Luna Lovegood inside. Noda Megumi outside.

Sabtu, 25 Januari 2014

UNCONDITIONAL


Gadis itu menyeruput jus jeruknya tanpa ekspresi nikmat. Lalu dia menyingkirkan anak-anak rambutnya, yang diterbangkan angin dari wajahnya, dengan gerakan yang gusar.
“Dia bakal marah besar kalau tahu tentang kita, Artha,” kata gadis itu.
“Gue tahu.” Pria bermata kecil itu menjawab.
“Kalau udah tahu, kenapa tetap meminta gue?”
“Karena cuma lo yang bisa ...”
“Kalau lo udah nggak tahan, kenapa nggak putusin dia aja?”
“Lo tahu alasannya.”
“Gue merasa bersalah sama Dipta, Tha.”
“Ini bukan salah lo, Rahmi,” lelaki itu meraih tangan gadis di hadapannya.  “Kalau dia nggak sebegitu dinginnya, gue nggak akan melakukan ini. Lo ngerti kan?”
Rahmi menarik tangannya dan menghela nafas. Gusar. “Kalau dia nggak sebegitu dinginnya ... You have no idea what she has been through.”
You tell me, then.”

Kadang kita bertemu orang yang salah di waktu yang tepat.
Kadang juga, kita bertemu orang yang tepat ... di waktu yang salah.

*  *  *

Rahmi sudah mengenal Dipta nyaris seumur hidupnya. Sejak dia mulai bisa mengingat, Rahmi sudah mengenal Dipta. Itu berarti mereka bahkan sudah berteman sejak masa bayi mereka. Memiliki orangtua yang bersahabat sejak SMA, tinggal di perumahan yang sama dan menimba ilmu di sekolah yang selalu sama, membuat Dipta dan Rahmi seperti anak kembar yang tak terpisahkan. Tapi seperti juga semua kisah persahabatan lain, kisah cinta kadang adalah yang membentangkan jarak diantara persahabatan.
Dipta pertama kali jatuh cinta saat kelas tiga SMA. Di sekolah itu, Dipta termasuk 10 besar murid paling pandai seantero sekolah. Sementara pemuda yang ia jatuhi cinta adalah cowok basket. Tapi bukan hal itu yang membuat Rahmi merasa tidak terlalu cocok dengan cowok itu.
“Kita juga beda banget, Mi, tapi akur-akur aja,” kata Dipta ketika menanggapi komentar Rahmi tentang perbedaan mereka.
Iya juga sih. Meski berada di jajaran murid paling pandai seantero sekolah, Dipta sama sekali tidak tampak seperti kutu buku yang kuper. Sebaliknya, dia adalah jenis orang memiliki banyak teman dimana-mana, meski tidak pernah benar-benar bersahabat dengan siapapun kecuali dengan Rahmi. Sebaliknya, Rahmi lebih pendiam. Sifatnya ramah, tapi tidak pandai menjalin hubungan dengan orang baru. Tidak seperti Dipta yang banyak omong, Rahmi lebih sering diam, mendengarkan dan memperhatikan. Mungkin karena itu, mereka tahan bersahabat sejak bayi hingga sebesar itu.
Tapi sejak dekat dengan Aldi, nama si cowok basket itu, Dipta menjadi agak jauh dengan Rahmi. Di sela-sela waktu luangnya yang biasa ia habiskan bersama Rahmi, kini Dipta lebih sering terlihat bersama Aldi.
“Lo pacaran sama Aldi, Ta?” tanya Rahmi suatu kali, mengonfirmasi kedekatan sahabatnya dengan si cowok basket itu.
“Nggak. Kita temenan doang,” jawab Dipta, dengan ekspresi malu-malu dan cengiran salah tingkah.
Tapi ekspresi dan senyuman itu tidak bertahan lama. Sebulan. Dua bulan. Tiga bulan.
“Lo beneran nggak pacaran sama Aldi?” Rahmi bertanya kembali, berbulan-bulan kemudian.
“Nggak. Kita temenan doang.” Tapi kali ini, jawaban Dipta itu tidak disertai senyum malu-malu yang sama.
“Tapi lo setiap hari BBM-an sama dia?”
“Iya.”
“Gue juga temenan sama lo, tapi kita nggak BBM-an setiap hari.”
Dipta tidak menjawab.
Rahmi tidak banyak tanya lagi. Tapi dalam diam, dia terus mengamati hubungan sahabatnya dengan pemuda itu. Selama tiga bulan itu, dia telah melihat banyak hal. Bisa disimpulkan, hubungan Aldi dan Dipta adalah jenis hubungan yang positif. Aldi tidak pernah membuat Dipta berubah menjadi buruk. Yang mereka lakukan selama tiga bulan itu hanya belajar bersama, makan bersama, atau nonton. Bahkan semua hal itu tidak pernah mereka lakukan berdua saja. Aldi selalu mengajak teman-temannya serta, dan kadang Dipta juga mengajak Rahmi.
“Besok temenin gue nonton yuk Mi,” suatu kali Dipta mengajak Rahmi.
“Mau nonton apa?”
“Nggak tahu. Si Aldi nggak bilang mau nonton apa.”
“Oh, bareng Aldi? Males ah,” Jawab Rahmi, ogah-ogahan.
“Kenapa?”
“Nanti gue jadi raket nyamuk.”
“Yaelah. Apaan sih. Nggak kok. Si Aldi juga bareng temen-temennya.”
“Hah? Nonton rame-rame nih?”
“Iya.”
“Kenapa nggak berduaan aja? Besok kan malem Minggu.”
“Besok Sabtu malam,” Dipta menjawab sambil manyun.
Rahmi nyengir mengejek. “Kalian belum pacaran juga?”
“Nggak lah, kita temenan doang,” begitu jawaban Dipta, seperti selalu.
“Serius Ta? Lo nggak naksir sama sekali sama si Aldi?”
“Nggak.”
Tapi Rahmi tidak melihat jawaban yang sama di mata sahabatnya itu.
“Kalian kalau BBM-an sampai malam tuh ngobrolin apa aja sih Ta?” tanya Rahmi, curiga.
“Siapa bilang BBM-an sampai malam?” Dipta langsung salah tingkah ditanya begitu. Seperti maling tertangkap basah.
“Udah deh, jawab aja. Nggak usah ngeles mulu, kayak tukang bajai.”
Dipta tertawa sambil memukul lengan Rahmi. Tawanya lama. Berharap bisa mengalihkan pembicaraan. Tapi Rahmi tidak ikut tertawa. Dia diam, menunggu.
Tawa Diptapun memudar melihat ekspresi Rahmi.
“Gue mau curhat, Mi,” kata Dipta akhirnya.
Rahmi mengangguk dan pasang tampang kalem. Tapi dalam hati dia tersenyum. Seperti biasa, gadis pendiam ini selalu berhasil mengandalkan kemampuan persuasinya untuk memaksa sahabatnya itu curhat. Pancing dikit, langsung curhat, kata Rahmi dalam hati, tetap mempertahankan wajah dinginnya.
“Udah enam bulan nih  Mi, sejak Aldi mulai komen-komen status FB gue dan akhirnya minta pin BB gue,” kata Dipta memulai.
Rahmi mengangguk pelan, tetap cool.
“Tapi kami tetap gini-gini aja,” Dipta melanjutkan, “Kita bisa BBM-an nyaris 12 jam sehari, tapi kebanyakan kita ngomongin pelajaran sekolah. Awalnya gue senang. Gue pikir, itu cuma modus dia untuk deketin gue. Tapi bahkan sampai sekarang kita masih gini-gini aja. Waktu dia pertama kali ajak gue makan, gue udah seneng aja. Nggak tahunya, dia ajak teman-temannya juga. Dia juga beberapa kali ajak gue nonton, dan selalu bareng temen-temennya juga. Gue senang dia mengenalkan gue ke sahabat-sahabatnya, tapi gue nggak merasa bahwa dia pengen gue menjadi bagian dari mereka.”
“Kalau ngumpul-ngumpul makan bareng teman-temannya gitu, biasanya ngobrolin apa Ta?”
“Sekolahan. Pelajaran. Basket.” jawab Dipta lesu. “Gue bahkan jadi banyak search tentang basket lho Mi, demi supaya gue bica terus ngobrol sama dia. Dia paling semangat ngomongin basket.”
Rahmi tersenyum kecil. Menahan diri untuk geleng-geleng kepala.
Kelakuan, gumam Rahmi dalam hati, kalau udah sayang sama seseorang, kita pasti berusaha menyesuaikan diri dengan dunianya.
“Aldi bahkan pernah ngajak gue ke rumahnya. Gue udah senang ya, dikira mau dikenalin ke keluarganya. Eh, nggak tahunya disana sahabat-sahabatnya udah pada ngumpul. Lalu mereka minta diajarin ulangan Kimia. Gue pernah ajak dia makan berdua, tapi dia selalu ajak temen-temennya juga. Gue nggak ngerti lah sama Aldi.”
“Lo nggak pernah mancing-mancing obrolan gitu?”
“Gue pernah mencoba sekali ngambek ke Aldi, pengen lihat responnya. Dia minta maaf kalau ada salah, meski dia nggak tahu dia salah apa. Dia bilang, dia nggak tahan kalau gue berhenti ngomong sama dia. Yaaahh... kalah deh gue. Begitu dia bilang begitu, gue langsung lupa tujuan utama gue ngambek. Gue tiba-tiba langsung luluh dan mau ngobrol lagi sama dia sebelum berhasil tahu perasaan dia ke gue.”
Rahmi manggut-manggut. Mendengarkan dan menganalisa.
Sejak itu, tanpa diketahui Dipta, Rahmi diam-diam memperhatikan Aldi dengan lebih detil. Memperhatikan kegiatan pemuda itu, sikap dan tingkah lakunya, termasuk sahabat-sahabatnya. Dari hasil pengamatannya selama beberapa minggu, Rahmi jadi bingung sendiri membuat kesimpulan. Rahmi tidak menemukan ada yang salah dengan pemuda itu. Semua kegiatan dan tingkah lakunya baik-baik saja, tidak ada yang mencurigakan. Kalaupun ada yang mencurigakan adalah karena Aldi adalah salah satu anak basket yang diidolakan gadis-gadis. Rahmi sempat melihat beberapa gadis berusaha mendekati Aldi. Tapi sejauh yang berhasil diamati oleh Rahmi, Aldi tidak pernah terlalu dekat dengan gadis manapun kecuali dengan Dipta dan Hani. Hani adalah salah satu dari sahabat-sahabat Aldi. Pemuda itu memiliki semacam geng beranggotakan 6 orang, yang kemana-mana selalu bersama. Hani adalah satu-satunya perempuan di geng itu.
“Aldi tuh pacaran sama Hani atau nggak sih Ta?” Rahmi bertanya kepada Dipta, suatu hari.
“Nggak.”
“Nggak apa? Mereka nggak pacaran, atau lo nggak tahu?”
“Gue nggak tahu,” jawab Dipta, “Tapi Aldi pernah bilang, si Hani itu sahabatnya dari SMP.”
Rahmi menatap mata Dipta. Ada keraguan dan penyangkalan terlihat di sana.
Bahkan setelah beberapa minggu mengamati pemuda itu, Rahmi tidak juga menemukan alasan mengapa Aldi mendekati Dipta. Tapi tidak ada juga yang terlalu mencurigakan dari pemuda itu. Tapi justru itulah yang membuat Rahmi makin curiga.


