Luna Lovegood inside. Noda Megumi outside.

Kamis, 29 Maret 2012

CHARLA dan CHANDRA


“Mau makan apa?”

Charla membolak-balik buku menu yang ada di hadapannya. Di hadapannya, seorang pemuda yang memakai seragam SMU seperti dirinya sedang melakukan hal yang sama.

“Mau makan apa, Chandra?!” gadis itu bertanya sekali lagi. Dengan nada kesal, ia memaksa pemuda di hadapannya segera mengambil keputusan.

Seorang gadis lain berdiri di samping meja mereka. Menunggu sambil mengetuk-ngetukkan tumit sepatunya. Suara ketukan sepatu itu membuat Charla merasa tidak nyaman.

“Ayam goreng mentega, satu. Es teh tawar, satu, Mbak,” kata Charla akhirnya.

Chandra mengalihkan matanya dari buku menu dan menatap Charla. Gadis itu membalas dengan tatapan membunuh.

“Jadi, nasi goreng seafood satu, ayam goreng mentega satu, es teh tawar dua?” gadis yang berdiri di samping meja mereka mengulang pesanan Charla.

Charla mengangguk dan tersenyum. “Makasih ya Mbak.”

Ketika si gadis berseragam kafe itu pergi, Charla melihat pemuda di hadapannya memelototinya.

“”Apa lo?!” Charla balas memelototi. “Berlama-lama milih menu, toh setiap kesini lu akhirnya makan ayam goreng mentega juga!”

“Hari ini gue pengen makan yang lain!” Chandra protes, kesal.

“Lain kali cepat putuskan!” Charla balas mengancam, sambil memelototi Chandra dan mencibirkan bibirnya.



*                 *                *





Charla memasukkan segenggam popcorn ke mulutnya. Dia melirik jam digital yang tertera di ponselnya. Jam 12.20. Lalu mengambil dua tiket XXI dari kantong celana jeansnya. Harry Potter and The Half-Blood Prince. Tertera jam 12.30 disana.

Charla menghela nafas. Ini bukan kali pertama baginya. Tapi entah kenapa dia tetap bisa merasa kesal. Pintu teater dua sudah dibuka, begitu yang didengarnya dari pengumuman lima menit yang lalu. Jadi tidak ada alasan baginya untuk tidak masuk. Dia akan masuk sekarang! Dengan atau tanpa makhluk brengsek itu.

Kau tahu pepatahnya? Saat kau sudah benar-benar tidak berharap, yang kau harapkan justru akan datang. Sepuluh detik sebelum lampu teater dua diredupkan dan film dimulai, seseorang duduk mengisi kursi kosong di sebelah kursi Charla.

“Sori, La. Gue ketiduran. Tadi malam begadang. Besok pretest Kardiovaskular ...”

Lalu lampu padam dan film dimulai. Charla tidak mau mendengar apa-apa lagi dari mulut sahabat kecilnya itu. Dia hanya diam.

Sekilas tadi sebelum lampu diredupkan, Charla sempat mengerling buku yang ada di tangan Chandra. Semacam buku kedokteran yang super tebal. Sementara di dalam tas Charla bersemayam buku Sang Alkemis Paulo Coelho.

Charla tahu, dua kutub selalu berseberangan.



*                 *                *



“Dua bulan lagi,” kata Chandra. Wajahnya berselimut senyum.

“John Hopkins? US?”

“Yeah! Cool, eh?”

Charla membalas dengan senyum yang dipaksakan. Dia ingin Chandra melihatnya merasa ikut gembira atas kegembiraan lelaki itu.

“Dan berapa tahun tepatnya lo disana?”

Chandra mengangkat bahu, masih sambil tersenyum. “Dua tahun, paling singkat. Beruntung kalau gue bisa memperpanjang beasiswanya.”

Charla sama sekali tidak merasa beruntung. Berapa lama lagi waktu yang harus dihabiskannya untuk menunggu?



*                 *                *



“Dokter Chandra Wijaya, Anda harus mengosongkan jadwal Anda untuk datang pada acara launching novel ketiga saya! Dua novel sudah terlewat saat Anda kuliah di John Hopkins. No excuse anymore!” Charla bicara dengan nada mengancam kepada ponselnya.

Ia mendengar suara tawa yang menggelegar dari seberang telponnya. Suara tawa yang tetap selalu membuatnya berdebar-debar, bahkan setelah bertahun-tahun.

I’ll be there, tante novelis! Janji!” kata suara di ponselnya.

Charla tersenyum.







Charla sudah menandatangani hampir 100 buku novel ketiganya ketika ia melirik untuk ke seratus kalinya ke arah pintu masuk toko buku di mall itu. Tapi wajah yang dicarinya tidak muncul juga.

Ponselnya bergetar. Dia menyambarnya dengan cepat. Saat itu juga dia tahu bahwa dia tidak seharusnya membaca pesan singkat itu.

Sori, gue nggak bisa dateng, Charla. Operasi. Emergency. Gue jemput lo setelah operasi selesai. Sori.

Ini bukan yang pertama kali bagi Charla. Menunggu Chandra. Tapi dia akan membuatnya menjadi yang terakhir.

No more excuse, gumam Charla sambil melempar ponselnya ke dalam tas.

Charla menerima buku ke-101, lalu memaksakan senyum kepada seorang lelaki di hadapannya yang mengulurkan buku itu.

“Makasih sudah membeli buku saya, Mas. Maaf, nama Mas siapa?”

Charla sudah siap menuliskan nama lelaki itu di bawah tanda tangan yang sudah dibubuhkannya di lembar pertama novel itu.

