"Udah tidur belum?"
"Baru bangun tidur."
"Bohong! Kok berisik? Kamu dimana?"
"Di kereta."
"Kamu tidur di kereta?"
"Hehehe."
"Kenapa nggak bilang sih kalau kamu pulang semalam ini?"
"Lha,kenapa harus bilang?"
"Saya juga baru pulang dari kantor. Kalau kamu bilang pulang malam,kan bisa sekalian saya jemput."
"Nanti ngerepotin."
"Kamu tuh! Rumah kita kan searah."
"Hehe."
"Lagian ngapain sih kamu di kampus sampai malam?"
"Kan penelitian skripsi."
"Lain kali bilang saya ya kalau pulang malam lagi. Saya kuatir tau. Kamu kan perempuan."
* * *
"Maaf ya, saya nggak jadi datang."
"Kenapa? Masih penelitian di lab?"
"Iya. Maaf ya."
"Jadi HPLC kamu lebih penting daripada saya?"
"Hahaha. Iya, maaf. Weekend nanti saya ke rumah kamu deh, mau ngasih kado ulang tahun."
"Nggak usah ngasih kado segala."
"Ih,gitu aja ngambek. Hahaha. Lucu deh kalo ngambek gitu."
" ... "
"Saya minta maaf banget ya. Saya bener-bener nggak bisa datang hari ini."
* * *
"Jadi ini alasan sebenarnya kemarin kamu nggak datang?"
"Hehe. Masih kelihatan jelas ya?"
"Pura-pura sibuk di lab supaya saya nggak tahu kamu lagi sakit?"
"Keseleo doang."
"Doang? Ini udah hampir seminggu dan kamu masih pincang gitu. Pasti bukan keseleo doang."
"Hahaha."
"Kenapa nggak cerita bahwa kamu lagi sakit sih?"
"Saya udah baikan kok."
"Apa kamu nggak percaya sama saya? Apa saya nggak bisa diandalkan, sampai kamu nggak mau cerita tentang sakitmu?"
"Saya ... nggak mau kamu khawatir."
* * *
"Operasi! Dan nggak bilang apapun ke saya?! Kalau bukan karena sekretarismu nggak sengaja cerita, saya mungkin nggak bakal tahu tentang operasi ini. Kenapa nggak cerita ke saya sih?"
"Ini cuma operasi usus buntu. Bukan operasi besar."
"Kamu selalu bilang nggak doyan masakan rumah sakit. At least saya bisa membawakan makanan. Atau bantu belajar jalan. Atau ... apapun. Kenapa nggak bilang ke saya?"
"Mendadak banget. Begitu masuk rumah sakit, saya langsung dioperasi."
"Ah! Banyak alasan! Abis operasi kan bisa telepon saya. Tahu nggak gimana perasaan saya pas tiba-tiba dengar berita operasi ini? Nyaris jantungan saya! Bener-bener deh ... "
"Saya baik-baik aja ... "
"Baik-baik apaan?! Belum bisa jalan, masih di tempat tidur, cuma bisa makan bubur ..."
"Hei, tenang! Saya ... "
"Saya khawatir, Mas!"
" ... "
" ... "
"Kenapa sih perempuan gampang banget nangis? Jangan nangis ... "
"Saya khawatir."
"Saya nggak mau bikin kamu khawatir, makanya saya nggak cerita."
"Apa ... saya nggak bisa dipercaya?"
" ... "
" ... "
"Begitulah saya terhadapmu?"
"Apa?"
"Setiap kali kamu kesulitan tapi nggak pernah cerita ke saya, membuat saya merasa nggak dipercaya. Sama seperti yang kamu rasakan sekarang. Saya merasa nggak berguna..."
"Saya ... cuma nggak mau terlihat seperti perempuan lemah. Saya nggak mau jadi beban. Saya ... pengen kamu selalu melihat saya yang menyenangkan."
"Saya pengen jadi orang pertama yang melihat kamu nangis dan menghapus air matamu. Saya pengen jadi orang pertama yang kamu hubungi tiap kamu butuh bantuan. Saya pengen jadi orang pertama yang kamu bikin repot. Saya pengen jadi bahu, tempatmu bersandar. Yang bisa kamu andalkan."
"Saya ... bisa sangat merepotkan, menyebalkan dan jelek."
"Saya pengen jadi satu-satunya orang yang kamu percaya memperlihatkan wajah jelekmu dan gaya nyebelin kamu itu."
