Gadis itu menyeruput jus
jeruknya tanpa ekspresi nikmat. Lalu dia menyingkirkan anak-anak rambutnya,
yang diterbangkan angin dari wajahnya, dengan gerakan yang gusar.
“Dia bakal marah besar kalau
tahu tentang kita, Artha,” kata gadis itu.
“Gue tahu.” Pria bermata kecil
itu menjawab.
“Kalau udah tahu, kenapa tetap
meminta gue?”
“Karena cuma lo yang bisa ...”
“Kalau lo udah nggak tahan,
kenapa nggak putusin dia aja?”
“Lo tahu alasannya.”
“Gue merasa bersalah sama
Dipta, Tha.”
“Ini bukan salah lo, Rahmi,”
lelaki itu meraih tangan gadis di hadapannya.
“Kalau dia nggak sebegitu dinginnya, gue nggak akan melakukan ini. Lo
ngerti kan?”
Rahmi menarik tangannya dan
menghela nafas. Gusar. “Kalau dia nggak sebegitu dinginnya ... You have no idea what she has been through.”
“You tell me, then.”
Kadang kita bertemu orang yang
salah di waktu yang tepat.
Kadang juga, kita bertemu orang
yang tepat ... di waktu yang salah.
*
* *
Rahmi sudah mengenal Dipta
nyaris seumur hidupnya. Sejak dia mulai bisa mengingat, Rahmi sudah mengenal
Dipta. Itu berarti mereka bahkan sudah berteman sejak masa bayi mereka.
Memiliki orangtua yang bersahabat sejak SMA, tinggal di perumahan yang sama dan
menimba ilmu di sekolah yang selalu sama, membuat Dipta dan Rahmi seperti anak
kembar yang tak terpisahkan. Tapi seperti juga semua kisah persahabatan lain,
kisah cinta kadang adalah yang membentangkan jarak diantara persahabatan.
Dipta pertama kali jatuh cinta
saat kelas tiga SMA. Di sekolah itu, Dipta termasuk 10 besar murid paling
pandai seantero sekolah. Sementara pemuda yang ia jatuhi cinta adalah cowok
basket. Tapi bukan hal itu yang membuat Rahmi merasa tidak terlalu cocok dengan
cowok itu.
“Kita juga beda banget, Mi,
tapi akur-akur aja,” kata Dipta ketika menanggapi komentar Rahmi tentang
perbedaan mereka.
Iya juga sih. Meski berada di
jajaran murid paling pandai seantero sekolah, Dipta sama sekali tidak tampak
seperti kutu buku yang kuper. Sebaliknya, dia adalah jenis orang memiliki
banyak teman dimana-mana, meski tidak pernah benar-benar bersahabat dengan
siapapun kecuali dengan Rahmi. Sebaliknya, Rahmi lebih pendiam. Sifatnya ramah,
tapi tidak pandai menjalin hubungan dengan orang baru. Tidak seperti Dipta yang
banyak omong, Rahmi lebih sering diam, mendengarkan dan memperhatikan. Mungkin
karena itu, mereka tahan bersahabat sejak bayi hingga sebesar itu.
Tapi sejak dekat dengan Aldi,
nama si cowok basket itu, Dipta menjadi agak jauh dengan Rahmi. Di sela-sela
waktu luangnya yang biasa ia habiskan bersama Rahmi, kini Dipta lebih sering
terlihat bersama Aldi.
“Lo pacaran sama Aldi, Ta?”
tanya Rahmi suatu kali, mengonfirmasi kedekatan sahabatnya dengan si cowok
basket itu.
“Nggak. Kita temenan doang,”
jawab Dipta, dengan ekspresi malu-malu dan cengiran salah tingkah.
Tapi ekspresi dan senyuman itu
tidak bertahan lama. Sebulan. Dua bulan. Tiga bulan.
“Lo beneran nggak pacaran sama
Aldi?” Rahmi bertanya kembali, berbulan-bulan kemudian.
“Nggak. Kita temenan doang.”
Tapi kali ini, jawaban Dipta itu tidak disertai senyum malu-malu yang sama.
“Tapi lo setiap hari BBM-an
sama dia?”
“Iya.”
“Gue juga temenan sama lo, tapi
kita nggak BBM-an setiap hari.”
Dipta tidak menjawab.
Rahmi tidak banyak tanya lagi.
Tapi dalam diam, dia terus mengamati hubungan sahabatnya dengan pemuda itu. Selama
tiga bulan itu, dia telah melihat banyak hal. Bisa disimpulkan, hubungan Aldi
dan Dipta adalah jenis hubungan yang positif. Aldi tidak pernah membuat Dipta
berubah menjadi buruk. Yang mereka lakukan selama tiga bulan itu hanya belajar
bersama, makan bersama, atau nonton. Bahkan semua hal itu tidak pernah mereka
lakukan berdua saja. Aldi selalu mengajak teman-temannya serta, dan kadang
Dipta juga mengajak Rahmi.
“Besok temenin gue nonton yuk
Mi,” suatu kali Dipta mengajak Rahmi.
“Mau nonton apa?”
“Nggak tahu. Si Aldi nggak
bilang mau nonton apa.”
“Oh, bareng Aldi? Males ah,”
Jawab Rahmi, ogah-ogahan.
“Kenapa?”
“Nanti gue jadi raket nyamuk.”
“Yaelah. Apaan sih. Nggak kok.
Si Aldi juga bareng temen-temennya.”
“Hah? Nonton rame-rame nih?”
“Iya.”
“Kenapa nggak berduaan aja?
Besok kan malem Minggu.”
“Besok Sabtu malam,” Dipta
menjawab sambil manyun.
Rahmi nyengir mengejek. “Kalian
belum pacaran juga?”
“Nggak lah, kita temenan doang,”
begitu jawaban Dipta, seperti selalu.
“Serius Ta? Lo nggak naksir
sama sekali sama si Aldi?”
“Nggak.”
Tapi Rahmi tidak melihat
jawaban yang sama di mata sahabatnya itu.
“Kalian kalau BBM-an sampai
malam tuh ngobrolin apa aja sih Ta?” tanya Rahmi, curiga.
“Siapa bilang BBM-an sampai
malam?” Dipta langsung salah tingkah ditanya begitu. Seperti maling tertangkap
basah.
“Udah deh, jawab aja. Nggak
usah ngeles mulu, kayak tukang bajai.”
Dipta tertawa sambil memukul
lengan Rahmi. Tawanya lama. Berharap bisa mengalihkan pembicaraan. Tapi Rahmi
tidak ikut tertawa. Dia diam, menunggu.
Tawa Diptapun memudar melihat
ekspresi Rahmi.
“Gue mau curhat, Mi,” kata
Dipta akhirnya.
