Luna Lovegood inside. Noda Megumi outside.

Jumat, 21 April 2017

Ayahmu

Seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW, kepada siapakah kita paling harus berbakti? Rasulullah menjawab, “Ibumu, ibumu, ibumu”, dan baru menjawab “Ayahmu” untuk pertanyaan yang diajukan keempat kalinya.

Tapi ingatlah ini, Nak, ketika nanti kamu makin besar dan mulai sering kesal pada ayahmu, ingatlah cerita saya ini. Ketika nanti kamu besar dan ayah makin tegas dalam mendidikmu, dan membuatmu benci, ingatlah ini. Ketika kamu besar dan berselisih pendapat dengan ayahmu, ingatlah ini.

Ayahmu adalah orang yang paling peduli kepadamu. Ia terus-terusan menempelkan telinganya di perut saya, berusaha mendeteksi tanda-tanda kehidupan padamu. Ayahmu adalah orang pertama yang mendengar detak jantungmu dalam perut saya ketika usiamu 11 minggu.

Saking sayangnya ayahmu padamu, ia sangat sabar menghadapi saya yang muntah-muntah terus. Tanpa rasa jijik, dia menepuk-nepuk punggung saya ketika saya muntah, bahkan membersihkan sisa muntahan saya. Ia memeluk saya setiap saya menangis karena nyaris tidak tahan. Dia yang menguatkan saya selama kamu ada dalam perut saya. Dia juga yang setia mengantar-jemput saya kemana-mana, tidak membiarkan saya kelelahan selama saya membawamu dalam perut saya. Dia yang selalu membawakan tas atau barang-barang saya yang terlalu berat. Dia yang selalu menunggu dan memegang tangan saya saat saya kelelahan naik tangga. Dia yang segera mengantar saya pulang, meski ia sedang banyak pekerjaan, saat tiba-tiba saya nyaris pingsan karena tekanan darah rendah.

Tanpa pernah diminta, tak jarang ia pulang sambil membawa es kelapa muda atau sop buah, demi menghilangkan rasa mual saya. Meski saya tidak menahannya di rumah, dia selalu lebih memilih menemani saya di rumah daripada berkumpul dengan teman-temannya, atau melakukan hobinya. Tahukah kamu, Nak, laki-laki itu bisa dinilai dari hal-hal yang tidak wajib ia lakukan, tapi toh ia lakukan. Itulah kelebihan ayahmu.

Pada masa-masa paling lemah, ayahmu menyediakan makanan untuk saya. Ia tidak pernah memaksa saya memasak dan menyediakan makanan untuknya. Ia menyediakan biaya tambahan supaya saya bisa makan makanan bergizi untukmu tanpa perlu memasak sendiri. Ia yang membersihkan rumah dan kamar mandi. Ia dengan ikhlas mengorbankan tubuhnya hingga menjadi gendut karena menghabiskan semua makanan yang tidak bisa saya habiskan saat mual melanda.

Ayahmu adalah orang yang selalu berusaha membuat hidupmu lebih nyaman. Menjelang kelahiranmu, ia bekerja makin keras supaya bisa membiayai biaya kelahiranmu, pakaian dan perlengkapan untukmu, buku-buku untuk pendidikanmu. Dia sudah memikirkan rencana investasi untuk menjamin pendidikanmu.


Maka ingat-ingatlah ini, Nak. Sekesal apapun kamu pada sikap kerasnya kelak, ingatlah bahwa semua itu dilakukannya karena ia menyayangimu. Ia sudah mencintaimu sejak sebelum kamu dilahirkan, dan selamanya. Ingatlah itu.

Makan apa?

Makan apa, makan apa, makan apa sekarang?
Sekarang makan apa, makan apa sekarang?

Saya tidak tahu apakah saat kamu mulai belajar bernyanyi nanti, lagu ini masih digunakan dalam permainan-permainan anak-anak. Anak-anak di masa ini kebanyakan justru lebih hapal lagu remaja dan orang dewasa dibanding lagu anak-anak. Semoga nanti saya tidak lupa mengajarkan lagu anak-anak semacam ini kepadamu.

Akhir-akhir ini saya sering menyanyikan lagu ini di hadapan ayahmu. Haha. Sejak kamu berusia 6 minggu dalam rahim saya, saya tidak pernah memasak lagi untuk ayahmu karena setiap berdiri terlalu lama untuk memasak, saya pusing. Jika mencium aroma bumbu yang terlalu kuat, saya mual. Sampai saat ini, kamu berusia 13 minggu di rahim saya, kami selalu membeli makan di warteg, warung makan, atau restoran. Beruntung ayahmu tidak pernah protes tentang ketidakmampuan saya memasak sejak kamu hadir, pun tidak protes karena kenaikan uang belanja akibat jajan melulu.

