Saya bukan orang yang suka berpergian. Bisa dibilang anak rumahan. Kalau tidak sangat terpaksa, saya selalu malas keluar rumah. Maka rasanya ini posting pertama saya tentang sebuah perjalanan.
Ini bukan pertama kalinya saya berpergian jauh. Saya sering pulang kampung ke Trenggalek, Jawa Timur, beberapa kali ke Bandung dan Jogjakarta. Tapi ini perjalanan pertama yang saya lakukan dengan alasan yang berbeda. Biasanya saya berpergian jauh hanya karena mudik, berlibur atau urusan pekerjaan. Kali ini tidak. Kali ini saya pergi bukan hanya untuk berlibur. Ini pertama kalinya saya pergi dengan tujuan khusus.
Ada yang bilang, terkadang orang-orang berpergian hanya untuk mencari tempat dimana ia ingin kembali pulang. Rumah. Kali ini saya pergi untuk mencari jawaban-jawaban dari pertanyaan-pertanyaan saya. Ini pertama kalinya saya pergi untuk mencari. Membawa 3 pertanyaan untuk dipertemukan dengan jawabannya.
Tidak ada urutan prioritas dari alasan dan pertanyaan yang membawa saya pergi ke Malang kali ini. Semua tujuan saya sama pentingnya. Semua pertanyaan saya juga sama-sama mencari jawabannya.
Alasan pertama saya adalah karena kota yang kami tuju adalah Malang. Kota asal murid dan guru saya, dan banyak orang lain yang saya kenal. Entah mengapa saya mengenal banyak orang Malang. Di Malang juga tinggal beberapa saudara saya, meski kali ini saya tidak sempat mengunjungi mereka. Saya ingin tahu di tempat seperti apa mereka dibesarkan, sehingga semua orang Malang yang saya kenal memiliki kualitas yang hampir serupa: cerdas dan goodlooking.
Dengan alasan pertama itulah, ketika ada kesempatan Family Gathering bersama kru dan alumni Farmasi UI ke Malang, saya segera mendaftar ikut.
Kami menuju Malang dengan kereta. Dari jam 14.45 siang di stasiun Kota Jakarta, sampai jam 9.00 pagi keesokan harinya di Stasiun Kota Malang Baru. Saya berangkat pada hari Rabu jam 10 pagi. Terima kasih kepada kak Rezi yang sudah menggantikan saya belajar bersama adik2 saya di FISIP pada hari Rabu siang itu.
Beruntung saya sudah mengembangkan kemampuan saya yang satu ini sejak beberapa tahun lalu sehingga saya tidak terlalu kesulitan tiap kali dalam perjalanan jauh: menahan pipis. Jangan aplikasikan kebiasaan ini dalam kehidupan sehari-hari karena ini berisiko menyebabkan batu ginjal. Demi tidak urinasi, setiap perjalanan jauh saya mengurangi frekuensi dan volume minum, juga memilih pocari sweat alih-alih air mineral biasa.
Menahan urinasi bukan bagian tersulit dari sebuah perjalanan panjang. Bagian tersulitnya adalah membangun obrolan dengan teman seperjalanan supaya perjalanan 18 jam mu tidak garing dan membosankan. Tapi rasanya saya beruntung, saya memiliki teman seperjalanan (baik selama di kereta maupun di bis) yang membuat saya tidak merasa canggung meski tidak banyak bercakap-cakap. Saya tidak perlu terus mencoba mencari topik obrolan hanya supaya tidak terasa garing. Toh kalau kami ngobrol, itu karena memang ada hal menarik yang ingin kami bicarakan, bukan topik yang dicari-cari sebagai bahan obrolan. Biasanya, sepanjang perjalanan di kereta maupun bis, dia lebih banyak diam memandangi pemandangan dan saya lebih banyak tidur. Hahaha.
