Untuk menerima ilmu, yang perlu kita lakukan adalah merendahkan hati.
Bagaimana gelas bisa menerima air dari teko jika posisinya lebih tinggi
daripada tekonya? Nah, filosofi murid ini pasti semua sudah pernah
mendengarnya. Lalu apa yang kita lakukan untuk memberi ilmu? Apa kita
perlu menjadi lebih tinggi dari murid supaya bisa menuangkan air dari teko?
Secara ilmu, tentu saja seorang guru harus menguasai lebih banyak dan
lebih tinggi daripada muridnya. Tapi jika itu disama-artikan dengan
meninggikan hati, tentu bukan begitu maksudnya. Seorang guru saya
mengajarkan saya bagaimana menjadi seorang guru.
“Niechan, saya menjadi gurumu bukan karena saya lebih pintar darimu. Saya hanya lebih dahulu mengetahui. Bukan berarti lebih banyak mengetahui.”
Itu
adalah kata-kata Sensei saya. Beliau adalah guru les bahasa Jepang
saya. Mengingat gayanya yang cuek dan “semau gue”, saya tidak yakin
bahwa kata-kata sedramatis itu bisa diucapkan olehnya. Beliau pasti
baru saja membacanya dari sebuah buku, atau mungkin mengutipnya dari
seseorang lain. Tapi bukan itu masalahnya. Masalahnya adalah, kata-kata
beliau tersebut membuat saya sangat terharu. Sensei saya adalah orang
yang sederhana, mudah ditebak, suka melucu, nggak neko-neko dan
apa adanya. Maka entah kata-kata itu terinspirasi dari buku manapun,
jika Sensei sudah mengatakannya berarti itulah yang dipikirkannya. Dan
dengan benar-benar memaksudkan kata-katanya seperti itu, terenyuhlah
saya pada kerendahan hatinya.
Saya percaya, Tuhan menciptakan
manusia dengan kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Tidak ada
manusia yang sempurna. Pun tidak ada manusia yang tidak memiliki
kelebihan. Dan Sensei saya itu adalah tipe manusia yang mensyukuri
kekurangannya selagi meningkatkan kelebihannya, dan tidak sombong pada
kelebihannya.
Ketika mengetahui bahwa selain menjadi mahasiswa
saya juga seorang guru les privat murid SMU untuk pelajaran Kimia,
Sensei memuji saya.
“Nilai sains saya sejak dulu jelek banget.
Sampai sekarang aja saya sering salah kalau menghitung uang kembalian
belanja,” kata Sensei sambil tertawa geli.
Saat itulah, saya yang
selalu merasa bahwa Sensei saya pintar sekali sehingga menguasai lima
bahasa (bahasa Inggris, Jepang, Prancis, Indonesia dan Jawa tentunya)
ternyata tidak sesempurna itu. Beliau ternyata tidak menguasai
perhitungan yang mudah. Sungguh bertolak belakang dengan saya. Saya
cukup cepat menyelesaikan perhitungan tanpa kalkulator. Selalu mendapat
nilai baik dalam pelajaran sains, terutama kimia dan biologi. Tapi
selalu sulit mempelajari bahasa. Jangankan mempelajari bahasa Inggris
atau bahasa Jepang, nilai bahasa Indonesia saya selama sekolahpun selalu
menyedihkan jika disandingkan dengan nilai pelajaran-pelajaran sains
saya. Menyedihkan.
Saya kemudian menyimpulkan bahwa Tuhan
menciptakan kelebihan pada otak kiri saya dan memberikan kelebihan pada
otak kanan Sensei. Itulah mengapa sebagai gurupun kita tidak boleh
sombong dan memandang rendah murid. Karena dia mungkin murid kita dalam
satu hal, tapi bisa menjadi guru kita dalam hal lain.