Rahmi mengangguk dan pasang
tampang kalem. Tapi dalam hati dia tersenyum. Seperti biasa, gadis pendiam ini
selalu berhasil mengandalkan kemampuan persuasinya untuk memaksa sahabatnya itu
curhat. Pancing dikit, langsung curhat, kata
Rahmi dalam hati, tetap mempertahankan wajah dinginnya.
“Udah enam bulan nih Mi, sejak Aldi mulai komen-komen status FB
gue dan akhirnya minta pin BB gue,” kata Dipta memulai.
Rahmi mengangguk pelan, tetap
cool.
“Tapi kami tetap gini-gini
aja,” Dipta melanjutkan, “Kita bisa BBM-an nyaris 12 jam sehari, tapi
kebanyakan kita ngomongin pelajaran sekolah. Awalnya gue senang. Gue pikir, itu
cuma modus dia untuk deketin gue. Tapi bahkan sampai sekarang kita masih
gini-gini aja. Waktu dia pertama kali ajak gue makan, gue udah seneng aja.
Nggak tahunya, dia ajak teman-temannya juga. Dia juga beberapa kali ajak gue
nonton, dan selalu bareng temen-temennya juga. Gue senang dia mengenalkan gue
ke sahabat-sahabatnya, tapi gue nggak merasa bahwa dia pengen gue menjadi
bagian dari mereka.”
“Kalau ngumpul-ngumpul makan
bareng teman-temannya gitu, biasanya ngobrolin apa Ta?”
“Sekolahan. Pelajaran. Basket.”
jawab Dipta lesu. “Gue bahkan jadi banyak search
tentang basket lho Mi, demi supaya gue bica terus ngobrol sama dia. Dia paling
semangat ngomongin basket.”
Rahmi tersenyum kecil. Menahan
diri untuk geleng-geleng kepala.
Kelakuan,
gumam
Rahmi dalam hati, kalau udah sayang sama
seseorang, kita pasti berusaha menyesuaikan diri dengan dunianya.
“Aldi bahkan pernah ngajak gue
ke rumahnya. Gue udah senang ya, dikira mau dikenalin ke keluarganya. Eh, nggak
tahunya disana sahabat-sahabatnya udah pada ngumpul. Lalu mereka minta diajarin
ulangan Kimia. Gue pernah ajak dia makan berdua, tapi dia selalu ajak
temen-temennya juga. Gue nggak ngerti lah sama Aldi.”
“Lo nggak pernah
mancing-mancing obrolan gitu?”
“Gue pernah mencoba sekali
ngambek ke Aldi, pengen lihat responnya. Dia minta maaf kalau ada salah, meski
dia nggak tahu dia salah apa. Dia bilang, dia nggak tahan kalau gue berhenti
ngomong sama dia. Yaaahh... kalah deh gue. Begitu dia bilang begitu, gue
langsung lupa tujuan utama gue ngambek. Gue tiba-tiba langsung luluh dan mau
ngobrol lagi sama dia sebelum berhasil tahu perasaan dia ke gue.”
Rahmi manggut-manggut.
Mendengarkan dan menganalisa.
Sejak itu, tanpa diketahui Dipta,
Rahmi diam-diam memperhatikan Aldi dengan lebih detil. Memperhatikan kegiatan
pemuda itu, sikap dan tingkah lakunya, termasuk sahabat-sahabatnya. Dari hasil
pengamatannya selama beberapa minggu, Rahmi jadi bingung sendiri membuat
kesimpulan. Rahmi tidak menemukan ada yang salah dengan pemuda itu. Semua
kegiatan dan tingkah lakunya baik-baik saja, tidak ada yang mencurigakan.
Kalaupun ada yang mencurigakan adalah karena Aldi adalah salah satu anak basket
yang diidolakan gadis-gadis. Rahmi sempat melihat beberapa gadis berusaha
mendekati Aldi. Tapi sejauh yang berhasil diamati oleh Rahmi, Aldi tidak pernah
terlalu dekat dengan gadis manapun kecuali dengan Dipta dan Hani. Hani adalah
salah satu dari sahabat-sahabat Aldi. Pemuda itu memiliki semacam geng
beranggotakan 6 orang, yang kemana-mana selalu bersama. Hani adalah
satu-satunya perempuan di geng itu.
“Aldi tuh pacaran sama Hani
atau nggak sih Ta?” Rahmi bertanya kepada Dipta, suatu hari.
“Nggak.”
“Nggak apa? Mereka nggak
pacaran, atau lo nggak tahu?”
“Gue nggak tahu,” jawab Dipta,
“Tapi Aldi pernah bilang, si Hani itu sahabatnya dari SMP.”
Rahmi menatap mata Dipta. Ada
keraguan dan penyangkalan terlihat di sana.
Bahkan setelah beberapa minggu
mengamati pemuda itu, Rahmi tidak juga menemukan alasan mengapa Aldi mendekati
Dipta. Tapi tidak ada juga yang terlalu mencurigakan dari pemuda itu. Tapi
justru itulah yang membuat Rahmi makin curiga.
Hanya ujian nasional dan ujian
masuk PTN yang mampu mengalihkan Rahmi dari kegiatan mematai-matai Aldi. Namun,
intensitas komunikasi Aldi dan Dipta tidak juga berkurang. Mereka makin sering
belajar bersama... bersama geng Aldi, dan terkadang bersama Rahmi juga. Meski
demikian, Rahmi tidak merasa ada yang salah dengan kegiatan belajar bersama ini
sehingga dia merasa tidak perlu mencurigai apapun.
Pada akhirnya, Rahmi bersyukur
bahwa kecurigaannya terhadap Aldi baru terbukti setelah Dipta lulus sebagai
lulusan terbaik di sekolahnya dan diterima di universitas negeri di bilangan
Depok. Syukurlah demikian, sehingga dia tidak perlu khawatir konsentrasi belajar
Dipta akan terganggu.
Saat itulah Dipta akhirnya
mengetahui alasan mengapa selama ini Aldi mendekatinya.
“Kalau bukan karena sering
belajar bareng Dipta, kita mungkin nggak akan lulus dengan nilai selumayan ini.
She’s born to be a teacher.”
Dipta tidak sengaja mendengar
Aldi berkata begitu kepada sahabat-sahabatnya yang lain. Gadis itu terdiam,
bersembunyi di balik dinding di belakang meja kantin tempat Aldi dan gengnya
berkumpul.
Seorang gadis datang membawa
dua buah teh botol dan meletakkan salah satunya di hadapan Aldi.
“Untung gue bukan pacar posesif
dan cemburuan,” kata gadis itu sambil meminum teh botolnya sendiri. Gadis itu
adalah Hani.
“Halah! Padahal dulu kamu sempat cemburu
sebelum aku bilang bahwa aku cuma berteman sama Dipta dan cuma minta bantuan
Dipta untuk ngajarin kita.”
Aldi tertawa sambil
mengacak-acak rambut gadis itu. Hati Dipta teracak-acak.
* * *
Sometimes
you have to try not to care.
