Luna Lovegood inside. Noda Megumi outside.

Sabtu, 23 Juni 2012

ANFA dan ARYA


Some people were born with a heart of genuine snowman

You may hug them under your thick coat

Build them big furnace

But still their ‘core’ left intact unmelted.

(poem by: Ambar Mirantini)



Arya Gilang mungkin memang terlahir demikian. Matahari boleh saja bersinar selama 18 jam seperti matahari di langit utara saat bulan Juli, tapi Arya Gilang tidak akan mencair. Angin topan berhembuspun, si manusia salju tidak akan tergoyahkan. Badai boleh saja memporak-porandakan apapun dan lelaki itu tetap bergeming.

Orang – orang berteriak sekian ratus decibel saat menaiki roller coaster, tapi wajah Arya tanpa ekspresi. Yang lain mungkin heboh ketika air membasahi pakaian mereka saat naik arung jeram, Arya hanya akan merasa basah. Orang lain berteriak heboh di wahana simulation theater Dufan, Arya tidur. Saat teman-temannya berteriak sambil mengangkat tangan dengan gembira di wahana kora-kora, si manusia salju turun sambil muntah-muntah. Tugas sekolah boleh bertumpuk, wajah Arya akan tetap datar. Jalanan boleh macet, Arya hanya menghela nafas. Hanya saat banjir melanda, barulah Arya kelabakan untuk menyelamatkan semua buku-bukunya.

Dan Anfa Gianina membenci dirinya sendiri karena bisa terpesona pada lelaki sedingin itu.







Sejak pertama kali melihat Arya sebagai murid baru di sekolahnya, Anfa sudah memperhatikan pemuda itu. Cowok setinggi 165 cm itu adalah murid baru dengan nilai tertinggi di angkatannya. Usianya baru 13 tahun ketika masuk SMA, dan anak itu langsung masuk kelas akselerasi. Dia hanya akan menghabiskan waktu dua tahun di sekolah itu. Dan itu artinya anak itu akan lulus di tahun yang sama dengan Anfa.

Anfa mengagumi kecerdasannya, tapi tidak pernah benar-benar tertarik pada anak itu. Postur tubuhnya yang kurus-kecil seperti anak SMP dan sifatnya yang dingin, membuat Anfa tidak tertarik untuk mengenal Arya lebih dekat.

Perasaan lain kepada Arya baru muncul di hati Anfa ketika dia melihat manusia salju itu mencair. Anfa tidak pernah melihat Arya menunjukkan ekspresi sebelumnya kecuali saat mereka menyaksikan bersama dari televisi di kantin sekolah tentang korban tsunami di Aceh. Arya meneteskan air matanya saat melihat para korban. Dan Anfa merasa ada gempa di hatinya ketika melihat air mata itu.

Sejak saat itu, Anfa Gianina jatuh cinta pada Arya Gilang.









Dengan cepat cowok berusia 13 tahun itu berubah hanya dalam beberapa bulan saja sejak pertama kali Anfa mulai jatuh hati padanya. Tubuhnya tidak lagi kurus-kecil seperti anak SMP. Sekarang dia sudah bertambah tinggi hingga mencapai 175 cm dalam waktu tiga bulan saja. Punggungnya tegap dan bahunya lebar. Mulai tumbuh rambut halus di sekitar dagunya, yang membuat dagu Arya selalu tampak kelabu. Dan ini makin membuat Anfa meleleh setiap kali melihat cowok itu.

Tapi ada hal-hal yang memang tidak berubah. Atau tidak akan pernah berubah. Sikap dingin Arya tidak juga menjadi hangat. Si manusia salju belum juga mencair







Rasanya Anfa sudah mencoba segala cara untuk mencairkan hati Arya. Tapi jangankan hatinya, mencairkan suasana dengan Arya saja Anfa tidak sanggup. Usahanya yang terakhir malah nyaris membuat Anfa tidak sanggup lagi memandang wajah Arya.

Sendirian aja, Ya?” Anfa membuka percakapan dengan gugup.

Nggak kok,” jawab Arya. Matanya masih terus fokus pada buku yang dibacanya.

Sama siapa?” Anfa celingak-celinguk mencari orang lain di sekitar mereka, khawatir tertangkap basah sedang melancarkan aksi PDKT.

Arya mengangkat wajahnya dari bukunya lalu menatap Anfa. Yang ditatap jadi salah tingkah. Mata dibalik kacamata itu benar-benar bisa menyihir. Arya kemudian menunjuk dirinya sendiri, lalu menunjuk Anfa.

Kita berdua kan? Jadi gue nggak sendiri,” kata Anfa, cool.

CRAP!

Anfa mencoba tenang. Sambil nyengir, Anfa berusaha agar tidak mati gaya. Sial, tadi dia memilih cara berbasa-basi yang sangat basi.

