“Mau
makan apa?”
Charla
membolak-balik buku menu yang ada di hadapannya. Di hadapannya, seorang pemuda
yang memakai seragam SMU seperti dirinya sedang melakukan hal yang sama.
“Mau
makan apa, Chandra?!” gadis itu bertanya sekali lagi. Dengan nada kesal, ia
memaksa pemuda di hadapannya segera mengambil keputusan.
Seorang
gadis lain berdiri di samping meja mereka. Menunggu sambil mengetuk-ngetukkan
tumit sepatunya. Suara ketukan sepatu itu membuat Charla merasa tidak nyaman.
“Ayam
goreng mentega, satu. Es teh tawar, satu, Mbak,” kata Charla akhirnya.
Chandra
mengalihkan matanya dari buku menu dan menatap Charla. Gadis itu membalas
dengan tatapan membunuh.
“Jadi,
nasi goreng seafood satu, ayam goreng mentega satu, es teh tawar dua?” gadis
yang berdiri di samping meja mereka mengulang pesanan Charla.
Charla
mengangguk dan tersenyum. “Makasih ya Mbak.”
Ketika
si gadis berseragam kafe itu pergi, Charla melihat pemuda di hadapannya
memelototinya.
“”Apa
lo?!” Charla balas memelototi. “Berlama-lama milih menu, toh setiap kesini lu
akhirnya makan ayam goreng mentega juga!”
“Hari
ini gue pengen makan yang lain!” Chandra protes, kesal.
“Lain
kali cepat putuskan!” Charla balas mengancam, sambil memelototi Chandra dan
mencibirkan bibirnya.
*
* *
Charla
memasukkan segenggam popcorn ke
mulutnya. Dia melirik jam digital yang tertera di ponselnya. Jam 12.20. Lalu
mengambil dua tiket XXI dari kantong celana jeansnya.
Harry Potter and The Half-Blood Prince.
Tertera jam 12.30 disana.
Charla
menghela nafas. Ini bukan kali pertama baginya. Tapi entah kenapa dia tetap
bisa merasa kesal. Pintu teater dua sudah dibuka, begitu yang didengarnya dari
pengumuman lima menit yang lalu. Jadi tidak ada alasan baginya untuk tidak
masuk. Dia akan masuk sekarang! Dengan atau tanpa makhluk brengsek itu.
Kau
tahu pepatahnya? Saat kau sudah benar-benar tidak berharap, yang kau harapkan
justru akan datang. Sepuluh detik sebelum lampu teater dua diredupkan dan film
dimulai, seseorang duduk mengisi kursi kosong di sebelah kursi Charla.
“Sori,
La. Gue ketiduran. Tadi malam begadang. Besok pretest Kardiovaskular ...”
Lalu
lampu padam dan film dimulai. Charla tidak mau mendengar apa-apa lagi dari
mulut sahabat kecilnya itu. Dia hanya diam.
Sekilas
tadi sebelum lampu diredupkan, Charla sempat mengerling buku yang ada di tangan
Chandra. Semacam buku kedokteran yang super tebal. Sementara di dalam tas
Charla bersemayam buku Sang Alkemis Paulo
Coelho.
Charla
tahu, dua kutub selalu berseberangan.
*
* *
“Dua
bulan lagi,” kata Chandra. Wajahnya berselimut senyum.
“John
Hopkins? US?”
“Yeah!
Cool, eh?”
Charla
membalas dengan senyum yang dipaksakan. Dia ingin Chandra melihatnya merasa
ikut gembira atas kegembiraan lelaki itu.
“Dan
berapa tahun tepatnya lo disana?”
Chandra
mengangkat bahu, masih sambil tersenyum. “Dua tahun, paling singkat. Beruntung
kalau gue bisa memperpanjang beasiswanya.”
Charla
sama sekali tidak merasa beruntung. Berapa lama lagi waktu yang harus
dihabiskannya untuk menunggu?
* * *
“Dokter
Chandra Wijaya, Anda harus mengosongkan jadwal Anda untuk datang pada acara launching novel ketiga saya! Dua novel
sudah terlewat saat Anda kuliah di John Hopkins. No excuse anymore!” Charla bicara dengan nada mengancam kepada
ponselnya.
Ia
mendengar suara tawa yang menggelegar dari seberang telponnya. Suara tawa yang
tetap selalu membuatnya berdebar-debar, bahkan setelah bertahun-tahun.
“I’ll be there, tante novelis! Janji!”
kata suara di ponselnya.
Charla
tersenyum.
Charla
sudah menandatangani hampir 100 buku novel ketiganya ketika ia melirik untuk ke
seratus kalinya ke arah pintu masuk toko buku di mall itu. Tapi wajah yang
dicarinya tidak muncul juga.
Ponselnya
bergetar. Dia menyambarnya dengan cepat. Saat itu juga dia tahu bahwa dia tidak
seharusnya membaca pesan singkat itu.
Sori, gue nggak bisa
dateng, Charla. Operasi. Emergency. Gue jemput lo setelah operasi selesai.
Sori.
Ini
bukan yang pertama kali bagi Charla. Menunggu Chandra. Tapi dia akan membuatnya
menjadi yang terakhir.
No more excuse,
gumam Charla sambil melempar ponselnya ke dalam tas.
Charla
menerima buku ke-101, lalu memaksakan senyum kepada seorang lelaki di
hadapannya yang mengulurkan buku itu.
“Makasih
sudah membeli buku saya, Mas. Maaf, nama Mas siapa?”
Charla
sudah siap menuliskan nama lelaki itu di bawah tanda tangan yang sudah
dibubuhkannya di lembar pertama novel itu.