Because
sometimes, no matter how much you do,
You can
mean nothing to someone who means so much to you.
It’s
not pride. It’s self respect.
Dipta lulus dari SMA dengan
prestasi akademik yang membanggakan, tapi tidak bisa membuktikan lagu Chrisye “Masa-masa paling indah, masa-masa di
sekolah. Tiada kisah paling indah, kisah-kasih di sekolah.” Bah!
Dipta baru memiliki pacar
pertama di tahun terakhir kuliahnya. Mereka sudah saling kenal sejak jadi
mahasiswa baru sebenarnya, tapi butuh waktu yang lama bagi Angga – nama pemuda
itu – untuk mendekati Dipta.
Tidak ada yang berubah dari
Dipta. Dia tetap gadis yang ceria, ramah, hangat dan mudah berteman dengan
banyak orang. Tapi terhadap pemuda-pemuda yang mendekatinya, dia tidak pernah
lagi menanggapi mereka. Sejak kejadian tidak menyenangkan saat SMA dulu, dia
berhenti peduli.
Selama masa kuliah, ada dua
pemuda selain Angga yang juga mendekati Dipta. Modusnya masih mirip dengan yang
dilakukan Aldi: dimulai dari facebook,
berakhir pada BBM. Tapi Dipta tidak pernah membiarkan cowok-cowok itu maju
lebih jauh, masuk ke hatinya.
Dia
memang ramah kepada semua orang, selalu begitu yang Dipta
tanamkan di pikirannya terhadap aksi pendekatan pemuda-pemuda itu.
Sesama
teman memang harus saling memperhatikan, begitu yang
dipikirkannya jika ada cowok yang mulai mengiriminya SMS “Udah makan belum?”
Tapi saat moodnya buruk, Dipta tidak bisa menahan dirinya untuk berpikir, Cowok ini pasti mendekati gue hanya untuk
memanfaatkan gue seperti Aldi. Tanpa bisa dicegah, Dipta menjadi apatis
terhadap pesan manis cowok-cowok yang mendekatinya.
Kedua pemuda yang mendekati
Dipta lama-lama merasa frustasi karena aksi PDKT mereka tidak pernah mendapat
respon positif dari Dipta. Dipta memang tetap menyapa ramah dan berteman hangat
dengan mereka, tapi Dipta tidak pernah menanggapi usaha-usaha flirting mereka. Tidak ada laki-laki
yang mampu bertahan flirting tanpa hasil
selama lebih dari enam bulan. Maka akhirnya satu per satu mundur.
Hanya Angga yang bertahan.
Angga tidak memulai dari facebook seperti yang lain. Ia meminta
nomor ponsel Dipta saat mereka sama-sama mahasiswa baru di kampus. Mereka satu
kelompok ospek. Setelah masa ospek berakhir, mereka terpisah beberapa lama
sampai bencana banjir di Jakarta mempertemukan mereka kembali. Mereka tergabung
di divisi Pengabdian Masyarakat BEM Fakultas masing-masing. Angga membantu di
posko pengobatan untuk para pengungsi. Sementara itu, Dipta dan beberapa temannya
yang lain mendapat tugas mengajar anak-anak di pengungsian. Tidak benar-benar
mengajar, sebenarnya. Mereka mengajak anak-anak itu bernyanyi dan bermain.
Dipta bahkan membacakan dongeng yang ditulisnya sendiri. Pada beberapa hari
setelahnya, ketika mereka telah akrab dengan anak-anak itu, barulah Dipta dan
teman-temannya mulai membagi anak-anak itu berdasarkan kelas, lalu mereka mulai
mengajar.
Angga melihat itu semua dan dia
tertarik pada Dipta. Terutama, dia suka melihat Dipta mengajar dan mendongeng.
Setelah banjir Jakarta surut
dan kegiatan PengMas itu berakhir, Angga tetap secara rutin mengirim SMS kepada
Dipta. Tidak seperti pemuda lain yang
sejak awal memberondong Dipta dengan pertanyaan semacam “Udah makan
belum?” nyaris setiap hari, Angga memulainya dengan cara lain.
Ngantuk
di kelas. Dosennya membosankan. Mereka mengajar seperti mendongeng. SMS
sederhana seperti itu yang biasa dikirim Angga untuk membuka obrolan.
Jadi
waktu dulu melihat gue mendongeng, lo bosan juga? Sampai mengantuk?, Dipta
membalas SMSnya.
Gue
mengantuk bukan karena bosan mendengar lo mendongeng.
Oh
ya? Trus?
Gue
mengantuk karena nyaman mendengar suara lo.
Sampai di situ, biasanya Dipta
akan segera mengalihkan percakapan. Dia tidak suka membiarkan hatinya jatuh
pada orang yang salah lagi. Karena kata Rahmi, “Jatuh cintalah pada orang yang
mau menangkap lo yang jatuh kepadanya.” Maka, dia memutuskan untuk tidak akan
pernah lagi membiarkan hatinya jatuh pada orang yang tidak pernah menyatakan
cinta padanya.
Tidak seperti pemuda lain yang
segera menyerah setelah enam bulan pendekatan tanpa hasil, Angga tidak
berhenti. Ia tetap mengirimi Dipta SMS. Kadang hanya seminggu sekali atau dua
kali. Kadang bahkan sebulan sekali. Tapi Angga tidak pernah berhenti. Angga
tidak pernah secara frontal merayu atau memuji Dipta. Sepertinya Angga
menyadari bahwa Dipta selalu mengalihkan pembicaraan setiap dia mulai bersikap
manis.
Alih-alih mengandalkan
pertanyaan pamungkas “Udah makan belum?”, Angga justru mengirim SMS: Gue udah di depan kampus lo nih. Makan siang
bareng yuk. Gue mau ngobrolin project PengMas kita nih.
Angga memanfaatkan kolaborasi
BEM fakultas mereka pada suatu project
PengMas sebagai alibi pendekatan. BEM fakultas mereka memang berkolaborasi untuk
mengembangkan suatu desa. BEM fakultas Angga mengembangkan bidang ekonomi
melalui wirausaha produk kesehatan, sementara BEM fakultas Dipta fokus pada pembangunan
perpustakaan dan pendidikan anak-anak di desa tersebut.
Mengetahui hobi Dipta yang suka
mengajar, baik mengajar anak-anak desa atau mengajar les privat, Angga juga
mengajak Dipta untuk bergabung di Kelas Inspirasi Gerakan Indonesia Mengajar
yang digagas oleh Anies Baswedan.
Setelah dua tahun pendekatan
yang panjang, akhirnya Angga menemukan momen yang tepat. Saat mengantar Dipta
pulang setelah FGIM (Festival Gerakan Indonesia Mengajar), akhirnya Angga
memberanikan diri untuk menyatakan perasaannya.
Karena
suatu hari, yang bertanya “Udah makan belum?” akan dikalahkan oleh yang berkata
“Makan bareng yuk.”
