanfaat, pahalanya nggak akan terputus. Betapa beruntungnya saya bisa bertemu guru-guru yang luar biasa seperti mbak dan mas.
    4. Buat mbak Deva, yang punya mimpi yang sama dgn saya. Mari kita jadi penulis dan menginspirasi banyak orang!
    5. Buat Diny (semoga ilmu ini bermanfaat juga untuk dirimu menulis brosur/ packing insert produk obatnya) dan Baitha (inget Bay, kalau mau nulis satu tesis, harus baca 100 jurnal dulu #GamparDiriSendiri, hehehe)
    6. Buat temen-temen baru: Dyah, mbak Pipit, mbak Nadia dan mbak Ayu. Ayo kita semangat menulis!!!! Semoga kita bisa ketemuan lagi ya di acara WORDISME berikutnya. Aamiin ya Rabb J
    7. Dan yang terutama, kepada Rabb yang Maha Rahim, terima kasih sudah mengijinkan orang-orang baik itu membagikan ilmu kepada anak bodoh ini. Semoga Engkau memudahkan mereka mengadakan acara ini lagi, sehingga makin banyak orang yang bisa belajar menulis dan menjadi orang yang bermanfaat bagi lebih banyak orang. Bukankah di mataMu, sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi sebanyak-banyak umat?


Btw, kemarin tuh kayaknya saya salah kostum deh, jadi kelihatan lebih tua. Orang-orang kok tampak ragu ya setiap kali saya bilang bahwa saya ini mahasiswa semester 3?

Kamis, 13 Oktober 2011

Filosofi Guru

Untuk menerima ilmu, yang perlu kita lakukan adalah merendahkan hati. Bagaimana gelas bisa menerima air dari teko jika posisinya lebih tinggi daripada tekonya? Nah, filosofi murid ini pasti semua sudah pernah mendengarnya. Lalu apa yang kita lakukan untuk memberi ilmu? Apa kita perlu menjadi lebih tinggi dari murid supaya bisa menuangkan air dari teko? Secara ilmu, tentu saja seorang guru harus menguasai lebih banyak dan lebih tinggi daripada muridnya. Tapi jika itu disama-artikan dengan meninggikan hati, tentu bukan begitu maksudnya. Seorang guru saya mengajarkan saya bagaimana menjadi seorang guru.
“Niechan, saya menjadi gurumu bukan karena saya lebih pintar darimu. Saya hanya lebih dahulu mengetahui. Bukan berarti lebih banyak mengetahui.”
Itu adalah kata-kata Sensei saya. Beliau adalah guru les bahasa Jepang saya.  Mengingat gayanya yang cuek dan “semau gue”, saya tidak yakin bahwa kata-kata sedramatis itu  bisa diucapkan olehnya. Beliau pasti baru saja membacanya dari sebuah buku, atau mungkin mengutipnya dari seseorang lain. Tapi bukan itu masalahnya. Masalahnya adalah, kata-kata beliau tersebut membuat saya sangat terharu. Sensei saya adalah orang yang sederhana, mudah ditebak, suka melucu, nggak neko-neko dan apa adanya. Maka entah kata-kata itu terinspirasi dari buku manapun, jika Sensei sudah mengatakannya berarti itulah yang dipikirkannya. Dan dengan benar-benar memaksudkan kata-katanya seperti itu, terenyuhlah saya pada kerendahan hatinya.
Saya percaya, Tuhan menciptakan manusia dengan kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Tidak ada manusia yang sempurna. Pun tidak ada manusia yang tidak memiliki kelebihan. Dan Sensei saya itu adalah tipe manusia yang mensyukuri kekurangannya selagi meningkatkan kelebihannya, dan tidak sombong pada kelebihannya.
Ketika mengetahui bahwa selain menjadi mahasiswa saya juga seorang guru les privat murid SMU untuk pelajaran Kimia, Sensei memuji saya.
“Nilai sains saya sejak dulu jelek banget. Sampai sekarang aja saya sering salah kalau menghitung uang kembalian belanja,” kata Sensei sambil tertawa geli.
Saat itulah, saya yang selalu merasa bahwa Sensei saya pintar sekali sehingga menguasai lima bahasa (bahasa Inggris, Jepang, Prancis, Indonesia dan Jawa tentunya) ternyata tidak sesempurna itu. Beliau ternyata tidak menguasai perhitungan yang mudah. Sungguh bertolak belakang dengan saya. Saya cukup cepat menyelesaikan perhitungan tanpa kalkulator. Selalu mendapat nilai baik dalam pelajaran sains, terutama kimia dan biologi. Tapi selalu sulit mempelajari bahasa. Jangankan mempelajari bahasa Inggris atau bahasa Jepang, nilai bahasa Indonesia saya selama sekolahpun selalu menyedihkan jika disandingkan dengan nilai pelajaran-pelajaran sains saya. Menyedihkan.
Saya kemudian menyimpulkan bahwa Tuhan menciptakan kelebihan pada otak kiri saya dan memberikan kelebihan pada otak kanan Sensei. Itulah mengapa sebagai gurupun kita tidak boleh sombong dan memandang rendah murid. Karena dia mungkin murid kita dalam satu hal, tapi bisa menjadi guru kita dalam hal lain.
Hal serupa terjadi pada saya dan murid saya. Saya mengajar Kimia untuk seorang murid sekolah internasional. Bramantyo namanya. Orangtuanya adalah orang Indonesia, Jawa tulen. Tapi sampai berusia enam tahun, anak itu lahir dan besar di Amerika Serikat selagi sang ibu menyelesaikan program doktoralnya disana. Lebih sering dititipkan di daycare ketimbang bersama sang ibu yang sibuk riset menyebabkan Bram lebih mengenal bahasal Inggris dibanding bahasa ibunya. Ketika pulang ke Indonesia, dia mengalami kesulitan bahasa sehingga sang ibu menyekolahkannya di sekolah internasional. Sampai sekarang, Bram lebih fasih berbicara bahasa Inggris dibanding bahasa Indonesia. Sial bagi saya karena bahasa Inggris saya tidak terlalu bagus. Sial baginya, karena mendapat guru seperti saya. Tapi mengapa pula saya harus menyerah hanya karena satu kekurangan saya? Saya menerima pekerjaan itu. Mencoba bukan sesuatu yang buruk. Dan saya katakan pada sang ibu tentang keterbatasan active-English saya. Sang ibu memahami dan mengatakan “Bram paham bahasa Indonesia kok. Dia hanya sulit membalas dalam bahasa Indonesia.” Tepat berkebalikan dengan saya! Saya paham jika seseorang mengajak saya bicara dalam bahasa Inggris. Tapi karena jarang berlatih, saya seringkali terbata jika berbicara dalam bahasa Inggris.
Akhirnya yang terjadi pada kami adalah saya mengajari Bram dengan separuh bahasa Inggris – separuh bahasa Indonesia. Dan dia akan menjawab pertanyaan-pertanyaan saya dalam bahasa Inggris. Baik baginya karena bersama saya dia makin terbiasa berbahasa Indonesia. Baik bagi saya karena bersamanya saya makin terbiasa berbahasa Inggris. Malu awalnya harus bercakap dalam bahasa Inggris dengan seseorang yang lebih pandai berbahasa daripada saya. Tapi Bram cukup memahami saya. Dan selagi saya sering mengkoreksi hitungan stoikiometrinya, dia juga seringkali mengkoreksi ucapan saya yang keliru. Saya sering tertawa sendiri setelahnya, sebenarnya diantara kami siapa yang menjadi guru bagi siapa?


