Ibu sayang,
Ibu pasti cenayang deh. Aku sudah sadar dari dulu bahwa Ibu adalah cenayang. Selama ini aku cuma nggak mau percaya, berusaha mengabaikan semua fakta yang nyata itu.
Karena sekarang aku sudah percaya bahwa Ibu memang cenayang, aku tahu bahwa Ibu juga tahu bahwa aku pernah sangat marah sama Ibu. Ingat setahun yang lalu, 10 Oktober 2010, waktu lelaki itu akhirnya menikahi gadis lain? Waktu itu Ibu pasti merasakan bahwa aku sempat marah sama Ibu kan? Bagaimana mungkin aku nggak marah, Ibu selalu berpura-pura nggak tahu bahwa kami saling mencintai sejak sepuluh tahun lalu. Ibu selalu bilang bahwa aku masih harus menyelesaikan sekolah setiap kali lelaki itu bilang menginginkanku. Setelah aku selesai kuliah, Ibu mengganti strategi dengan selalu mengalihkan pembicaraan setiap kali lelaki itu mulai pembicaraan tentang aku. Akhirnya aku nggak bisa menyalahkan lelaki itu waktu akhirnya dia menyerah terhadapku dan memulai dengan gadis lain. Hubungan kami kayaknya memang cuma seperti roda: kadang di bawah, dan akhirnya nggak pernah sampai di atas, karena hubungan kami seperti roda mobil yang mogok. Berhenti. Nggak pernah sampai kemana-mana. Dan akhirnya kami dengan kesepakatan-tak-terkatakan memutuskan untuk mengambil jalan masing-masing. Menyelesaikan sesuatu. Yang bahkan nggak pernah dimulai.
Waktu itu aku sempat marah sama Ibu. Tapi kemudian aku mengingat-ingat lagi masa lalu kita. Ini bukan pertama kalinya Ibu melarangku melakukan sesuatu. Dulu Ibu juga pernah mati-matian melarangku kuliah di Unpad (Universitas Padjajaran) kan, cuma karena nggak mau aku tinggal jauh dari Ibu. Padahal waktu itu aku sama sekali nggak yakin bisa masuk UI, dan pilihan yang paling mungkin bagiku saat itu cuma Unpad. Tapi demi Ibu, akhirnya aku nekat milih UI. Dan akhirnya, meski hasil try-out SPMBku nggak pernah menembus standar UI, saat SPMB sungguhan, aku justru diterima di UI. Saat itu aku bersyukur karena Ibu berkeras melarangku memilih Unpad.
Ibu ingat juga waktu Ibu lagi-lagi melarangku melanjutkan sekolah ke Chiba University? Waktu itu aku juga marah. Tapi setahun kemudian ada berita tentang gempa dan tsunami di Jepang, dan Chiba adalah salah satu kota yang terkena dampaknya. Lagi-lagi, saat itu aku bersyukur karena Ibu melarangku kuliah disana.
Tuh kan, Ibu cenayang banget deh. Ibu selalu tahu apa yang akan terjadi padaku. Larangan Ibu selalu tepat. Ibu keukeuh mengelak bahwa Ibu memang punya kekuatan cenayang. Ibu bilang, itu namanya “insting keibuan”. Well, mungkin juga begitu. Ibu selalu pakai kata-kata sakti: “Nanti kalau kamu punya anak, kamu pasti bisa merasakan juga yang Ibu rasakan sekarang.”
Sekarang, setahun setelah lelaki itu menikahi perempuan lain, aku masih belum bisa mensyukuri larangan Ibu. Tapi aku percaya, suatu saat nanti aku pasti akan menemukan alasan yang bikin aku mensyukuri larangan Ibu untuk nggak bersama laki-laki itu. Iya kan Bu? Ibu pasti udah merasakan bahwa dia bukan yang terbaik buat aku kan? Karena Ibu adalah cenayang kan?
Orang bilang, omong kosong itu kata-kata: “Mencintai tidak harus memiliki.” Tapi bagiku, itu bukan bualan, Ibu sayang. Belakangan ini aku sudah sampai pada satu kesimpulan bahwa nggak ada gunanya memiliki, jika cinta itu akan menyakiti orang lain yang juga mencintai aku. Karena cinta harus memilih, dan kadang pilihan-pilihan yang ada bukanlah sesuatu yang bisa dipilih dengan mudah. Apalagi kalau pilihan itu adalah antara lelaki yang aku cintai dengan Ibu tersayangku. Jangan suruh aku milih, Bu. Ibu tahu bahwa aku akan selalu memilih Ibu. Orang bilang, cinta akan selalu menemukan jalannya. Tapi karena kami nggak pernah bisa menemukan jalan kemana-mana, jadi akhirnya aku cuma bisa menghibur diri dengan berpikir bahwa dia bukan “the love of my life”.
Orang-orang datang dan pergi dalam hidupku. Beberapa orang membekas di hati terlalu dalam. Dan dari sedikit orang itu, ada orang-orang yang hatinya saling terkait denganku. Dan seperti semua ikatan, ada yang ikatan yang selamanya tidak bisa lepas, seperti ikatan darah. Ada ikatan yang sejak awal nggak pernah berarti apa-apa. Dan ada ikatan yang meski aku ingin mempertahankannya, tapi aku tahu aku harus melepaskannya. Karena melepaskan sangat menyakitkan, tapi mempertahankan akan lebih menggiriskan. Ibu pasti tahu apa maksudnya kan?
Kalau Ibu tanya, apa aku menyesali keputusanku untuk memilih Ibu, aku akan jawab “nggak”. Bahkan setelah lewat setahun, hatiku masih terus merasa sakit, Bu. Ibu pasti tahu rasanya kan? Tapi aku nggak pernah menyesal sudah menuruti larangan Ibu. Aku juga nggak menganggap keputusanku sebagai perngorbanan kok Bu. Bukan! Kata semulia “pengorbanan” cuma layak disandingkan pada jasa-jasa tanpa pamrih Ibu terhadapku. Sombong banget kalau aku mikir bahwa dengan memilih Ibu ketimbang lelaki itu adalah sebuah pengorbanan. Itu hanya bakti yang sudah selayaknya aku lakukan demi Ibu yang sudah membahagiakanku sejak kecil. Penderitaan kecil hatiku nggak akan sebanding dengan kebahagiaan Ibu.
Ibu sayang,
Kalau nanti Ibu sudah menemukan lelaki yang membuat Ibu merasa bahagia kalau melihatku bersamanya, kasih tahu aku ya Bu. Aku percaya sama Ibu. Entah itu karena Ibu adalah cenayang, atau karena itu “naluri keibuan”, aku pasti percaya sama Ibu. Hanya dengan orang yang bisa membuat Ibu bahagia, aku akan bersamanya. Karena Ibu pasti tahu yang paling baik buatku kan? Karena cintanya Ibu buatku adalah perpanjangan cinta dari Rabb Yang Maha Rahim di bumi ini kan?
Ibu sayang,
Jangan berhenti jadi cenayangku ya Bu J
Dari klien setia Sang Cenayang Hebat
Setuju, sayang... Jempol buat niechan :)
BalasHapus