Luna Lovegood inside. Noda Megumi outside.

Rabu, 28 November 2012

PEDULI

"Udah tidur belum?"
"Baru bangun tidur."
"Bohong! Kok berisik? Kamu dimana?"
"Di kereta."
"Kamu tidur di kereta?"
"Hehehe."
"Kenapa nggak bilang sih kalau kamu pulang semalam ini?"
"Lha,kenapa harus bilang?"
"Saya juga baru pulang dari kantor. Kalau kamu bilang pulang malam,kan bisa sekalian saya jemput."
"Nanti ngerepotin."
"Kamu tuh! Rumah kita kan searah."
"Hehe."
"Lagian ngapain sih kamu di kampus sampai malam?"
"Kan penelitian skripsi."
"Lain kali bilang saya ya kalau pulang malam lagi. Saya kuatir tau. Kamu kan perempuan."
*             *                   *

"Maaf ya, saya nggak jadi datang."
"Kenapa? Masih penelitian di lab?"
"Iya. Maaf ya."
"Jadi HPLC kamu lebih penting daripada saya?"
"Hahaha. Iya, maaf. Weekend nanti saya ke rumah kamu deh, mau ngasih kado ulang tahun."
"Nggak usah ngasih kado segala."
"Ih,gitu aja ngambek. Hahaha. Lucu deh kalo ngambek gitu."
" ... "
"Saya minta maaf banget ya. Saya bener-bener nggak bisa datang hari ini."
*                    *                        *

"Jadi ini alasan sebenarnya kemarin kamu nggak datang?"
"Hehe. Masih kelihatan jelas ya?"
"Pura-pura sibuk di lab supaya saya nggak tahu kamu lagi sakit?"
"Keseleo doang."
"Doang? Ini udah hampir seminggu dan kamu masih pincang gitu. Pasti bukan keseleo doang."
"Hahaha."
"Kenapa nggak cerita bahwa kamu lagi sakit sih?"
"Saya udah baikan kok."
"Apa kamu nggak percaya sama saya? Apa saya nggak bisa diandalkan, sampai kamu nggak mau cerita tentang sakitmu?"
"Saya ... nggak mau kamu khawatir."
*                    *                      *

"Operasi! Dan nggak bilang apapun ke saya?! Kalau bukan karena sekretarismu nggak sengaja cerita, saya mungkin nggak bakal tahu tentang operasi ini. Kenapa nggak cerita ke saya sih?"
"Ini cuma operasi usus buntu. Bukan operasi besar."
"Kamu selalu bilang nggak doyan masakan rumah sakit. At least saya bisa membawakan makanan. Atau bantu belajar jalan. Atau ... apapun. Kenapa nggak bilang ke saya?"
"Mendadak banget. Begitu masuk rumah sakit, saya langsung dioperasi."
"Ah! Banyak alasan! Abis operasi kan bisa telepon saya. Tahu nggak gimana perasaan saya pas tiba-tiba dengar berita operasi ini? Nyaris jantungan saya! Bener-bener deh ... "
"Saya baik-baik aja ... "
"Baik-baik apaan?! Belum bisa jalan, masih di tempat tidur, cuma bisa makan bubur ..."
"Hei, tenang! Saya ... "
"Saya khawatir, Mas!"
" ... "
" ... "
"Kenapa sih perempuan gampang banget nangis? Jangan nangis ... "
"Saya khawatir."
"Saya nggak mau bikin kamu khawatir, makanya saya nggak cerita."
"Apa ... saya nggak bisa dipercaya?"
" ... "
" ... "
"Begitulah saya terhadapmu?"
"Apa?"
"Setiap kali kamu kesulitan tapi nggak pernah cerita ke saya, membuat saya merasa nggak dipercaya. Sama seperti yang kamu rasakan sekarang. Saya merasa nggak berguna..."
"Saya ... cuma nggak mau terlihat seperti perempuan lemah. Saya nggak mau jadi beban. Saya ... pengen kamu selalu melihat saya yang menyenangkan."
"Saya pengen jadi orang pertama yang melihat kamu nangis dan menghapus air matamu. Saya pengen jadi orang pertama yang kamu hubungi tiap kamu butuh bantuan. Saya pengen jadi orang pertama yang kamu bikin repot. Saya pengen jadi bahu, tempatmu bersandar. Yang bisa kamu andalkan."
"Saya ... bisa sangat merepotkan, menyebalkan dan jelek."
"Saya pengen jadi satu-satunya orang yang kamu percaya memperlihatkan wajah jelekmu dan gaya nyebelin kamu itu."
"Saya ... "
"Jangan lagi berusaha membuat saya nggak mengkhawatirkanmu."
"Gimana kalau saya jadi cewek yang ngerepotin banget?"
"Sekarang saya tahu. Kamu mengabaikan saya karena terlalu peduli sama saya ya?"