Hukum sebab-akibat selalu terjadi dalam segala sisi kehidupan. Jika kau ingin dicintai, maka kau harus mencintai lebih dahulu. Begitu juga dalam mengajar. Dalam proses belajar-mengajar, bukan murid yang harus memahami perkataan kita. Gurulah yang harus memahami murid terlebih dahulu. Itulah filosofi kedua yang diajarkan Sensei.
Mengajar Bram sama artinya seperti main layangan. Kalau dia sedang menarik, kau harus sedikit mengulurnya. Kalau dia terlalu terulur, kau harus buru-buru menariknya. Bram, seperti umumnya remaja, kecerdasannya sangat dipengaruhi oleh suasana hati. Kalau mood-nya sedang buruk, menghitung reaksi netralisasi saja sulitnya setengah mati. Tak perlu lagi menghapal senyawa-senyawa hidrokarbon, hapalan tentang berapa bobot atom hidrogen saja dia lupa. Kalau sudah begini, saya bingung sendiri bagaimana harus mengajarnya.
Sebenarnya, teorinya mudah saja. Bagaimana caranya agar tidak takut? Jangan takut! Jadi bagaimana supaya seorang murid jadi mood belajar? Tentu saja, buat suasana belajar jadi menyenangkan! Dan praktek akan selalu menjadi bagian tersulitnya. Bagaimana membuat suasana belajar jadi menyenangkan kalau sang murid sudah pasang tampang jutek begitu?
Belakangan saya ketahui bahwa Bram ini sebenarnya sangat mirip dengan saya. Jenis manusia audio-learner. Artinya, Bram akan lebih cepat menerima pelajaran dengan cara mendengarnya. Satu hal lain yang saya perhatikan dari seorang audio-learner adalah kami selalu membutuhkan suara di sekitar kami. Kami adalah orang-orang yang suka mendengarkan musik. Menjadi entah bagaimana lebih cerdas jika belajar sambil mendengarkan musik. Dan sementara orang-orang menyepi untuk memperoleh ketenangan untuk belajar, kami lebih senang belajar di keramaian. Sejak mengetahui fakta itu, kami mulai belajar sambil mendengarkan musik. Bram menyukai musik jazz. Dan meski saya lebih menyukai musik yang menghentak-hentak, saya mengalah dan mengijinkannya memutar musik jazz kesukaannya.
Mood bukanlah satu-satunya masalah Bram. Konsentrasi adalah masalah terbesarnya. Ada saat-saat dimana saya heran, mengapa meski Bram sedang dalam keadaan senang, tapi dia tidak fokus pada topik yang sedang saya ajarkan. Setiap kali saya membahas stoikiometri, Bram langsung mengalihkan pembicaraan. Biasanya dia tiba-tiba curhat tentang hal-hal yang dialami di sekolahnya, atau kisah cinta ala abege-nya. Awalnya, saya selalu menanggapi dengan simpatik. Lama kelamaan Bram seperti memanfaatkan kelemahan hati saya dan selalu mengalihkan topik stoikiometri saya menjadi sesi curhat. Akhirnya saya tahu juga alasannya.
Kata orang, kerjakanlah apa yang kau sukai. Atau cobalah untuk menyukai apa yang kau kerjakan. Jika tidak bisa keduanya, maka apa lagi yang bisa kau kerjakan? Hal tersebut terjadi pada kasus Bram. Bagaimana kau bisa tahan mengerjakan sesuatu yang tidak kau sukai? Suatu kali, saya memanfaatkan sesi curcol-nya Bram untuk mengorek rahasia darinya. Dan akhirnya saya tahu bahwa dia memang tidak menyukai pelajaran-pelajaran sains. Kimia dan fisika adalah salah satu yang dibencinya. Dan stoikiometri adalah salah satu yang paling dibencinya dari kimia.
Menyakitkan saat mendengar seseorang tidak menyukaimu. Sama menyakitkannya bagi seorang guru saat mengetahui bahwa muridnya tidak menyukai pelajarannya.
“So, what are you interested in, Bram?” tanya saya akhirnya.
“English Literate,” dia menjawab.
“Why did you choose these subject? Chemistry and Physics?”
“Ibu and Bapak want me to be a doctor, just like them.”
Hooo, sou desuka. Mengertilah saya sekarang. Menyukai sastra, tapi diharapkan menjadi dokter. Lima kali seminggu harus les basic math, advance math, physics, chemistry dan biology. Tiap Sabtu masih harus les piano. Kehidupan macam apapula itu? Keterpaksaan macam apa yang harus dijalaninya setiap hari?
Tapi dapat dipahami juga mengapa orangtua Bram sangat berharap dari Bram. Siapa pula yang bisa diharapkan lagi? Bram adalah anak tunggal mereka. Mungkin bagi mereka, kehidupan penulis tidaklah menjanjikan masa depan cemerlang. Itu mengapa mereka menginginkan anak tunggal mereka mengikuti jejak mereka sebagai dokter.
Jadi apa yang bisa saya lakukan? Menyuruh Bram mengejar impiannya sendiri? Atau memenuhi keinginan orangtuanya? Saya memutuskan untuk mendukung Bram untuk menuruti orangtuanya. Sejauh yang saya lihat, tidak ada yang salah dengan keinginan orangtua Bram. Maka mengapa pula harus mengorbankan kebahagiaan orangtua demi kebahagiaan sendiri jika sebenarnya kita bisa memenuhi keinginan orangtua sambil memuaskan diri sendiri.
“You like to write something? Kinda short-story?” saya bertanya, menelisik.
“No. I write poem.”
“Really?”
Bram tersenyum dan menunjukkan salah satu puisinya kepada saya. Ditulis dalam bahasa Inggris, dengan rima yang indah dan diksi yang menarik. Caranya menceritakan gadis yang disukainya dengan perumpamaan empat musim, sungguh bagus. Dan saya langsung jatuh cinta pada puisi-puisinya.
“I also like to write,” kata saya.
Bram menaikkan alisnya. Tampak tidak yakin bahwa orang seaneh saya bisa menulis sesuatu. Atau mungkin tidak yakin tulisan saya bisa lebih bagus daripada puisi-puisinya. Dan memang benar tulisan saya tidak sebagus puisinya, tapi saya pantang menyerah. Saya ambil selembar kertas, lalu saya tuliskan kata-kata yang baru saja terlintas di pikiran.

Hey kamu! Iya kamu!
Yang sering lupa reaksi netralisasi
Atau bagaimana menghitung reaksi reduksi-oksidasi
Bagaimana nanti kalau kita sudah mulai belajar asilasi?

“Sorry, I don’t  write in English,” kata saya sambil menyerahkan puisi asal-asalan itu. Bram membacanya dan dia tertawa. Sejak itu jika Bram mulai bête, kami akan saling membuat pantun atau puisi singkat. Lebih sering adalah pantun-pantun sindiran seperti diatas. Tapi sering juga saya menulis tema lain seperti ini:


It is me, Winter.
I’m not Summer who embrace you with warmth.
Neither Spring who pour you colourful cherry-blossom.
I’m just Autumn, who turns you into who you are.

“Do not feel that you are forced to fulfill your parents dream, “ kata saya pada Bram suatu kali, “They both give you everything to ensure that you will gain the best future. Make them happy. And make yourself satisfied. Keep writing on your poem, while calculating your reaction. I did the same.”
Bram tersenyum. Entah tersenyum karena nasehat saya, atau sedang menertawakan bahasa Inggris saya lagi.