Dipta telah gagal mencegah
dirinya sendiri jatuh cinta pada orang yang tidak mencintainya. Bahkan sebelum
Angga menyatakan perasaannya, Dipta sudah jatuh hati pada pemuda itu. Beruntung
baginya karena ternyata perasaannya berbalas. Saat Angga mengatakan sayang
padanya, Dipta lega luar biasa. Juga senang bukan kepalang. Ternyata dia tidak
bertepuk sebelah tangan lagi.
Sejak pacaran, mereka tidak
lagi hanya SMS-an seminggu sekali atau dua kali, tapi setiap hari. Dulu Dipta
selalu mengalihkan pembicaraan setiap kali Angga mengiriminya pesan “Udah makan
belum?”, tapi kini justru Dipta yang biasa memulai obrolan mereka dengan
kalimat itu. Dipta berubah, dari seorang gadis yang cuek terhadap perhatian
laki-laki, menjadi pacar yang penuh perhatian.
Angga senang dengan perubahan
Dipta. Dia senang diperhatikan oleh Dipta. Angga merasa perasaannya kepada
gadis itu tidak bertepuk sebelah tangan.
Pada semester akhir kuliah,
kesibukan Angga dan Dipta meningkat karena masing-masing sedang sibuk dengan
penelitian dan skripsinya. Meski begitu, setiap hari Dipta masih terus
menghubungi Angga. Tapi di sisi lain, karena kesibukan penelitiannya, Angga
tidak lagi bisa membalas pesan Dipta sesering dulu. Hal inilah yang mulai
memicu pertengkaran-pertengkaran.
Angga tidak lagi merasa senang
dengan perhatian Dipta yang berlebihan. Dia mulai merasa terganggu dengan sikap
pacarnya itu. Setiap hari mengirim pesan menanyakan kabar, yang jika tidak
segera dibalas, maka Dipta akan mulai ngambek. Dulu Angga senang kalau Dipta
memarahinya saat pulang malam, karena itu bukti perhatian. Tapi sekarang, Angga
justru merasa terganggu saat Dipta makin gencar mengiriminya pesan jika ia
mengatakan akan berada di lab sampai malam untuk penelitian skripsi.
Kenapa
pulang malam?
Di
lab sama siapa?
Udah
makan belum? Jangan lupa makan.
Jangan
pulang malam-malam.
Hati-hati
naik motor malam-malam.
Dan masih sederet pesan lain
yang mengganggunya. Angga suka diperhatikan, tapi dia tidak suka diatur-atur. Makin
lama perhatian Dipta makin mengganggu. Sudah memasuki kategori annoying.
Dan bukan hanya sikap posesif
Dipta yang membuat Angga kesal, tapi juga sikap kekanakan Dipta. Setiap kali
mereka berdebat, Dipta pasti merajuk. Kadang sih Dipta nggak ngambek, tapi dia
melampiaskan kekesalannya dengan modus #nomention di twitter atau mem-post status galau di facebook. Angga merasa tidak nyaman
membaca tweet-tweet #nomention atau status-status FB Dipta yang ditujukan untuk
menyindirnya.
Jangan
cuma nyindir-nyindir di twitter. Kita omongin baik-baik kalau kamu nggak suka
dengan caraku, begitu selalu yang dikatakan Angga, menegur
sikap kekanakan Dipta. Kamu berharap
orang lain nggak tahu keluhanmu? Jangan menulisnya di social media!
Belakangan Rahmi merasakan ada
yang berbeda pada Dipta. Sahabatnya itu jadi lebih sering uring-uringan dan
sedih. Pada beberapa kali, Rahmi memergoki mata Dipta berkaca-kaca saat sedang
membaca pesan di ponselnya.
“Berantem lagi sama Angga?”
Rahmi bertanya sambil menyendokkan es krim ke mulutnya.
Dipta hanya menjawab dengan
gumaman. Matanya masih memandang ponselnya sambil guling-gulingan di kasur.
“Gue ngambek,” kata Dipta
akhirnya, “Karena Angga nggak cerita kemarin seharian dia ngapain aja. Jadi gue
nggak balas SMS dia sejak tadi malam. Tapi dia beneran nggak SMS gue lagi. Dan
sekarang gue yang khawatir.”
Rahmi melirik Dipta sambil
terus menyendok es krimnya.
“Kelihatan banget,” kata Rahmi,
“Lo yang lebih cinta ke Angga, dibanding Angga cinta ke lo.”
Dipta termangu.
Dalam hubungan apapun, akan ada
salah satu pihak yang lebih cinta kepada pihak lainnya. Dalam hubungan Dipta
dan Angga ini, dengan jelas Rahmi melihat bahwa Diptalah yang rasa sayangnya
lebih besar kepada Angga dibanding sebaliknya.
“Dih!” Dipta mengelak, “Kata
siapa gue yang lebih cinta? Dia yang duluan mendekati gue, mulai mengirim SMS, dan
pertama bilang cinta ke gue.”
“Iya, dia yang memulai, tapi
kelihatan jelas bahwa lo yang lebih berusaha mempertahankan hubungan,” jawab
Rahmi dingin, tanpa mempedulikan ekspresi Dipta yang terpukul, “Lo jadi lebih
perhatian. Itu cuma bahasa halus gue untuk sikap posesif lo yang kebangetan. Beberapa
kali gue lihat lo ngambek karena kesal dengan sikap Angga. Tapi pada akhirnya
selalu lo yang mengalah dan ngajak baikan duluan. Selalu lo yang bertahan. Apa
lo melihat Angga bertahan juga?”
Dipta terhenyak.
Sikap posesif Dipta saja sudah
membuat Angga kesal. Ditambah lagi, belakangan ini Dipta jadi lebih cemburuan. Padahal
Angga sudah menjelaskan bahwa Hilda adalah sahabatnya, yang kebetulan berada di
tim riset skripsi yang sama, dan dengan pembimbing skripsi yang sama, sehingga
wajar saja jika mereka sering bersama-sama. Tapi Dipta tetap curiga. Tiap Angga
mengatakan bahwa ia menginap di laboratorium bersama kelompok risetnya, Dipta
langsung menyebut nama Hilda. Dan tentu saja memang Hilda ada di kelompok itu.
Bahkan meski Angga tidak mengatakan apa-apa, Dipta tetap sering
mengungkit-ungkit nama Hilda. Kecemburuan Dipta yang membabi buta ini membuat Dipta
uring-uringan, dan terlebih membuat Angga frustasi.
Kecemburuan Dipta bukannya
tanpa alasan. Dia pernah trauma dengan kisah Aldi-Hani yang ternyata memiliki
hubungan romansa meski berkali-kali mengaku hanya berteman. Dipta melihat pola
serupa pada hubungan Angga dan Hilda. Mereka sama-sama sahabat sejak lama.