Hanya ujian nasional dan ujian masuk PTN yang mampu mengalihkan Rahmi dari kegiatan mematai-matai Aldi. Namun, intensitas komunikasi Aldi dan Dipta tidak juga berkurang. Mereka makin sering belajar bersama... bersama geng Aldi, dan terkadang bersama Rahmi juga. Meski demikian, Rahmi tidak merasa ada yang salah dengan kegiatan belajar bersama ini sehingga dia merasa tidak perlu mencurigai apapun.


Pada akhirnya, Rahmi bersyukur bahwa kecurigaannya terhadap Aldi baru terbukti setelah Dipta lulus sebagai lulusan terbaik di sekolahnya dan diterima di universitas negeri di bilangan Depok. Syukurlah demikian, sehingga dia tidak perlu khawatir konsentrasi belajar Dipta akan terganggu.
Saat itulah Dipta akhirnya mengetahui alasan mengapa selama ini Aldi mendekatinya.
“Kalau bukan karena sering belajar bareng Dipta, kita mungkin nggak akan lulus dengan nilai selumayan ini. She’s born to be a teacher.”
Dipta tidak sengaja mendengar Aldi berkata begitu kepada sahabat-sahabatnya yang lain. Gadis itu terdiam, bersembunyi di balik dinding di belakang meja kantin tempat Aldi dan gengnya berkumpul.
Seorang gadis datang membawa dua buah teh botol dan meletakkan salah satunya di hadapan Aldi.
“Untung gue bukan pacar posesif dan cemburuan,” kata gadis itu sambil meminum teh botolnya sendiri. Gadis itu adalah Hani.
 “Halah! Padahal dulu kamu sempat cemburu sebelum aku bilang bahwa aku cuma berteman sama Dipta dan cuma minta bantuan Dipta untuk ngajarin kita.”
Aldi tertawa sambil mengacak-acak rambut gadis itu. Hati Dipta teracak-acak.