Cuacanya cerah ya?” Anfa mencoba cara lain. Ini adalah standar percakapan pembuka yang dipelajarinya dari sinetron-sinetron Indonesia. Dan biasanya cara ini selalu berhasil membuka obrolan ...

Masa sih? Mendung banget tuh. Bakal hujan gede ini mah,” jawab Arya sambil menengok ke langit.

CRAP! CRAP!

... kecuali kalau cuaca sedang sangat tidak mendukung.

Pelajaran moral nomer 33: mata harus lebih tangkas dari otak, dan otak harus lebih cepat daripada mulut. Kalau nggak pakai mata dan lupa menggunakan otak sebelum bicara, ya begitu itu kejadiannya. Selamat menikmati!

Pelajaran moral nomer 34: jangan percaya sinetron-sinetron Indonesia! Musyrik namanya. Percayalah hanya kepada Tuhan. Dan untuk referensi adegan romantis, lebih disarankan menonton drama Jepang dan Korea.

Mengumpulkan sisa-sisa serpihan rasa malunya, Anfa masih belum mau menyerah. Dia mencoba cara terakhir.

Lu rajin banget sih Ya, belajar terus. Pantesan lo pinter banget,” Anfa mencoba mengambil hati Arya.

Arya menutup bukunya. Menatap Anfa dengan dahi berkerut. Itu jenis tatapan yang bisa membuat gadis manapun meleleh.

Lupa pake kacamata ya?” tanya Arya kemudian.

Anfa gantian mengernyit, tidak tahu apa maksud pertanyaan Arya.

Gue nggak pakai kacamata,” jawab Anfa dengan wajah bingung.

Mungkin mulai sekarang, lu butuh kacamata,” kata Arya sambil sambil bangkit dari duduknya.

Sebelum meninggalkan Anfa, Arya mengangkat buku yang sejak tadi dibacanya, tepat di depan muka Anfa. Ini bukan buku kimia,” katanya Arya dengan suara datar. Ini komik, kak.”

CRAP! CRAP! CRAP!

Anfa sudah tidak punya lagi serpihan rasa malu untuk dikumpulkan. Memangnya dia masih bisa lebih malu daripada itu? Rayuan gagal! Ditambah lagi Arya  memanggilnya kak” dengan wajah datar dan bosan. Dengan tepat membentangkan jurang yang teramat lebar diantara mereka. Anfa langsung ingin terjun bebas ke jurang itu. Berharap kemudian jurang itu akan menutup dan bumi menelannya bulat-bulat.

Tiga kali usaha! Tiga kali gagal total! Tiga kali malu! Anfa merasa tidak akan sanggup lagi memandang wajah Arya.



*                    *                     *







Semua orang mengatakan bahwa Arya adalah manusia berdarah dingin. Tapi Arya sendiri tidak mengerti mengapa semua orang berpikir begitu. Arya menganggap dirinya masih punya perasaan dan tidak sedingin yang orang pikir. Dia hanya tidak terbiasa mengekspresikan apa yang dirasakannya. Dia terbiasa menyimpan segalanya untuk dirinya sendiri.

Arya tumbuh di keluarga yang tenang dan damai. Terlalu tenang dan damai, malah. Arya sendiri sering bertanya-tanya, bagaimana dulu kedua orang tuanya bisa menikah karena ayah dan ibunya adalah dua makhluk sangat pendiam sehingga terciptalah Arya sebagai perpaduan absolut pembawa gen dominan keheningan. Jika ditanya tentang proses pacaran mereka, ibu Arya hanya akan tersenyum malu-malu, sementara ayah Arya hanya akan menjawab “Cinta tidak perlu dikatakan, tapi dibuktikan” dengan tampang datarnya yang memerah. Sejak itu Arya malas menanyakan sejarah pertemuan dua orang yang bisa saling memahami tanpa menggerakkan bibir itu.

Berdasarkan teori itulah karakter Arya terbentuk. Dia pikir orang lain juga bisa memahaminya meski dia tidak banyak bicara. Namun demikian Arya memandang dirinya terlalu rendah, karena ternyata kemampuan-diam Arya di atas manusia normal. Dia bahkan mampu tidak bereaksi pada hal semengejutkan apapun. Hal itulah yang menyebabkan teman-teman Arya menjulukinya manusia salju.

Tidak ada yang tahan berlam-lama di sisi manusia salju karena mereka akan langsung merasakan kebekuan yang menguar dari Arya.

Hanya ada satu orang yang mampu bertahan menghadapi kebekuan Arya Gilang: Anfa Gianina.









Some people was born as sunflower.

And when she smiles, spring comes,

All sad disappear.



Beberapa orang rupanya memang terlahir sebagai penggembira. Anfa Gianina adalah salah satu contohnya. Gadis itu ibarat bunga matahari. Warna kuningnya membuat orang yang melihatnya menjadi bersemangat. Dia punya senyum yang menular. Dan kalau matahari sedang tertutup mendung, melihat bunga matahari bisa mengganti keceriaannya. Itulah Anfa.