Kepada Hildalah, Angga banyak bercerita tentang masalahnya. Apalagi kini
melakukan penelitian yang sama, di lab yang sama dan dengan tema serupa. Wajar
saja kalau Dipta curiga. Mereka memiliki alasan yang kuat untuk terlibat cinta
lokasi.
“Apa aja yang Hilda tahu, tapi
aku nggak tahu?” tanya Dipta sutu hari. Bahkan meski ia sudah mencoba menahan
diri, Angga tahu bahwa Dipta bertanya dengan aura cemburu yang sangat jelas.
“Dia datang di kehidupanku
sebelum kamu. Wajar kalau dia sudah tahu banyak hal tentang aku. Nggak perlu
membanding-bandingkan,” Angga menjawab dengan diplomatis, sambil menahan kesal.
Kecemburuan Dipta ini yang
membuatnya nekat mendatangi Angga ke fakultasnya, berpura-pura membawakan makan
siang, padahal membawa misi khusus untuk memata-matai Angga dan Hilda.
“Aku udah nggak tahan, Ta,”
kata Angga akhirnya. “Kita putus aja.”
Tangan Dipta menggantung di
udara. Dia tidak jadi menyuap baksonya.
“Angga?” Dipta mengatur nada
suaranya supaya tidak bergetar. “Kenapa?”
“Kita udah nggak cocok lagi.”
“Nggak cocok apa?”
“Aku udah nggak tahan sama
sikap kamu.”
“Sikap yang mana?”
“Kamu nggak sadar?”
Dipta diam. Nafasnya tercekat.
“Aku minta maaf...”
“Nggak perlu minta maaf.”
“No. Aku yang salah, Angga. Aku
tahu aku salah. Aku posesif dan cemburuan. Aku minta maaf.” Suara gadis itu
terdengar panik.
“Kamu nggak salah,” Angga
berkata dengan sangat hati-hati. “Aku tahu kamu sayang sama aku, itu kenapa
kamu sangat memperhatikan aku. Tapi kemudian kamu jadi posesif. Aku tahu kamu nggak
mau kehilangan aku, itu kenapa kamu cemburu kalau aku dekat dengan perempuan
lain. Tapi rasa cemburumu sudah membabi-buta. Kamu nggak salah. Hanya saja, aku
nggak cocok lagi dengan cara kamu memperhatikan dan menyayangi aku.”
Mata Dipta sudah berkaca-kaca.
Dia meletakkan sendoknya kembali ke mangkoknya dengan gemetar.
“Aku ... nggak akan begitu
lagi. Aku nggak mau kita putus, Ngga.”
“Aku udah nggak bisa lagi
disayangi dengan cara seperti yang kamu lakukan selama ini. Kamu selalu minta
aku segera membalas pesanmu. Kamu menuntut kita berkomunikasi dari pagi sampai
malam, seolah-olah aku nggak punya pekerjaan lain. Kamu mencurigaiku,
seolah-olah aku nggak boleh punya berteman dengan siapa-siapa.”
“Aku bertanya bukan untuk
menginterogasi, Ngga. Aku bertanya untuk mempertahankan percakapan kita. Cuma
aku yang bertahan.”
“Kalau gitu, mungkin memang
nggak ada yang perlu dipertahankan.”
Dipta menengadah menatap mata
Angga. Tidak ada lagi celah yang terbuka untuknya di sana.
“Aku ... akan berubah, Angga.”
Dipta menundukkan wajahnya.
“Kamu sudah berubah, Dipta.
Bukan lagi seperti yang pertama kali aku kenal dulu.”
“Kalau begitu, aku akan berubah
menjadi seperti dulu lagi. Menjadi seperti yang kamu mau.”
“Nggak perlu, Ta,” potong Angga
cepat, “Semua orang berubah. Dan nggak ada yang salah dengan perubahan. Kita
hanya berubah ke arah yang berbeda, Ta. Kita nggak sejalan lagi.”
Dipta tidak tahu harus berkata
apa lagi. Ia tetap menunduk.
“Setiap orang harus berubah
jadi lebih baik, Ta. Suatu saat nanti kamu akan menemukan orang yang selalu
berubah ke arah yang sejalan dengan kamu. Sayangnya, itu bukan aku.”
Dengan gemetar Dipta mengambil
mangkuk kecil berisi sambal dan menuangkan semua isinya yang tersisa ke mangkuk
baksonya. Melotot, Angga menarik mangkuk bakso Dipta. Tapi Dipta menahan tangan
Angga.
Tanpa menengadahkan kepalanya
dan menatap Angga, Dipta bicara pelan. “Pergi aja, Ngga.”
“Aku antar kamu pulang.”
“Pergi, Ngga!” nada suara Dipta
menjadi lebih tegas, meski volumenya tetap rendah. “Pergi. Pergi.”
Dipta menghabiskan baksonya
hingga tak bersisa. Sekotak penuh tissue di meja itu dihabiskan oleh dirinya
seorang.
Bukan
jarak, waktu atau kesibukan yang memisahkan.
Ketidak-inginan
untuk terhubung adalah yang sebenarnya memisahkan.
*
* *
Sesunggunya, yang paling
menyakitkan dari sebuah perpisahan adalah karena kehilangan yang tiba-tiba.
Seperti halnya seorang perokok yang dipaksa berpisah dengan rokoknya. Atau
pecandu narkoba yang suplainya dihentikan tiba-tiba oleh sang bandar. Pasti
akan mengalami gejala putus obat. Pada beberapa orang yang ingin berhenti
merokok, mereka mengurangi jumlah rokoknya sedikit-sedikit dari hari ke hari.
Hal tersebut dilakukan untuk mencegah “gejala-putus-rokok” yang menyakitkan.
Meski begitu, teknik ini tidak efektif. Orang tersebut akan tetap kecanduan.
Pada akhirnya, meski menyakitkan, cara paling efektif untuk berhenti memang
dengan cara berpisah.
Begitu pula dengan cinta.
Beberapa dari kita mungkin
berpikir bahwa sebaiknya kita berpisah sedikit-sedikit dari orang yang kita
sayangi. Mungkin dengan mengurangi dosis pertemuan dan obrolan, sedikit demi
sedikit dari hari ke hari, maka dapat terhindar dari “gejala-putus-cinta” yang
menyakitkan. Padahal sebenarnya cara itu hanya menunda rasa sakit. Cara paling
tepat untuk berhenti mencintai adalah dengan berpisah. Rasanya mungkin sakit.
Tapi kamu akan segera melaluinya.
Hal itu yang terjadi pada
Dipta.
Rahmi menjadi saksi
gejala-putus-obat yang dialami Dipta. Selama seminggu lamanya Dipta memasang foto
suram pada semua media sosialnya. Rahmi sampai perlu turun tangan untuk memaksa
Dipta mengubah tampilan semua fotonya.