Tanganku kosong, genggamlah
Pundakku kuat, rebahlah
Sampai kapan kau membeku?
Sembunyi di rasa sakitmu
 (FIERSA BESARI)

Jumat, 16 November 2012

PILIHAN


“Jangan lagi berusaha menanggungnya sendirian. Berbagilah sama saya.”

“Makasih ya, kamu selalu mau bantuin saya, meski itu bukan tanggung jawab kamu.”

“Saya bukan anak kecil lagi. Mulai sekarang, kamu bisa percaya sama saya.”

“Saya selalu percaya sama kamu. Saya tahu saya selalu bisa mengandalkan kamu.”

“Itu semua demi kamu. I love you, Kak.”

“Hah?”

“I do.”

“You’re kidding me.”

“No, I’m not!”

“Pakai kacamata, Raka!”

“Apa?”

“Pakai kacamatamu! Saya bukan Rani, Indah, Putri, Fanny, Hana, Yuri, ...”

“Saya tahu. Kamu Nida.”

“Jadi, kenapa saya?”

“Apa masalahnya?”

“Saya cuma salah satu diantara mereka kan? Saya bukan mantan-mantan kamu yang cantik-cantik itu. Kenapa harus saya? Saya bukan satu-satunya buat kamu kan?”

 

 *       *      *

 

 “Kamu sadar nggak, Nid? Cuma kamu yang selalu ada di samping saya sejak kecil.”

“Kan kita sahabatan dari SD, Bram.”

“Kamu yang ada waktu saya ketawa, nangis, bete, marah, ...”

“... dan ngorok pas tidur.”

“Er, yeah, itu. Kamu ingetnya pas bagian ngoroknya doang.”

“Hahaha.”

“Nggak ada fans-fans saya yang tahu bahwa saya suka ngorok.”

“Trus saya harus bangga menjadi satu-satunya orang yang tahu bahwa kamu suka ngorok?”

“Hahaha.”

“Kamu juga yang ada pas saya butuh teman curhat.”

“Waktu kamu nangis-nangis gara-gara putus sama Winda?”

“Kamu yang selalu ada. Dari dulu sampai sekarang. Dan saya nggak mau cuma sampai sekarang doang. Saya mau selamanya. Jangan pergi dari saya.”

“Emangnya saya pernah pergi?”

“Cuma kamu satu-satunya buat saya, Nida. Nggak ada yang lain. Cuma kamu.”

 

*       *      *

 

“Saya bukan satu-satunya buat kamu kan, Raka?”

“Emang bukan. Kamu bukan satu-satunya pilihan.”

“Dasar player. Hahaha.”

“Saya cinta sama kamu bukan karena saya nggak punya pilihan lain, Kak. Saya memilih kamu diantara banyak yang bisa saya pilih. Saya membuat kamu menjadi yang terpilih, bukan karena kamu satu-satunya pilihan yang saya punya.”

“Gimana kalau ternyata saya bukan pilihan terbaik? Gimana kalau nanti kamu menemukan yang lebih baik lagi daripada saya?”

Didn’t you listen to me, Nida? Saya milih kamu karena kamu yang terpilih, yang saya pilih. Bukan karena kamu yang terbaik.”