Tapi masalah tidak selesai sampai di situ, Sayang. Meski kita tinggal di Indonesia dimana warung-warung makan dan restoran dengan berbagai menu bertebaran di sekitar kita, saya tetap selalu bingung tiap waktu makan tiba. Meski Alhamdulillah rejeki ayahmu cukup untuk membeli makanan-makanan itu, tapi saya selalu galau tiap akan makan. Saya selalu bertanya kepada ayahmu “Makan apa kita sekarang?” Dan ayahmu selalu menjawab dengan sabar “Kamu mau makan apa? Nanti aku ikut aja.”

Nak, orang bilang, jaman sekarang ini, sungguh susah orang yang tak punya uang. Tapi Nak, kadang punya uangpun, kita masih bisa kesusahan.

Selama 7 minggu ini tiada hari yang saya lalui tanpa rasa mual. Terhitung sudah 7 kali saya muntah-muntah. Berat badan saya turun 3 kg. Dulu saya bisa mengalahkan ayahmu dalam lomba makan, sekarang saya perlu waktu 1 jam untuk menghabiskan makan siang yang porsinya hanya seperempatnya porsi normal. Sulit sekali menemukan makanan yang sesuai dengan selera. Seluruh warung makan dan restoran di sekitar Depok sudah dijelajahi, tapi saya tidak juga menemukan makanan yang menggugah selera. Saya makan hanya karena mengingat bahwa kamu butuh makan, bukan karena saya ingin.

Pernah suatu ketika saya hampir tidak tahan dan menangis. Saya tahu bahwa saya perlu dan butuh makan, tapi saya tidak berdaya menelan makanan-makanan itu. Baru kali ini saya tahu bahwa saya melakukan kesalahan tapi saya tidak berdaya memperbaiki kesalahan itu.

Tapi, Nak, eyang uti dan nenek menceritakan pengalamannya saat mengandung saya dan ayahmu. Keduanya mengalami kesulitan yang lebih berat, dan mereka bertahan. Seorang tantemu sudah dirawat di rumah sakit dan perlu diberi nutrisi lewat infus ketika kehamilannya baru saja 6 pekan. Seorang teman saya perlu bedrest selama 7 bulan, beberapa kali dirawat dan di-infus, sepanjang kehamilannya. Mendengar itu semua, saya merasa tertampar, betapa lemahnya saya karena mengeluh hanya karena hal-hal yang saya alami. Bagaimanapun, perjuangan saya belum seberat perjuangan mereka.

Pengalaman ini memberi hikmah tersendiri untuk saya. Bahwa kita tidak bisa terlalu mudah menilai kelemahan/ kekuatan seseorang sebelum kita tahu seberapa berat perjuangan yang telah dilaluinya. Lagi-lagi saya diingatkan untuk tidak mudah menghakimi. Masing-masing orang memiliki perjuangannya sendiri-sendiri.


Jadi, malam ini kita makan apa, Nak?

Kamis, 20 April 2017

Mengapa Sekarang?

Mengapa sekarang?
Mengapa tidak sejak dulu?
Mengapa tidak nanti?

Pertanyaan-pertanyaan seperti inilah yang ditanyakan manusia. Termasuk saya. Tapi sekarang saya sudah berhenti bertanya lagi. Saya merasa tidak berhak lagi bertanya seperti itu kepada Tuhan. Karena Ia Maha Tahu, dan saya tidak tahu apa-apa.

Mengapa saya tidak bertemu ayahmu sejak dulu?
Sampai sekarang saya tidak tahu mengapa. Tapi mungkin karena dulu kami belum cukup baik bagi satu sama lain. Tuhan mungkin menunggu sampai saya menjadi orang yang baik baginya, dan dia bagi saya.

Mengapa kamu tidak datang kepada saya sejak dulu, padahal saya sudah begitu merindukanmu sejak lama?
Mungkin jawabannya sama. Mungkin dulu saya belum menjadi perempuan yang cukup baik, cukup kuat dan dapat dipercaya untuk menjagamu. Mungkin karena dulu saya belum terbukti bisa menyelesaikan tanggung jawab saya kepada Tuhan. Mungkin Tuhan ingin saya menunjukkan lebih dahulu, bahwa saya akan mampu, barulah Ia mempercayakan kamu pada saya.