“Ngapain sih lo ikutan pasang
foto suram gitu?” Dipta bertanya kepada Rahmi sambil manyun.
“Kalo lo belum pasang foto yang
bener, gue juga nggak akan ganti foto,” jawab Rahmi cool. Sambil memakan es krimnya dengan santai.
Sambil menggerutu, Dipta
akhirnya mengganti semua foto di semua media sosialnya dengan foto normal.
Rahmi tersenyum. Menyendok
sekali lagi es krimnya, lalu menyambar ponselnya dan mengganti semua fotonya ke
foto normal.
“Lo inget, gue pernah bilang
bahwa nggak perlu selalu berpura-pura baik-baik aja? Bahwa kadang nggak apa-apa
kok kalau lo mengaku sedang ada masalah,” Rahmi memandang Dipta dengan mata
dinginnya. Dipta mengangguk pelan. “Tapi kadang, kita perlu membatasi, sejauh
apa yang boleh orang tahu tentang kita.”
Tidak butuh waktu lama bagi
Dipta untuk kembali seperti dulu. Terlepas dari apa yang disimpannya seorang
diri di hati, setidaknya sejauh yang dilihat Rahmi, Dipta sudah kembali menjadi
Dipta yang cerewet seperti sebelum-sebelumnya. Rahmi bahkan takjub pada
kemampuan recovery Dipta yang sangat
cepat.
Dan dengan sikapnya yang ceria,
ramah dan hangat itu, Dipta dengan segera menemukan cinta yang baru. Artha
namanya. Dan sejauh yang dilihat Rahmi, kisah cinta Dipta kali ini berjalan
sangat lancar dan baik-baik saja.
Sejauh yang dilihat Rahmi ...
Beberapa orang memiliki hati
yang seperti rumah raja yang megah. Kamu baru bisa memasukinya setelah melalui
serombongan penjaga, serangkaian pemeriksaan dan berlapis-lapis pagar dan
pintu. Beberapa yang lain seperti taman bermain. Siapa saja bisa bermain dengan
bebas di sana.
Beberapa yang lain seperti rumah
kecil dengan halaman yang luas. Siapa saja bisa bermain di halamannya yang luas.
Tapi jangan harap bisa memasuki rumah kecil di tengah-tengah situ. Tidak ada
pagar pembatas, tidak juga penjaga yang galak. Hanya labirin di depannya.
Bagi Artha, Dipta adalah
manusia seperti itu. Semua orang bebas masuk dan bertamu di halaman rumahnya. Semua orang merasa sudah
mengetahui seluk-beluknya, padahal sebenarnya tidak ada satupun yang pernah
benar-benar masuk ke dalam rumah itu.
Dipta adalah gadis biasa, simple, ceria dan banyak teman. Hal
sederhana itulah yang pertama kali menarik perhatian Artha. Tapi saking simplenya hidup Dipta, Artha merasa
bahwa gadis itu sebenarnya tidak sesederhana itu.
Sudah hampir setahun mereka
berpacaran, tapi yang diketahui Artha tentang gadis itu tidak pernah lebih
daripada yang diketahui orang lain. Semua yang diketahuinya tentang Dipta sama
seperti semua yang diketahui orang lain tentang gadis itu. Tidak ada rahasia Dipta
yang diberitahukan Dipta hanya kepadanya.
Teman-temannya yang lain banyak
yang mengeluh tentang pacar mereka yang manja, ribet, posesif atau cemburuan.
Artha tidak pernah merasakan semua itu.
Artha tidak pernah perlu
menunggu lama kalau menjemput Dipta untuk malam mingguan. Gadis itu hanya butuh
waktu tiga puluh menit untuk mandi dan ganti pakaian. Dipta juga tidak pernah
manja atau merajuk minta ditemani kemana-mana. Gadis itu sangat mandiri, pergi
kemanapun sendirian. Bahkan nonton bioskop pun sendirian. Dipta juga tidak
pernah terlihat cemburu sama sekali, bahkan meski pekerjaan Artha di bidang
advertising menyebabkannya banyak bergaul dengan model-model cantik. Artha
bahkan tidak pernah melihat Dipta marah. Semua yang dilihat Artha tetap sama
seperti Dipta yang dikenalnya pertama kali. Ceria, banyak tawa, tidak banyak
gaya, tidak pernah marah dan sederhana. Datar.
Namanya manusia, memang tidak
pernah puas. Kalau punya pacar yang manja dan cemburuan, laki-laki mengeluh
lelah. Tapi kalau punya pacar yang tenang dan santai, laki-laki mengeluh “Nggak
ada tantangannya”. Ya seperti itulah si Artha. Dia merasa Dipta begitu datar.
Benar-benar gadis baik-baik yang terlalu positif, tidak pernah marah, manja dan
cemburu.
Demi melihat ekspresi Dipta
yang lain, Artha bahkan pernah sengaja bercerita tentang Amira, salah seorang
model cantik yang dikenalnya. Dipta mendengarkan cerita Artha dengan antusias,
seperti selalu. Gagal memancing amarah Dipta secara implisit, Artha memancing dengan lebih frontal.
“Kamu nggak cemburu sama
Amira?” tanya Artha.
“Nggak lah. Kamu kan temenan
doang sama dia. Iya kan?”
Artha tidak tahu harus merasa
apa. Laki-laki lain kebingungan menghadapi pacarnya yang cemburuan. Artha
justru bingung mencoba membuat pacarnya cemburu. Dipta seperti makhluk yang
tidak punya emosi lain selain bahagia.
Demi membuat Dipta cemburu,
Artha bahkan merencanakan hal gila. Lebih gila lagi karena dia mengajak Rahmi,
sahabat baik Dipta, untuk bersekongkol.
“Please Mi, bantu gue sekali
ini aja,” Artha memohon dengan tampang memelasnya yang lucu.
Rahmi tertawa sambil
geleng-geleng kepala. “Buat apa melakukan hal ini, Tha?”
“Gue perlu membuktikan bahwa
dia memang benar-benar sayang sama gue.”
“Dipta sayang sama lo. Kurang
bukti apa?”
“Semuanya. Gue nggak punya
bukti apa-apa bahwa dia sayang sama gue,” kata Artha. Dia berhenti sejenak
untuk menyeruput minumnya. “Sejak awal, gue yang menyatakan cinta. Setiap hari,
gue yang selalu menyapanya duluan. Gue memanggilnya schatzi, dia nggak punya panggilan sayang buat gue. Berkali-kali
gue bilang sayang ke dia. Dia cuma senyum dan mengangguk. Setiap gue tanya,
apakah dia sayang sama gue atau nggak, dia cuma mengangguk. Dia nggak pernah
mengatakan kata sayang.