Kami sampai di Malang dengan badan pegal-pegal karena 18 jam duduk di kursi tegak. Lebih parah lagi buat saya karena ponsel saya lowbat sejak jam 12 malam padahal saya sudah mencharge HP full di stasium Kota. Powerbank milik si partner juga tidak berhasil mengembalikan HP saya seperti semula. Yang bikin saya gelisah bukan karena saya tidak bisa live-report perjalanan saya via twitter. Saya lebih gelisah karena dengan matinya ponsel saya, ibu saya akan gelisah karena gagal menelepon saya. Benar saja, pada Kamis pagi saya terbangun di kereta karena si partner memanggil-manggil nama saya dalam pembicaraanya dengan seseorang di seberang ponselnya.
"Nia baik-baik aja, Tante, tapi HPnya mati sejak tadi malam. Belum bisa charge HP lagi."
Tuh kan, Ibu saya memang begitu. Seketika tidak mendapat kabar dari anak-anaknya, beliau akan mulai menggerecoki teman-teman anak-anaknya. Makanya sebelum pergi, saya memberikan no.hp si partner kepada Ibu saya. Ibu saya sih minta juga no.hp ketua panitia perjalanan ini, tapi masa saya harus kasih no.hp Pak Harmita??? Hahahaha.
Dengan badan lepek karena belum mandi seharian, kami sampai di Alun-alun Malang dan sarapan-yang-terlambat disana. Setelah itu, kami menunggu waktu Dzuhur tiba di Masjid Agung Malang. Kamar mandinya bersih, jadi saya sekalian bersih-bersih badan disana. Setelah sholat dzuhur, kami beranjak makan siang di Warung Manteb Ibu Lanny. Enak-enak makanannya. Boleh dicoba kalau lagi ke Malang.
Kami sampai di Hotel Agrowisata Kusuma sekitar jam 4 sore. Hotel tersebut berada di daerah Batu. Kalau kota Malang berhawa panas seperti Jakarta, Batu justru dingin seperti puncak.
Saya menginap sekamar dengan mbak Galuh dan sepupunya, Ririn. Pada hari-hari setelahnya, kami bertiga selalu bersama-sama: ke BSN, ke Jatim Park, juga ke Bromo dan Surabaya. Er, plus ditambah Om Radit sih yang dengan baik hati selalu mau membawakan ransel saya kemana-mana.
Hotelnya kece badai. Di belakang hotel juga ada taman agrowisata lho, jadi kami keesokan paginya bisa wisata petik buah :D ,,, meski cuma metik buah jambu #eeeaaa. Dan yang paling penting dari sebuah hotel di daerah dingin seperti Batu adalah suplai air panasnya. Pokoknya betah banget di hotel ini.
Setelah mandi dan istirahat sebentar di hotel, kami foto-foto di taman hotel. Bagus banget pemandangannya. Btw, foto-fotonya akan diupload nanti ya. Sekarang masih dikompilasi sama om Radit. Hehehe.
Malam harinya, jam 6.30 malam, setelah sholat Maghrib, kami pergi ke Batu Night Spectacular. Itu semacam pasar malam. Wahananya mirip dufan sih tapi dengan skala yang lebih kecil. BNS ini lumayan rame juga. Dua jam disana, saya cuma sempat mencoba teater 4D dan sepeda udara. Sebenarnya udah niat foto-foto di lampion garden BNS, tapi udah keburu ditinggal sama bis untuk balik ke hotel, jadi nggak sempat deh.
Keesokan paginya, kami pergi ke Jatim Park 2. Di kawasan ini ada 3 tempat yang bisa dikunjungi. Jatim Park 2 semacam Ragunan dan Taman Safari. Didesain sedemikian rupa, Jatim Park 2 ini one way, jadi semua pengunjung pasti melewati semua tempat dan melihat semua hewan disana. Dan pengunjung bisa melihat dari dekat semua hewan-hewan. Bahkan kita bisa melihat singa berjalan di atas kepala kita dari sebuah kandang kaca. Baik pisces, reptil, aves sampai mamalia, semua ada disini. Baik yang lucu sampai yang menyeramkan, semua ada. Semua kandangnyapun bersih dan nggak bau. Nyaman banget jalan-jalan disana. Nah, bagi yang capek jalan kaki, kalian bisa sewa electric-bike gitu, 100ribu rupiah per 3 jam. Saya sih prefer jalan kaki, meski harus pakai koyo, tapi puas.