Mungkin karena Tuhan ingin mengajarkan kepada saya arti menunggu. Supaya saya tidak dengan mudah meremehkan perjuangan perempuan-perempuan lain. Tuhan membiarkan saya merasakan penantian, supaya saya dapat menjaga perasaan perempuan-perempuan lain yang juga sedang menantikan, dengan tidak memulai percakapan basa-basi dengan pertanyaan yang menyakitkan.

Mengapa kamu tidak datang nanti setelah kehidupan saya dan ayahmu mapan?
Mungkin karena Tuhan ingin kamu merasakan perjuangan sejak awal: perjuangan kami menyelesaikan studi S3, perjuangan kami selama kuliah sambil mengajar, perjuangan kami mengumpulkan uang sedikit-sedikit untuk mengisi rumah kita. Dengan merasakan perjuangan ini bersama kami, Tuhan mungkin ingin melatih saya dan ayahmu menjadi orangtua yang lebih kuat, dan melatihmu untuk menjadi muslim yang kuat.

Mengapa kamu tidak datang nanti?

Pasti karena Tuhan tahu bahwa saya dan ayahmu sudah sangat merindukanmu. Ia berbelas kasih kepada kami, tidak tega mendengar doa yang tiap hari kami panjatkan supaya bisa bertemu denganmu.

Selasa, 18 April 2017

Happy Secret

Kata orang, salah satu parameter cinta kita terhadap sesuatu/ seseorang adalah rasa bangga kita terhadap sesuatu/ seseorang itu.

Lalu kemudian mungkin kamu bertanya-tanya, mengapa saya tidak segera mengabarkan berita baik tentangmu kepada orang-orang? Mungkin kamu bertanya-tanya, apa saya benar-benar mencintai kamu, padahal saya tidak terlihat bangga dan bahagia atas kehadiranmu?

Jangan buru-buru menduga dan menarik kesimpulan dulu, Sayang. Sesungguhnya di masa-masa ini begitu banyak orang yang sesat pikir dan mudah diprovokasi hanya karena terlalu cepat menduga dan menarik kesimpulan sebelum melihat dari banyak sisi. Kelak di masamu dewasa nanti, mungkin makin banyak fitnah yang terdengar seperti fakta, yang akan menyesatkanmu hanya karena kamu tidak mau duduk dan melihat lebih dalam dan teliti.

Maka, Sayang, saya tidak segera mengabarkan berita bahagia tentang kehadiranmu kepada orang-orang bukan karena saya tidak bangga padamu. Bukan pula karena saya tidak mencintai kamu. Bagaimana mungkin saya tidak mencintaimu jika bahkan jauh sebelum kamu hadir, saya sudah menunggu-nunggu kamu? Tapi supaya kamu mengerti, biar saya ceritakan lagi. Kelak saat kamu dewasa, dan telah melewati banyak hal, kamu akan memahami alasan saya.

Saya adalah perempuan yang besar bukan dari keluarga yang berkelimpahan harta. Pun tidak mewarisi separuh kecerdasan Ibu saya. Saya sedikit lebih pintar dari kebanyakan anak sebaya, tapi bukan anak yang jenius. Juga tidak memiliki keahlian tertentu. Meski tidak sekeras usaha banyak anak yang harus mencari uang untuk sekolah, atau banyak anak yang harus begadang atau les sana-sini untuk berprestasi, tapi saya bukanlah perempuan yang biasa mendapatkan segalanya dengan mudah. Jika saya ingin makan jajanan kesukaan, saya harus menabung supaya bisa memakannya sebulan sekali. Jika saya ingin membaca buku cerita kesukaan, saya harus mengantri untuk meminjam pada teman. Jika ingin menjadi juara kelas, saya harus belajar tekun tiap hari. Jika ingin lulus cum laude, saya harus berusaha dengan tekun. Jika ingin bekerja di tempat yang saya inginkan, terlebih dahulu saya harus pergi jauh merantau belajar di negeri asing. Jika menyukai seseorang, saya harus menahan diri supaya tidak patah hati. Banyak hal yang harus saya perjuangkan dalam hidup. Dan tidak semua perjuangan itu berhasil. Ada kalanya saya gagal. Di banyak kesempatan, saya tidak bisa mencapai target. Juga bukan hanya sekali saya bertepuk sebelah tangan.