Dia nggak pernah cemburu bahkan
meski gue dikelilingi model-model cantik. Dia sama sekali nggak takut gue akan
diambil perempuan lain. Dia nggak pernah menceritakan rahasianya ke gue. Semua
ekspresinya buat gue sama seperti semua ekspresinya untuk semua orang yang
lain. Gue bukan seseorang yang istimewa buat dia. Nggak ada bedanya gue dengan
temannya yang lain.”
Rahmi menghela nafas. “Lebay
banget sih lo, Tha.”
“Gue cuma pengen tahu, siapa
gue ini bagi dia. Apa gue istimewa bagi dia? Apa dia pernah merasa takut
kehilangan gue?”
“Dia begitu, Tha.”
“Then, prove it! Bantu gue, Rahmi. Berpura-puralah selingkuh sama
gue. Gue perlu tahu, apa dia akan cemburu kalau melihat kita bersama.”
Gadis itu menyeruput jus
jeruknya tanpa ekspresi nikmat. Lalu dia menyingkirkan anak-anak rambutnya,
yang diterbangkan angin dari wajahnya, dengan gerakan yang gusar.
“Dia bakal marah besar kalau
tahu tentang kita, Artha,” kata gadis itu.
“Gue tahu.” Pria bermata kecil
itu menjawab.
“Kalau udah tahu, kenapa tetap
meminta gue?”
“Karena cuma lo yang bisa ...”
“Kalau lo udah nggak tahan,
kenapa nggak putusin dia aja?”
“Lo tahu alasannya.”
“Gue merasa bersalah sama
Dipta, Tha.”
“Ini bukan salah lo, Rahmi,”
lelaki itu meraih tangan gadis di hadapannya.
“Kalau dia nggak sebegitu dinginnya, gue nggak akan melakukan ini. Lo
ngerti kan?”
Rahmi menarik tangannya dan
menghela nafas. Gusar. “Kalau dia nggak sebegitu dinginnya ... You have no idea what she has been through.”
“You tell me, then.”
Just because I don’t react, doesn’t mean I
don’t notice
“Kali ini hubungan lo dan Artha
berjalan lancar kelihatannya,” kata Rahmi, seperti biasa sambil memakan es
krimnya dan berguling-guling di kasur Dipta, “Kalian nggak pernah berantem dan
ngambek-ngambek lagi.”
Dipta nyengir sambil menggigit
coklatnya.
“Padahal Artha dikelilingi
cewek-cewek cantik. Lo udah nggak pernah cemburu lagi ya?”
“Nggak.”
“Beneran nggak cemburu?”
“Nggak.”
“Mungkin lo nggak sayang sama
Artha?”
“Gue sayang.”
“Kalau sayang, nggak mungkin
nggak cemburu.”
Dipta membuang bungkus coklat
kosong ke tempat sampah, lalu menjilati coklat yang tersisa di tangannya.
“Gue belajar dari masa lalu,
Mi,” kata Dipta. “Terhadap Artha, gue jauh lebih cemburu dibanding terhadap dua
laki-laki sebelumnya.”
Rahmi menyadari satu hal. Dipta
tidak pernah menyebut nama Aldi dan Angga lagi sejak mereka putus hubungan.
“Semua perempuan di sekelilingnya
lebih cantik daripada gue. Dan Artha punya sifat yang hangat, membuat banyak
orang, termasuk para gadis cantik itu, nyaman bersama dia. Dia juga humoris.
Perempuan gampang luluh terhadap laki-laki yang bisa membuatnya tertawa. Gue
cemburu banget.”
“Tapi lo nggak pernah
menunjukkan itu kepada Artha. Dia bisa berpikir bahwa lo nggak sayang sama dia.”
“Just because I don’t react, doesn’t mean I don’t notice,” kata
Dipta, “Gue memperhatikan semua hal di sekitarnya. Gue tahu jadwal makannya dan
makanan yang dibencinya. Gue tahu siapa saja teman-temannya di kantor, juga teman-teman
futsalnya. Gue tahu klub bola idolanya. Gue tahu siapa saja perempuan yang
mendekatinya. Gue banyak mencari tahu tentang dia, Mi. Gue memperhatikannya.
Gue hanya menahan diri untuk
nggak terlalu sering menginterogasinya. Gue menahan diri supaya nggak cemburu
buta seperti yang gue lakukan dulu. Gue nggak mau menahannya. Pasir yang
digenggam terlalu kuat, akan berjatuhan dari kisi-kisa tangan.”
“Lo bukan menahan diri.” Rahmi
mendesah prihatin. “Lo berpura-pura.”
“Mungkin berpura-pura adalah
langkah awal yang baik supaya kepura-puraan itu bisa jadi kenyataan. Gue
berpura-pura baik-baik aja, supaya benar-benar menjadi baik-baik aja.”
“Dipta ...”
“Gue sayang sama Artha, Mi. Gue
nggak mau kehilangan dia.”
Rahmi terhenyak.
“Gue akan kehilangan dia kalau
gue masih bersikap kekanakan, ngambek, posesif dan cemburu buta seperti yang
gue lakukan dulu.”
Rahmi lemas. Sejauh yang
dilihatnya selama ini ... ternyata semua ilusi.
Akhirnya Rahmi setuju untuk
membantu Artha. Meski risikonya sangat besar, dan bisa-bisa membahayakan
persahabatannya dengan Dipta. Tapi sikap Dipta sungguh sudah mengkhawatirnya.
Satu orang tidak mungkin mampu menahan semua perasaan itu seumur hidup. Dipta
harus belajar mengungkapkan perasaannya, dengan cara yang tepat, bukan dengan
cara memendamnya.
Sesuai skenario yang sudah
direncanakan Artha, mereka sengaja membuat diri mereka terlihat sedang jalan
berdua oleh Dipta. Dan mereka berhasil. Mereka berhasil membuat Dipta menemukan
mereka sedang berjalan bergandengan tangan.
Dipta merasa dirinya akan meledak melihat pemandangan di
hadapannya. Tangan itu. Tangan dari dua orang yang disayanginya, saling
terkait. Mereka berpegangan tangan. Artha dan Rahmi. Pacar dan sahabatnya.
Dia menatap kedua orang itu.
Yang menatapnya balik dengan tatapan yang aneh. Apa seperti itu tatapan maling
yang tertangkap basah sedang mencuri? Apa seperti itu tatapan orang yang
ketahuan selingkuh?
Sebelum dirinya benar-benar
meledak, Dipta berbalik dan berlari pergi. Ia mendengar kedua orang itu
mengejar dan memanggil namanya. Tapi dia tidak peduli. Dengan cepat, ia berlari
menuju mobilnya dan melarikannya dengan kecepatan tinggi. Pulang ke rumah.
“Mati gue, Tha! Lo harus
tanggung jawab!” kata Rahmi panik selagi mereka mengejar mobil Dipta. “Lo harus
lihat matanya. Bahkan gue belum pernah lihat mata seperti itu saat dia bersama
Angga. Dia cemburu sampai ingin membunuh kita, Tha.”
