Time change people
“Ini Bagas, Nad.
Masih ingat kan?”
Almira
memperkenalkan pemuda yang berdiri di sampingnya kepada Nadia. Nadia
mengernyit, mencoba mencari sosok pria tinggi berkulit putih dengan rahang
kelabu itu di dalam ingatannya. Tapi ia gagal.
“Hai Kak,” sapa
pemuda itu, sambil mengulurkan tangannya. “Lama nggak ketemu.”
“Ini Bagas,” kata
Almira mengulang, sambil menyikut lengan Nadia, “Adik gue. Masa lo lupa?”
Mata Nadia membesar.
Bagas adiknya Almira?
“Ya ampun Bagas.
Sudah besar sekarang. Gue sampai nggak mengenali,” pekik Nadia tertahan. Ia
menyambut uluran tangan Bagas sambil tertawa bingung. Benarkah ini Bagas yang
dikenalnya dulu?
Bagas tertawa. Wajah
Nadia, tanpa sebab, memanas.
Almira sudah pamit
entah kemana, berkeliling menemui teman-teman kuliahnya yang juga hadir di
resepsi pernikahan itu, teman-teman yang sudah lama tidak ditemuinya sejak ia
melanjutkan pendidikan ke Jerman. Nadia dan Bagas ditinggal begitu saja.
“Udah kelas berapa
sekarang?” Nadia kembali bertanya, masih takjub.
Bagas tertawa lagi. “Udah
hampir lulus kuliah, Kak. Lagi skripsi sekarang.”
“Hah?!” Nadia
bengong. “Rasanya baru kemarin gue datang ke syukuran khitanan lo?”
“Itu udah 10 tahun
yang lalu, Kak. Terakhir kita kita ketemu aja, gue udah SMP lho Kak.”
“Oh iya ya?” Lalu
Nadia menertawakan sendiri kepikunannya. “Lama nggak ketemu, lo berubah banget,
Bagas. Dulu gue masih bisa unyel-unyel rambut lo. Sekarang nggak bisa lagi,” lanjut
Nadia sambil tertawa memandang menengadah karena sekarang tinggi badannya hanya
sebahu pemuda itu.
Bagas tertawa. Lalu
tanpa peringatan lebih dahulu, ia meletakkan telapak tangannya di atas kepala
Nadia.
“Sekarang gantian.
Gue yang bisa unyel-unyel rambut Kak Nadia.”
Senyum Nadia
tertahan.
“Kemana sih Kak
Mira?” Bagas menurunkan tangannya dari kepala Nadia, lalu celingukan mencari
sosok kakak perempuannya yang sudah menghilang entah kemana. “Dia yang ngajak
gue kondangan, tapi gue malah ditinggalin. Gue ikut Kak Nadia aja deh. Cari
makan yuk Kak, laper nih.”
Bagas menyambar
tangan Nadia dan menariknya. Nadia merasakan ada kekuatan lain yang menariknya
dari masa lalu.
Experience change people
“He loves you.”
“No, he didn’t.”
“He didn’t. He does now.”
“Dia sudah
sangat terlambat kalau begitu.”
“You used to love him, eh?”
Perempuan itu
melengos. Ia mengabaikan pertanyaan itu.
“Bu... Dulu Ibu
cinta sama Ayah kan?”
Perempuan itu
tetap tidak menjawab.
“Aku bisa ada di
dunia ini karena Ayah dan Ibu saling mencintai kan?”
“Berhenti bertanya
tentang itu lagi, Brama,” akhirnya sang Ibu menjawab dengan rona wajah yang kaku,
“Ibu mencintai dia. Iya, dulu. Tapi dia nggak pernah mencintai Ibu. Dia selalu
bilang bahwa dia menikahi Ibu hanya karena dijodohkan oleh ibunya. Kamu tahu
apa yang dia katakan saat Ibu memberitahunya tentang keberadaanmu di rahim Ibu?”
Brama diam.
Tidak berani menjawab.
“Dia tidak
percaya bahwa kamu anaknya. Dia pikir Ibu selingkuh. Semua orang, bahkan ibunya
sendiri, sudah berusaha meyakinkannya. Tapi tidak ada gunanya.”
“Tapi sekarang
Ayah percaya. Ibu lihat, makin besar aku makin mirip Ayah.”
Perempuan itu
terdiam.
“Ibu nggak mau
memaafkan Ayah?”
Sang ibu tetap
diam. Tangan kanannya menggenggam tangan kirinya yang gemetar. Entah menahan
amarah, atau menahan tangis.
“Ibu nggak cinta
Ayah lagi?”
“Hati dan
perasaan bukan benda mati yang bisa diawetkan, Brama. Semua sudah berubah.”
Time change everything
“Ohisashiburi.”
“Long time no see, Akbar.”
“Apa
kabar, Lian?”
“Baik.
Kamu?”
“Baik
juga. Lima tahun nggak ketemu ya. Kamu berubah.” Jadi lebih cantik.