Suatu ketika saya pernah ngobrol dengan ibunya Bram. Beliau menanyakan perkembangan Bram. Saya mengatakan bahwa sepertinya Bram cukup oke dalam menghapal, tapi sering terjebak oleh soal-soal hitungan. Ibunya Bram mengatakan bahwa nilai Bram fluktuatif, kadang sangat baik dan kadang juga buruk. Tidak ada pola tertentu pada hasil tes itu. Kadang Bram mendapat nilai baik dalam stoikiometri, kadang justru mendapat nilai buruk dalam soal kimia organik.
Tidak menemukan pola yang teratur pada nilai-nilanya, saya minta ijin untuk meminjam hasil-hasil tes Bram selama ini. Saya mempelajari kesalahan-kesalahan yang dibuat Bram. Setelahnya saya membuat soal sejenis untuknya, dan meminta Bram mengerjakan soal itu. Barulah saat itu saya tahu bahwa masalah Bram memang pada konsentrasi. Bram bukannya bodoh. Dia hanya tidak mampu berkonsentasi dalam waktu lama, dan seiring waktu ketelitiannya menurun.
“If you are given 1 hour to do the test, in what time you usually finish it?” tanya saya.
“30 minutes is enough for me,” jawabnya cuek.
“And what did you do in the rest of time?”
“Nothing. I just wanna do it as soon as possible.”
“You didn’t recheck your answer?”
Bram mengangkat bahunya sambil nyengir tak berdosa.
Itu masalahnya! Bram bukan bodoh. Dia hanya tidak bisa berkonsentrasi. Dan dia tidak teliti. Seringkali dia melewatkan informasi-informasi penting dalam soal. Jika saya mengkoreksi jawabannya, dia cuma nyengir sambil berkata: “Why did’t I see that clue?”
Aaarrrggghhh, geregetan! Saya geregetan!
Anak ini selalu santai menghadapi ujian, dan malah saya yang stress setiap kali dia akan ujian. Saya selalu khawatir dia melakukan kesalahan-kesalahan kecil yang tidak seharusnya dilakukan hanya karena dia tidak teliti.
Kehabisan ide, saya menerapkan filosofi–mengajar ketiga yang diajarkan Sensei. Filosofi ketiga tersebut adalah bahwa Tuhan selalu mendengar impianmu, dan seluruh alam raya akan bersatu padu mewujudkannya asalkan kita konsisten memimpikannya dan mengusahakannya. Menyebutnya sekali membuat kita menyadari sesuatu. Menyebutnya berkali-kali membuatnya tertanam di pikiran kita. Menyebutnya terus-menerus akan menerakannya di alam bawah sadar. Dan bagaimana mungkin kita tidak mengusahakan sesuatu yang terpatri kuat di hati dan pikiran kita?
Itu jugalah yang saya lakukan terhadap Bram. Prinsipnya adalah pengulangan. Jika orang cerdas bisa memahami pelajaran hanya dengan sekali mempelajarinya, bukan berarti yang tidak cerdas tidak bisa. Kita hanya perlu mempelajarinya lagi dan lagi dan lagi.
Saya membuatkan catatan-catatan ringkas untuknya. Diagram-diagram dan rangkuman dari pelajaran-pelajarannya, agar dia mudah memahaminya. Saya mengulangnya berkali-kali. Menanyainya terus-menerus, memastikan dia hapal dan mengerti. Menghapal saja tidak cukup, mengerti adalah keharusan. Dan saya juga terus-terusan mencekokinya dengan kata-kata: “Mengerjakan cepat itu baik. Mengerjakan dengan tepat, itu lebih baik. Do it fast, and ensure that you’ve done it correctly. Re-check you answer! RE-CHECK!”                 
Bram biasanya hanya nyengir-nyengir geli menghadapi kegalakan saya. Dia menganggap wajah galak saya itu lucu.
“I give you chocolate if you get a good score!” kata saya mengiming-imingi.
“Do you think I’m a little girl? I don’t want chocolate,” katanya mencemooh.
“So?”
“Willy Wonka Candy. You can only find them at KemChick.”
Ahahaha, dasar anak pintar! Nyusahin aja deh.
“Deal!” kata saya sambil tertawa. “Give me score of 90. I give you my word.”
Bram nyengir.
Sayangnya, saya tidak bisa memenuhi janji saya. Ketika akhirnya dia mendapat nilai 97 pada subjek Chemistry untuk ujian kenaikan kelasnya, saya lagi-lagi hanya bisa membelikannya coklat. Sebagai permintaan maaf, saya tulis pantun pendek untuknya.


Hei kamu! Iya, kamu!
Yang ujian kimianya bernilai nyaris sempurna
Ingat yg aku bilang di awal jumpa?
Kau tidak bodoh, tidak juga lama
Kamu cuma perlu teliti membaca
Karena kamu sudah pintar luar biasa
Lagi-lagi dia tertawa membacanya. Entah kenapa. Saya abaikan saja tawa mengejeknya itu. Saya tahu dia sedang mengira yang saya lakukan itu konyol.


Seperti yang saya katakan sebelumnya, bersama Bram saya harus pandai menarik ulur. Memaksanya belajar tidak akan efektif. Membiarkannya bermain semaunya, juga suatu keria-siaan. Maka kemampuan berkompromi adalah hal yang harus saya miliki saat menghadapi dia. Dan saya masih harus banyak belajar soal itu.
Dalam hidup, kita menerima dan memberi. Sensei telah mengajari saya bagaimana menjadi seorang guru. Saya meneruskannya kepada Bram, bagaimana seharusnya dia belajar. Dan Bram juga mengajari saya banyak hal, bahkan mungkin lebih banyak daripada yang saya berikan. Bram mengajari saya untuk mengenal karakter, mempelajari sifat dan keinginan manusia, bersabar, berkompromi dan berstrategi. Jadi sebenarnya, kita adalah guru bagi sesama kita. Tinggal kitalah yang memilih, apakah kita ingin jadi guru yang baik atau guru yang mencontohkan keburukan.

Sabtu, 08 Oktober 2011

Student's Story



Waktu jaman kita muda dulu (jadi inget umur, sekarang udah nggak abege lagi, hehe), kita sering menganggap diri kita paling hebat. Udah paling bangga kalau berhasil mengelabui guru, meloloskan diri dari razia VCD bokep. Berasa jago kalau berhasil menyusup masuk selagi teman-teman lain yang sama-sama terlambat sekolah disuruh push-up. Dan berasa keren banget kalau berhasil menerapkan metode mencontek mutakhir sehingga bisa nyontek tanpa ketahuan guru.
Sekarang setelah waktu-waktu terlewati dan status saya sebagai murid mulai bergeser menjadi si “oknum guru” itu, saya makin menyadari bahwa dulu kita sebenarnya tidak sehebat itu. Kita sebenarnya cuma anak-anak yang dibiarkan bermain petak-umpet oleh orangtua kita. Kita dibiarkan bersembunyi meski mereka sebenarnya sudah tahu sejak awal dimana kita akan bersembunyi ... karena mereka pernah memainkan permainan petak-umpet serupa.
Dulu kita merasa hebat sekali jika bisa mengelabui guru dan berhasil nyontek tanpa ditegur guru. Kenyataannya sekarang, setelah saya sendiri menjadi guru, saya jadi geli sendiri dengan tingkah murid-murid yang seperti itu. Saling melirik, saling berbisik, pura-pura meminjam tip-ex, membuat contekan dengan tulisan super kecil dan kelucuan-kelucuan lainnya. Beruntunglah saya yang tidak pernah berani mencontek hingga sekarang karena sebenarnya tidak ada guru yang tidak menyadari bahwa muridnya mencontek.
Kau pikir guru-guru kita yang pintar itu tidak tahu apa-apa saat kita mencontek? No, no! Mereka semua tahu! Tidak ada yang tidak tahu. Yang ada hanyalah guru yang menegur dan memarahimu, atau sekedar menyindir halus, atau justru guru yang memilih untuk mengurangi nilaimu dalam diam.
Seperti yang tadi saya bilang, melihat kehidupan yang sama dari sudut pandang yang berbeda, benar-benar lucu. Saya sebenarnya tipe guru yang nggak suka mempermalukan murid di depan teman-temannya yang lain. Jadi saat melihat anak-anak itu masih saja menggunakan trik-trik kuno untuk mencontek, saya cuma bisa nyengir. Sindiran adalah hal terkahir yang saya lakukan. Selebihnya, kalau mereka tetap nekat “berusaha”, saya memilih diam dan langsung menandai nama mereka masing-masing di daftar nilai saya. Memberi nilai terendah bagi mereka adalah hal paling baik dan paling kejam yang bisa saya lakukan. Tidak mempermalukan mereka di depan teman-temannya adalah hal baik yang saya pilih. Tapi memberi “imbalan setimpal” atas kenakalan mereka bukanlah sesuatu yang tidak adil, bukan?
Begitupun terhadap kenakalan kita yang lain. Waktu kita melompati dinding belakang sekolah demi menghindari razia “murid terlambat”, apa kau pikir semua guru tidak tahu? Sebenarnya nggka juga lho. Ada yang tahu kelakuanmu itu. Tapi seperti halnya saya, ada beberapa guru yang lebih suka diam. Tidak ada yang menegurmu hanya berarti bahwa mereka memberimu “hadiah” atas kerja kerasmu yang sudah berusaha melarikan diri. Hahaha.
Kelucuan lain para murid ternyata tidak melulu soal kenakalan mereka. Kisah cinta mereka adalah kelucuan lainnya. Ketika sekarang saya mendengar curhatan mereka soal kisah cinta mereka, saya sering nyengir dalam hati, membayangkan betapa dulu guru saya pasti merasa lucu mendengar cerita cinta abege saya. Dulu saya pasti sama lucunya dengan murid-murid saya sekarang, mengkhawatirkan kisah cinta remeh-temeh.
Well, yeah, kita melakukan hal-hal kecil saat kita masih kecil. Berpikir bahwa kita sudah besar dan sudah melakukan hal-hal besar. Kita mengkhawatirkan hal-hal kecil saat kita masih kecil, dan mengira bahwa hal-hal tersebut terlalu besar dan berat untuk kita tanggung. Tapi sekarang setelah kita cukup besar, akhirnya kita tahu kan bahwa hal-hal besar kemarin hanya sebesar yang kita bayangkan? Bahwa sebenarnya hal-hal besar yang dulu merisaukan kita, ternyata tidak sebesar itu kan? Waktu itu kita hanya masih kecil untuk menerima yang lebih besar. Tapi waktu kita akhirnya menerimanya, kita akan tumbuh menjadi sebesar apa yang diperlukan untuk kuat mengangkat beban itu kan?