Oiya, di Jatim Park 2 ini juga ada Happy Land, semacam Dufan versi mini. Bersama ketiga teman geng kece saya yang lain, kami main Shark-Coaster dan Horror House juga disini. Disini saya menemukan jawaban untuk pertanyaan saya yang kedua. Tunggu, saya bukan bertanya apakah kuntilanak benar-benar punya anak atau tidak kok. Saya mempertanyakan hal lain, tapi anehnya saya justru menemukan jawabannya di Horror House Jatim Park 2 ini. Anehnya hidup. Ia menunjukkan jawaban di tempat dan waktu yang tidak kita duga.
Di Jatim Park 2 juga ada EcoGreen Park. Kali ini kami nggak kesana. Tapi menurut orang-orang, EcoGreen Park ini bagus lho, terutama buat anak-anak belajar tentang ekologi.
Nah, ini nih tempat yang paling saya suka dari Jatim Park 2. Museum Satwa. Ada kerangka dinosaurus di pintu depan, dan banyak diorama hewan-hewan yang tampak nyaris seperti nyata. Diorama savananya nyaris seperti hidup. Sepanjang jalan, saya berantem sama si partner. Dia bilang, hewan-hewan itu asli dan diawetkan. Saya masih berpikir itu hanya boneka meski kelihatan sekali seperti asli, karena mata hewan-hewan itu terbuka. Ah, apapun itu, saya sangat menikmati diorama hewan-hewan disana. Ada koleksi kupu-kupu yang diawetkan juga disana. Dan subhanallah, sebagian kupu-kupu paling cantik disana berasal dari pulau-pulau di Indonesia lho.
Kami berdua mengakhiri perjalanan di Museum Satwa setelah betis saya berkonde dan ponsel canggih si partner lowbat nggak bisa foto-foto lagi. Percuma foto-foto pakai ponsel saya, resolusinya kurang bagus.
Oiya, di Batu ada Jatim Park 1 juga lho. Semacam Dufannya Jakarta. Tapi kemarin kami tidak kesana. Saya lebih pilih datang ke Museum Satwa Jatim Park 2 yang sudah direkomendasikan Bos Besar. Sebagai orang Malang, beliau sudah mensuggest beberapa tempat yang harus saya kunjungi saat ke Malang. Salah satunya adalah Jatim Park 2. Alasan lain, kalau ke Jatim Park 1, si partner nyaris nggak bisa naik apa-apa karena takut ketinggian.
Jam 3 sore kami berdua selesai mengelilingi Jatim Park 2 dan Museum Satwa. Dengan kaki pegal-pegal, sambil menunggu bis menjemput jam 4 sore, kami duduk-duduk di pelataran Museum Satwa. Saya mencharge ponsel mumpung nemu colokan listrik di depan pintu masuk museum. Si partner ngiler ngeliatin booth eskrim cone vanila di seberang pelataran dan akhirnya nggak tahan untuk beli juga.
Setelah bis datang, kami berangkat ke sebuah restoran untuk makan malam bersama. Namanya Warung Wareg. Wareg itu bahasa Jawa yang berarti kenyang. Artinya, silakan makan disini sampai kenyang. Oiya, makan malam kali ini disponsori oleh Bos Besar. Waktu pertama kali saya cerita bahwa kru dan alumni Farmasi UI mau family gathering ke Malang, si Bos yang memang asal Malang bilang bahwa beliau akan ikut. Tapi mendadak katanya ada meeting sehingga tidak jadi datang. Sebagai pengganti ketidakhadirannya, beliau meminta tolong pada adiknya untuk memesan sebuah restoran untuk makan malam kami. Restoran yang beliau pilih ternyata kece. Makanannya enak dan ada organ tunggalnya. Setelah makan malam, kru dan alumni Farmasi UI asik karaoke dan joget semua. Sambil nonton para dosen nyanyi dan joget, saya live report ke si Bos. Beliau senang mendengar bahwa kami semua menikmati makanan dan suasana karaoke bersama.