Hal serupa
terjadi pada saya dan murid saya. Saya mengajar Kimia untuk seorang
murid sekolah internasional. Bramantyo namanya. Orangtuanya adalah orang
Indonesia, Jawa tulen. Tapi sampai berusia enam tahun, anak itu lahir
dan besar di Amerika Serikat selagi sang ibu menyelesaikan program
doktoralnya disana. Lebih sering dititipkan di daycare
ketimbang bersama sang ibu yang sibuk riset menyebabkan Bram lebih
mengenal bahasal Inggris dibanding bahasa ibunya. Ketika pulang ke
Indonesia, dia mengalami kesulitan bahasa sehingga sang ibu
menyekolahkannya di sekolah internasional. Sampai sekarang, Bram lebih
fasih berbicara bahasa Inggris dibanding bahasa Indonesia. Sial bagi
saya karena bahasa Inggris saya tidak terlalu bagus. Sial baginya,
karena mendapat guru seperti saya. Tapi mengapa pula saya harus menyerah
hanya karena satu kekurangan saya? Saya menerima pekerjaan itu. Mencoba
bukan sesuatu yang buruk. Dan saya katakan pada sang ibu tentang
keterbatasan active-English saya. Sang ibu memahami dan
mengatakan “Bram paham bahasa Indonesia kok. Dia hanya sulit membalas
dalam bahasa Indonesia.” Tepat berkebalikan dengan saya! Saya paham jika
seseorang mengajak saya bicara dalam bahasa Inggris. Tapi karena jarang
berlatih, saya seringkali terbata jika berbicara dalam bahasa Inggris.
Akhirnya
yang terjadi pada kami adalah saya mengajari Bram dengan separuh bahasa
Inggris – separuh bahasa Indonesia. Dan dia akan menjawab
pertanyaan-pertanyaan saya dalam bahasa Inggris. Baik baginya karena
bersama saya dia makin terbiasa berbahasa Indonesia. Baik bagi saya
karena bersamanya saya makin terbiasa berbahasa Inggris. Malu awalnya
harus bercakap dalam bahasa Inggris dengan seseorang yang lebih pandai
berbahasa daripada saya. Tapi Bram cukup memahami saya. Dan selagi saya
sering mengkoreksi hitungan stoikiometrinya, dia juga seringkali
mengkoreksi ucapan saya yang keliru. Saya sering tertawa sendiri
setelahnya, sebenarnya diantara kami siapa yang menjadi guru bagi siapa?
Hukum
sebab-akibat selalu terjadi dalam segala sisi kehidupan. Jika kau ingin
dicintai, maka kau harus mencintai lebih dahulu. Begitu juga dalam
mengajar. Dalam proses belajar-mengajar, bukan murid yang harus memahami
perkataan kita. Gurulah yang harus memahami murid terlebih dahulu.
Itulah filosofi kedua yang diajarkan Sensei.
Mengajar Bram sama
artinya seperti main layangan. Kalau dia sedang menarik, kau harus
sedikit mengulurnya. Kalau dia terlalu terulur, kau harus buru-buru
menariknya. Bram, seperti umumnya remaja, kecerdasannya sangat
dipengaruhi oleh suasana hati. Kalau mood-nya sedang buruk, menghitung
reaksi netralisasi saja sulitnya setengah mati. Tak perlu lagi menghapal
senyawa-senyawa hidrokarbon, hapalan tentang berapa bobot atom hidrogen
saja dia lupa. Kalau sudah begini, saya bingung sendiri bagaimana harus
mengajarnya.
Sebenarnya, teorinya mudah saja. Bagaimana caranya
agar tidak takut? Jangan takut! Jadi bagaimana supaya seorang murid jadi
mood belajar? Tentu saja, buat suasana belajar jadi menyenangkan! Dan
praktek akan selalu menjadi bagian tersulitnya. Bagaimana membuat
suasana belajar jadi menyenangkan kalau sang murid sudah pasang tampang
jutek begitu?
Belakangan saya ketahui bahwa Bram ini sebenarnya
sangat mirip dengan saya. Jenis manusia audio-learner. Artinya, Bram
akan lebih cepat menerima pelajaran dengan cara mendengarnya. Satu hal
lain yang saya perhatikan dari seorang audio-learner adalah kami selalu
membutuhkan suara di sekitar kami. Kami adalah orang-orang yang suka
mendengarkan musik. Menjadi entah bagaimana lebih cerdas jika belajar
sambil mendengarkan musik. Dan sementara orang-orang menyepi untuk
memperoleh ketenangan untuk belajar, kami lebih senang belajar di
keramaian. Sejak mengetahui fakta itu, kami mulai belajar sambil
mendengarkan musik. Bram menyukai musik jazz. Dan meski saya lebih
menyukai musik yang menghentak-hentak, saya mengalah dan mengijinkannya
memutar musik jazz kesukaannya.