Ngomong-ngomong soal menjadi guru, itu berat juga lho. Karena seperti kata pak Marno: “Saat kita mengajar, sebenarnya kitalah yang paling harus belajar, memastikan diri menjadi lebih tahu daripada murid kita.”
Seorang guru memang harusnya lebih tahu daripada muridnya, karena dialah tempat bertanya dan menimba ilmu para muridnya. Tapi kemudian belakangan ini saya menyadari bahwa menjadi lebih tahu dan lebih pintar bukanlah hal yang paling penting untuk menjadi seorang guru. Berapa banyak guru-guru kita yang jenius luar biasa, tapi semua muridnya bingung dengan pelajaran yang diajarkan? Kalau pakai istilah saya sendiri sih, fenomena itu disebut dengan “perbedaan frekuensi otak”. Makin jauh kesenjangan intelegensi antara guru dan murid, maka makin rentan terhadap insiden “ketidak-tersampaian ilmu.”
 “Ini guru lagi ngomong bahasa dewa kali ya? Manusia biasa seperti kita mah nggak bakal paham bahasa dewa begitu. Frekuensi otaknya beda sama kita, jadi nggak bisa beresonansi dgn frekuensi otak manusia biasa seperti kita.”
Kalau murid kita sudah ngomong seperti itu, berarti kita adalah guru tidak berguna. Sepintar apapun seorang guru, kalau muridnya sendiri nggak paham perkataannya, berarti dia bukan guru yang baik. Sejenius apapun guru, kalau tidak bisa mentransfer pengetahuannya kepada murid-muridnya, lalu guru seperti apa itu? Ditambah lagi kalau sampai murid kita sendiri takut, benci dan cenderung menghindari kita, maka sebenarnya kita hanyalah orang yang pintar, bukan seorang guru.
Berdasarkan teori yang saya alami sendiri, sepintar apapun guru dan sebaik apapun ilmu yang diberikannya, ilmu itu tidak akan pernah sampai kepada murid kalau muridnya tidak merasa nyaman dengan gurunya. Ketidaknyamanan itu bisa terjadi karena banyak hal. Oke, bahas satu per satu ya J
Suatu ilmu nggak akan bisa sampai kepada murid kalau muridnya takut sama gurunya. Takut pada guru akan berimbas pada ketakutan murid pada ilmu yang diajarkan guru tersebut, meski ilmunya sendiri tidak menakutkan. Sebaliknya, sesulit apapun pelajarannya, kalau murid suka dengan gurunya, biasanya mereka akan bisa menerima ilmu tersebut dengan lebih baik. (Inget pelajaran fisika waktu nulis ini :p )
Ilmu juga nggak bisa sampai kepada murid kalau muridnya membenci gurunya, atau gurunya juga balik sebal pada muridnya. Bagaimana mungkin cangkir bisa menerima air dari teko kalau cangkirnya ditutup atau tekonya tertutup? Kebencian adalah hal yang menutup hati dan pikiran kita dari ilmu-ilmu baik yang sebenarnya ada diantara guru dan murid. Sebaik apapun ilmu, jika disampaikan atau diterima dengan kebencian, ilmu itu tidak akan pernah sampai kepada muridnya.
Dan kebencian bisa datang dari banyak sumber. Sikap murid yang tidak hormat, atau sikap guru yang membuat murid jadi tidak hormat. Merasa diri paling pintar dan sikap merendahkan murid adalah salah satu yang paling menimbulkan kebencian.
Beberapa kali saya mendengar seorang guru berkata: “Ah, dulu saya bisa mengerjakannya kok. Kenapa mereka nggak bisa? Kan kita sama-sama makan nasi.”
Pernyataan tersebut bisa mengimplikasikan dua hal. Pertama, bahwa sang guru sudah bisa membaca dan berhitung sejak lahir (saking jeniusnya, sehingga tidak pernah menjadi orang bodoh). Kemungkinan kedua, bahwa saking pintarnya sang guru sekarang, beliau sampai lupa bagaimana rasanya menjadi tidak tahu.
Benar adanya bahwa para guru pastilah lebih berpengalaman daripada murid-muridnya sehingga beliau pasti sudah tahu bahwa soal-soal seperti itu bukan soal yang mustahil dikerjakan. Tapi para guru seringkali lupa bahwa beliau dulu juga pernah menjadi murid yang tidak tahu. Mereka lupa bahwa saat mereka masih muda dulu, soal-soal sepele itu adalah hal yang besar bagi mereka. Mereka lupa bahwa dulu mereka pernah merasa tidak bisa melakukan sesuatu sebelum akhirnya mereka menemukan cara untuk menyelesaikannya. Mereka bahkan lupa bahwa murid memang memiliki hak untuk bodoh, karena mereka hanya seorang murid. Mereka membayar sekolah untuk dididik, bukan untuk diklaim sebagai orang bodoh. Jika murid-murid itu sudah pintar, untuk apa lagi mereka sekolah dan kuliah? Para guru mungkin melupakan fakta penting itu.
Para guru seringkali lupa dan mengira para murid sudah sama pintar dan sama tahunya dengan mereka sekarang. Akibatnya mereka menjelaskan dengan terburu-buru, dan terlewat menanamkan pemahaman-pemahaman dasar yang dibutuhkan murid untuk memahami pengetahuan yang lebih tinggi. Hal-hal seperti itu yang membuat murid jadi frustasi dalam menerima pelajaran.
Ada kalanya saya berpikir, guru yang baik sebenarnya bukan hanya yang paling pintar, atau yang gelarnya paling panjang ya? Guru yang baik mungkin saja kepintarannya hanya bernilai delapan, tapi seluruhnya bisa diturunkan kepada murid-muridnya …. alih-alih guru jenius dengan kecerdasan bernilai sepuluh, tapi hanya sepertiga dari ilmunya yang bisa diturunkannya. Guru yang baik rasanya bukan yang paling pintar (bukan berarti guru tidak harus pintar. Tentunya seorang guru haruslah yang pintar), tapi juga yang paling memahami apa yang dibutuhkan muridnya untuk menjadi pintar. Sayangnya, kecerdasan untuk memahami murid tidak selalu berbanding lurus dengan kecerdasan intelegensia. Itu mengapa menjadi pintar jauh lebih mudah daripada menjadi seorang guru.
Padahal, kalau dipikir-pikir lagi, untuk memahami seorang murid, nggak sesulit itu kan? Seorang guru juga pernah menjadi abege kan? Hanya saja mungkin ketika sudah terlalu lama menjadi guru, kita justru lupa bagaimana rasanya menjadi murid. Ketika kita beranjak dewasa, kita jadi lupa bahwa dulu kita juga sering melakukan kekonyolan-kekonyolan yang sama dengan para abege itu. Lupa deh kita bahwa kita dulu pernah juga bergaya “labil”, atau bahkan masih labil sampai sekarang, meski dalam bentuk yang berbeda. Kita juga lupa bahwa dulu kita adalah “galauers everywhere, everytime” bahkan oleh hal-hal yang sekarang kita anggap sepele.
Yeah, pengalaman guru memang lebih banyak. Dan guru yang sering mengatakan “saya juga dulu pernah jadi murid, tapi nggak gitu-gitu amat deh” juga memang pernah muda. Mungkin mereka hanya lupa, bagaimana menjadi muda dan galau :p


Tulisan ini dibuat sebagai topik balasan dalam serial “You Jump, I Jump” antara saya dan Ambar. Pada topik terbaru yang dipilihnya (seperti dapat dibaca pada blog berikut: http://ambareetabercerita.wordpress.com/2011/10/07/ants-story/), Ambar bercerita tentang betapa kita ini hamba yang tidak tahu rencana Tuhan tapi dengan sok tahunya merasa bahwa Tuhan tidak sayang pada kita. Padahal sesungguhnya Tuhan punya rencana yang lebih besar dan lebih indah bagi kita. Kita hanya terlalu kecil untuk mengetahui rencana besar itu saat ini.
Mengambil tema serupa, kali ini saya membahas tentang masa lalu kita, semasa masih sekolah dulu. Ini cerita tentang murid, dengan segala tingkah dan ke-sotoy-annya. Ini cerita tentang murid, yang diceritakan oleh seorang murid ... yang saat ini sedang berusaha menjadi guru.