*  *  *


Sometimes you have to try not to care.
Because sometimes, no matter how much you do,
You can mean nothing to someone who means so much to you.
It’s not pride. It’s self respect.


Dipta lulus dari SMA dengan prestasi akademik yang membanggakan, tapi tidak bisa membuktikan lagu Chrisye “Masa-masa paling indah, masa-masa di sekolah. Tiada kisah paling indah, kisah-kasih di sekolah.” Bah!
Dipta baru memiliki pacar pertama di tahun terakhir kuliahnya. Mereka sudah saling kenal sejak jadi mahasiswa baru sebenarnya, tapi butuh waktu yang lama bagi Angga – nama pemuda itu – untuk mendekati Dipta.
Tidak ada yang berubah dari Dipta. Dia tetap gadis yang ceria, ramah, hangat dan mudah berteman dengan banyak orang. Tapi terhadap pemuda-pemuda yang mendekatinya, dia tidak pernah lagi menanggapi mereka. Sejak kejadian tidak menyenangkan saat SMA dulu, dia berhenti peduli.
Selama masa kuliah, ada dua pemuda selain Angga yang juga mendekati Dipta. Modusnya masih mirip dengan yang dilakukan Aldi: dimulai dari facebook, berakhir pada BBM. Tapi Dipta tidak pernah membiarkan cowok-cowok itu maju lebih jauh, masuk ke hatinya.
Dia memang ramah kepada semua orang, selalu begitu yang Dipta tanamkan di pikirannya terhadap aksi pendekatan pemuda-pemuda itu.
Sesama teman memang harus saling memperhatikan, begitu yang dipikirkannya jika ada cowok yang mulai mengiriminya SMS “Udah makan belum?”
Tapi saat moodnya buruk, Dipta tidak bisa menahan dirinya untuk berpikir, Cowok ini pasti mendekati gue hanya untuk memanfaatkan gue seperti Aldi. Tanpa bisa dicegah, Dipta menjadi apatis terhadap pesan manis cowok-cowok yang mendekatinya.
Kedua pemuda yang mendekati Dipta lama-lama merasa frustasi karena aksi PDKT mereka tidak pernah mendapat respon positif dari Dipta. Dipta memang tetap menyapa ramah dan berteman hangat dengan mereka, tapi Dipta tidak pernah menanggapi usaha-usaha flirting mereka. Tidak ada laki-laki yang mampu bertahan flirting tanpa hasil selama lebih dari enam bulan. Maka akhirnya satu per satu mundur.
Hanya Angga yang bertahan.
Angga tidak memulai dari facebook seperti yang lain. Ia meminta nomor ponsel Dipta saat mereka sama-sama mahasiswa baru di kampus. Mereka satu kelompok ospek. Setelah masa ospek berakhir, mereka terpisah beberapa lama sampai bencana banjir di Jakarta mempertemukan mereka kembali. Mereka tergabung di divisi Pengabdian Masyarakat BEM Fakultas masing-masing. Angga membantu di posko pengobatan untuk para pengungsi. Sementara itu, Dipta dan beberapa temannya yang lain mendapat tugas mengajar anak-anak di pengungsian. Tidak benar-benar mengajar, sebenarnya. Mereka mengajak anak-anak itu bernyanyi dan bermain. Dipta bahkan membacakan dongeng yang ditulisnya sendiri. Pada beberapa hari setelahnya, ketika mereka telah akrab dengan anak-anak itu, barulah Dipta dan teman-temannya mulai membagi anak-anak itu berdasarkan kelas, lalu mereka mulai mengajar.
Angga melihat itu semua dan dia tertarik pada Dipta. Terutama, dia suka melihat Dipta mengajar dan mendongeng.  
Setelah banjir Jakarta surut dan kegiatan PengMas itu berakhir, Angga tetap secara rutin mengirim SMS kepada Dipta. Tidak seperti pemuda lain yang  sejak awal memberondong Dipta dengan pertanyaan semacam “Udah makan belum?” nyaris setiap hari, Angga memulainya dengan cara lain.
Ngantuk di kelas. Dosennya membosankan. Mereka mengajar seperti mendongeng. SMS sederhana seperti itu yang biasa dikirim Angga untuk membuka obrolan.
Jadi waktu dulu melihat gue mendongeng, lo bosan juga? Sampai mengantuk?, Dipta membalas SMSnya.
Gue mengantuk bukan karena bosan mendengar lo mendongeng.
Oh ya? Trus?
Gue mengantuk karena nyaman mendengar suara lo.
Sampai di situ, biasanya Dipta akan segera mengalihkan percakapan. Dia tidak suka membiarkan hatinya jatuh pada orang yang salah lagi. Karena kata Rahmi, “Jatuh cintalah pada orang yang mau menangkap lo yang jatuh kepadanya.” Maka, dia memutuskan untuk tidak akan pernah lagi membiarkan hatinya jatuh pada orang yang tidak pernah menyatakan cinta padanya.
Tidak seperti pemuda lain yang segera menyerah setelah enam bulan pendekatan tanpa hasil, Angga tidak berhenti. Ia tetap mengirimi Dipta SMS. Kadang hanya seminggu sekali atau dua kali. Kadang bahkan sebulan sekali. Tapi Angga tidak pernah berhenti. Angga tidak pernah secara frontal merayu atau memuji Dipta. Sepertinya Angga menyadari bahwa Dipta selalu mengalihkan pembicaraan setiap dia mulai bersikap manis.
Alih-alih mengandalkan pertanyaan pamungkas “Udah makan belum?”, Angga justru mengirim SMS: Gue udah di depan kampus lo nih. Makan siang bareng yuk. Gue mau ngobrolin project PengMas kita nih.
Angga memanfaatkan kolaborasi BEM fakultas mereka pada suatu project PengMas sebagai alibi pendekatan. BEM fakultas mereka memang berkolaborasi untuk mengembangkan suatu desa. BEM fakultas Angga mengembangkan bidang ekonomi melalui wirausaha produk kesehatan, sementara BEM fakultas Dipta fokus pada pembangunan perpustakaan dan pendidikan anak-anak di desa tersebut.
Mengetahui hobi Dipta yang suka mengajar, baik mengajar anak-anak desa atau mengajar les privat, Angga juga mengajak Dipta untuk bergabung di Kelas Inspirasi Gerakan Indonesia Mengajar yang digagas oleh Anies Baswedan.
Setelah dua tahun pendekatan yang panjang, akhirnya Angga menemukan momen yang tepat. Saat mengantar Dipta pulang setelah FGIM (Festival Gerakan Indonesia Mengajar), akhirnya Angga memberanikan diri untuk menyatakan perasaannya.