Mood bukanlah satu-satunya masalah
Bram. Konsentrasi adalah masalah terbesarnya. Ada saat-saat dimana saya
heran, mengapa meski Bram sedang dalam keadaan senang, tapi dia tidak
fokus pada topik yang sedang saya ajarkan. Setiap kali saya membahas
stoikiometri, Bram langsung mengalihkan pembicaraan. Biasanya dia
tiba-tiba curhat tentang hal-hal yang dialami di sekolahnya, atau kisah
cinta ala abege-nya. Awalnya, saya selalu menanggapi dengan simpatik.
Lama kelamaan Bram seperti memanfaatkan kelemahan hati saya dan selalu
mengalihkan topik stoikiometri saya menjadi sesi curhat. Akhirnya saya
tahu juga alasannya.
Kata orang, kerjakanlah apa yang kau sukai.
Atau cobalah untuk menyukai apa yang kau kerjakan. Jika tidak bisa
keduanya, maka apa lagi yang bisa kau kerjakan? Hal tersebut terjadi
pada kasus Bram. Bagaimana kau bisa tahan mengerjakan sesuatu yang tidak
kau sukai? Suatu kali, saya memanfaatkan sesi curcol-nya Bram untuk
mengorek rahasia darinya. Dan akhirnya saya tahu bahwa dia memang tidak
menyukai pelajaran-pelajaran sains. Kimia dan fisika adalah salah satu
yang dibencinya. Dan stoikiometri adalah salah satu yang paling
dibencinya dari kimia.
Menyakitkan saat mendengar seseorang tidak
menyukaimu. Sama menyakitkannya bagi seorang guru saat mengetahui bahwa
muridnya tidak menyukai pelajarannya.
“So, what are you interested in, Bram?” tanya saya akhirnya.
“English Literate,” dia menjawab.
“Why did you choose these subject? Chemistry and Physics?”
“Ibu and Bapak want me to be a doctor, just like them.”
Hooo, sou desuka. Mengertilah saya sekarang. Menyukai sastra, tapi diharapkan menjadi dokter. Lima kali seminggu harus les basic math, advance math, physics, chemistry dan biology. Tiap Sabtu masih harus les piano. Kehidupan macam apapula itu? Keterpaksaan macam apa yang harus dijalaninya setiap hari?
Tapi
dapat dipahami juga mengapa orangtua Bram sangat berharap dari Bram.
Siapa pula yang bisa diharapkan lagi? Bram adalah anak tunggal mereka.
Mungkin bagi mereka, kehidupan penulis tidaklah menjanjikan masa depan
cemerlang. Itu mengapa mereka menginginkan anak tunggal mereka mengikuti
jejak mereka sebagai dokter.
Jadi apa yang bisa saya lakukan?
Menyuruh Bram mengejar impiannya sendiri? Atau memenuhi keinginan
orangtuanya? Saya memutuskan untuk mendukung Bram untuk menuruti
orangtuanya. Sejauh yang saya lihat, tidak ada yang salah dengan
keinginan orangtua Bram. Maka mengapa pula harus mengorbankan
kebahagiaan orangtua demi kebahagiaan sendiri jika sebenarnya kita bisa
memenuhi keinginan orangtua sambil memuaskan diri sendiri.
“You like to write something? Kinda short-story?” saya bertanya, menelisik.
“No. I write poem.”
“Really?”
Bram
tersenyum dan menunjukkan salah satu puisinya kepada saya. Ditulis
dalam bahasa Inggris, dengan rima yang indah dan diksi yang menarik.
Caranya menceritakan gadis yang disukainya dengan perumpamaan empat
musim, sungguh bagus. Dan saya langsung jatuh cinta pada puisi-puisinya.
“I also like to write,” kata saya.
Bram
menaikkan alisnya. Tampak tidak yakin bahwa orang seaneh saya bisa
menulis sesuatu. Atau mungkin tidak yakin tulisan saya bisa lebih bagus
daripada puisi-puisinya. Dan memang benar tulisan saya tidak sebagus
puisinya, tapi saya pantang menyerah. Saya ambil selembar kertas, lalu
saya tuliskan kata-kata yang baru saja terlintas di pikiran.
Hey kamu! Iya kamu!