"Saya ... "
"Jangan lagi berusaha membuat saya nggak mengkhawatirkanmu."
"Gimana kalau saya jadi cewek yang ngerepotin banget?"
"Sekarang saya tahu. Kamu mengabaikan saya karena terlalu peduli sama saya ya?"
Tanganku kosong, genggamlah
Pundakku kuat, rebahlah
Sampai kapan kau membeku?
Sembunyi di rasa sakitmu (FIERSA BESARI)
Luna Lovegood inside. Noda Megumi outside.
Rabu, 28 November 2012
Jumat, 16 November 2012
PILIHAN
“Jangan
lagi berusaha menanggungnya sendirian. Berbagilah sama saya.”
“Makasih
ya, kamu selalu mau bantuin saya, meski itu bukan tanggung jawab kamu.”
“Saya
bukan anak kecil lagi. Mulai sekarang, kamu bisa percaya sama saya.”
“Saya
selalu percaya sama kamu. Saya tahu saya selalu bisa mengandalkan kamu.”
“Itu semua demi kamu. I love you, Kak.”
“Hah?”
“I
do.”
“You’re
kidding me.”
“No,
I’m not!”
“Pakai
kacamata, Raka!”
“Apa?”
“Pakai
kacamatamu! Saya bukan Rani, Indah, Putri, Fanny, Hana, Yuri, ...”
“Saya
tahu. Kamu Nida.”
“Jadi,
kenapa saya?”
“Apa
masalahnya?”
“Saya
cuma salah satu diantara mereka kan? Saya bukan mantan-mantan kamu yang
cantik-cantik itu. Kenapa harus saya? Saya bukan satu-satunya buat kamu kan?”
* *
*
“Kamu sadar nggak, Nid? Cuma kamu yang selalu
ada di samping saya sejak kecil.”
“Kan
kita sahabatan dari SD, Bram.”
“Kamu
yang ada waktu saya ketawa, nangis, bete, marah, ...”
“...
dan ngorok pas tidur.”
“Er,
yeah, itu. Kamu ingetnya pas bagian ngoroknya doang.”
“Hahaha.”
“Nggak
ada fans-fans saya yang tahu bahwa saya suka ngorok.”
“Trus
saya harus bangga menjadi satu-satunya orang yang tahu bahwa kamu suka ngorok?”
“Hahaha.”
“Kamu
juga yang ada pas saya butuh teman curhat.”
“Waktu
kamu nangis-nangis gara-gara putus sama Winda?”
“Kamu
yang selalu ada. Dari dulu sampai sekarang. Dan saya nggak mau cuma sampai
sekarang doang. Saya mau selamanya. Jangan pergi dari saya.”
“Emangnya
saya pernah pergi?”
“Cuma
kamu satu-satunya buat saya, Nida. Nggak ada yang lain. Cuma kamu.”
* * *
“Saya
bukan satu-satunya buat kamu kan, Raka?”
“Emang
bukan. Kamu bukan satu-satunya pilihan.”
“Dasar
player. Hahaha.”
“Saya
cinta sama kamu bukan karena saya nggak punya pilihan lain, Kak. Saya memilih
kamu diantara banyak yang bisa saya pilih. Saya membuat kamu menjadi yang terpilih, bukan karena kamu satu-satunya
pilihan yang saya punya.”
“Gimana
kalau ternyata saya bukan pilihan terbaik? Gimana kalau nanti kamu menemukan
yang lebih baik lagi daripada saya?”
“Didn’t you listen to me, Nida? Saya
milih kamu karena kamu yang terpilih,
yang saya pilih. Bukan karena kamu yang terbaik.”
* * *
“Saya
cinta sama kamu, Nida.”
“Jangan
bilang cinta, Bram. Kamu cuma terbiasa bersama saya. Itu cuma kebiasaan, bukan
cinta.”
“Terlalu
terbiasa sampai saya nggak bisa mendefinisikan hidup kalau kamu nggak ada di dalamnya.”
“Kamu
cuma belum mencoba hidup tanpa saya.”
“Saya
nggak bisa hidup tanpa kamu. Cuma kamu yang selalu ada buat saya.”
“Cuma saya. Iya, cuma saya. Sekarang cuma saya satu-satunya pilihanmu. Bayangkan
kalau suatu hari nanti kamu menemukan pilihan lain selain saya.”
“Dan
apa maksudnya itu?”
* * *
“Saya
nggak mau kamu selalu anggap saya sebagai adik atau murid, Kak.”