Malam itu saya juga bertemu dengan kakak, adik, ipar dan keponakan si Bos yang ingin memantau suasana makan malam sesuai yang dipesankan beliau, sekaligus makan malam disana. Ini bukan pertama kalinya kami bertemu, sebelumnya kami pernah bertemu di rumah si Bos saat keluarga besarnya ke Jakarta lebaran lalu. Tapi ini pertama kalinya kami ngobrol banyak, iya.
Jam 8 malam kami selesai makan malam dan pulang ke hotel. Sampai di hotel, saya dan Ririn langsung packing sambil nonton X-factor, karena jam 00.30 malam kami sudah harus pergi dari hotel menuju Bromo. Mbak Galuh? Doi masih naracap (tahu kan kalo orang Malang suka banget ngomong kebalik-balik gitu). Sekembalinya ke hotel jam 10 malam, mbak Galuh juga segera packing. Jam 11 malam kami selesai packing dan mandi malam (syukurlah ada suplai air panas), lalu tidur. Jam 12 malam, kami dibangunkan untuk bersiap. Jam 00.30 pagi dini hari kami sudah pergi dari hotel, dengan 9 elf beriringan menuju Pananjakan.
Karena sangat ngantuk, saya sempat tertidur di elf. Tapi ketika jalan mulai menanjak, saya terbangun karena telinga saya mulai terasa tidak enak. Untuk ke Bromo ini, saya sudah menyiapkan sweater tebal, syal dan sepatu kets. Tapi saya lupa dua hal yang tidak kalah penting. Sarung tangan. Beruntung ada yang menjual sarung tangan ini di Pananjakan seharga 5000rupiah sepasang. Kedua, permen karet. Demi mengatasi perbedaan tekanan udara saat berkendara naik dan turun gunung, harusnya saya terus mengunyah permen karet sehingga telinga saya tidak terganggu. Setelah terbangun sekitar jam 2 pagi, saya tidak bisa tidur lagi. Pertama, karena sibuk mengumpulkan-menelan saliva berkali-kali, mengganti metode mengunyah permen karet untuk mengatasi gangguan di telinga saat elf makin menanjak. Kedua, melihat ke sisi kiri elf, tepat jurang yang curam. Berkendara di malam hari dengan sisi jalan menanjak berupa jurang, membuat saya tidak tenang. Saya sibuk berdzikir sepanjang jalan supaya mobil elf ini sampai dengan selamat di tujuan.
Kami tiba di Pananjakan jam 4 pagi. Di Jawa Timur ini jam 4 pagi sudah menjelang subuh. Saat keluar mobil elf, semburat kekuningan mulai terlihat di timur. Tapi di langit barat, bintang bertebaran di langit gelap. Duh, indah banget. Subhanallah. Di Jakarta, saya nggak bisa melihat bintang satupun. Tapi di Pananjakan ini, nggak terhitung banyaknya bintang yang bertebaran di langit hitam itu.
Begitu keluar dari mobil, dingin menyergap. Rasanya sampai ke tulang, meski saya sudah memakai sweater tebal dan syal yang menutupi telinga dan hidung. Dari tempat mobil elf berhenti, untuk bisa memandang sunrise yang indah, kami perlu naik berjalan kaki sekitar 2 km lagi. Baru naik beberapa meter, saya sudah merasa sesak nafas. Udara tipis. Naik sepeda UI tiap pagi, mengejar kereta dan main badminton ternyata bukan olahraga yang cukup untuk naik gunung. Ditambah saya alergi terhadap udara dingin dan mengidap sinusitis. Saya hampir berhenti naik. Tapi Mbak Galuh bilang "Jangan berhenti. Kalau berhenti berjalan, nanti makin kedinginan. Kita bisa jalan pelan-pelan," dengan sabar.
Fiersa pernah bilang, mencapai puncak paling awal untuk melihat sunrise bukanlah yang terpenting bagi pendaki. Tidak meninggalkan sahabat di belakang, lebih penting. Terharu banget kali itu Mbak Galuh dan Ririn tidak pergi lebih dulu meninggalkan saya.