“Mi, lo bisa nggak sih tenang
sedikit? Kita akan menyelesaikannya.”
Bi Parti yang bekerja di rumah Dipta
hampir saja tidak mengijinkan mereka berdua menyusul Dipta masuk ke rumah jika
saja bukan karena Rahmi yang sudah sangat akrab dengan Bi Parti. Dipta sudah memerintahkan
Bi Parti untuk menahan kedua orang itu di luar rumah. Tapi Rahmi memiliki kemampuan
persuasi yang baik, membuat Bi Parti membiarkan dirinya dan Artha menyusul
Dipta ke kamarnya.
Dipta tidak mengunci pintu
kamarnya. Dia tidak mengira Artha dan Rahmi akan tiba di kamarnya. Wajahnya yang
merah dan basah dengan air mata tidak sempat ia sembunyikan ketika Artha dan
Rahmi masuk secara tiba-tiba.
Sepuluh detik yang terasa
sepuluh abad. Mereka bertiga saling berpandangan. Udara di sekitar mereka
terasa pekat dan tegang.
“Artha... kita putus!” kata Dipta
akhirnya, dengan suara tercekat.
“Kamu cemburu, Ta?” Artha
bertanya hati-hati.
Dipta tidak menjawab.
“Kamu cemburu?” Artha
mengulang.
“Iya. Gue cemburu!” akhirnya
Dipta membentak dengan suara yang tinggi, “Melihat pacar dan sahabat gue mengkhianati
gue ...”
“Gue bisa jelasin, Ta,” kata
Rahmi pelan-pelan.
“Nggak perlu. Udah cukup.
Kalian ...” Dipta terisak nyaris tidak tertahankan, “... pergi dari sini.
Pergi!”
Tapi Artha dan Rahmi tidak ada
yang menggeser kakinya dari tempatnya semula.
“Ekspresi ini yang aku tunggu
dari dulu, Ta,” kata Artha akhirnya. Dipta mengabaikannya. “Berkali-kali aku
coba membuat kamu cemburu. Bahkan terhadap Amira, kamu nggak cemburu juga.”
Ekspresi Dipta sedikit berubah.
Bingung.
“Aku nggak pernah tahu, apakah
kamu sayang sama aku atau nggak. Kamu nggak pernah terlihat cemburu. Kamu nggak
pernah terlihat takut kehilangan aku ...” Artha melanjutkan, “Itu kenapa aku
meminta tolong Rahmi untuk membuat kamu cemburu. Gadis secantik Amira nggak
bisa bikin kamu cemburu? Dan ternyata yang bisa bikin kamu cemburu cuma gadis
seperti Rahmi ini?”
“Gadis seperti apa, maksud lo?”
refleks, Rahmi menyahut pernyataan Artha dengan kesal.
Artha tertawa pelan. “Sori,
sori,” katanya kepada Rahmi.
“Kenapa selama ini kamu nggak
pernah cemburu sama aku, Ta?” Artha bertanya kepada Dipta, “Bikin aku berpikir
bahwa kamu nggak pernah sayang sama aku. Aaku berpikir kamu nggak pernah takut
kehilangan aku.”
Air mata Dipta mengalir tidak
terkendali. Dia menatap Rahmi yang matanya juga sudah berkaca-kaca. Rahmi
mengangguk kepada Dipta, seperti memberi kode.
Dia
berhak tahu alasannya, Ta, tell him. Kira-kira seperti itu arti kode
yang ditangkap Dipta dari anggukan Rahmi barusan.
“Aku nggak mau terlihat
jelek...” Dipta berkata ragu, “... di depanmu. Aku nggak mau terlihat manja,
marah, posesif dan cemburu. Nanti kamu akan pergi.”
“Kamu cuma mau menunjukkan sisi
baikmu padaku?”
Dipta tidak menjawab.
“Kenapa?”
“Nggak ada yang bisa tahan
dengan sifat jelekku.”
“Aku tahan. Aku mau melihatnya.”
Artha berjalan mendekat,
menghampiri Dipta.
“Koin selalu punya dua sisi.
Aku mau melihat kedua sisi koinmu. Bolehkah?”
Dipta tetap diam.
“Aku mau jadi orang yang
pertama kali kamu beri kabar saat ada berita gembira. Aku mau jadi yang pertama
kamu kabari saat ada masalah. Aku mau jadi yang pertama melihat kamu tertawa.
Juga mau jadi orang yang kamu percaya melihat kamu menangis. Bolehkah?”
Artha menggenggam tangan Dipta.
“Bolehkah?” tanyanya sekali lagi.
Dipta menggeleng. “Kamu nggak
bisa jadi yang pertama.”
Artha terkesiap.
“Posisi pertama sudah ditempati
Ibuku. Kedua adalah Rahmi. Kamu cuma bisa jadi yang ketiga. Apa kamu keberatan?”
Tanpa aba-aba, Rahmi langsung
berlari dan memeluk Dipta. Lalu mereka berdua berpelukan sambil menangis.
“Maaf mengerjai lo begini,”
kata Rahmi sambil terisak.
Dipta tidak menjawab. Dia balas
memeluk Rahmi dengan lebih kuat.
Artha mengelus kedua lengan
Dipta dengan perasaan lega.
“Kalian dua orang yang paling
aku sayang setelah keluargaku. Itu kenapa nggak ada perempuan cantik manapun
yang bisa mengalahkan Rahmi dalam membuat aku cemburu.”
“I take it as compliment.”
Rahmi tertawa sambil menghapus air matanya.
Dipta tertawa. Begitu juga
dengan Artha.
Kita
bertemu dengan seseorang bukan karena kebetulan. Mereka hadir dalam hidup kita
untuk alasan tertentu. Mereka hadir untuk membawa pelajaran bagi kita.
Tidak
semua pelajaran disampaikan dengan baik oleh sang guru. Tapi bukan berarti isi
pelajaran itu tidak baik.
Hanya
karena pelajaran itu disampaikan dengan buruk, banyak orang yang salah mengerti
tentang makna sesunggunya pelajaran itu.
Jangan
salah mengerti tentangku. Aku hanya salah mengerti tentang hidup. Terima kasih
karena telah tetap bersamaku.
Oh, did
I get too close?
Did I
almost see what’s really on the inside?
All
your insecurities
All the
dirty landry
Never
made me blink one time
Come
just as you are to me
Don’t
need apologies
Know
that you are worthy
I’ll
take your bad days with your good
Walk
through this storm I would
I’d do
it all because I love you
Unconditional,
unconditionally
I will
love you unconditionally
There
is no fear now
Let go
and just be free
I will
love you unconditionally
-- Unconditionally, Katy Perry --
-- Unconditionally, Katy Perry --
Terima
kasih sudah bersamaku tanpa syarat. Menerimaku apa adanya.
Thank
you for always love me unconditionally.
Suka cerita yang ini...dalam tahap belajar 😍
BalasHapus