Dan Anfa percaya, meski dia bukan matahari yang bisa mencairkan si manusia salju, tapi suatu hari musim dingin akan berakhir dan salju pasti akan mencair. Dan ketika musim  semi akan datang, Anfa sudah berada di sana, siap untuk mewarnai musim semi dengan kelopaknya.







Seperti bunga matahari yang selalu mengarah pada matahari.

Seperti juga aku. Padamu.



Meski Arya tidak mengetahui perasaannya, tapi Anfa tetap berusaha agar bisa selalu di dekat Arya. Segala cara dilakukannya agar bisa tetap bersama Arya, apapun caranya, meski harus menerobos rintangan sesulit apapun.

Ketika mengetahui bahwa Arya diterima di Fakultas Kedokteran UI melalui jalur PPKB, Anfa tidak mau kalah. Anfa bertekad untuk lulus SPMB FK UI bisa kuliah di tempat yang sama dengan Arya. Dia tahu bahwa kuliah kedokteran tidak akan mudah, karena meliputi serangkaian pelajaran hafalan yang tidak pernah bisa dikuasai Anfa. Tapi dia tidak akan menyerah. Anfa sudah sengaja memilih jurusan IPA saat di SMU untuk menghindari segala tetek-bengek pelajaran hafalan seperti sejarah atau geografi. Tapi nampaknya dia tidak bisa menghindar lebih lama dari pelajaran hafalan jika dia ingin menjadi seorang dokter.

Bahkan menjelang SPMB, untuk terakhir kalinya, adik Anfa menanyakan kembali keputusan kakaknya yang berkeras memilih FKUI.

“Kak, lu yakin tetep mau pilih FK? Lu kan bego kalau suruh menghafal. Dan nyaris semua mata kuliahnya nanti hafalan lho kak. Lu lebih pantes masuk Teknik deh.”

Anfa langsung menyikut pinggang Andi, adik lelakinya, dengan keras karena telah mengejeknya bodoh. Well, Anfa memang tidak benar-benar yakin bahwa dia kuat menghadapi segala mata kuliah hafalan sejenis Biologi nantinya, tapi dia cukup yakin bahwa dirinya bisa masuk FKUI dengan nilai-nilai Matematika, Kimia dan Fisikanya yang mumpuni.







Segera setelah berhasil menjadi mahasiswa baru FKUI, bahkan sebelum masa OSPEKnya benar-benar berakhir, Anfa sudah mulai merasa frustasi.

Belakangan Anfa jadi menyesali pilihannya sendiri. Berada di kampus yang sama dengan Arya tidak lantas membuatnya bisa selalu bersama Arya. Dia hanya bisa bertemu Arya di kelas dan laboratorium. Berharap bisa bertemu Arya di luar kelas, sama sulitnya seperti menghapal mekanisme obat-obat beta-blocker. Bahkan probabilitas Anfa untuk bisa mendekati Arya nyaris sama mustahilnya seperti probabilitasnya untuk tidak pingsan saat harus membedah kadaver. Setiap kali bertemu di kampus, Arya hanya akan meliriknya dengan tatapan datarnya (seperti selalu) yang akan dibalas Anfa dengan senyumnya. Hanya itu.

Dan Anfapun makin terpuruk bukan hanya karena dia tidak bisa selalu bersama Arya, tapi juga karena tugas-tugas kuliahnya yang banyak dan membuat frustasi. Belum pernah Anfa merasa begitu merana dalam belajar sebelum dia masuk FKUI. Ternyata hampir semua mata kuliahnya memerlukan kemampuan menghapal tingkat tinggi. Nilai-nilai semester pertama Anfa tidak seperti yang diharapkannya. Dia terbiasa berada di peringkat atas selama 12 tahun sekolah, sehingga ketika dia tidak lagi menjadi mahasiswa top di kelasnya, Anfa langsung merasa gagal. Apalagi ditambah fakta bahwa nilai yang diperolehnya itu juga berkat bantuan Azka, teman sekelasnya, yang selalu membantunya belajar dan menghafal selama masa-masa ujian. Jadi bisa dibilang, Anfa tidak sepintar itu di bidang kedokteran. Dan Anfa tidak menyukai kenyataan itu.







Mengingat ritme kuliah, praktikum dan OSPEK yang padat di fakultas kedokteran yang membuat masing-masing mahasiswa sibuk sendiri, Anfa awalnya tidak benar-benar berharap ada yang bisa membantunya melalui semua itu. Tapi beruntung di dalam semesta dunia Anfa, Tuhan mengirimkan peri penolong untuknya.