 

*       *      *

 

“Saya cinta sama kamu, Nida.”

“Jangan bilang cinta, Bram. Kamu cuma terbiasa bersama saya. Itu cuma kebiasaan, bukan cinta.”

“Terlalu terbiasa sampai saya nggak bisa mendefinisikan hidup kalau kamu nggak ada di dalamnya.”

“Kamu cuma belum mencoba hidup tanpa saya.”

“Saya nggak bisa hidup tanpa kamu. Cuma kamu yang selalu ada buat saya.”

Cuma saya. Iya, cuma saya. Sekarang cuma saya satu-satunya pilihanmu. Bayangkan kalau suatu hari nanti kamu menemukan pilihan lain selain saya.”

“Dan apa maksudnya itu?”

 

*       *      *

 

“Saya nggak mau kamu selalu anggap saya sebagai adik atau murid, Kak.”

I’ve told you I didn’t think you are, Raka.”

“Kalau gitu, kamu mau jadi teman saya?”

“Saya kan emang selalu jadi teman kamu.”

“Mau jadi teman hidup saya?”

“Hah?”

“Jangan cuma jadi teman saya sekarang. Jadilah teman hidup saya. Selamanya.”

“ ...”

“Nida.”

“Raka.”

“Hmm?”

“Segitunya kamu cinta sama saya?”

 

*       *      *

 

 “Jangan terburu-buru bilang cinta, Bram, hanya karena kamu nggak tahu bahwa ada yang lain yang bisa kamu cinta. Saya nggak mau jadi pilihan satu-satunya. Saya mau menjadi yang terpilih diantara banyak yang lain yang bisa dipilih.”

“Apa kamu punya pilihan lain selain saya?”

“Apa kamu pikir selama ini saya nggak akan punya pilihan lain?”

“Bukan gitu.”

“Itu kenapa kamu merasa saya nggak mungkin pergi? Itu kenapa kamu nggak merasa perlu memperjuangkan saya?”

“Bukan gitu, Nid.”

“Jangan jadikan saya satu-satunya pilihan, Bram, or worse sebagai pilihan terakhir setelah kamu nggak menemukan yang kamu cari pada fans-fans kamu itu.”

 

*       *      *

 

“Segitunya kamu cinta sama saya, Raka?”

“Segitunya.”

“Sebesar apa?”

“Lebih besar daripada yang bisa kamu tanggung. Lebih besar daripada yang bisa saya jawab. Saya mau bertanggung jawab atasmu. Nikah sama saya ya.”

 

*       *      *

Kamis, 01 November 2012

PULANG

"Udah mau pulang?"
"Kenapa?"
"Yuk,pulang bareng."
"Duluan aja. Saya masih lama."

*                        *                          *
"Kamu dimana?"
"Masih di atas."
"Udah mau pulang?"
"Belum."
"Masih lama nggak?"
"Masih."
"Saya ke mall dulu sebentar ya. Ada yang perlu saya beli. Tunggu saya."
"Nanti saya pulang sendiri aja."
"Oh."
"Hmm."
"Lain kali saya antar ya?"
"Hmm."
*                        *                          *

"Belum pulang kan? Pulang yuk, sekalian makan malam."
"Saya udah makan."
"Sama ... dia ya?"
"Hmm."
"Oh, oke. Saya pulang ya."
"Hati-hati di jalan."
"Kapan saya bisa antar kamu pulang?"
"Hmm."
*                        *                          *

Aku  bukan tidak mau pulang bersamamu. Aku cuma ingin pulang ke hatimu, rumah bagi jiwaku. Tapi rumah itu sudah dimiliki orang lain kan? Meski orang itu sudah pergi dan meninggalkan rumah itu kosong tak terawat? Kau cuma memintaku singgah untuk menyirami halamannya kan? Kau tidak benar-benar ingin aku tinggal dan menetap disana kan?

Jadi berhentilah mengajakku pulang. Aku tidak punya tempat pulang jika bukan ke hatimu.