Yang sering lupa reaksi netralisasi
Atau bagaimana menghitung reaksi reduksi-oksidasi
Bagaimana nanti kalau kita sudah mulai belajar asilasi?
“Sorry,
I don’t write in English,” kata saya sambil menyerahkan puisi
asal-asalan itu. Bram membacanya dan dia tertawa. Sejak itu jika Bram
mulai bĂȘte, kami akan saling membuat pantun atau puisi singkat. Lebih
sering adalah pantun-pantun sindiran seperti diatas. Tapi sering juga
saya menulis tema lain seperti ini:
It is me, Winter.
I’m not Summer who embrace you with warmth.
Neither Spring who pour you colourful cherry-blossom.
I’m just Autumn, who turns you into who you are.
“Do
not feel that you are forced to fulfill your parents dream, “ kata saya
pada Bram suatu kali, “They both give you everything to ensure that you
will gain the best future. Make them happy. And make yourself
satisfied. Keep writing on your poem, while calculating your reaction. I
did the same.”
Bram tersenyum. Entah tersenyum karena nasehat saya, atau sedang menertawakan bahasa Inggris saya lagi.
Suatu
ketika saya pernah ngobrol dengan ibunya Bram. Beliau menanyakan
perkembangan Bram. Saya mengatakan bahwa sepertinya Bram cukup oke dalam
menghapal, tapi sering terjebak oleh soal-soal hitungan. Ibunya Bram
mengatakan bahwa nilai Bram fluktuatif, kadang sangat baik dan kadang
juga buruk. Tidak ada pola tertentu pada hasil tes itu. Kadang Bram
mendapat nilai baik dalam stoikiometri, kadang justru mendapat nilai
buruk dalam soal kimia organik.
Tidak menemukan pola yang teratur
pada nilai-nilanya, saya minta ijin untuk meminjam hasil-hasil tes Bram
selama ini. Saya mempelajari kesalahan-kesalahan yang dibuat Bram.
Setelahnya saya membuat soal sejenis untuknya, dan meminta Bram
mengerjakan soal itu. Barulah saat itu saya tahu bahwa masalah Bram
memang pada konsentrasi. Bram bukannya bodoh. Dia hanya tidak mampu
berkonsentasi dalam waktu lama, dan seiring waktu ketelitiannya menurun.
“If you are given 1 hour to do the test, in what time you usually finish it?” tanya saya.
“30 minutes is enough for me,” jawabnya cuek.
“And what did you do in the rest of time?”
“Nothing. I just wanna do it as soon as possible.”
“You didn’t recheck your answer?”
Bram mengangkat bahunya sambil nyengir tak berdosa.
Itu
masalahnya! Bram bukan bodoh. Dia hanya tidak bisa berkonsentrasi. Dan
dia tidak teliti. Seringkali dia melewatkan informasi-informasi penting
dalam soal. Jika saya mengkoreksi jawabannya, dia cuma nyengir sambil
berkata: “Why did’t I see that clue?”
Aaarrrggghhh, geregetan! Saya geregetan!
Anak
ini selalu santai menghadapi ujian, dan malah saya yang stress setiap
kali dia akan ujian. Saya selalu khawatir dia melakukan
kesalahan-kesalahan kecil yang tidak seharusnya dilakukan hanya karena
dia tidak teliti.
Kehabisan ide, saya menerapkan filosofi–mengajar
ketiga yang diajarkan Sensei. Filosofi ketiga tersebut adalah bahwa
Tuhan selalu mendengar impianmu, dan seluruh alam raya akan bersatu padu
mewujudkannya asalkan kita konsisten memimpikannya dan mengusahakannya.
Menyebutnya sekali membuat kita menyadari sesuatu. Menyebutnya
berkali-kali membuatnya tertanam di pikiran kita. Menyebutnya
terus-menerus akan menerakannya di alam bawah sadar. Dan bagaimana
mungkin kita tidak mengusahakan sesuatu yang terpatri kuat di hati dan
pikiran kita?
Itu jugalah yang saya lakukan terhadap Bram.
Prinsipnya adalah pengulangan. Jika orang cerdas bisa memahami pelajaran
hanya dengan sekali mempelajarinya, bukan berarti yang tidak cerdas
tidak bisa. Kita hanya perlu mempelajarinya lagi dan lagi dan lagi.