Apa lalu saya sudah menjadi guru paling baik sehingga bisa memposting artikel aneh macam ini? Pastinya, saya masih jauh dari menjadi guru yang baik. Dan untuk menjadi guru seperti itu sama sulitnya dengan mendapat nilai sepuluh dalam pelajaran fisika, bagi saya. Saya cuma seseorang yang sedang terus belajar untuk bisa kembali memahami dunia remaja agar bisa menjadi sahabat mereka. Bukankah pengetahuan apapun paling mudah ditransfer oleh seorang sahabat, ketimbang oleh seorang guru?



Senin, 12 September 2011

FARMASIS GALAU

Di malam minggu nan galau ini entah mengapa pikiran saya sedang “agak bener”.  Nah, mumpung saya lagi “bener” nih, saya mau membahas sesuatu yg “rada bener”.

Jadi ceritanya, di malam minggu yang galau ini, ada satu tontonan di MetroTV yang makin bikin saya galau. Bukan galau scr pribadi, tapi galau sbg seorang farmasis (tuh kan,, malaikat apa pula yg sedang mengilhami saya nih?)

Bahasan MetroFiles hari ini (yang ditayangkan jam 7 malam ini) berjudul “Farmasi Untuk Negeri”. Berikut saya cuma ingin mereview beberapa poin yang membuat saya galau ketika menonton tadi ,,, dan akan mencoba sotoy mengomentari beberapa komentar para komentator  (pusing nggak bacanya? maklumlah, ini ditulis oleh orang yang “rada” bener)

1.  Dibandingkan negara industri di Eropa, US, Jepang etc, penemuan obat di Indonesia sangat buruk. Alih-alih berfokus pada pengembangan obat kimiawi, Indonesia sebaiknya mengembangkan riset di bidang obat yang berasal dari bahan alam. (dr. Bunyamin) à setuju ini mah sama Bapak pendiri Kalbe Farma ini. Alih-alih terus terpaku & berusaha menyaingi negara yg lebih maju, kenapa kita tidak menjadi “trend setter”. Alih-alih berfokus pada pengembangan bahan obat kimiawi, knpa ga justru mengembangkan bahan obat dari alam. hehehe. Ini ibarat: “daripada menunggu pintu terbuka, kenapa nggak masuk lewat jendela saja” (ngajarin maling).

2. Indonesia masih ketergantungan impor bahan baku obat. (dr. Bunyamin) à bener banget. Jangankan bahan baku obat, lha wong eksipien aja masih import tho.  Di Asia, kita malah belum ada apa2nya dibanding India & China soal produksi bahan baku ini. Apa saya kuliah ke India aja yah? barangkali aja bisa sekalian casting jd aktris bollywood kan? #SingWarasNgalah . hehehe.
Oiya, soal industri bahan baku obat di Indonesia, spt kata dr. Bunyamin, baru bisa dilakukan jika industri kimianya sudah baik. Kan sintesis obat butuh solven, reagen, dsb. Kalau reagennya saja nggak ada (dan fasilitas sintesisnya ga ada), bagaimana mau membuatnya? Paracetamol Indonesia aja katanya kualitasnya masih jauh dr kualitas Paracetamol punya India.

3. Kurangnya industri berbasis riset, menyebabkan industri farmasi kurang berkembang. Hal ini juga disebabkan karena kurangnya kerjasama antara industri farmasi dgn institusi pendidikan serta kurangnya dana riset dari pemerintah. (dr. Bunyamin) à inilah mengapa riset yg dilakukan industri farmasi hanya sebatas variasi eksipien, penampilan dan bentuk sediaan à dananya jg terbatas sih ya. Dan soal kerjasama dgn instansi pendidikan,,, mungkin universitas harus mulai mengambangkan riset-riset yang aplikatif, bukan sekedar teori shg hasil penelitian bisa dimanfaatkan bersama dgn industri farmasi. Dengan demikian, dana penelitian bisa dioptimalkan oleh instansi pendidikan, tp hasilnya jg bisa dirasakan oleh industri farmasi.
Mengutip kata2 Pietra bbrp waktu lalu: Riset-riset di universitas itu kebanyakan masih bersifat teori dan hanya demi memenuhi tuntutan kelulusan, jd tidak bisa dimanfaatkan oleh industri farmasi.

4. Beberapa komentar berikut, saya satukan dalam satu topik, krn saya akan membahasnya scr parallel:
- Paradigma kefarmasian telah beralih kpd patient oriented, sehingga hendaknya apoteker bukan hanya berada di balik meja, atau bahkan hanya sekedar pasang nama di apotek.(Ahaditomo)
- Apoteker hrs lgsg berhadapan dgn pasien, sehingga peran apoteker bukan sekedar jual-beli obat , tp juga memberikan pelayanan informasi obat (PIO) (Dani pratomo)

Terhadap kedua pernyataan tersebut di atas, itu jg bikin galau. Bukannya saya nggak setuju dgn “peran apoteker sbg PIO di apotek” sehingga harus selalu berada di apotek selama jam buka apotek. Bukan juga nggak setuju dgn slogan “no pharmacist, no service”.
Kadang2, sering dibandingkan antara praktek dokter (yang kliniknya tutup kalau dokternya nggak ada), sementara kalo apotek tetap buka meski apoteker nggak ada.
Kalau mau ditelisik lebih jauh, mungkin sebenarnya bukan para apoteker yang tidak mau menjalankan perannya dgn optimal, tapi karena penghargaan orang yang kurang thd peran apoteker.
Peraturannya sih apoteker harus stand-by di apotek selama jam buka apotek. Tapi apoteker mana yang mau stand-by 8 jam per hari kalau cuma digaji 1 juta per bulan (jangan tanya saya, “Memangnya ada apoteker yg cuma digaji segitu? “ADA! Percaya deh. Makanya dia ga stand-by di apotek.)
Kadang penghargaan kita terhadap profesi tertentu itu sangat memalukan. Daripada menggaji besar para koruptor itu, bukankah seharusnya menggaji guru dgn lebih layak? Kan profesi gurulah yg mendidik anak2 bangsa kita. Anak-anak bangsa dgn kualitas seperti apa yang kita harapkan dari guru yang mengajarkan matematika dgn tdk fokus karena sambil memikirkan berasnya yang habis di rumah?
Begitu juga dgn apoteker. Apoteker kan juga pekerjaan profesi spt dokter ya? Yang resikonya thd keselamatan pasien sama besarnya, jd mengapa tidak dihargai scr berimbang?
Kalau membandingkan antara gaji saya dgn gaji adik saya yg anak teknik, kok rasanya nyesek ya? Resiko pekerjaan adik saya nampaknya tidak sebesar resiko pekerjaan saya yg kalau salah pakai alupush untuk kemasan tablet saja bisa membahayakan pasien. Tapi kenapa adik saya gajinya lbh besar? Di industri farmasipun gajinya orang2 finance tuh kadang lbh besar lho drpd gaji apoteker pada level yg sama. Padahal, resiko pekerjaannya thd keselamatan manusia lbh kecil.
Hal-hal semacam itulah yang membuat apoteker tdk menjalankan fungsinya secara seharusnya. Jangan bilang soal “kerja itu kan ibadah”! Hanya karena tujuan kerja kita sebagai ibadah, maka bukan berarti kita tidak pantas dihargai dgn layak kan?

Kalau kata dr. Bunyamin: “Kalau suatu usaha mau maju, SDM mesti diperhatikan. “ à totalitas dan pengabdian thd pekerjaan bukan berarti menghilangkan profesianalisme dan kebutuhan untuk dihargai dengan pantas!

Tapi ini seperti pisau bermata dua sih ya. Kalau para apotekernya sendiri tidak membiarkan dirinya digaji rendah, pasti para PSA/ pemilik industri farmasi/ RS  juga terpaksa menggaji dgn layak kan?
“Habis gimana dong. Ya sudahlah, 1 juta juga cukup kok. Toh sebulan sekali doang ke apotek,” begitu komentarnya. Kalau sudah begitu, bingung juga deh, mana dulu yg harus diperbaiki: peraturannya, atau apotekernya atau sistemnya? Rasanya spt lingkaran setan.
Andai IAI punya kebijakan ttg standar gaji apoteker.
Membuat peraturan soal “no pharmacist, no service” saja TIDAK AKAN PERNAH BERHASIL kalau tdk disertai dgn penetapan standar gaji apoteker.  Kalau IAI sudah menetapkan standar gaji apoteker, dan semua apoteker sepakat u/ tidak mau bekerja jika tidak digaji dgn layak, dan ada peraturan tegas tentang “no pharmacist, no service” ini ,,, pasti nantinya dgn terpaksa PSA juga akan menyesuaikan gaji apotekernya dgn standar tsb kok. Dgn gaji yg sesuai, apoteker pasti akan bekerja dgn optimal di apotek (bukan cuma datang sebulan sekali),,, dan wacana “pharmaceutical care” bukan lagi sekedar omong kosong.