Hari itu adalah hari pertamanya ujian tengah semester. Mata kuliah farmakologi dasar. Semalaman Anfa telah berjuang keras untuk menghapal, tapi hanya lima puluh persen dari bahan ujian yang bisa dihapalnya. Ketika dia datang jam 8 pagi keesokan harinya, dia melihat teman-temannya sudah membentuk barisan-berani-mati di sepanjang koridor menuju ruang ujian, padahal ujian baru dimulai jam 9 pagi. Masing-masing sibuk dengan hapalannya sendiri, membuat Anfa makin panik dengan kualitas dan kuantitas hapalannya.

Anfa menyusuri koridor dan menemukan satu petak lantai kosong di samping teman sekelasnya. Dia menyapa “Hai Azka,” sekilas. Setelah melihat senyum pemuda itu sebagai jawaban atas sapaannya, Anfa duduk di sampingnya.

Udah hapal, Ka? tanya Anfa basa-basi.

“Nggak juga. Ini masih ngapalin kok. Lo udah hapal, Fa?

Anfa menggeleng sambil nyengir miris. Pemuda itu membalas dengan senyuman simpatik. Membuat Anfa sedikit merasa lega bahwa dia bukan satu-satunya orang yang belum berhasil menghapal. Tapi setelah lewat lima menit duduk di samping Azka, dan mendengar Azka bergumam menghapal, Anfa malah makin panik. Ternyata jawaban “nggak juga” versi Azka berarti bahwa dia “baru-hapal-sembilan-puluh-persen”. Cowok itu menggumamkan hafalannya dengan lancar, tanpa tersendat err-err, dan tepat seperti yang tertulis di buku.

Benar-benar membuat Anfa takjub dan jiper. Tapi kemudian Anfa memiliki akal untuk memanfaatkan kepintaran temannya itu.

Ka, suara lo pas ngapalin bisa diperbesar nggak? Gue pengen nguping dong,” kata Anfa, dengan cengiran merayu.

“Hah?”







Anfa adalah seorang audio-learner. Dia akan lebih mudah mengingat dan mempelajari sesuatu yang didengarnya. Maka ketika ia bertemu dengan Azka yang selalu menghapal pelajaran dengan cara berbicara, Anfa langsung merasa klop. Sejak saat itu Anfa memutuskan untuk selalu mengekor Azka setiap kali menjelang ujian.

Selain suka melafalkan pelajaran yang dihapalnya, Azka juga menjelaskan kepada Anfa sambil mencoret-coret sesuatu di buku catatannya.

“Gue tuh visual-learner. Makanya gue menghapal sambil menggambar. Nanti pas ujian, gue bisa ingat dengan apa yang gue hapal hanya dengan mengingat gambar yang tadi gue coret-coret itu,” kata Azka saat Anfa menanyakan mengapa cowok itu bergumam sambil menggambar sketsa kebun kampus. Dan sketsa yang dibuat Azka sungguh bagus menurut Anfa.

Belakangan, Anfa baru menyadari bahwa dia juga jadi lebih mudah mengingat hapalan materi kuliahnya saat berada di ruang ujian ketika dia teringat sketsa yang dilukis oleh Azka. Ketika menjawab soal ujian tentang mekanisme kerja sitokrom P450, Anfa teringat pada gambar Dewi si kucing yang digambar oleh Azka saat menggumamkan hapalannya. Karena itulah dia bisa menjawab pertanyaan itu.







Memasuki semester kedua, Anfa mulai merasa benci pada dirinya sendiri. Dia adalah mahasiswa kedokteran, tapi tidak ada satupun mata kuliah fisiologi dan patologi yang dikuasainya. Sejak dulu dia sudah tahu bahwa dirinya tidak pandai menghapal. Menghapal adalah kelemahannya. Sementara menghitung justru adalah kelebihannya.

“Lo salah masuk jurusan deh kayaknya, Fa,” kata Azka suatu ketika, saat mereka sedang menghapal bab kardiovaskular bersama. Anfa rasanya ingin melompat saja ke dalam sumur daripada harus menghapal segala tetek-bengek ini.

Tanpa diberitahu, Anfa sudah tahu diri. Dia memang tidak seharusnya menjadi mahasiswa kedokteran. Dia tidak bisa mengahapal dengan baik semua ilmu-ilmu menakjubkan yang diajarkan disana.

“Lo bahkan mengajar les privat untuk pelajaran fisika, bukannya biologi,” lanjut Azka.

Anfa memonyongkan bibirnya.

“Lu lebih cocok masuk fakultas teknik, Fa!”

Itu juga yang dibilang si Andi, Anfa teringat kata-kata adiknya setahun lalu.

“Kok lo milih masuk Kedokteran sih Fa?” tanya Azka kemudian. “Bukan gara-gara niat mulia untuk menyelamatkan umat manusia kan?” Azka menyindir sambil tertawa, menertawakan gurauannya sendiri.