Saya
membuatkan catatan-catatan ringkas untuknya. Diagram-diagram dan
rangkuman dari pelajaran-pelajarannya, agar dia mudah memahaminya. Saya
mengulangnya berkali-kali. Menanyainya terus-menerus, memastikan dia
hapal dan mengerti. Menghapal saja tidak cukup, mengerti adalah
keharusan. Dan saya juga terus-terusan mencekokinya dengan kata-kata:
“Mengerjakan cepat itu baik. Mengerjakan dengan tepat, itu lebih baik.
Do it fast, and ensure that you’ve done it correctly. Re-check you
answer! RE-CHECK!”
Bram biasanya hanya nyengir-nyengir geli menghadapi kegalakan saya. Dia menganggap wajah galak saya itu lucu.
“I give you chocolate if you get a good score!” kata saya mengiming-imingi.
“Do you think I’m a little girl? I don’t want chocolate,” katanya mencemooh.
“So?”
“Willy Wonka Candy. You can only find them at KemChick.”
Ahahaha, dasar anak pintar! Nyusahin aja deh.
“Deal!” kata saya sambil tertawa. “Give me score of 90. I give you my word.”
Bram nyengir.
Sayangnya, saya tidak bisa memenuhi janji saya. Ketika akhirnya dia mendapat nilai 97 pada subjek Chemistry
untuk ujian kenaikan kelasnya, saya lagi-lagi hanya bisa membelikannya
coklat. Sebagai permintaan maaf, saya tulis pantun pendek untuknya.
Hei kamu! Iya, kamu!
Yang ujian kimianya bernilai nyaris sempurna
Ingat yg aku bilang di awal jumpa?
Kau tidak bodoh, tidak juga lama
Kamu cuma perlu teliti membaca
Karena kamu sudah pintar luar biasa
Lagi-lagi
dia tertawa membacanya. Entah kenapa. Saya abaikan saja tawa
mengejeknya itu. Saya tahu dia sedang mengira yang saya lakukan itu
konyol.
Seperti yang saya katakan sebelumnya,
bersama Bram saya harus pandai menarik ulur. Memaksanya belajar tidak
akan efektif. Membiarkannya bermain semaunya, juga suatu keria-siaan.
Maka kemampuan berkompromi adalah hal yang harus saya miliki saat
menghadapi dia. Dan saya masih harus banyak belajar soal itu.
Dalam
hidup, kita menerima dan memberi. Sensei telah mengajari saya bagaimana
menjadi seorang guru. Saya meneruskannya kepada Bram, bagaimana
seharusnya dia belajar. Dan Bram juga mengajari saya banyak hal, bahkan
mungkin lebih banyak daripada yang saya berikan. Bram mengajari saya
untuk mengenal karakter, mempelajari sifat dan keinginan manusia,
bersabar, berkompromi dan berstrategi. Jadi sebenarnya, kita adalah guru
bagi sesama kita. Tinggal kitalah yang memilih, apakah kita ingin jadi
guru yang baik atau guru yang mencontohkan keburukan.
Luna Lovegood inside. Noda Megumi outside.
Kamis, 13 Oktober 2011
Sabtu, 08 Oktober 2011
Student's Story
Waktu jaman kita muda dulu (jadi inget umur, sekarang udah nggak abege
lagi, hehe), kita sering menganggap diri kita paling hebat. Udah paling bangga
kalau berhasil mengelabui guru, meloloskan diri dari razia VCD bokep. Berasa
jago kalau berhasil menyusup masuk selagi teman-teman lain yang sama-sama
terlambat sekolah disuruh push-up. Dan berasa keren banget kalau berhasil
menerapkan metode mencontek mutakhir sehingga bisa nyontek tanpa ketahuan guru.
Sekarang setelah waktu-waktu terlewati dan status saya sebagai murid
mulai bergeser menjadi si “oknum
guru” itu, saya makin menyadari bahwa dulu kita sebenarnya tidak sehebat itu.
Kita sebenarnya cuma anak-anak yang dibiarkan bermain petak-umpet oleh orangtua
kita. Kita dibiarkan bersembunyi
meski mereka sebenarnya sudah tahu sejak awal dimana kita akan bersembunyi ...
karena mereka pernah memainkan permainan petak-umpet serupa.