Khawatir akan ketinggalan sunrise kalau berjalan kaki ke puncak, kami memutuskan untuk naik ojek. 20 ribu. Saat itu saya mulai mempertimbangkan untuk melakukan operasi lasix. Saking dinginnya, kacamata saya berembun oleh nafas saya sendiri. Saya bahkan sampai kesulitan mencari uang di dompet karena kacamata saya tertutup embun.
Turun dari ojek, kami melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki. Belum sampai puncak ketika semburat merah makin nyata di timur. Saya berhenti di sebuah tempat dekat mushola darurat. Disana saya melihat matahari meninggi. Sholat di mushola darurat itu, lalu saya melanjutkan menikmati pemandangan seperti yang terlihat di film 5 cm dengan mata saya sendiri. Itu yang namanya Negeri di Atas Awan. Saya melihat awan di bawah kaki saya. Saya juga melihat awan mengambang di atas kepala saya. Bisa dibilang, saya berada diantara lapisan awan.
Oiya, foto-foto di Bromo ini masih dikompilasi Mas Adi. Nanti saya upload juga deh :D Maklum, kamera ponsel saya gagal mengabadikan pemandangan indah itu dengan jernih, jadi saya numpang berfoto dengan kamera Mas Adi.
Matahari terbit perlahan. Dingin makin kuat menyeruak, membuat gigi gemeretak. Ini adalah alasan ketiga mengapa saya ikut serta dalam perjalanan ini. Karena saya tahu bahwa Bromo adalah salah satu tujuan perjalanan ini.
"So cold there, Kak. Batu, Malang. Colder than Puncak. But Bromo is even worst," kata murid les saya yang sering mudik ke Malang, "How do you think you can survive in Tokyo or Seoul if you can't breath well in Bromo?"
Tapi saya bisa. Menurut ponsel canggih si partner, lima derajat disana. Saya tidak menduga bahwa saya akan bisa bertahan di suhu sedingin itu. Pertanyaan ketiga saya terjawab disini. Apakah saya bisa bertahan di suhu sedingin itu jika saya bercita-cita sekolah ke negara 4 musim? Saya tahu, di Tokyo atau Seoul suhu bisa mencapai - 10 derajat saat musim dingin. Tapi saya tidak takut lagi. Dulu saya selalu takut, tidak bisa bertahan hidup pada suhu dibawah 15 derajat. Tapi toh, kemarin saya tetap bisa bernapas di suhu 5 derajat. Jadi saya rasa, saya hanya perlu berusaha lebih baik untuk bisa bertahan di suhu -10 derajat celsius.
Ada satu tips untuk mengatasi sulit nafas karena kedinginan. Koyo. Tidak hanya bisa digunakan di bagian tubuh yang pegal. Koyo bisa ditempel di hidung juga. And somehow it helps you breath.
Semua mata berfokus pada matahari yang terbit di timur, awan-awan yang berarak di bawahnya. Saya mengalihkan pandangan. Di utara saya melihat Semeru. Berdiri lebih tinggi daripada tempat saya berdiri. Mahameru, puncaknya Semeru adalah yang paling tinggi diantara gunung lain di pulau Jawa. Berada disini saja rasanya luar biasa. Sekarang saya paham apa yang Fiersa rasakan saat mencapai Mahameru.
Di selatan, terlihat beberapa gunung lain, saya tidak tahu namanya, hanya puncaknya yang terlihat karena tertutup awan. Di utara juga ada sebuah kawah dimana kuil suku Tengger berdiri. Kemanapun saya memutar pandangan, semua menakjubkan. Rasanya tidak adil hanya memuji kecantikan si timur padahal Semeru berdiri gagah di utara, pepohonan rindang di lembah barat dan si selatan tampak sama tampannya.
Jam 6 pagi matahari terbit sempurna. Saya memutuskan untuk turun. Mbak Galuh dan Ririn masih asik memotret pemandangan di timur. Tapi saya ingin turun lebih dulu sambil menikmati pemandangan di barat.
Jam 7 kami sudah harus kembali ke elf kami. Tapi kali ini saya tidak ingin naik ojek. Hidung saya sudah beradaptasi. Rasanya mereka tidak akan mogok bernafas lagi seperti tadi pagi. Saya bertemu si partner di tengah jalan. Kami berdua sepakat untuk berjalan kaki kembali ke elf sambil menikmati udara dan pemandangan gunung.