Karena suatu hari, yang bertanya “Udah makan belum?” akan dikalahkan oleh yang berkata “Makan bareng yuk.”


Dipta telah gagal mencegah dirinya sendiri jatuh cinta pada orang yang tidak mencintainya. Bahkan sebelum Angga menyatakan perasaannya, Dipta sudah jatuh hati pada pemuda itu. Beruntung baginya karena ternyata perasaannya berbalas. Saat Angga mengatakan sayang padanya, Dipta lega luar biasa. Juga senang bukan kepalang. Ternyata dia tidak bertepuk sebelah tangan lagi.
Sejak pacaran, mereka tidak lagi hanya SMS-an seminggu sekali atau dua kali, tapi setiap hari. Dulu Dipta selalu mengalihkan pembicaraan setiap kali Angga mengiriminya pesan “Udah makan belum?”, tapi kini justru Dipta yang biasa memulai obrolan mereka dengan kalimat itu. Dipta berubah, dari seorang gadis yang cuek terhadap perhatian laki-laki, menjadi pacar yang penuh perhatian.
Angga senang dengan perubahan Dipta. Dia senang diperhatikan oleh Dipta. Angga merasa perasaannya kepada gadis itu tidak bertepuk sebelah tangan.


Pada semester akhir kuliah, kesibukan Angga dan Dipta meningkat karena masing-masing sedang sibuk dengan penelitian dan skripsinya. Meski begitu, setiap hari Dipta masih terus menghubungi Angga. Tapi di sisi lain, karena kesibukan penelitiannya, Angga tidak lagi bisa membalas pesan Dipta sesering dulu. Hal inilah yang mulai memicu pertengkaran-pertengkaran.
Angga tidak lagi merasa senang dengan perhatian Dipta yang berlebihan. Dia mulai merasa terganggu dengan sikap pacarnya itu. Setiap hari mengirim pesan menanyakan kabar, yang jika tidak segera dibalas, maka Dipta akan mulai ngambek. Dulu Angga senang kalau Dipta memarahinya saat pulang malam, karena itu bukti perhatian. Tapi sekarang, Angga justru merasa terganggu saat Dipta makin gencar mengiriminya pesan jika ia mengatakan akan berada di lab sampai malam untuk penelitian skripsi.
Kenapa pulang malam? 
Di lab sama siapa?
Udah makan belum? Jangan lupa makan.
Jangan pulang malam-malam.
Hati-hati naik motor malam-malam.
Dan masih sederet pesan lain yang mengganggunya. Angga suka diperhatikan, tapi dia tidak suka diatur-atur. Makin lama perhatian Dipta makin mengganggu. Sudah memasuki kategori annoying.
Dan bukan hanya sikap posesif Dipta yang membuat Angga kesal, tapi juga sikap kekanakan Dipta. Setiap kali mereka berdebat, Dipta pasti merajuk. Kadang sih Dipta nggak ngambek, tapi dia melampiaskan kekesalannya dengan modus #nomention di twitter atau mem-post status galau di facebook. Angga merasa tidak nyaman membaca tweet-tweet #nomention atau status-status FB Dipta yang ditujukan untuk menyindirnya.
Jangan cuma nyindir-nyindir di twitter. Kita omongin baik-baik kalau kamu nggak suka dengan caraku, begitu selalu yang dikatakan Angga, menegur sikap kekanakan Dipta. Kamu berharap orang lain nggak tahu keluhanmu? Jangan menulisnya di social media!


Belakangan Rahmi merasakan ada yang berbeda pada Dipta. Sahabatnya itu jadi lebih sering uring-uringan dan sedih. Pada beberapa kali, Rahmi memergoki mata Dipta berkaca-kaca saat sedang membaca pesan di ponselnya.
“Berantem lagi sama Angga?” Rahmi bertanya sambil menyendokkan es krim ke mulutnya.
Dipta hanya menjawab dengan gumaman. Matanya masih memandang ponselnya sambil guling-gulingan di kasur.
“Gue ngambek,” kata Dipta akhirnya, “Karena Angga nggak cerita kemarin seharian dia ngapain aja. Jadi gue nggak balas SMS dia sejak tadi malam. Tapi dia beneran nggak SMS gue lagi. Dan sekarang gue yang khawatir.”
Rahmi melirik Dipta sambil terus menyendok es krimnya.
“Kelihatan banget,” kata Rahmi, “Lo yang lebih cinta ke Angga, dibanding Angga cinta ke lo.”
Dipta termangu.
Dalam hubungan apapun, akan ada salah satu pihak yang lebih cinta kepada pihak lainnya. Dalam hubungan Dipta dan Angga ini, dengan jelas Rahmi melihat bahwa Diptalah yang rasa sayangnya lebih besar kepada Angga dibanding sebaliknya.
“Dih!” Dipta mengelak, “Kata siapa gue yang lebih cinta? Dia yang duluan mendekati gue, mulai mengirim SMS, dan pertama bilang cinta ke gue.”
“Iya, dia yang memulai, tapi kelihatan jelas bahwa lo yang lebih berusaha mempertahankan hubungan,” jawab Rahmi dingin, tanpa mempedulikan ekspresi Dipta yang terpukul, “Lo jadi lebih perhatian. Itu cuma bahasa halus gue untuk sikap posesif lo yang kebangetan. Beberapa kali gue lihat lo ngambek karena kesal dengan sikap Angga. Tapi pada akhirnya selalu lo yang mengalah dan ngajak baikan duluan. Selalu lo yang bertahan. Apa lo melihat Angga bertahan juga?”
Dipta terhenyak.