“I’ve told you I didn’t think you are, Raka.”
“Kalau
gitu, kamu mau jadi teman saya?”
“Saya
kan emang selalu jadi teman kamu.”
“Mau
jadi teman hidup saya?”
“Hah?”
“Jangan
cuma jadi teman saya sekarang. Jadilah teman hidup saya. Selamanya.”
“
...”
“Nida.”
“Raka.”
“Hmm?”
“Segitunya
kamu cinta sama saya?”
* * *
“Jangan terburu-buru bilang cinta, Bram, hanya
karena kamu nggak tahu bahwa ada yang lain yang bisa kamu cinta. Saya nggak mau
jadi pilihan satu-satunya. Saya mau menjadi yang
terpilih diantara banyak yang lain yang bisa dipilih.”
“Apa
kamu punya pilihan lain selain saya?”
“Apa
kamu pikir selama ini saya nggak akan punya pilihan lain?”
“Bukan
gitu.”
“Itu
kenapa kamu merasa saya nggak mungkin pergi? Itu kenapa kamu nggak merasa perlu
memperjuangkan saya?”
“Bukan
gitu, Nid.”
“Jangan
jadikan saya satu-satunya pilihan, Bram, or
worse sebagai pilihan terakhir setelah kamu nggak menemukan yang kamu cari
pada fans-fans kamu itu.”
* * *
“Segitunya
kamu cinta sama saya, Raka?”
“Segitunya.”
“Sebesar
apa?”
“Lebih
besar daripada yang bisa kamu tanggung. Lebih besar daripada yang bisa saya
jawab. Saya mau bertanggung jawab atasmu. Nikah sama saya ya.”
* * *
Kamis, 01 November 2012
PULANG
"Udah mau pulang?"
"Kenapa?"
"Yuk,pulang bareng."
"Duluan aja. Saya masih lama."
* * *
"Kamu dimana?"
"Masih di atas."
"Udah mau pulang?"
"Belum."
"Masih lama nggak?"
"Masih."
"Saya ke mall dulu sebentar ya. Ada yang perlu saya beli. Tunggu saya."
"Nanti saya pulang sendiri aja."
"Oh."
"Hmm."
"Lain kali saya antar ya?"
"Hmm."
* * *
"Belum pulang kan? Pulang yuk, sekalian makan malam."
"Saya udah makan."
"Sama ... dia ya?"
"Hmm."
"Oh, oke. Saya pulang ya."
"Hati-hati di jalan."
"Kapan saya bisa antar kamu pulang?"
"Hmm."
* * *
Aku bukan tidak mau pulang bersamamu. Aku cuma ingin pulang ke hatimu, rumah bagi jiwaku. Tapi rumah itu sudah dimiliki orang lain kan? Meski orang itu sudah pergi dan meninggalkan rumah itu kosong tak terawat? Kau cuma memintaku singgah untuk menyirami halamannya kan? Kau tidak benar-benar ingin aku tinggal dan menetap disana kan?
Jadi berhentilah mengajakku pulang. Aku tidak punya tempat pulang jika bukan ke hatimu.
"Kenapa?"
"Yuk,pulang bareng."
"Duluan aja. Saya masih lama."
* * *
"Kamu dimana?"
"Masih di atas."
"Udah mau pulang?"
"Belum."
"Masih lama nggak?"
"Masih."
"Saya ke mall dulu sebentar ya. Ada yang perlu saya beli. Tunggu saya."
"Nanti saya pulang sendiri aja."
"Oh."
"Hmm."
"Lain kali saya antar ya?"
"Hmm."
* * *
"Belum pulang kan? Pulang yuk, sekalian makan malam."
"Saya udah makan."
"Sama ... dia ya?"
"Hmm."
"Oh, oke. Saya pulang ya."
"Hati-hati di jalan."
"Kapan saya bisa antar kamu pulang?"
"Hmm."
* * *
Aku bukan tidak mau pulang bersamamu. Aku cuma ingin pulang ke hatimu, rumah bagi jiwaku. Tapi rumah itu sudah dimiliki orang lain kan? Meski orang itu sudah pergi dan meninggalkan rumah itu kosong tak terawat? Kau cuma memintaku singgah untuk menyirami halamannya kan? Kau tidak benar-benar ingin aku tinggal dan menetap disana kan?
Jadi berhentilah mengajakku pulang. Aku tidak punya tempat pulang jika bukan ke hatimu.
Langganan:
Postingan (Atom)