“Time change everything.” Tapi perasaan aku ke kamu nggak berubah. Dan
mungkin ketidaktahuan kamu juga nggak berubah
“Tapi
ada hal-hal yang nggak berubah.”
“Apa?”
“Kenangan.”
Aku tetap mengingatmu.
Except memories
“ Wah, apa kabar, Mas?” sapa Tita ramah. Suasana di pesta
pernikahan itu makin siang makin ramai.
“ Baik, Ta. Kamu sendiri
gimana?”
“
Hehehe, alhamdulillah,” jawab Tita, sambil nyengir khas. “Tadi saya udah ketemu Indy, tapi katanya Mas Danu lagi cari makanan. Belum dapet juga? Atau ini udah ronde
kesepuluh? Hahaha,” goda Tita sambil tertawa renyah.
“ Kamu nggak berubah ya Ta, masih aja suka ngeledekin orang,” jawab
Danu sambil nyengir.
“ Gimana mau berubah, Mas? Lha wong suami saya juga kerjaannya ngisengin orang
melulu kok. Hehehe. ”
Ekspresi Danu sedikit
berubah. “Kamu datang sama suami kamu?”
“Iya. Tuh sekarang lagi ngobrol sama Indy dan Lila, ” jawab Tita, “Eh, Lila tuh lucu banget ya Mas. Mas Rahman gemes banget tuh sama dia.”
Setelah mereka berdua
mendapatkan bakwan malang masing-masing, mereka memutuskan untuk mencari Indy dan
Rahman.
“ Sekarang
kamu agak gemuk. Bagus sih, nggak sekurus dulu,” kata Danu sambil berjalan di samping Tita.
Tita
tertawa. “Iya nih, baru juga 3 bulan, semua orang udah bilang aku gemuk. Gimana
kalau nanti udah 9 bulan ya? Haha.”
“Kamu lagi hamil?”
“ Hehehe. Iya.”
“ Selamat kalo gitu,” kata Danu kemudian, agak canggung.
Tita berterima kasih dengan
nada ceria.
Tiba-tiba Tita menemukan
sosok Indy dan suaminya diantara kerumunan orang. Dia memberitahukan Danu, dan
segera bergegas menghampiri mereka berdua.
“ Kamu tahu, Ta …” kata Danu tiba-tiba.
“ Ya?”
“ Dulu saya pernah jatuh
cinta sama kamu.”
Dan sampai sekarangpun
masih ... lanjutnya dalam
hati. Danu sendiri syok. Entah kekuatan dari mana yang membuatnya bisa
mengucapkan hal itu padahal selama 15 tahun dia tidak pernah berani mengatakannya.
Langkah Tita terhenti dan
dia menatap heran pada Danu. Tapi itu hanya sesaat.
Dulu aku selalu
mengharap mendengar kata-kata ini. Sekarang tidak lagi. Dulu aku selalu
mengenangmu dengan rasa perih. Tapi sekarang aku bisa berhadapan denganmu tanpa
perasaan apapun sama sekali.
“
Daun yang sudah tertiup angin nggak akan pernah kembali
ke pohonnya,” kata Tita akhirnya, sambil tersenyum ringan. Ia kembali melangkah, menemui
suaminya. Meninggalkan masa lalunya di belakang.
Orang
bilang, waktu mengubah segalanya, kecuali kenangan. Karena yang sudah terjadi
tidak bisa diubah. Tapi sebenarnya tidak begitu. Yang sudah terjadi memang
tidak bisa diubah. Tapi cara kita mengingatnya, terus berubah.
Waktu
mengubah segalanya. Termasuk kenangan.
People change people
“You have changed.”
“No, I’m not.”
“Yes, you are. Sejak bertemu dia, kamu berubah.”
“Aku masih sama. Aku
nggak berubah. Jangan pergi.”
“Aku nggak yakin.”
Beberapa orang tidak mau berubah, atau tidak mau mengakui telah berubah,
hanya karena takut ditinggalkan.
“You have changed.”
“Berubah gimana?”
“Kamu senang berteman dengan
dia?”
“Iya. Dia ceria. Bisa membangun suasana.
Perhatian. Dan selalu menyebar aura positif.”
“Jadi benar, karena
dia maka kamu nggak butuh aku lagi untuk tempat bersandar?”
“Bukan begitu.”
“Kamu berubah. Sejak
ketemu dia.”
“Iya, aku berubah.
Menjadi lebih bahagia. Dan aku bahagia menjadi lebih bahagia.”
“Nan...”
“Aku nggak mau lagi
bersandar sama kamu. Aku mau kita berdiri bersama. Aku mau kita berlari
bersama, mengejar impian bersama.”
Padahal tidak perlu takut berubah, atau takut mengakui telah berubah,
menjadi lebih baik. Dia yang layak bersamamu adalah yang tetap bersamamu meski
kamu berubah. Berusaha menarikmu berdiri saat kamu berubah menjadi lebih buruk.
Dan berlari bersamamu saat kamu terus berubah menjadi makin baik.