Sikap posesif Dipta saja sudah membuat Angga kesal. Ditambah lagi, belakangan ini Dipta jadi lebih cemburuan. Padahal Angga sudah menjelaskan bahwa Hilda adalah sahabatnya, yang kebetulan berada di tim riset skripsi yang sama, dan dengan pembimbing skripsi yang sama, sehingga wajar saja jika mereka sering bersama-sama. Tapi Dipta tetap curiga. Tiap Angga mengatakan bahwa ia menginap di laboratorium bersama kelompok risetnya, Dipta langsung menyebut nama Hilda. Dan tentu saja memang Hilda ada di kelompok itu. Bahkan meski Angga tidak mengatakan apa-apa, Dipta tetap sering mengungkit-ungkit nama Hilda. Kecemburuan Dipta yang membabi buta ini membuat Dipta uring-uringan, dan terlebih membuat Angga frustasi.
Kecemburuan Dipta bukannya tanpa alasan. Dia pernah trauma dengan kisah Aldi-Hani yang ternyata memiliki hubungan romansa meski berkali-kali mengaku hanya berteman. Dipta melihat pola serupa pada hubungan Angga dan Hilda. Mereka sama-sama sahabat sejak lama. Kepada Hildalah, Angga banyak bercerita tentang masalahnya. Apalagi kini melakukan penelitian yang sama, di lab yang sama dan dengan tema serupa. Wajar saja kalau Dipta curiga. Mereka memiliki alasan yang kuat untuk terlibat cinta lokasi.
“Apa aja yang Hilda tahu, tapi aku nggak tahu?” tanya Dipta sutu hari. Bahkan meski ia sudah mencoba menahan diri, Angga tahu bahwa Dipta bertanya dengan aura cemburu yang sangat jelas.
“Dia datang di kehidupanku sebelum kamu. Wajar kalau dia sudah tahu banyak hal tentang aku. Nggak perlu membanding-bandingkan,” Angga menjawab dengan diplomatis, sambil menahan kesal.
Kecemburuan Dipta ini yang membuatnya nekat mendatangi Angga ke fakultasnya, berpura-pura membawakan makan siang, padahal membawa misi khusus untuk memata-matai Angga dan Hilda.


“Aku udah nggak tahan, Ta,” kata Angga akhirnya. “Kita putus aja.”
Tangan Dipta menggantung di udara. Dia tidak jadi menyuap baksonya.
“Angga?” Dipta mengatur nada suaranya supaya tidak bergetar. “Kenapa?”
“Kita udah nggak cocok lagi.”
“Nggak cocok apa?”
“Aku udah nggak tahan sama sikap kamu.”
“Sikap yang mana?”
“Kamu nggak sadar?”
Dipta diam. Nafasnya tercekat. “Aku minta maaf...”
“Nggak perlu minta maaf.”
“No. Aku yang salah, Angga. Aku tahu aku salah. Aku posesif dan cemburuan. Aku minta maaf.” Suara gadis itu terdengar panik.
“Kamu nggak salah,” Angga berkata dengan sangat hati-hati. “Aku tahu kamu sayang sama aku, itu kenapa kamu sangat memperhatikan aku. Tapi kemudian kamu jadi posesif. Aku tahu kamu nggak mau kehilangan aku, itu kenapa kamu cemburu kalau aku dekat dengan perempuan lain. Tapi rasa cemburumu sudah membabi-buta. Kamu nggak salah. Hanya saja, aku nggak cocok lagi dengan cara kamu memperhatikan dan menyayangi aku.”
Mata Dipta sudah berkaca-kaca. Dia meletakkan sendoknya kembali ke mangkoknya dengan gemetar.
“Aku ... nggak akan begitu lagi. Aku nggak mau kita putus, Ngga.”
“Aku udah nggak bisa lagi disayangi dengan cara seperti yang kamu lakukan selama ini. Kamu selalu minta aku segera membalas pesanmu. Kamu menuntut kita berkomunikasi dari pagi sampai malam, seolah-olah aku nggak punya pekerjaan lain. Kamu mencurigaiku, seolah-olah aku nggak boleh punya berteman dengan siapa-siapa.”
“Aku bertanya bukan untuk menginterogasi, Ngga. Aku bertanya untuk mempertahankan percakapan kita. Cuma aku yang bertahan.”
“Kalau gitu, mungkin memang nggak ada yang perlu dipertahankan.”
Dipta menengadah menatap mata Angga. Tidak ada lagi celah yang terbuka untuknya di sana.
“Aku ... akan berubah, Angga.” Dipta menundukkan wajahnya.
“Kamu sudah berubah, Dipta. Bukan lagi seperti yang pertama kali aku kenal dulu.”
“Kalau begitu, aku akan berubah menjadi seperti dulu lagi. Menjadi seperti yang kamu mau.”
“Nggak perlu, Ta,” potong Angga cepat, “Semua orang berubah. Dan nggak ada yang salah dengan perubahan. Kita hanya berubah ke arah yang berbeda, Ta. Kita nggak sejalan lagi.”
Dipta tidak tahu harus berkata apa lagi. Ia tetap menunduk.
“Setiap orang harus berubah jadi lebih baik, Ta. Suatu saat nanti kamu akan menemukan orang yang selalu berubah ke arah yang sejalan dengan kamu. Sayangnya, itu bukan aku.”
Dengan gemetar Dipta mengambil mangkuk kecil berisi sambal dan menuangkan semua isinya yang tersisa ke mangkuk baksonya. Melotot, Angga menarik mangkuk bakso Dipta. Tapi Dipta menahan tangan Angga.
Tanpa menengadahkan kepalanya dan menatap Angga, Dipta bicara pelan. “Pergi aja, Ngga.”
“Aku antar kamu pulang.”
“Pergi, Ngga!” nada suara Dipta menjadi lebih tegas, meski volumenya tetap rendah. “Pergi. Pergi.”
Dipta menghabiskan baksonya hingga tak bersisa. Sekotak penuh tissue di meja itu dihabiskan oleh dirinya seorang.


Bukan jarak, waktu atau kesibukan yang memisahkan.
Ketidak-inginan untuk terhubung adalah yang sebenarnya memisahkan.

*  *  *

Sesunggunya, yang paling menyakitkan dari sebuah perpisahan adalah karena kehilangan yang tiba-tiba. Seperti halnya seorang perokok yang dipaksa berpisah dengan rokoknya. Atau pecandu narkoba yang suplainya dihentikan tiba-tiba oleh sang bandar. Pasti akan mengalami gejala putus obat. Pada beberapa orang yang ingin berhenti merokok, mereka mengurangi jumlah rokoknya sedikit-sedikit dari hari ke hari. Hal tersebut dilakukan untuk mencegah “gejala-putus-rokok” yang menyakitkan. Meski begitu, teknik ini tidak efektif. Orang tersebut akan tetap kecanduan. Pada akhirnya, meski menyakitkan, cara paling efektif untuk berhenti memang dengan cara berpisah.
Begitu pula dengan cinta.
Beberapa dari kita mungkin berpikir bahwa sebaiknya kita berpisah sedikit-sedikit dari orang yang kita sayangi. Mungkin dengan mengurangi dosis pertemuan dan obrolan, sedikit demi sedikit dari hari ke hari, maka dapat terhindar dari “gejala-putus-cinta” yang menyakitkan. Padahal sebenarnya cara itu hanya menunda rasa sakit. Cara paling tepat untuk berhenti mencintai adalah dengan berpisah. Rasanya mungkin sakit. Tapi kamu akan segera melaluinya.
Hal itu yang terjadi pada Dipta.
Rahmi menjadi saksi gejala-putus-obat yang dialami Dipta. Selama seminggu lamanya Dipta memasang foto suram pada semua media sosialnya. Rahmi sampai perlu turun tangan untuk memaksa Dipta mengubah tampilan semua fotonya.
“Ngapain sih lo ikutan pasang foto suram gitu?” Dipta bertanya kepada Rahmi sambil manyun.
“Kalo lo belum pasang foto yang bener, gue juga nggak akan ganti foto,” jawab Rahmi cool. Sambil memakan es krimnya dengan santai.
Sambil menggerutu, Dipta akhirnya mengganti semua foto di semua media sosialnya dengan foto normal.
Rahmi tersenyum. Menyendok sekali lagi es krimnya, lalu menyambar ponselnya dan mengganti semua fotonya ke foto normal.
“Lo inget, gue pernah bilang bahwa nggak perlu selalu berpura-pura baik-baik aja? Bahwa kadang nggak apa-apa kok kalau lo mengaku sedang ada masalah,” Rahmi memandang Dipta dengan mata dinginnya. Dipta mengangguk pelan. “Tapi kadang, kita perlu membatasi, sejauh apa yang boleh orang tahu tentang kita.”