Anfa makin tersindir. Dan saat tersindir, bibirnya akan makin manyun.

“Pasti gara-gara cowok deh. Lu nekat masuk FK demi Arya ya?”

Anjrit! “Kok lo tahu?!” Anfa kelepasan bicara.

Dahi Arya berkerut. “Jadi benar, lu jatuh cinta sama Arya?”

“Jangan ngetawain gue deh, Ka!” Anfa mengancam dengan wajah merah. Dia sudah bersiap menghajar Azka kalau cowok itu menertawakannya. Tapi ternyata cowok itu sama sekali tidak tampak seperti akan tertawa. “Sekarang gue udah nggak naksir lagi, kali.”

“Yang bener?”

“Farmakologi udah bener-bener mengalihkan dunia gue deh, Ka. Arya serta merta lewat dari pikiran gue sejak makhluk bernama farmakologi ini mengusik pikiran gue,” jawab Anfa dengan gaya lebaynya yang normal.

“Kalau gitu, lu pindah aja deh ke Teknik deh Fa.”

“Yeee, ni anak malah ngusir gue. Lo udah nggak betah ngajarin gue ya Ka? Lo sebel banget ya belajar bareng gue? Gue ngganggu banget ya?”

“Eh, jangan sensi gitu dong Neng. Santai!” potong Azka buru-buru. “Bukannya gue nggak mau lagi ngajarin lo. Tapi lo bakal jadi cum lauder di Teknik, Fa. Dan kalau lo terus-terusan belajar farmakologi dan anak-cucunya, dunia lo akan teralihkan semuanya. Mungkin gue juga cuma bakal lewat doang di pikiran lo.”

Anfa bengong. Azka tersenyum kikuk.

“Gue suka sama lo, Fa.”

Dunia Anfa berhenti berputar. Dan tiba-tiba dia melihat warna jingga lain selain warna matahari yang selama ini membuat matanya silau. Warnanya hangat, tapi tidak menyilaukan.









Seperti kamu yang baru tahu rasanya memiliki ketika sudah kehilangan. Kamu baru akan tahu rasanya diabaikan setelah kamu dicintai.



Selama ini Anfa sudah berusaha menjadi bunga matahari yang paling warnanya mencolok diantara bunga-bunga lainnya, yang tumbuh lebih tinggi daripada bunga lainnya, dengan kelopak yang lebih besar daripada bunga lainnya. Dia selalu condong kepada mataharinya. Berharap sang matahari menoleh padanya.

Anfa sudah berusaha menjadi lulusan terbaik nomer dua di sekolahnya, demi bisa mengimbangi prestasi Arya sebagai lulusan terbaik dan lulusan termuda di sekolah mereka, karena lulus SMA pada usia 15 tahun. Anfa juga berusaha sekuat tenaga menguasai biologi demi bisa menjadi mahasiswa FKUI agar bisa selalu bersama Arya. Dia bahkan merelakan hobi tidurnya demi bisa menghapal biomedik dan farmakologi, demi bisa bertahan di fakultas kedokteran bersama Arya. Tapi rasanya semua usahanya itu tidak pernah cukup untuk membuat Arya bisa melihat ke arahnya. Lelaki itu tetap mengabaikannya, dan memandangnya dengan datar. Hatinya tetap dingin, tidak juga mencair, bagaimanapun Anfa mencoba menghangatkannya. Dan terlalu lama berusaha berada di sisi Arya, alih-alih berhasil membuat hati Arya mencair, Anfa justru merasa hatinya makin membeku.

Belakangan Anfa mulai menyadari, bahwa matahari memang berada terlalu tinggi, sehingga tidak mungkin menyadari keberadaan setangkai bunga matahari, meski dia sudah berusaha tumbuh menjadi yang paling tinggi. Berusaha berkeras mengikuti si matahari hanya membuat si bunga matahari merasa kesilauan sehingga tidak bisa melihat hal lain di sekitarnya. Ketika akhirnya si bunga matahari sudah merasa terlalu silau mengikuti arah matahari, dan dia memutuskan untuk mengalihkan pandangannya, dia baru sadar bahwa ada kupu-kupu yang sudah lama berkeliaran di sekitarnya.

Azkalah si kupu-kupu bersayap jingga itu. Lelaki itu punya pembawaan yang hangat dan lincah. Ibarat sayap kupu-kupu yang sewarna matahari, Azka memiliki tawa yang bisa menghangatkan hati setiap orang yang mendengarnya. Di dekat Azka, Anfa bisa merasa menjadi dirinya sendiri, si bunga matahari, tanpa merasa silau.





*                             *                              *



“Udah selesai operasinya?” tanya Anfa di telepon. Dia menambahkan garis terakhir di buku sketsanya, lalu berguling di tempat tidurnya.

“Baru aja selesai.”