Yah, begitulah kira2 sesi menggalau saya malam ini. Sungguh ke-sotoy-an saya membuat note semacam ini. Tapi tidakkah ada yang berpikiran sama dgn saya? Atau hanya saya yang berpikiran nyeleneh soal hal-hal ini? Hahaha.

Kamis, 01 September 2011

You Jump, I Jump (2) : M2M , Me & Mantan

Jadi, karena proyek "You Jump, I Jump" antara saya dan Ambar, akhirnya saya menulis note ini. Oke, sedikit dijelaskan bahwa sejak seminggu yg lalu, diawali dgn pembicaraan kita soal Islam dan Rasulullah, akhirnya kami memutuskan untuk memulai proyek "You Jump, I Jump" ini. Secara ringkas, proyek ini didefinisikan sebagai proyek gabungan saya dan ambar dalam membahas suatu topik tertentu setiap minggunya, untuk saling tukar ide dan pendapat tentang suatu topik tertentu, yang tidak harus sama, namun serupa.

Nah, pagi ini Ambar mencolek2 saya dan mengatakan bahwa topik hari ini adalah tentang obrolan lebaran dengan mantan. Oke, jadi inilah yang ditulis Ambar: http://ambareetabercerita.wordpress.com/2011/09/02/a-little-something-something-2/

Nah, oleh karena itu saya akan menulis topik serupa.
Oke, jangan tanya! Saya emang ga punya mantan pacar,, tp setidaknya saya pernah menyukai seseorang. Nah, jadi saya menceritakan perbincangan kami saat lebaran kemarin yah.

Sebutlah saya dan si Aa' ini jaman dahulu kala pernah memiliki "hubungan tak terkatakan",,, lets say "HTS" ,,, nggak pernah pacaran tapi saling tahu bahwa kami saling menyukai. Tapi ketika akhirnya kami makin dewasa dan makin menyadari bahwa "penghalang" diantara kami ini mustahil ditembus, kami dengan kesepakatan-tak-terkatakan memutuskan untuk mengambil jalan masing-masing. Menyelesaikan sesuatu yang bahkan tidak pernah dimulai.

MOVE ON!

Dan disinilah kami sekarang.  Dia sudah menikah setahun lalu. Dan saya sudah menemukan impian saya, menjadi guru.
Kami masih saling berkirim kabar, SMS atau telfon, meski ga sesering dulu. Dan kemarin itu saat lebaran, dia telpon saya. Setelah maaf-maafan, kami mulai ngobrol ngalor-ngidul.

Saya: Nggak pulang ke Jkt, A'? (keluarganya di Jkt dan dia bekerja di Sumatra)

Dia : Tahun ini nggak bisa, Ni.  Istriku hampir melahirkan. HPL-nya 20 september. (eh, si ambar kan 19 sept ya Mbar? hoho)

Saya: Hoo,, sebentar lagi ya?

Dia : Iya, makanya nggak berani pergi2 jauh.

Saya: Perkiraannya, laki2 atau perempuan, A'?

Dia : Laki-laki, Ni.

Saya : Wah, selamat ya A'. Semoga lancar ya persalinannya. Salam buat si Teteh (istrinya si Aa' maksudnya).

Dia : Nanti aku kabarin ke Tante nia kalo si adek udah lahir.

Saya: Hidiiihhh,, knpa dipanggil "tante"? Saya maunya dipanggil "teteh". Hahaha. (efek bergaul sama ABG, jd berasa muda mulu, lupa umur)

Dia : Dasaaarrr! Jitak nih.

SIIIIINNNNGGGG *trus tiba2 dia terdiam agak lama*

Dia : Pasti nanti si adek mirip kamu, Ni.

Saya: Lho? Kok? Dia laki2, saya perempuan. Mirip apanya? Lagian, kalo beneran mirip saya, nanti emaknya bingung lho. Hahaha

Dia : Ah, kamu kan juga kaya cowok. (trus dia ketawa ngeledek. saya manyun di seberang telpon)

 SIIIIINNNNGGGG (ealaaahhh,, dia diem lagi)

Dia : Dia pasti mirip kamu, Ni. Seorang virgo yang perfeksionis dan cerewet.

Saya: Hah?! (kenapa coba yg diinget adl bagian "cerewet"nya?)

Dia : Dan pintar luar biasa.

Saya langsung putar otak supaya nggak terkesan bahwa saya sedang meleleh.

Saya : Tapi hati-hati A' ,,, jangan sampai bandel dan susah diatur juga kayak saya. (dan saya berusaha menertawakan diri sendiri supaya dia nggak tahu bahwa saya lg GR berat)

Dia : Aku berharap dia spt kamu nanti.

AAARRGGGHHH. Uwoppppooooo Ikiiii?????
Ya Allah, hamba berlindung kepadaMu dari godaan suami orang seperti ini.

 Jadi setelah itu saya segera mengalihkan pembicaraan seputar kue-kue lebaran yang dibikin istrinya di rumah. Tentang masakan apa yang ada di rumahnya dan di rumah saya.

Dia : Lho, Ibu (ibu saya maksudnya) nggak bikin ketupat, Ni?

Saya: Nggak, A'. Males bikin ketupat, masaknya lama. Udah heboh duluan bikin sayur dan lauknya.

Dia : Oiya, Ibumu kan paling males bikin ketupat ya? Hahaha. Inget nggak? Dulu kan Ibuku biasa masakin ketupat buat keluargamu, dan Ibumu balas masakin semur daging buat keluargaku.

Saya ketawa. Padahal dalam hati menjerit. Kenapa pula mesti mengingat-ingat masa lalu siiihhh????

Tapi cerita yang sudah selesai, sudah selesai kan? Waktu sebuah buku sudah ditulis, kau tidak bisa mengubahnya lagi kan? Yang bisa kau lakukan hanya membacanya kembali dan mengambil pelajaran darinya ... atau mengambil kenangan yang membeku di dalamnya.