Selagi menuruni gunung, saya bertemu banyak penjual Edelweiss. Katanya edelweiss itu bunga abadi. Tapi apanya yang abadi kalau sudah dipetik dari habitat aslinya. Maka seperti kata Fiersa, demi berkontribusi untuk tidak menjadi bagian dari orang-orang yang mengambil edelweiss dari habitat aslinya, saya menahan diri untuk tidak membeli bunga itu.
Kamu pernah merasakan senang dan marah di saat yang hampir bersamaan? Saya mengalaminya kemarin. Sabtu kemarin adalah hari yang paling membahagiakan sekaligus paling menyebalkan selama perjalanan saya ke Malang. Hari paling dingin sekaligus paling panas, saya alami dalam sehari.
Sepulang dari Bromo, kami berkendara menuju Madura. Perjalanan menuruni gunung membuat telinga saya kembali terganggu. Di tengah jalan kami baru sadar bahwa kami nyasar karena mengikuti elf yang salah, bukan elf rombongan kami. Ini mulai membuat mood saya jelek. Jalanan yang berkelok-kelok membuat 2 anak di elf kami muntah-muntah. Saya sendiri sambil memijit si anak, ikut mual. Akhirnya saya menenggak Antimo dan tidak lama kemudian saya tertidur pulas. Kalau sampai saya tidak mendengkur, saya pasti sangat beruntung. Saya terbangun sekitar jam 12 siang karena sesak nafas. AC di elf ternyata tidak berfungsi. Suhu diluar elf mencapai 32 derajat. Surabaya. Jendela elf sudah dibuka, tapi sama sekali tidak membantu.
Kami sampai di Bangkalan, Madura, jam 2 siang, setelah melewati jembatan Suramadu yang ternyata panjang sekali seperti tak bertepi, dengan wajah dan badan lepek berkeringat. Sudah tidak lagi bernafsu makan karena mood sangat jelek. Perhatian, teman-teman, kalau kalian ke Surabaya atau Madura, lebih baik pakai tanktop saja. Panasnya kota ini melebihi Jakarta.
Setelah makan siang, kami masih punya waktu 4 jam sebelum ke stasiun pasar turi Surabaya. Tapi karena supir elf kami nampaknya punya hobi nyasar, kami memutuskan untuk segera kembali ke stasiun saja. Lagipula kami sudah tidak mood melakukan apapun dengan badan lepek berkeringat.
Oiya, rasanya tidak lengkap cerita travelling tanpa mencantumkan tempat membeli oleh-oleh ya? Di surabaya ada pusat oleh-oleh di daerah Genteng Kali. Dari stasiun pasar turi Surabaya, cukup 15 ribu dengan becak. Kalau dengan taksi mungkin sekitar 25ribu - 30 ribu. Kalian bisa membeli macam-macam makanan khas Jawa Timur, mulai dari Brem sampai Suwar-Suwir, keripik Apel sampai keripik ubi.
Toh saya tidak membeli banyak oleh-oleh. Barang bawaan saya sendiri sudah sangat banyak. Saya tidak berencana memaksa membawa banyak bawaan dengam merepotkan orang lain. Saya sudah cukup sedih melihat beberapa orang tetap dimintai tolong membawakan ini-itu yang bukan barang bawaan mereka sendiri, padahal mereka sedang berlibur. Jadi, maaf ya kawan-kawan, ijinkan saya menggantikan oleh-oleh itu dengan cerita ini.
Pada posting selanjutnya, saya akan mengupload foto-foto menarik selama saya di Malang-Surabaya-Madura.
Banyak orang berpergian untuk berlibur atau bekerja. Saya pergi untuk mempertemukan pertanyaan dengan jawaban. Ketiga pertanyaan yang saya bawa ke Malang kemarin telah pulang bersama jawabannya. Rasanya perjalanan kali ini sama sekali tidak sia-sia.
Terima kasih Teman, sudah membaca postingan saya kali ini :D