“Habis ini langsung makan ya. Pasti kamu belum makan malam kan? Jadi dokter itu ternyata profesi yang rawan penyakit ya. Padahal kamu selalu ingetin aku buat jaga kesehatan.”

Terdengar suara tawa di seberang telepon.

 “Iya, Anfa sayang. Abis ini aku makan. Kamu udah makan kan?”

“Udah dong.”

“Sekarang lagi ngapain?”

Anfa melirik buku sketsanya. Dia menjawab sambil tersenyum. “Lagi bikin desain rumah kita nanti.”

Suara tawa terdengar lagi dari seberang telepon.

“Nggak salah deh aku punya calon istri seorang arsitek. Jadi nggak perlu bayar jasa arsitek lagi buat mendesain rumah.”

“Ih, dasar! Azka tuh dari dulu nggak berubah ya. Tetep aja pelit.”

Lagi-lagi suara tawa itu terdengar di telinga Anfa. Dan seperti selalu, suara tawa itu menyebarkan kehangatan. Tidak membuat silau. Hanya menghangatkan dan menentramkan.

Kadang kamu baru tahu apa itu rasanya dingin setelah kamu merasakan kehangatan. Dan kamu baru tahu rasanya diabaikan, setelah merasa dicintai.

Anfa kini menyadarinya. Sekarang dia tahu rasanya dicintai.







Banyak jalan menuju Roma. Dan terkadang kamu harus mengambil jalan memutar hanya untuk bertemu dengan teman seperjalananmu di tepi jalan itu.

Anfa merasa harus berterima kasih kepada Arya Gilang. Kalau bukan demi mencairkan hati sang manusia salju, si bunga matahari tidak akan memutar jalan untuk mencari sang matahari. Dan kalau dia tidak pernah mengambil jalan itu, andai ia tidak mengejar Arya sampai ke Fakultas Kedokteran, Anfa tidak akan bertemu dengan Azka.



*                   *                   *


Senin, 18 Juni 2012

Happy belated birthday, dear you


Aku di sini, kau kemari

Aku di sana, kau kesana

Berkeliling ke seluruh tempat, membuat orang gentar

Aku datang, kau sudah menungguku.

Aku pulang, kamu masih menungguku.

Bolak-balik ke ruanganku, membuat orang gerah



Tiap meeting rasanya suram

Tiap inspeksi rasanya seram

Tiap audit membuat geram

Tapi saat berkumpul, leluconmu bisa membuat tertawa hingga pipi keram



Delapan jam kau membuat orang kerja pontang-panting

Lalu sore hari mengajak mancing

Kau benar-benar membuat bergeming



Empat tahun kita bersama sudah

Kadang kau marah sampai membuatku resah

Tapi kali lain kau berwajah cerah

Sampai membuat wajahku merah



Kadang  kau galak,

Memburu pekerjaanku, seperti memalak.

Tapi di lain babak

Kau datang ke ruanganku sambil membawa martabak



Mengingatnya lagi sekarang, aku jadi haru

Mungkin tidak bisa lagi seperti itu, seru

Mengigat hari-hari biru

Sekarang sudah waktunya kau memulai yang baru



Tapi teman bukan hanya yang ada di tempat kerja

Keluarga juga bukan hanya yang ada di rumah.

Dimanapun kau berada ...

Tempat dimana hatimu tertinggal, itulah rumah

Orang-orang yang bersamanya hatimu berada, itulah keluarga



Jadi kapanpun kau mau kembali, disinilah rumah yang lain

Di hatiku

Inilah keluarga yang lain

Bersamaku


Sabtu, 09 Juni 2012

CERITA YANG TIDAK SELESAI


Tiara membuka tirai jendela ruang rawat VIP itu dan cahaya matahari pagi menerobos masuk ke ruangan itu. Kemudian dia membuka jendelanya, dan udara pagi yang segar perlahan berhembus masuk. Tiara membalikkan badan dan tersenyum pada seseorang yang terbaring di tempat tidur.

“Kamu datang terlalu pagi, Tiara!” sapa orang di tempat tidur itu. Namun, meski kata-kata orang itu terdengar seperti sebuah protes, dia tetap tersenyum pada Tiara.

Bapak yang bangun terlalu siang,” balas Tiara tidak mau kalah. Dia tersenyum sambil menarik sebuah kursi ke samping tempat tidur dan duduk di situ.

How’s your week?” tanya lelaki itu kemudian. How’s your job?

Hectic. Rusuh. Nggak karuan, as always. But great, jawab Tiara sambil nyengir. “And how about yours?

“Bosan, jawab lelaki itu sambil merengut.

Tiara tersenyum maklum. Sebulan terkurung di kamar ini, dengan hanya sesekali keluar, pasti membuat orang frustasi.