Rabu, 31 Agustus 2011

Mencarilah! Dia akan menemukanmu



Kalau kamu punya murid bodoh, kamu bisa mencari 1001 macam cara untuk membuatnya pintar. Kalau kamu punya murid pintar, kamu harus mencari 1001 cara untuk membuat dirimu sendiri lebih pintar. Apalagi kalau muridmu punya rasa ingin tahu yg sangat besar, kau harus menyiapkan banyak jawaban untuk pertanyaan-pertanyaannya. Dan murid yang agnostik, punya rasa ingin tahu yg besar, kritis dan cerdas adalah kombinasi yang mematikan. Serius! Apalagi kalau gurunya tidak sepaham itu tentang apa yang diyakininya. Kalau salah menjelaskan, murid bisa tambah skeptis, alih-alih mendapat pencerahan.
Dialog ini sebenarnya dimulai dari percakapan antara seorang murid dan guru privatnya tentang chemical bonding. Tapi kemudian percakapan bergulir seperti bola salju, ke arah yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan per-kimia-an.
“Jadi, ikatan kimia antara hidrogen dan klorida pada senyawa HCl, itu jenis ikatan apa?” tanya Ilma kepada murid lesnya.
“Ionic bonding,” jawab Hary.
Ilma mengerutkan dahinya. “Yakin?” dia menanyakan lagi pada Hary.
“Yakin. Kan ion hidrogen bermuatan positif, dan ion klorida bermuatan negatif. Jadi ikatan diantara keduanya adalah ikatan ionik,” Hary menjawab yakin.
“Tapi biasanya kan ikatan ionik itu terjadi pada unsur metal dan non metal. Pada HCL, keduanya adalah unsur non metal. Mereka berbagi elektron, bukan transfer elektron,” Ilma membantah dengan hati-hati. Sambil menjawab, dia juga sambil mencoba melogikannya sendiri, dan dia nyaris yakin pendapatnyalah yang benar.
Hary tersenyum lalu berkata meledek, “Ah, gue nggak percaya kak Ilma ah.”
Ilma balas tertawa, lalu menjawab, “Emang lo nggak boleh percaya sama gue, Har. Percaya tuh sama Tuhan. Kalau percaya sama gue mah musyrik namanya.”
“Gue juga nggak percaya Tuhan,” jawab Hary, masih sambil senyum.
“Bocah gembhlung!” ejek Ilma sambil menertawakan Hary.
“Gue serius, kak. Gue nggak percaya sama segala tetek-bengek agama itu.”
Kali itu Hary tidak mengatakannya sambil tersenyum atau tertawa. Wajahnya tampak mulai serius. Senyum Ilma jadi ikut pudar karenanya. Tapi dia tidak tahu harus merespon bagaimana atas pernyataan muridnya barusan.
“Well, gue sih percaya bahwa Tuhan itu ada, kak,” kata Hary kemudian. “Gue cuma nggak mengerti mengapa menyembah Tuhan harus lima kali sehari, harus bersujud-sujud.”
Ilma jadi bingung sendiri bagaimana harus menanggapi pernyataan sefrontal ini.Alih-alih menjawab, Ilma malah bertanya balik.
“Kalau orang Nasrani, kenapa beribadah setiap hari Minggu?”
“Nah, gue juga nggak ngerti soal itu. Agama tuh sesuatu yang nggak masuk akal buat gue. Jadi gue percaya bahwa Tuhan ada, tapi bagi gue ritual pemujaan seperti sholat atau bernyanyi-nyanyi di gereja itu nggak ada dasar logikanya. Kenapa kita mesti berdoa pada Tuhan dengan cara begitu? Tuhan kan Maha Mendengar, bahkan isi hati kitapun Tuhan tahu. Jadi kita berdoa biasa aja, Tuhan pasti mendengar kan?”
Ilma terpaku mendengarkan.
“Jujur aja kak, gue baru tahu bahwa gue ini beragama Islam ketika berusia 7 tahun. Sebelum itu, gue nggak tahu apa itu agama. Selama kami tinggal di Belanda, orangtua gue nggak pernah membahas itu. Tapi saat pulang ke Indonesia, orang-orang menanyakan agama gue. Barulah gue tanya Mama. Dan Mama bilang agama gue Islam. Cuma itu. “
Ilma tersenyum. Miris dalam hati. Sekarang dia paham, mengapa pendidikan agama paling baik adalah sejak dini, dan oleh orangtua sendiri.
“Bagi gue, agama itu cuma ritual-ritual yang nggak ada dasar logikanya. Agama juga menyusahkan. Banyak banget larangannya. Nggak boleh minum alkohol, nggak boleh makan babi. Mencegah kesenangan-kesenangan duniawi tanpa alasan yang jelas. Memperbolehkan orang menduakan cinta, poligami itu. Bahkan memperbolehkan seseorang membunuh orang lain demi nama agama yang seharusnya menentramkan. Lihat para teroris itu. Jadi apa sebenarnya logika yang masuk akal bagi gue untuk percaya pada agama?”
Inilah yang dimaksud dengan murid yang agnostik, kritis dan cerdas sebagai murid yang membahayakan. Butuh waktu beberapa lama bagi Ilma untuk mencari alasan logis untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan Hary. Dia takut salah menjawab. Bukannya tidak pernah mempelajari agamanya sendiri, tapi baru kali ini Ilma bertemu dengan orang yang mengkonfrontirnya secara langsung.
“Kak Ilma kenapa selama ini sholat dan puasa? Karena kepercayaan kan? Karena kak Ilma sejak kecil diberitahu bahwa kak Ilma beragama Islam, dan orang Islam wajib sholat dan berpuasa. Kak Ilma melakukannya karena memang kewajiban kan? Bukan karena kak Ilma tahu untuk apa kakak melakukani itu?”
Nah, ini namanya konfrontrasi terbuka nih. Ilma tidak bisa diam saja. Dia bisa saja menjawab dengan mudah bahwa ada lima hal yang harus dilakukan seseorang untuk menjadi seorang muslim. Sholat adalah salah satu kewajiban itu. Tidak melaksanakan salah satunya, berarti seseorang tidak benar-benar bisa dianggap beragama Islam. Tapi mendengar kata “kewajiban” tanpa adanya “alasan logis” mengapa kewajiban itu diwajibkan, Ilma tahu bahwa Hary tidak akan bisa menerimanya begitu saja.
Ilma tersenyum, lebih kepada usaha untuk meredakan suasana hatinya, ketimbang untuk tersenyum pada muridnya itu. Setelah itu dia baru menjawab pertanyaan muridnya dengan hati-hati.
“Hary,” panggil Ilma sok misterius, “Sama sekali belum pernah mendengar alasan kenapa alkohol diharamkan?”
“Karena memabukkan? Jadi kalau minum segelas-dua gelas aja dan nggak mabuk, dibolehkan kan?”
“Memangnya orang mabuk akan mengaku mabuk? Orang mabuk cukup sadar untuk tahu bahwa dirinya sudah mabuk? Apa kalau kamu kuat minum berbotol-botol, itu berarti aku nggak akan mabuk kalau hanya minum segelas? Bukannya daya ambang sadar tiap orang berbeda-beda?”
Hary mengernyit.
“Alkohol diharamkan karena pada kadar sedikitpun akan merugikan. Kamu sekarang cuma minum segelas. Karena rasanya enak, besok kamu coba lagi, lebih banyak. Makin banyak. Kamu mulai ketagihan dan nggak bisa berhenti. Itu sebabnya,” kata Ilma.
“Kalau soal daging babi? Mereka bilang karena ada cacing atau telur cacing di dalam daging babi yang nggak akan mati pada suhu tinggi? Tapi teknologi memasak masa kini nggak mungkin nggak bisa membunuh itu. Jadi kenapa masih diharamkan?”
“Gue kurang tahu soal apakah teknologi memasak jaman sekarang benar-benar bisa membunuh cacing yang lo maksud itu. Yang gue tahu, apa yang kita makan, akan mempengaruhi sifat kita. Itu mengapa beberapa anak pejabat perilakunya kurang baik, mungkin karena dia diberi makan oleh harta yang nggak halal. Sama seperti contoh kasus memakan babi ini.”
“Bukan jawaban yang memuaskan,” kata Hary.
“Sorry,” jawab Ilma sambil angkat bahu. Dia berusaha tetap tampak tenang selagi otaknya terus berputar untuk bisa memberi jawaban yang memuaskan bagi rasa ingin tahu muridnya yang besar itu.
“Tentang teroris?” tanya Hary kemudian.
“Mafia-mafia Italia beragama Nasrani. Apa hanya karena orang-orang itu berkelakuan buruk, lalu berarti agama itu mengajarkan keburukan? Nggak kan? Sama seperti para teroris yang mengatasnamakan jihad.”
“Beda dong kak. Mafia-mafia itu kan juga agamanya cuma di KTP doang, nggak pernah benar-benar ke gereja mungkin. Tapi para teroris itu bukannya pemeluk Islam yang fanatik? Mereka sangat mengerti Islam kan?”
Ilma berpikir sejenak. “Kalau gurumu memberi ujian, lalu 30 orang dari 50 orang temanmu nggak lulus, itu berarti kesalahan gurumu dalam mengajar?”
“Iya lah, itu pasti gara-gara si guru bodoh dan nggak bisa ngajar. Murid sebanyak itu nggak lulus? Pasti salah gurunya.”
“Kalau 2 orang dari 50 orang murid yang nggak lulus, apa berarti gurunya salah mengajar?”
“Kalau itu mah karena muridnya aja yang bodoh dan nggak mengerti. Buktinya 48 orang yang lain lulus kok.”
Ilma tersenyum. “Begitu juga dengan agama,” katanya, “Hanya karena beberapa orang salah memahami agamanya, bukan berarti agama itu yang salah kan? Lo melihat terlalu banyak orang-orang Islam yang mencontohkan keburukan sehingga lo nggak percaya bahwa agama bisa membuat orang menjadi lebih baik. Islam itu rahmatan lil ‘alamin, Hary, rahmat bagi semesta alam. Bukan hanya rahmat untuk muslim, bukan hanya untuk manusia, tapi untuk semesta. Cobalah lebih memahaminya, kamu akan menemukannya.”
Hary mengangkat bahunya.
“Poligami?” ternyata Hary masih melanjutkan, “Saat pacaran aja, kita nggak mau diduakan, apalagi setelah menikah. Jangan bilang itu lebih baik daripada berzina! Kalau memang sudah nggak suka dengan istri pertama, ceraikan aja! Jangan diduakan!”
“Pernah dengar kenapa dulu Rasulullah berpoligami?”
“Pernah. Dia menikahi janda-janda yang suaminya meninggal saat perang. Supaya janda-janda itu nggak terlantar. Betul begitu? Tapi nggak ada korelasinya sama model poligami jaman sekarang.”
“Lo mengetahui cukup banyak untuk ukuran seorang agnostik,” kata Ilma memuji.
“Gue tahu cukup banyak untuk tidak membiarkan diri gue terhanyut dalam omong kosong soal agama, ritual-ritual ibadah, dan semacamnya.”
Ilma benar-benar merasa dirinya dalam bahaya. Sedikit saja dia salah bicara, anak ini pasti akan makin skeptis pada agama. Mungkin suatu hari nanti, jika tak terselamatkan lagi, Hary bisa berubah dari seorang agnostik menjadi seorang atheis. Bahaya!
“Haryo Wibowo,” kata Ilma.
“Kenapa sih lo manggil nama lengkap gue? Gue nggak suka, kak. Panggil Hary aja! Lo memanggil gue Haryo untuk mengintimidasi gue ya?”
Ilma tertawa. Dia sudah tahu sejak lama bahwa Hary tidak suka dipanggil dengan nama lengkapnya. Terkesan ndeso dan ‘terlalu Jawa’, katanya.Dia lebih suka dipanggil Hary, dengan pelafalan seperti Harry Potter, karena bagitulah teman-teman kecilnya di Belanda dulu memanggilnya.
“Hary,” Ilma mengulang sambil tersenyum. “Al Qur’an yang memperbolehkan poligami itu diturunkan untuk menjadi petunjuk bagi umat Rasulullah hingga akhir jaman. Mungkin ada masanya nanti keadaan yang memaksa laki-laki berpoligami, dengan alasan yang sama dengan pada masa Rasulullah. Jadi Al Qur’an membolehkannya. Sepakat dengan lo kali ini, gue merasa sekarang belum sampai pada saat yang mendesak itu sehingga pria berpoligami.”
Hary tersenyum. Kali ini pendapatnya didukung.
“Tapi lagi-lagi, hanya karena sekelompok orang, kenapa membuat lo skeptis pada sesuatu yang lo belum tahu? Sesuatu yang bahkan kamu belum mencoba mengenalnya.”
Senyum Hary memudar. Ternyata Ilma belum sepikiran dengannya.
“Dan alasan kenapa lo sholat sehari lima kali? Bukannya itu membuang waktu?” tanya Hary, masih mencecar.
“Kalo Hary mau ketemu presiden, apa yang harus lo lakukan?” Ilma balik bertanya.
“Maksud lo kak?”
“Lo harus bikin surat permohonan kunjungan ke istana negara. Melalui serangkaian prosedur. Diperiksa pasukan pengaman presiden sebelum masuk. Dan ritual lainnya. Dan itu benar-benar menghabiskan waktu.”
Hary mengernyit, seolah mulai mengerti maksud Ilma.
“Kalau lo mau bertamu ke rumah orang, lo harus meminta ijin sebelum masuk. Ada rumah yang punya bel, lo cukup menekan bel. Tapi ada rumah yang nggak punya bel, jadi lo harus mengetuk pintunya. Sama seperti ibadah, Ry.
Lu mau ketemu presiden aja ada tata kramanya. Masa ketemu Tuhan, nggak pakai tata krama? Betul lo bilang bahwa Tuhan Maha Mendengar, jadi lo cukup berdoa dalam hati, maka Tuhan mengabulkan. Tapi bahkan kepada presiden yang nggak memahami hati lo, dan belum tentu bisa mengabulkan semua keinginan lo, lo bersopan santun padanya. Masa kepada Tuhanmu yang menciptakan, mendengarkan dan mengabulkan keinginan-keinginan lo, lo nggak tahu tata-krama? Lo nggak malu?”
Hary terdiam. Dia merasa malu dan tertampar.
“Tentang kenapa kita mesti bersujud-sujud menyembah,” lanjut Ilma, “Karena itulah cara yang diajarkan Rasul. Tiap agama punya cara berbeda dalam meminta ijin masuk ke rumah Tuhannya, ada yang menekan bel atau mengetuk pintu.”
Hary terdiam. Kali ini dia mati kutu. Analogi Ilma yang kali ini cukup menghantam logikanya dengan tepat sasaran.
“Kenapa Tuhan mengharuskan kita menyembahnya?” tanya Hary, beberapa saat setelahnya. Dia nampak masih belum puas bertanya.
“Nggak harus,” jawab Ilma santai. “Tuhan nggak butuh untuk kita sembah. Justru kita yang butuh menyembahnya kan? Kalau lo bilang bahwa lo masih percaya Tuhan, maka lo tahu bahwa di saat tersulit lo akan meminta bantuan Tuhan. Lo hanya nggak mau mengikuti aturan Tuhan. Padahal kalau mau minta sesuatu presiden, lo harus mengikuti aturan dan persyaratannya.”
Perasaannya seperti tertampar bolak-balik kiri-kanan atas-bawah. Hary kaku di kursinya. Logika Ilma barusan sangat mengena. Tapi dia tetap belum bisa mengerti seluruhnya. Pertanyaan-pertanyaan bergejolak di kepalanya.
“Masih banyak hal tentang agama kita yang nggak sesuai dengan logika gue,” kata Hary akhirnya. “Pasti lo berpikir gue ini buruk banget ya kak?”
“Kenapa rasa ingin tahu itu buruk?” Ilma balik bertanya. “Seorang guru akan sangat senang kalau muridnya punya rasa ingin tahu yang besar.”
“Jadi lo nggak marah kalau lain kali gue tanya-tanya lagi?”
“Kenapa harus marah?” Ilma malah balik bertanya lagi. Kali ini sambil tersenyum. “Gue akan senang menjawab kalau gue tahu. Tapi kalau jawaban gue tetap nggak masuk akal bagi lo, carilah jawaban dari guru yang lebih mengerti agama. Bacalah Al Qur’an. Pengetahuan gue tentang agama nggak sedalam itu, Har, mungkin nggak akan bisa memuaskan kehausan ilmu lo. Belajar dari orang yang bukan ahlinya akan menyebabkan kesalahpahaman. Dan lo bisa jadi makin skeptis pada Islam akhirnya. Gue nggak mau itu terjadi. Kesalahpahaman pada orang secerdas lo adalah suatu kesia-siaan. Tanyalah pada gue. Tapi belajar juga pada yang lebih pintar dari gue.”
Hary tersenyum. “Thanks kak, lo nggak memandang rendah gue hanya karena gue nggak percaya pada agama kita.”
Ilma tersenyum. “Gue nggak akan memandang rendah pada murid gue yang pintar ini, yang mau mencari alasan tentang keimanannya.”
Hary sumringah. Ilma menjulurkan lidahnya dengan gaya lucu.
“Tapi Har, satu hal yang harus lo ingat,” kata Ilma menambahkan, “Hanya karena lo nggak tahu sesuatu, bukan berarti sesuatu itu nggak ada. Hanya karena lo nggak tahu alasannya, bukan berarti nggak ada alasannya. Mungkin lo cuma belum tahu alasannya, maka cari tahulah. Atau mungkin karena otak manusia belum sanggup mencerna alasan itu? Seperti seorang ibu yang melarang anaknya yang berusia 3 tahu bermain petasan. Ada ibu yang hanya melarang tanpa memberi tahu alasannya, karena meski dijelaskan, si anak nggak akan mengerti. Saat sudah besar dan si anak lebih mengerti, beliau akan mengatakan bahwa main petasan membahayakan karena bisa meledak. Begitu juga dengan kita dan Tuhan.”