“Causa,”
lelaki bermata cokelat itu menjawab.
Charla
terpana. Tangannya terdiam, lima milimeter di atas lembaran kertas.
“Causa
Major. Itu nama saya,” lelaki itu mengulangi, sambil tersenyum.
Charla
balas tersenyum.
Seolah
seluruh alam menjawab pertanyaannya. Selalu ada alasan bagi semua kejadian.
*
* *
“Happy birthday, dokter Chandra Wijaya!
Semoga makin sukses ya!”
Gadis
itu berdiri di depan ruang praktek Chandra, membawa seloyang tiramisu kesukaan
Chandra. Dengan wajah sumringah dia masuk dan menyanyikan lagu selamat ulang
tahun.
Chandra
merengut melihat lilin bertuliskan angka 32 di atas tiramisu itu. Tapi toh dia tersenyum juga melihat gadis
berambut ikal itu bernyanyi dengan suara sumbangnya. Orang bilang, seseorang
tidak mungkin menguasai segalanya. Contohnya gadis di hadapannya: penulis best seller, tapi dijamin gagal jika
ingin mencoba menjadi penyanyi.
Chandra
meniup lilin itu ketika sampai di hadapannya. Lalu dia memotong kue ulang
tahunnya. First cake-nya selalu untuk
Charla selama bertahun-tahun, karena gadis itulah yang selalu membawakan kue
ulang tahunnya.
“Oiya,
di hari bahagia lo ini, gue juga punya kabar gembira,” kata Charla, sumringah,
sambil memakan tiramisu pemberian Chandra.
Charla
mengeluarkan selembar undangan dan memberikannya kepada Chandra.
“Undangan
launching novel keempat lo?” terka
Chandra, “Kali ini gue pasti datang!”
Charla
tersenyum, membiarkan Chandra membuka undangan itu dan membacanya.
Orang
bilang, seseorang tidak mungkin menguasai segalanya. Contohnya adalah Chandra:
dia boleh saja dokter onkologi lulusan John Hopkins, tapi dia sangat buruk
dalam berakting. Dia tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Wajahnya
berubah seketika ketika membaca undangan itu.
“Yeah,
lo harus datang! Nggak boleh nggak! Masa ke pernikahan sahabat lo sendiripun lo
nggak bisa datang?! Ambil cuti sekarang juga! Bulan depan lo harus jadi saksi
di pernikahan gue!” kata Charla, sumringah,tidak menyadari perubahan wajah
Chandra.
*
* *
“Ganteng
banget sih!” puji Charla sepenuh hati, melihat Chandra dengan tuksedonya
berdiri di depan cermin. “Kalau nggak ingat bahwa lo adalah saksi nikah gue,
gue kawinin juga lo!” canda Charla, terkekeh.
Chandra
terkesiap. Kerongkongannya kering seketika. Tapi dia memaksa diri bersuara.
“Kalau
gitu, kenapa lo nggak kawin sama gue aja, Charla?” kata Chandra, mencoba bicara
dengan nada bergurau. Dan meski Chandra jenius di bidang kedokteran, dia idiot
dalam hal berpura-pura.
Charla
tertawa. “Lo terlalu lama sih.”
Chandra
terdiam di depan cermin.
Charla
berdiri di sisi Chandra, menghadap cermin yang sama. Menepuk bahunya, dan bicara
padanya sambil menatap bayangannya dari cermin itu.
“Kalau
dari Kampung Melayu mau ke Grogol, gue bisa naik bis 213,Chan. Tapi karena
bisnya nggak datang-datang, mending gue naik bis TransJakarta deh. Jadi lebih berliku-liku
sih, tapi gue jadi lihat lebih banyak pemandangan,” kata Charla sambil
menggamit tangannya.
Chandra
terpaku.
Lalu
sekonyong-konyong ada suara di balik punggungnya.
“Kalau
Charla nggak pernah cerita tentang kamu, saya bakal mikir bahwa kamu adalah
selingkuhannya Charla.”
Seseorang
masuk dari balik pintu dan mengagetkan keterpanaan Chandra. Seorang lelaki
bertubuh kurus dan agak membungkuk. Wajahnya kalem dan santai.
Charla
menyambut lelaki itu dengan kalem. “Trus kamu bakal membatalkan rencana pernikahan
kita yang tinggal tiga minggu lagi?”
“Itu
sih maunya kamu!” ledek lelaki itu.
Charla
membalasnya dengan tawa.
Lelaki
itu berjalan mendekati Chandra, lalu mengulurkan tangannya.
“Kamu
pasti dokter Chandra Wijaya, yang sering diceritakan Charla. Sahabat terbaik
Charla sejak kecil,” kata lelaki itu. “Makasih ya sudah bersedia menjadi saksi
pernikahan kami.”
Chandra
menjabat tangan lelaki itu. Sambil tersenyum pahit.
“Charla
bahkan belum pernah cerita apa-apa tentang kamu,” kata Chandra. “Dia tiba-tiba
datang membawa undangan pernikahan kalian. Kapan sih kalian ketemu?”
Lelaki
itu tersenyum. Senyum yang mencapai matanya yang cokelat. Dan Chandra melihat
Charla membalas senyum itu dengan tatapan yang sama lembutnya. Dia belum pernah
melihat tatapan Charla yang seperti itu. Atau ... oh, mungkin saja pernah, tapi
dia melewatkannya begitu saja.
“Lima
bulan lalu. Di acara launching
novelmu ya Charla Mandasari?” kata lelaki itu.
“Ingatan
yang bagus, Causa Major!” Charla menggamit lengan lelaki itu.
Chandra
merasa perlu melakukan euthanasia
kepada dirinya sendiri saat itu juga.