Saat itu seorang perawat memasuki kamar rawat tersebut dan membawakan sarapan untuk sang pasien. Setelah berpesan pada Tiara agar memastikan pasien yang bandel tersebut menghabiskan sarapannya dan meminum obatnya, perawat itu pergi sambil tersenyum dan geleng-geleng kepala.

Setelah sang perawat keluar kamar, Tiara nyengir nakal pada sang pasien.

It will break the Standard Operating Procedure, but it will be fun. Wanna try, Sir?

Sang pasien nyengir lebih nakal lagi.

Absolutely,” jawabnya dengan suka cita.

Tiara segera melancarkan strateginya untuk menyelamatkan lelaki itu dari kebosanan. Lelaki yang selalu menjadi bosnya di kantor. Lelaki yang usianya 20 tahun lebih tua darinya. Lelaki yang selalu menyayanginya seperti anak sendiri. Lelaki yang dicintainya ... bukan seperti ayahnya.

Arman Permana, namanya.





“Hari ini kamu kelihatan lain,kata Pak Arman akhirnya.

Oh ya?” Tiara malah balik bertanya.

“Lagi ada masalah?”

Nggak ada, pak,” jawab Tiara mengelak.

Masalah kantor? Atau pribadi?”

Nggak ada apa-apa, Pak.

“Saya boleh tahu? Mungkin saya bisa bantu?” Pak Arman tidak peduli pada jawaban Tiara yang mengelak itu.

Tangan Tiara berhenti mengupas apel. Lalu dia menjawab pertanyaan Pak Arman sambil tetap menunduk.

Semalam Valdi melamar saya,” jawab Tiara sambil melanjutkan kembali mengupas apel di tangannya. Kepalanya masih menunduk karena tidak berani melihat wajah Pak Arman.

Suasana hening seketika. Memang menegangkan, tapi Tiara memang tidak mengharapkan komentar apa-apa. Dia bahkan tidak tahu harus mengharapkan komentar seperti apa.

Bagus kan kalau gitu. Jadi kenapa muka kamu murung gitu?”

Kata-kata yang diucapkan Pak Arman itu membuat Tiara bagai tersengat listrik. Dia mengangkat wajahnya dan mendapati Pak Arman tersenyum padanya. Tiara memang tidak tahu ekspresi apa tepatnya yang dia harapkan dari Pak Arman, tapi jelas bukan ekspresi seperti itu.

Kamu menerima lamarannya?” tanya Pak Arman kemudian.

Apa saya harus menerimanya?”

Kelihatannya dia laki-laki baik,” lanjut pria itu.

Tiara, dengan hati tercabik, menundukkan kembali wajahnya dan mulai mengupas apel lagi.

”Kamu kelihatan cocok sama Valdi.”

Saat itu tiba-tiba jari Tiara teriris pisau. Dia mengeluh sesaat, membuat Pak Arman kaget ketika melihat jari telunjuk Tiara berdarah. Pak Arman segera menegakkan posisi duduknya untuk melihat jari Tiara. Dia menarik jari gadis itu untuk memeriksa, tapi Tiara segera menarik tangannya dari genggaman Pak Arman. Dia lalu pergi ke kamar mandi tanpa berkata apa-apa.

Tiara kembali dari kamar mandi beberapa menit kemudian, sambil menghisap telunjuknya. Matanya tampak memerah.

Tangan kamu nggak apa-apa? Minta plester sama suster sama,” kata Pak Arman, tampak mengkhawatirkan gadis itu. Dan eh, mata kamu kenapa? Kamu nangis? Apa sakit banget?”

I’ve got to go now, Sir, kata Tiara buru-buru. Dia menyembunyikan suara paraunya dengan berpura-pura terus menghisap jarinya. Dia segera menyambar tasnya, lalu pergi dengan hanya mengucap salam.

Dia melanjutkan tangisannya di salah satu koridor terpencil di RS itu. Kemudian dia pulang setelah tangisannya mereda, meski kesedihannya tidak juga reda.

Lelaki yang dicintainya menyuruhnya menikah dengan lelaki lain. Ironisnya cinta.







I love you, Tiara. I do.

Tiara terpana. Matanya bertatapan dengan mata Pak Arman. Mata itu kini tidak lagi memancarkan tatapan cerdas setajam elang yang selalu disukai dan dikagumi Tiara. Beberapa bulan yang lalu, mata itu masih bersinar-sinar penuh semangat. Tapi kini cahayanya redup oleh usia dan penyakit.

Tiara tetap memandang pria itu. Perlahan tapi pasti, mata Tiara basah, dan akhirnya setitik air mata jatuh. Tidak seperti biasanya, dia tidak lagi bersusah payah untuk menyembunyikan air matanya itu.

“Saya pikir Bapak nggak pernah memperhatikan saya...kata Tiara. Tapi kemudian suaranya tercekat. Dia tidak bisa melanjutkan kata-katanya lagi.