 Pada akhirnya harus diakui bahwa tidak ada hubungan guru-murid yang absolut, karena bisa jadi justru murid kitalah yang mengajari kita tentang kehidupan. Dan itulah yang dilakukan Hary. Menyadarkannya bahwa berislam tidak hanya cukup menjalankan “ritual”nya, tapi juga memahami logikanya. Meski tidak semua hal bisa dilogikakan, tapi akhirnya dia menyadari bahwa Islam adalah agama yang paling masuk akal dan logis.
Bagi Ilma, dialog absurdnya dengan sang murid, yang entah mengapa merambat dari sekedar chemical bonding menjadi bahasan akidah, telah menjadi tamparan terhadap dirinya sendiri. Dia menyesal, mengapa dia belum sedalam itu mempelajari agamanya sendiri sehingga tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan muridnya dengan memuaskan. Sejak itu Ilma bertekad memperdalam pengetahuannya tentang agamanya. Bukan karena tuntutan sebagai guru yang mengharuskannya untuk lebih tahu daripada muridnya. Tapi Hary telah mengingatkan Ilma bahwa seharusnya keinginan untuk memperdalam agamanya tidak boleh putus hanya karena dirinya sudah berislam.

Maka mencarilah!
Kau MUNGKIN akan menemukan Tuhanmu!
Tapi Tuhan PASTI menemukanmu!