Dulu kita merasa hebat sekali
jika bisa mengelabui guru dan berhasil nyontek tanpa ditegur guru. Kenyataannya
sekarang, setelah saya sendiri menjadi guru, saya jadi geli sendiri dengan
tingkah murid-murid yang seperti itu. Saling melirik, saling berbisik, pura-pura
meminjam tip-ex, membuat contekan dengan tulisan super kecil dan
kelucuan-kelucuan lainnya. Beruntunglah saya yang tidak pernah berani mencontek
hingga sekarang karena sebenarnya tidak ada guru yang tidak menyadari bahwa
muridnya mencontek.
Kau pikir guru-guru kita yang
pintar itu tidak tahu apa-apa saat kita mencontek? No, no! Mereka semua tahu!
Tidak ada yang tidak tahu. Yang ada hanyalah guru yang menegur dan memarahimu,
atau sekedar menyindir halus, atau justru guru yang memilih untuk mengurangi
nilaimu dalam diam.
Seperti yang tadi saya bilang,
melihat kehidupan yang sama dari sudut pandang yang berbeda, benar-benar lucu. Saya
sebenarnya tipe guru yang nggak suka mempermalukan murid di depan
teman-temannya yang lain. Jadi saat melihat anak-anak itu masih saja
menggunakan trik-trik kuno untuk mencontek, saya cuma bisa nyengir. Sindiran
adalah hal terkahir yang saya lakukan. Selebihnya, kalau mereka tetap nekat
“berusaha”, saya memilih diam dan langsung menandai nama mereka masing-masing
di daftar nilai saya. Memberi nilai terendah bagi mereka adalah hal paling baik
dan paling kejam yang bisa saya lakukan. Tidak mempermalukan mereka di depan
teman-temannya adalah hal baik yang saya pilih. Tapi memberi “imbalan setimpal”
atas kenakalan mereka bukanlah sesuatu yang tidak adil, bukan?
Begitupun terhadap kenakalan
kita yang lain. Waktu kita melompati dinding belakang sekolah demi menghindari
razia “murid terlambat”, apa kau pikir semua guru tidak tahu? Sebenarnya nggka
juga lho. Ada yang tahu kelakuanmu itu. Tapi seperti halnya saya, ada beberapa guru
yang lebih suka diam. Tidak ada yang menegurmu hanya berarti bahwa mereka
memberimu “hadiah” atas kerja kerasmu yang sudah berusaha melarikan diri.
Hahaha.
Kelucuan lain para murid
ternyata tidak melulu soal kenakalan mereka. Kisah cinta mereka adalah kelucuan
lainnya. Ketika sekarang saya mendengar curhatan mereka soal kisah cinta
mereka, saya sering nyengir dalam hati, membayangkan betapa dulu guru saya
pasti merasa lucu mendengar cerita cinta abege saya. Dulu saya pasti sama
lucunya dengan murid-murid saya sekarang, mengkhawatirkan kisah cinta
remeh-temeh.
Well, yeah, kita melakukan
hal-hal kecil saat kita masih kecil. Berpikir bahwa kita sudah besar dan sudah
melakukan hal-hal besar. Kita mengkhawatirkan hal-hal kecil saat kita masih
kecil, dan mengira bahwa hal-hal tersebut terlalu besar dan berat untuk kita
tanggung. Tapi sekarang setelah kita cukup besar, akhirnya kita tahu kan bahwa
hal-hal besar kemarin hanya sebesar yang kita bayangkan? Bahwa sebenarnya
hal-hal besar yang dulu merisaukan kita, ternyata tidak sebesar itu kan? Waktu
itu kita hanya masih kecil untuk menerima yang lebih besar. Tapi waktu kita
akhirnya menerimanya, kita akan tumbuh menjadi sebesar apa yang diperlukan
untuk kuat mengangkat beban itu kan?
Ngomong-ngomong soal menjadi
guru, itu berat juga lho.
Karena seperti kata pak Marno: “Saat kita mengajar, sebenarnya kitalah yang paling harus belajar, memastikan
diri menjadi lebih tahu daripada murid kita.”
Seorang guru memang harusnya lebih
tahu daripada muridnya, karena dialah tempat bertanya dan menimba ilmu para
muridnya. Tapi kemudian belakangan ini saya menyadari bahwa menjadi lebih tahu
dan lebih pintar bukanlah hal yang paling penting untuk menjadi seorang guru.