“Causa,” lelaki bermata cokelat itu menjawab.

Charla terpana. Tangannya terdiam, lima milimeter di atas lembaran kertas.

“Causa Major. Itu nama saya,” lelaki itu mengulangi, sambil tersenyum.

Charla balas tersenyum.

Seolah seluruh alam menjawab pertanyaannya. Selalu ada alasan bagi semua kejadian.

*                 *                *



Happy birthday, dokter Chandra Wijaya! Semoga makin sukses ya!”

Gadis itu berdiri di depan ruang praktek Chandra, membawa seloyang tiramisu kesukaan Chandra. Dengan wajah sumringah dia masuk dan menyanyikan lagu selamat ulang tahun.

Chandra merengut melihat lilin bertuliskan angka 32 di atas tiramisu itu.  Tapi toh dia tersenyum juga melihat gadis berambut ikal itu bernyanyi dengan suara sumbangnya. Orang bilang, seseorang tidak mungkin menguasai segalanya. Contohnya gadis di hadapannya: penulis best seller, tapi dijamin gagal jika ingin mencoba menjadi penyanyi.

Chandra meniup lilin itu ketika sampai di hadapannya. Lalu dia memotong kue ulang tahunnya. First cake-nya selalu untuk Charla selama bertahun-tahun, karena gadis itulah yang selalu membawakan kue ulang tahunnya.

“Oiya, di hari bahagia lo ini, gue juga punya kabar gembira,” kata Charla, sumringah, sambil memakan tiramisu pemberian Chandra.

Charla mengeluarkan selembar undangan dan memberikannya kepada Chandra.

“Undangan launching novel keempat lo?” terka Chandra, “Kali ini gue pasti datang!”

Charla tersenyum, membiarkan Chandra membuka undangan itu dan membacanya.

Orang bilang, seseorang tidak mungkin menguasai segalanya. Contohnya adalah Chandra: dia boleh saja dokter onkologi lulusan John Hopkins, tapi dia sangat buruk dalam berakting. Dia tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Wajahnya berubah seketika ketika membaca undangan itu.

“Yeah, lo harus datang! Nggak boleh nggak! Masa ke pernikahan sahabat lo sendiripun lo nggak bisa datang?! Ambil cuti sekarang juga! Bulan depan lo harus jadi saksi di pernikahan gue!” kata Charla, sumringah,tidak menyadari perubahan wajah Chandra.



*                 *                *





“Ganteng banget sih!” puji Charla sepenuh hati, melihat Chandra dengan tuksedonya berdiri di depan cermin. “Kalau nggak ingat bahwa lo adalah saksi nikah gue, gue kawinin juga lo!” canda Charla, terkekeh.

Chandra terkesiap. Kerongkongannya kering seketika. Tapi dia memaksa diri bersuara.

“Kalau gitu, kenapa lo nggak kawin sama gue aja, Charla?” kata Chandra, mencoba bicara dengan nada bergurau. Dan meski Chandra jenius di bidang kedokteran, dia idiot dalam hal berpura-pura.

Charla tertawa. “Lo terlalu lama sih.”

Chandra terdiam di depan cermin.

Charla berdiri di sisi Chandra, menghadap cermin yang sama. Menepuk bahunya, dan bicara padanya sambil menatap bayangannya dari cermin itu.

“Kalau dari Kampung Melayu mau ke Grogol, gue bisa naik bis 213,Chan. Tapi karena bisnya nggak datang-datang, mending gue naik bis TransJakarta deh. Jadi lebih berliku-liku sih, tapi gue jadi lihat lebih banyak pemandangan,” kata Charla sambil menggamit tangannya.

Chandra terpaku.

Lalu sekonyong-konyong ada suara di balik punggungnya.

“Kalau Charla nggak pernah cerita tentang kamu, saya bakal mikir bahwa kamu adalah selingkuhannya Charla.”

Seseorang masuk dari balik pintu dan mengagetkan keterpanaan Chandra. Seorang lelaki bertubuh kurus dan agak membungkuk. Wajahnya kalem dan santai.

Charla menyambut lelaki itu dengan kalem. “Trus kamu bakal membatalkan rencana pernikahan kita yang tinggal tiga minggu lagi?”

“Itu sih maunya kamu!” ledek lelaki itu.

Charla membalasnya dengan tawa.

Lelaki itu berjalan mendekati Chandra, lalu mengulurkan tangannya.

“Kamu pasti dokter Chandra Wijaya, yang sering diceritakan Charla. Sahabat terbaik Charla sejak kecil,” kata lelaki itu. “Makasih ya sudah bersedia menjadi saksi pernikahan kami.”

Chandra menjabat tangan lelaki itu. Sambil tersenyum pahit.

“Charla bahkan belum pernah cerita apa-apa tentang kamu,” kata Chandra. “Dia tiba-tiba datang membawa undangan pernikahan kalian. Kapan sih kalian ketemu?”

Lelaki itu tersenyum. Senyum yang mencapai matanya yang cokelat. Dan Chandra melihat Charla membalas senyum itu dengan tatapan yang sama lembutnya. Dia belum pernah melihat tatapan Charla yang seperti itu. Atau ... oh, mungkin saja pernah, tapi dia melewatkannya begitu saja.

“Lima bulan lalu. Di acara launching novelmu ya Charla Mandasari?” kata lelaki itu.

“Ingatan yang bagus, Causa Major!” Charla menggamit lengan lelaki itu.

Chandra merasa perlu melakukan euthanasia kepada dirinya sendiri saat itu juga.