Tidak butuh waktu lama bagi Dipta untuk kembali seperti dulu. Terlepas dari apa yang disimpannya seorang diri di hati, setidaknya sejauh yang dilihat Rahmi, Dipta sudah kembali menjadi Dipta yang cerewet seperti sebelum-sebelumnya. Rahmi bahkan takjub pada kemampuan recovery Dipta yang sangat cepat.
Dan dengan sikapnya yang ceria, ramah dan hangat itu, Dipta dengan segera menemukan cinta yang baru. Artha namanya. Dan sejauh yang dilihat Rahmi, kisah cinta Dipta kali ini berjalan sangat lancar dan baik-baik saja.
Sejauh yang dilihat Rahmi ...


Beberapa orang memiliki hati yang seperti rumah raja yang megah. Kamu baru bisa memasukinya setelah melalui serombongan penjaga, serangkaian pemeriksaan dan berlapis-lapis pagar dan pintu. Beberapa yang lain seperti taman bermain. Siapa saja bisa bermain dengan bebas di sana.
Beberapa yang lain seperti rumah kecil dengan halaman yang luas. Siapa saja bisa bermain di halamannya yang luas. Tapi jangan harap bisa memasuki rumah kecil di tengah-tengah situ. Tidak ada pagar pembatas, tidak juga penjaga yang galak. Hanya labirin di depannya.
Bagi Artha, Dipta adalah manusia seperti itu. Semua orang bebas masuk dan bertamu di halaman rumahnya. Semua orang merasa sudah mengetahui seluk-beluknya, padahal sebenarnya tidak ada satupun yang pernah benar-benar masuk ke dalam rumah itu.
Dipta adalah gadis biasa, simple, ceria dan banyak teman. Hal sederhana itulah yang pertama kali menarik perhatian Artha. Tapi saking simplenya hidup Dipta, Artha merasa bahwa gadis itu sebenarnya tidak sesederhana itu.
Sudah hampir setahun mereka berpacaran, tapi yang diketahui Artha tentang gadis itu tidak pernah lebih daripada yang diketahui orang lain. Semua yang diketahuinya tentang Dipta sama seperti semua yang diketahui orang lain tentang gadis itu. Tidak ada rahasia Dipta yang diberitahukan Dipta hanya kepadanya.
Teman-temannya yang lain banyak yang mengeluh tentang pacar mereka yang manja, ribet, posesif atau cemburuan. Artha tidak pernah merasakan semua itu.
Artha tidak pernah perlu menunggu lama kalau menjemput Dipta untuk malam mingguan. Gadis itu hanya butuh waktu tiga puluh menit untuk mandi dan ganti pakaian. Dipta juga tidak pernah manja atau merajuk minta ditemani kemana-mana. Gadis itu sangat mandiri, pergi kemanapun sendirian. Bahkan nonton bioskop pun sendirian. Dipta juga tidak pernah terlihat cemburu sama sekali, bahkan meski pekerjaan Artha di bidang advertising menyebabkannya banyak bergaul dengan model-model cantik. Artha bahkan tidak pernah melihat Dipta marah. Semua yang dilihat Artha tetap sama seperti Dipta yang dikenalnya pertama kali. Ceria, banyak tawa, tidak banyak gaya, tidak pernah marah dan sederhana. Datar.
Namanya manusia, memang tidak pernah puas. Kalau punya pacar yang manja dan cemburuan, laki-laki mengeluh lelah. Tapi kalau punya pacar yang tenang dan santai, laki-laki mengeluh “Nggak ada tantangannya”. Ya seperti itulah si Artha. Dia merasa Dipta begitu datar. Benar-benar gadis baik-baik yang terlalu positif, tidak pernah marah, manja dan cemburu.
Demi melihat ekspresi Dipta yang lain, Artha bahkan pernah sengaja bercerita tentang Amira, salah seorang model cantik yang dikenalnya. Dipta mendengarkan cerita Artha dengan antusias, seperti selalu. Gagal memancing amarah Dipta secara implisit, Artha memancing dengan lebih frontal.
“Kamu nggak cemburu sama Amira?” tanya Artha.
“Nggak lah. Kamu kan temenan doang sama dia. Iya kan?”
Artha tidak tahu harus merasa apa. Laki-laki lain kebingungan menghadapi pacarnya yang cemburuan. Artha justru bingung mencoba membuat pacarnya cemburu. Dipta seperti makhluk yang tidak punya emosi lain selain bahagia.