Berapa banyak guru-guru kita yang jenius luar biasa, tapi semua muridnya
bingung dengan pelajaran yang diajarkan? Kalau pakai istilah saya sendiri sih,
fenomena itu disebut dengan “perbedaan frekuensi otak”. Makin jauh kesenjangan
intelegensi antara guru dan murid, maka makin rentan terhadap insiden “ketidak-tersampaian
ilmu.”
“Ini guru lagi ngomong bahasa dewa kali ya?
Manusia biasa seperti kita mah nggak bakal paham bahasa dewa begitu. Frekuensi
otaknya beda sama kita, jadi nggak bisa beresonansi dgn frekuensi otak manusia
biasa seperti kita.”
Kalau murid kita sudah ngomong
seperti itu, berarti kita adalah guru tidak berguna. Sepintar apapun seorang
guru, kalau muridnya sendiri nggak paham perkataannya, berarti dia bukan guru
yang baik. Sejenius apapun guru, kalau tidak bisa mentransfer pengetahuannya
kepada murid-muridnya, lalu guru seperti apa itu? Ditambah lagi kalau sampai
murid kita sendiri takut, benci dan cenderung menghindari kita, maka sebenarnya
kita hanyalah orang yang pintar,
bukan seorang guru.
Berdasarkan teori yang saya
alami sendiri, sepintar apapun guru dan sebaik apapun ilmu yang diberikannya,
ilmu itu tidak akan pernah sampai kepada murid kalau muridnya tidak merasa
nyaman dengan gurunya. Ketidaknyamanan itu bisa terjadi karena banyak hal. Oke,
bahas satu per satu ya J
Suatu ilmu nggak akan bisa
sampai kepada murid kalau muridnya takut sama gurunya. Takut pada guru akan
berimbas pada ketakutan murid pada ilmu yang diajarkan guru tersebut, meski
ilmunya sendiri tidak menakutkan. Sebaliknya, sesulit apapun pelajarannya,
kalau murid suka dengan gurunya, biasanya mereka akan bisa menerima ilmu
tersebut dengan lebih baik. (Inget pelajaran fisika waktu nulis ini :p )
Ilmu juga nggak bisa sampai
kepada murid kalau muridnya membenci gurunya, atau gurunya juga balik sebal
pada muridnya. Bagaimana mungkin cangkir bisa menerima air dari teko kalau
cangkirnya ditutup atau tekonya tertutup? Kebencian adalah hal yang menutup
hati dan pikiran kita dari ilmu-ilmu baik yang sebenarnya ada diantara guru dan
murid. Sebaik apapun ilmu, jika disampaikan atau diterima dengan kebencian,
ilmu itu tidak akan pernah sampai kepada muridnya.
Dan kebencian bisa datang dari banyak sumber. Sikap murid yang tidak
hormat, atau sikap guru yang membuat murid jadi tidak hormat. Merasa diri
paling pintar dan sikap merendahkan murid adalah salah satu yang paling
menimbulkan kebencian.
Beberapa kali saya mendengar
seorang guru berkata: “Ah, dulu saya bisa mengerjakannya kok. Kenapa mereka
nggak bisa? Kan kita sama-sama makan nasi.”
Pernyataan tersebut bisa
mengimplikasikan dua hal. Pertama, bahwa sang guru sudah bisa membaca dan
berhitung sejak lahir (saking jeniusnya, sehingga tidak pernah menjadi orang
bodoh). Kemungkinan kedua, bahwa saking pintarnya sang guru sekarang, beliau
sampai lupa bagaimana rasanya menjadi tidak tahu.
Benar adanya bahwa para guru
pastilah lebih berpengalaman daripada murid-muridnya sehingga beliau pasti
sudah tahu bahwa soal-soal seperti itu bukan soal yang mustahil dikerjakan.
Tapi para guru seringkali lupa bahwa beliau dulu juga pernah menjadi murid yang
tidak tahu. Mereka lupa bahwa saat mereka masih muda dulu, soal-soal sepele itu
adalah hal yang besar bagi mereka. Mereka lupa bahwa dulu mereka pernah merasa
tidak bisa melakukan sesuatu sebelum akhirnya mereka menemukan cara untuk
menyelesaikannya. Mereka bahkan lupa bahwa murid memang memiliki hak
untuk bodoh, karena mereka hanya seorang murid. Mereka membayar sekolah untuk
dididik, bukan untuk diklaim sebagai orang bodoh. Jika murid-murid itu sudah
pintar, untuk apa lagi mereka sekolah dan kuliah? Para guru mungkin melupakan
fakta penting itu.