“Selama ini saya selalu mengamatimu. Memandangmu. Melihat ke arahmu. Kamu yang nggak pernah sadar,” balas Pak Arman.

Bapak selalu melihat ke depan, dan nggak pernah menoleh pada saya, padahal saya selalu disamping Bapak.”

Kamu selalu ada di hadapan saya, maka saya selalu melihat ke depan...”

Tiara menatap Pak Arman dengan bingung. Selama ini dia yang selalu membuntuti lelaki itu (kalau tidak mau disebut mengejar). Dia mati-matian mendapatkan simpati lelaki itu. Dia selalu berada di belakang dan memandang punggung tegap lelaki itu dengan perasaan yang terpendam. Bagaimana mungkin lelaki itu melihatnya.

Saya melihatmu sebagai masa depan saya. Maafin saya karena sudah lancang berpikir begitu.”

Kali ini Tiara sudah benar-benar tidak tahu harus berkomentar apa lagi. Semua neuron otaknya berhenti berfungsi akibat perasaan bahagia dan derita yang meluap dan tak terkontrol. Dia hanya menangis.

Kenapa Bapak ngomong begini sekarang?” tanya Tiara di tengah isak tangisnya.

Maaf, Tiara. Maafin saya. Saya selalu takut mengaku selama ini karena saya takut kamu akan membenci saya dan menganggap saya nggak tahu malu. Saya takut kamu akan menjauhi saya karena itu. Tapi sekarang saya merasa sudah nggak punya waktu lagi. Terserah anggapannmu sekarang, tapi saya harus mengatakannya.”

“Bapak pasti bercanda. Siapalah saya sampai Bapak bisa

“Kamu adalah gadis yang mengembalikan cinta dalam hidup saya,” jawab Arman cepat, “Saya pikir saya nggak akan pernah jatuh cinta lagi setelah pengkhianatan mantan tunangan saya dulu. Saya nggak menyangka saya akan jatuh cinta pada gadis kecil seperti kamu.”

Tapi saya kan ... ”

Saya tahu bahwa kamu sudah menganggap saya sebagai ayahmu. Saya juga sadar bahwa gadis seusiamu lebih pantas jadi anak saya. Jangan pikirkan kata-kata saya yang nggak pantas ini. Saya cuma ingin mengaku, membiarkan beban perasaan bertahun-tahun ini lepas. Saya cuma ingin kamu tahu, sebelum saya meninggal ... ”

How dare you, Sir!” potong Tiara kesal. Dia kesal karena bahkan di saat sakit pun Pak Arman tetap bersikap seperti sang bos, mengintimidasi dan tak membiarkannya menyelesaikan kata-katanya. Padahal Pak Arman sedang dalam kondisi kritis saat ini, tapi dia tetap berkuasa… kharismanya tak terkalahkan.

Pak Arman terpaksa menghentikan ocehannya saat mendengar Tiara membentak. Dia menarik nafas dalam karena udara makin sulit masuk ke paru-parunya, bahkan meski dia sudah memakai ventilator. Dia merasa waktunya makin dekat. Tapi dia lega karena telah berhasil mengungkapkan isi hatinya yang telah dipendamnya beberapa tahun ini kepada gadis yang dicintainya.

Meskipun begitu, dia juga merasa hina, karena tidak sepantasnya mencintai gadis semuda itu. Dan gadis itu pasti kini memandangnya dengan jijik atau marah. Tapi dia tidak terlalu peduli. Waktunya sudah dekat, jadi dia harus mengatakannya, apapun resikonya. Dia tahu bahwa dia akan patah hati lagi. Tapi ini pasti menjadi episode patah hatinya yang terakhir. Tidak akan ada lagi rasa sakit hati yang dapat menyiksanya setelah semua ini berakhir. Dan justru akan lebih menyakitkan baginya jika hingga akhir hidupnya dia tidak juga sempat mengungkapkan perasaannya yang telah terpendam selama beberapa tahun ini pada Tiara.

Kamu boleh marah sama saya, Tiara,” kata Pak Arman, dengan nafas yang mulai terengah. Dan saya nggak menyalahkan kalau kamu membenci saya sekarang. Tapi saya cuma punya waktu sekarang ... atau tidak sama sekali.

Tiara menghentikan tangisnya dan memandang Arman dengan marah.

“Saya marah sama Bapak!” kata Tiara keras. “What took you so long, Sir? Mengaku sekarang cuma untuk menambah pikiran saya aja? Apa maksudnya baru mengaku sekarang trus begitu saja meninggalkan saya? Saya sudah menunggunya sejak lama, Pak.”

Mata hitam bertemu mata kelabu. Hujan melingkupi keduanya. Cinta dan penyesalan menjelaskan tatapan mata itu. Karena cerita yang tidak pernah dimulai, harus selesai ketika mata kelabu itu tertutup.