Demi membuat Dipta cemburu, Artha bahkan merencanakan hal gila. Lebih gila lagi karena dia mengajak Rahmi, sahabat baik Dipta, untuk bersekongkol.
“Please Mi, bantu gue sekali ini aja,” Artha memohon dengan tampang memelasnya yang lucu.
Rahmi tertawa sambil geleng-geleng kepala. “Buat apa melakukan hal ini, Tha?”
“Gue perlu membuktikan bahwa dia memang benar-benar sayang sama gue.”
“Dipta sayang sama lo. Kurang bukti apa?”
“Semuanya. Gue nggak punya bukti apa-apa bahwa dia sayang sama gue,” kata Artha. Dia berhenti sejenak untuk menyeruput minumnya. “Sejak awal, gue yang menyatakan cinta. Setiap hari, gue yang selalu menyapanya duluan. Gue memanggilnya schatzi, dia nggak punya panggilan sayang buat gue. Berkali-kali gue bilang sayang ke dia. Dia cuma senyum dan mengangguk. Setiap gue tanya, apakah dia sayang sama gue atau nggak, dia cuma mengangguk. Dia nggak pernah mengatakan kata sayang.
Dia nggak pernah cemburu bahkan meski gue dikelilingi model-model cantik. Dia sama sekali nggak takut gue akan diambil perempuan lain. Dia nggak pernah menceritakan rahasianya ke gue. Semua ekspresinya buat gue sama seperti semua ekspresinya untuk semua orang yang lain. Gue bukan seseorang yang istimewa buat dia. Nggak ada bedanya gue dengan temannya yang lain.”
Rahmi menghela nafas. “Lebay banget sih lo, Tha.”
“Gue cuma pengen tahu, siapa gue ini bagi dia. Apa gue istimewa bagi dia? Apa dia pernah merasa takut kehilangan gue?”
“Dia begitu, Tha.”
Then, prove it! Bantu gue, Rahmi. Berpura-puralah selingkuh sama gue. Gue perlu tahu, apa dia akan cemburu kalau melihat kita bersama.”
Gadis itu menyeruput jus jeruknya tanpa ekspresi nikmat. Lalu dia menyingkirkan anak-anak rambutnya, yang diterbangkan angin dari wajahnya, dengan gerakan yang gusar.
“Dia bakal marah besar kalau tahu tentang kita, Artha,” kata gadis itu.
“Gue tahu.” Pria bermata kecil itu menjawab.
“Kalau udah tahu, kenapa tetap meminta gue?”
“Karena cuma lo yang bisa ...”
“Kalau lo udah nggak tahan, kenapa nggak putusin dia aja?”
“Lo tahu alasannya.”
“Gue merasa bersalah sama Dipta, Tha.”
“Ini bukan salah lo, Rahmi,” lelaki itu meraih tangan gadis di hadapannya.  “Kalau dia nggak sebegitu dinginnya, gue nggak akan melakukan ini. Lo ngerti kan?”
Rahmi menarik tangannya dan menghela nafas. Gusar. “Kalau dia nggak sebegitu dinginnya ... You have no idea what she has been through.”
You tell me, then.”


Just because I don’t react, doesn’t mean I don’t notice

“Kali ini hubungan lo dan Artha berjalan lancar kelihatannya,” kata Rahmi, seperti biasa sambil memakan es krimnya dan berguling-guling di kasur Dipta, “Kalian nggak pernah berantem dan ngambek-ngambek lagi.”
Dipta nyengir sambil menggigit coklatnya.
“Padahal Artha dikelilingi cewek-cewek cantik. Lo udah nggak pernah cemburu lagi ya?”
“Nggak.”
“Beneran nggak cemburu?”
“Nggak.”
“Mungkin lo nggak sayang sama Artha?”
“Gue sayang.”
“Kalau sayang, nggak mungkin nggak cemburu.”
Dipta membuang bungkus coklat kosong ke tempat sampah, lalu menjilati coklat yang tersisa di tangannya.
“Gue belajar dari masa lalu, Mi,” kata Dipta. “Terhadap Artha, gue jauh lebih cemburu dibanding terhadap dua laki-laki sebelumnya.”
Rahmi menyadari satu hal. Dipta tidak pernah menyebut nama Aldi dan Angga lagi sejak mereka putus hubungan.
“Semua perempuan di sekelilingnya lebih cantik daripada gue. Dan Artha punya sifat yang hangat, membuat banyak orang, termasuk para gadis cantik itu, nyaman bersama dia. Dia juga humoris. Perempuan gampang luluh terhadap laki-laki yang bisa membuatnya tertawa. Gue cemburu banget.”
“Tapi lo nggak pernah menunjukkan itu kepada Artha. Dia bisa berpikir bahwa lo nggak sayang sama dia.”
Just because I don’t react, doesn’t mean I don’t notice,” kata Dipta, “Gue memperhatikan semua hal di sekitarnya. Gue tahu jadwal makannya dan makanan yang dibencinya. Gue tahu siapa saja teman-temannya di kantor, juga teman-teman futsalnya. Gue tahu klub bola idolanya. Gue tahu siapa saja perempuan yang mendekatinya. Gue banyak mencari tahu tentang dia, Mi. Gue memperhatikannya.
Gue hanya menahan diri untuk nggak terlalu sering menginterogasinya. Gue menahan diri supaya nggak cemburu buta seperti yang gue lakukan dulu. Gue nggak mau menahannya. Pasir yang digenggam terlalu kuat, akan berjatuhan dari kisi-kisa tangan.”
“Lo bukan menahan diri.” Rahmi mendesah prihatin. “Lo berpura-pura.”
“Mungkin berpura-pura adalah langkah awal yang baik supaya kepura-puraan itu bisa jadi kenyataan. Gue berpura-pura baik-baik aja, supaya benar-benar menjadi baik-baik aja.”
“Dipta ...”
“Gue sayang sama Artha, Mi. Gue nggak mau kehilangan dia.”
Rahmi terhenyak.
“Gue akan kehilangan dia kalau gue masih bersikap kekanakan, ngambek, posesif dan cemburu buta seperti yang gue lakukan dulu.”
Rahmi lemas. Sejauh yang dilihatnya selama ini ... ternyata semua ilusi.


Akhirnya Rahmi setuju untuk membantu Artha. Meski risikonya sangat besar, dan bisa-bisa membahayakan persahabatannya dengan Dipta. Tapi sikap Dipta sungguh sudah mengkhawatirnya. Satu orang tidak mungkin mampu menahan semua perasaan itu seumur hidup. Dipta harus belajar mengungkapkan perasaannya, dengan cara yang tepat, bukan dengan cara memendamnya.
Sesuai skenario yang sudah direncanakan Artha, mereka sengaja membuat diri mereka terlihat sedang jalan berdua oleh Dipta. Dan mereka berhasil. Mereka berhasil membuat Dipta menemukan mereka sedang berjalan bergandengan tangan.


Dipta merasa  dirinya akan meledak melihat pemandangan di hadapannya. Tangan itu. Tangan dari dua orang yang disayanginya, saling terkait. Mereka berpegangan tangan. Artha dan Rahmi. Pacar dan sahabatnya.
Dia menatap kedua orang itu. Yang menatapnya balik dengan tatapan yang aneh. Apa seperti itu tatapan maling yang tertangkap basah sedang mencuri? Apa seperti itu tatapan orang yang ketahuan selingkuh?
Sebelum dirinya benar-benar meledak, Dipta berbalik dan berlari pergi. Ia mendengar kedua orang itu mengejar dan memanggil namanya. Tapi dia tidak peduli. Dengan cepat, ia berlari menuju mobilnya dan melarikannya dengan kecepatan tinggi. Pulang ke rumah.


“Mati gue, Tha! Lo harus tanggung jawab!” kata Rahmi panik selagi mereka mengejar mobil Dipta. “Lo harus lihat matanya. Bahkan gue belum pernah lihat mata seperti itu saat dia bersama Angga. Dia cemburu sampai ingin membunuh kita, Tha.”
“Mi, lo bisa nggak sih tenang sedikit? Kita akan menyelesaikannya.”