Para guru seringkali lupa dan
mengira para murid sudah sama pintar dan sama tahunya dengan mereka sekarang.
Akibatnya mereka menjelaskan dengan terburu-buru, dan terlewat menanamkan
pemahaman-pemahaman dasar yang dibutuhkan murid untuk memahami pengetahuan yang
lebih tinggi. Hal-hal seperti itu yang membuat murid jadi frustasi dalam
menerima pelajaran.
Ada kalanya saya berpikir, guru yang baik sebenarnya bukan hanya yang
paling pintar, atau yang gelarnya paling panjang ya? Guru yang baik mungkin saja
kepintarannya hanya bernilai delapan, tapi seluruhnya bisa diturunkan kepada
murid-muridnya …. alih-alih guru jenius dengan kecerdasan bernilai sepuluh,
tapi hanya sepertiga dari ilmunya yang bisa diturunkannya. Guru yang baik
rasanya bukan yang paling pintar (bukan berarti guru tidak harus pintar.
Tentunya seorang guru haruslah yang pintar), tapi juga yang paling memahami apa
yang dibutuhkan muridnya untuk menjadi pintar. Sayangnya, kecerdasan untuk
memahami murid tidak selalu berbanding lurus dengan kecerdasan intelegensia.
Itu mengapa menjadi pintar jauh lebih mudah daripada menjadi seorang guru.
Padahal, kalau dipikir-pikir lagi, untuk memahami seorang murid, nggak
sesulit itu kan? Seorang guru juga pernah menjadi abege kan? Hanya saja mungkin
ketika sudah terlalu lama menjadi guru, kita justru lupa bagaimana rasanya
menjadi murid. Ketika kita beranjak
dewasa, kita jadi lupa bahwa dulu kita juga sering melakukan
kekonyolan-kekonyolan yang sama dengan para abege itu. Lupa deh kita bahwa kita dulu pernah juga
bergaya “labil”, atau bahkan masih labil sampai sekarang, meski dalam bentuk
yang berbeda. Kita juga lupa bahwa dulu kita adalah “galauers everywhere, everytime” bahkan oleh
hal-hal yang sekarang kita anggap sepele.
Yeah, pengalaman guru memang lebih banyak. Dan guru yang sering
mengatakan “saya juga dulu pernah jadi murid, tapi nggak gitu-gitu amat deh” juga
memang pernah muda. Mungkin mereka hanya lupa, bagaimana menjadi muda dan galau :p
Tulisan ini dibuat sebagai
topik balasan dalam serial “You Jump, I Jump” antara saya dan Ambar. Pada topik
terbaru yang dipilihnya (seperti dapat dibaca pada blog berikut: http://ambareetabercerita.wordpress.com/2011/10/07/ants-story/), Ambar bercerita tentang betapa kita ini
hamba yang tidak tahu rencana Tuhan tapi dengan sok tahunya merasa bahwa Tuhan
tidak sayang pada kita. Padahal sesungguhnya Tuhan punya rencana yang lebih besar
dan lebih indah bagi kita. Kita hanya terlalu kecil untuk mengetahui rencana
besar itu saat ini.
Mengambil tema serupa, kali
ini saya membahas tentang masa lalu kita, semasa masih sekolah dulu. Ini cerita
tentang murid, dengan segala tingkah dan ke-sotoy-annya. Ini cerita tentang
murid, yang diceritakan oleh seorang murid ... yang saat ini sedang berusaha menjadi
guru.
Apa lalu saya sudah menjadi guru paling baik sehingga bisa memposting
artikel aneh macam ini? Pastinya, saya masih jauh dari menjadi guru yang baik.
Dan untuk menjadi guru seperti itu sama sulitnya dengan mendapat nilai sepuluh
dalam pelajaran fisika, bagi saya. Saya cuma seseorang yang sedang terus
belajar untuk bisa kembali memahami dunia remaja agar bisa menjadi sahabat
mereka. Bukankah pengetahuan apapun paling mudah ditransfer oleh seorang
sahabat, ketimbang oleh seorang guru?
Langganan:
Postingan (Atom)