Apa yang kau harapkan dari seorang perempuan yang tidak melulu berhasil dalam hidupnya? Saya tidak bisa dengan berani mengumbar rencana-rencana saya, khawatir kalau rencana tersebut tidak berhasil. Saya tidak bisa dengan mudah mengungkapkan perasaan saya, karena takut ditolak. Saya tidak bisa dengan mudah menyampaikan berita bahagia terlalu dini, khawatir pada akhirnya tidak sesuai ekspektasi. 

Apa sekarang kamu sudah mengerti alasan mengapa saya tidak mengabarkan berita bahagia tentang kehadiranmu kepada orang-orang?

kamu akan tahu bahwa saat catatan ini ditulis, angka kejadian keguguran pada trimester awal mencapai 10 -15% dari total kehamilan (semoga di dunia yang kau tinggali kelak, status kesehatan ibu hamil meningkat sehingga prevalensi keguguran makin menurun). Biar kuceritakan juga bahwa sebelum kamu hadir di rahim saya, seseorang pernah berada disana, tapi saya kehilangannya ketika ia belum lagi sebesar kamu saat ini. Juga bukan berarti tidak ada risiko keguguran pada bulan-bulan berikutnya setelah trimester awal.
Maka setelah mengetahui kisah hidup saya terdahulu, saya harap kamu memahami bahwa saya tidak segera mengabarkan kehadiranmu karena saya terlalu takut kehilanganmu sebelum saya benar-benar bisa memelukmu. Bukan karena saya tidak bahagia atas kehadiranmu, karena tidak bangga padamu, atau tidak mencintaimu. Tapi semata-mata karena saya takut terlalu kecewa.

Di bulan-bulan awal, saya hanya mengabari eyang uti, eyang kakung, kakek, nenek dan tantemu. Kemudian, ketika saya perlu bertanya tentang dokter kandungan yang bagus, saya mulai bertanya pada beberapa teman yang jumlahnya terbatas. Setelah dokter mengonfirmasi kehadiranmu, saya baru mengabarkan beberapa sahabat dekat di Groningen dulu (tepatnya hanya keluarga om Adhyat, pakde Didik dan om Fean). Setelah kamu makin besar dan proses penulisan tesis saya sedikit tersendat, saya terpaksa mengaku pada supervisor saya di Groningen bahwa kamu sudah hadir. Setelah lewat trimester awal, barulah saya berani mengonfirmasi kehadiranmu kepada orang-orang yang bertanya. Pun, saya tetap belum berani mengabarkannya kepada semua orang, saya hanya menjawab pertayaan yang diajukan kepada saya tentang kamu.

Alasan kedua kenapa saya tidak segera mengumumkan kehadiranmu di media sosial, tidak seperti ketika saya dulu sering posting status-status galau di facebook, karena saya berusaha menjaga perasaan perempuan lain.

Sekian lama saya menjomblo ketika saya sudah sangat ingin memilikimu. Pun setelah saya bertemu ayahmu dan menikah dengannya, kami melalui beberapa bulan penantian akan dirimu. Di masa-masa penantian itu, tiap kali seorang teman memasang foto/ video anaknya, saya merasa ada semut di jantung saya. Bukannya dengki dengan kebahagiaan mereka, tapi foto-foto anak-anak itu membuat saya makin merindukan kamu, membuat saya sedih tiap kali saya datang bulan. Maka kali ini, saya memutuskan untuk tidak menyebarluaskan kabar bahagia ini terlalu dini. Sebisa mungkin saya ingin menjaga perasaan perempuan-perempuan lain yang sedang merasakan apa yang pernah saya rasakan dulu.

Alasan terakhir, saya ingin menunggu kamu datang ke pelukan saya dengan tangisan sehat, seluruh tubuh yang bergerak dan bekerja sempurna, mata yang mengerjap lucu … sebelum saya dengan bangga mengumumkan kepada dunia bahwa saya adalah perempuan paling bahagia di dunia karena telah dipercaya Tuhan untuk menjagamu.

Namun demikian, sebagai pengingat kita berdua tentang kehadiranmu, maka saya akan menyimpan cerita ini di blog saya. Kelak, ketika kau sudah bisa membaca nanti, bacalah cerita ini, dan ketahuilan betapa besar saya mencintai kamu, bahagia atas kehadiranmu, dan bangga terhadapmu … bahkan meski saya belum mengumumkannya kepada dunia.