Bi Parti yang bekerja di rumah Dipta hampir saja tidak mengijinkan mereka berdua menyusul Dipta masuk ke rumah jika saja bukan karena Rahmi yang sudah sangat akrab dengan Bi Parti. Dipta sudah memerintahkan Bi Parti untuk menahan kedua orang itu di luar rumah. Tapi Rahmi memiliki kemampuan persuasi yang baik, membuat Bi Parti membiarkan dirinya dan Artha menyusul Dipta ke kamarnya.
Dipta tidak mengunci pintu kamarnya. Dia tidak mengira Artha dan Rahmi akan tiba di kamarnya. Wajahnya yang merah dan basah dengan air mata tidak sempat ia sembunyikan ketika Artha dan Rahmi masuk secara tiba-tiba.
Sepuluh detik yang terasa sepuluh abad. Mereka bertiga saling berpandangan. Udara di sekitar mereka terasa pekat dan tegang.
“Artha... kita putus!” kata Dipta akhirnya, dengan suara tercekat.
“Kamu cemburu, Ta?” Artha bertanya hati-hati.
Dipta tidak menjawab.
“Kamu cemburu?” Artha mengulang.
“Iya. Gue cemburu!” akhirnya Dipta membentak dengan suara yang tinggi, “Melihat pacar dan sahabat gue mengkhianati gue ...”
“Gue bisa jelasin, Ta,” kata Rahmi pelan-pelan.
“Nggak perlu. Udah cukup. Kalian ...” Dipta terisak nyaris tidak tertahankan, “... pergi dari sini. Pergi!”
Tapi Artha dan Rahmi tidak ada yang menggeser kakinya dari tempatnya semula.
“Ekspresi ini yang aku tunggu dari dulu, Ta,” kata Artha akhirnya. Dipta mengabaikannya. “Berkali-kali aku coba membuat kamu cemburu. Bahkan terhadap Amira, kamu nggak cemburu juga.”
Ekspresi Dipta sedikit berubah. Bingung.
“Aku nggak pernah tahu, apakah kamu sayang sama aku atau nggak. Kamu nggak pernah terlihat cemburu. Kamu nggak pernah terlihat takut kehilangan aku ...” Artha melanjutkan, “Itu kenapa aku meminta tolong Rahmi untuk membuat kamu cemburu. Gadis secantik Amira nggak bisa bikin kamu cemburu? Dan ternyata yang bisa bikin kamu cemburu cuma gadis seperti Rahmi ini?”
“Gadis seperti apa, maksud lo?” refleks, Rahmi menyahut pernyataan Artha dengan kesal.
Artha tertawa pelan. “Sori, sori,” katanya kepada Rahmi.
“Kenapa selama ini kamu nggak pernah cemburu sama aku, Ta?” Artha bertanya kepada Dipta, “Bikin aku berpikir bahwa kamu nggak pernah sayang sama aku. Aaku berpikir kamu nggak pernah takut kehilangan aku.”
Air mata Dipta mengalir tidak terkendali. Dia menatap Rahmi yang matanya juga sudah berkaca-kaca. Rahmi mengangguk kepada Dipta, seperti memberi kode.
Dia berhak tahu alasannya, Ta, tell him. Kira-kira seperti itu arti kode yang ditangkap Dipta dari anggukan Rahmi barusan.
“Aku nggak mau terlihat jelek...” Dipta berkata ragu, “... di depanmu. Aku nggak mau terlihat manja, marah, posesif dan cemburu. Nanti kamu akan pergi.”
“Kamu cuma mau menunjukkan sisi baikmu padaku?”
Dipta tidak menjawab.
“Kenapa?”
“Nggak ada yang bisa tahan dengan sifat jelekku.”
“Aku tahan. Aku mau melihatnya.”
Artha berjalan mendekat, menghampiri Dipta.
“Koin selalu punya dua sisi. Aku mau melihat kedua sisi koinmu. Bolehkah?”
Dipta tetap diam.
“Aku mau jadi orang yang pertama kali kamu beri kabar saat ada berita gembira. Aku mau jadi yang pertama kamu kabari saat ada masalah. Aku mau jadi yang pertama melihat kamu tertawa. Juga mau jadi orang yang kamu percaya melihat kamu menangis. Bolehkah?”
Artha menggenggam tangan Dipta. “Bolehkah?” tanyanya sekali lagi.
Dipta menggeleng. “Kamu nggak bisa jadi yang pertama.”
Artha terkesiap.
“Posisi pertama sudah ditempati Ibuku. Kedua adalah Rahmi. Kamu cuma bisa jadi yang ketiga. Apa kamu keberatan?”
Tanpa aba-aba, Rahmi langsung berlari dan memeluk Dipta. Lalu mereka berdua berpelukan sambil menangis.
“Maaf mengerjai lo begini,” kata Rahmi sambil terisak.
Dipta tidak menjawab. Dia balas memeluk Rahmi dengan lebih kuat.
Artha mengelus kedua lengan Dipta dengan perasaan lega.
“Kalian dua orang yang paling aku sayang setelah keluargaku. Itu kenapa nggak ada perempuan cantik manapun yang bisa mengalahkan Rahmi dalam membuat aku cemburu.”
“I take it as compliment.” Rahmi tertawa sambil menghapus air matanya.
Dipta tertawa. Begitu juga dengan Artha.


Kita bertemu dengan seseorang bukan karena kebetulan. Mereka hadir dalam hidup kita untuk alasan tertentu. Mereka hadir untuk membawa pelajaran bagi kita.
Tidak semua pelajaran disampaikan dengan baik oleh sang guru. Tapi bukan berarti isi pelajaran itu tidak baik.
Hanya karena pelajaran itu disampaikan dengan buruk, banyak orang yang salah mengerti tentang makna sesunggunya pelajaran itu.
Jangan salah mengerti tentangku. Aku hanya salah mengerti tentang hidup. Terima kasih karena telah tetap bersamaku.


Oh, did I get too close?
Did I almost see what’s really on the inside?
All your insecurities
All the dirty landry
Never made me blink one time

Come just as you are to me
Don’t need apologies
Know that you are worthy

I’ll take your bad days with your good
Walk through this storm I would
I’d do it all because I love you

Unconditional, unconditionally
I will love you unconditionally
There is no fear now
Let go and just be free
I will love you unconditionally


-- Unconditionally, Katy Perry --


Terima kasih sudah bersamaku tanpa syarat. Menerimaku apa adanya.

Thank you for always love me unconditionally.

1 komentar: