Luna Lovegood inside. Noda Megumi outside.

Sabtu, 08 Oktober 2011

Student's Story



Waktu jaman kita muda dulu (jadi inget umur, sekarang udah nggak abege lagi, hehe), kita sering menganggap diri kita paling hebat. Udah paling bangga kalau berhasil mengelabui guru, meloloskan diri dari razia VCD bokep. Berasa jago kalau berhasil menyusup masuk selagi teman-teman lain yang sama-sama terlambat sekolah disuruh push-up. Dan berasa keren banget kalau berhasil menerapkan metode mencontek mutakhir sehingga bisa nyontek tanpa ketahuan guru.
Sekarang setelah waktu-waktu terlewati dan status saya sebagai murid mulai bergeser menjadi si “oknum guru” itu, saya makin menyadari bahwa dulu kita sebenarnya tidak sehebat itu. Kita sebenarnya cuma anak-anak yang dibiarkan bermain petak-umpet oleh orangtua kita. Kita dibiarkan bersembunyi meski mereka sebenarnya sudah tahu sejak awal dimana kita akan bersembunyi ... karena mereka pernah memainkan permainan petak-umpet serupa.
Dulu kita merasa hebat sekali jika bisa mengelabui guru dan berhasil nyontek tanpa ditegur guru. Kenyataannya sekarang, setelah saya sendiri menjadi guru, saya jadi geli sendiri dengan tingkah murid-murid yang seperti itu. Saling melirik, saling berbisik, pura-pura meminjam tip-ex, membuat contekan dengan tulisan super kecil dan kelucuan-kelucuan lainnya. Beruntunglah saya yang tidak pernah berani mencontek hingga sekarang karena sebenarnya tidak ada guru yang tidak menyadari bahwa muridnya mencontek.
Kau pikir guru-guru kita yang pintar itu tidak tahu apa-apa saat kita mencontek? No, no! Mereka semua tahu! Tidak ada yang tidak tahu. Yang ada hanyalah guru yang menegur dan memarahimu, atau sekedar menyindir halus, atau justru guru yang memilih untuk mengurangi nilaimu dalam diam.
Seperti yang tadi saya bilang, melihat kehidupan yang sama dari sudut pandang yang berbeda, benar-benar lucu. Saya sebenarnya tipe guru yang nggak suka mempermalukan murid di depan teman-temannya yang lain. Jadi saat melihat anak-anak itu masih saja menggunakan trik-trik kuno untuk mencontek, saya cuma bisa nyengir. Sindiran adalah hal terkahir yang saya lakukan. Selebihnya, kalau mereka tetap nekat “berusaha”, saya memilih diam dan langsung menandai nama mereka masing-masing di daftar nilai saya. Memberi nilai terendah bagi mereka adalah hal paling baik dan paling kejam yang bisa saya lakukan. Tidak mempermalukan mereka di depan teman-temannya adalah hal baik yang saya pilih. Tapi memberi “imbalan setimpal” atas kenakalan mereka bukanlah sesuatu yang tidak adil, bukan?
Begitupun terhadap kenakalan kita yang lain. Waktu kita melompati dinding belakang sekolah demi menghindari razia “murid terlambat”, apa kau pikir semua guru tidak tahu? Sebenarnya nggka juga lho. Ada yang tahu kelakuanmu itu. Tapi seperti halnya saya, ada beberapa guru yang lebih suka diam. Tidak ada yang menegurmu hanya berarti bahwa mereka memberimu “hadiah” atas kerja kerasmu yang sudah berusaha melarikan diri. Hahaha.
Kelucuan lain para murid ternyata tidak melulu soal kenakalan mereka. Kisah cinta mereka adalah kelucuan lainnya. Ketika sekarang saya mendengar curhatan mereka soal kisah cinta mereka, saya sering nyengir dalam hati, membayangkan betapa dulu guru saya pasti merasa lucu mendengar cerita cinta abege saya. Dulu saya pasti sama lucunya dengan murid-murid saya sekarang, mengkhawatirkan kisah cinta remeh-temeh.
Well, yeah, kita melakukan hal-hal kecil saat kita masih kecil. Berpikir bahwa kita sudah besar dan sudah melakukan hal-hal besar. Kita mengkhawatirkan hal-hal kecil saat kita masih kecil, dan mengira bahwa hal-hal tersebut terlalu besar dan berat untuk kita tanggung. Tapi sekarang setelah kita cukup besar, akhirnya kita tahu kan bahwa hal-hal besar kemarin hanya sebesar yang kita bayangkan? Bahwa sebenarnya hal-hal besar yang dulu merisaukan kita, ternyata tidak sebesar itu kan? Waktu itu kita hanya masih kecil untuk menerima yang lebih besar. Tapi waktu kita akhirnya menerimanya, kita akan tumbuh menjadi sebesar apa yang diperlukan untuk kuat mengangkat beban itu kan?


Ngomong-ngomong soal menjadi guru, itu berat juga lho. Karena seperti kata pak Marno: “Saat kita mengajar, sebenarnya kitalah yang paling harus belajar, memastikan diri menjadi lebih tahu daripada murid kita.”
Seorang guru memang harusnya lebih tahu daripada muridnya, karena dialah tempat bertanya dan menimba ilmu para muridnya. Tapi kemudian belakangan ini saya menyadari bahwa menjadi lebih tahu dan lebih pintar bukanlah hal yang paling penting untuk menjadi seorang guru. Berapa banyak guru-guru kita yang jenius luar biasa, tapi semua muridnya bingung dengan pelajaran yang diajarkan? Kalau pakai istilah saya sendiri sih, fenomena itu disebut dengan “perbedaan frekuensi otak”. Makin jauh kesenjangan intelegensi antara guru dan murid, maka makin rentan terhadap insiden “ketidak-tersampaian ilmu.”
 “Ini guru lagi ngomong bahasa dewa kali ya? Manusia biasa seperti kita mah nggak bakal paham bahasa dewa begitu. Frekuensi otaknya beda sama kita, jadi nggak bisa beresonansi dgn frekuensi otak manusia biasa seperti kita.”
Kalau murid kita sudah ngomong seperti itu, berarti kita adalah guru tidak berguna. Sepintar apapun seorang guru, kalau muridnya sendiri nggak paham perkataannya, berarti dia bukan guru yang baik. Sejenius apapun guru, kalau tidak bisa mentransfer pengetahuannya kepada murid-muridnya, lalu guru seperti apa itu? Ditambah lagi kalau sampai murid kita sendiri takut, benci dan cenderung menghindari kita, maka sebenarnya kita hanyalah orang yang pintar, bukan seorang guru.
Berdasarkan teori yang saya alami sendiri, sepintar apapun guru dan sebaik apapun ilmu yang diberikannya, ilmu itu tidak akan pernah sampai kepada murid kalau muridnya tidak merasa nyaman dengan gurunya. Ketidaknyamanan itu bisa terjadi karena banyak hal. Oke, bahas satu per satu ya J
Suatu ilmu nggak akan bisa sampai kepada murid kalau muridnya takut sama gurunya. Takut pada guru akan berimbas pada ketakutan murid pada ilmu yang diajarkan guru tersebut, meski ilmunya sendiri tidak menakutkan. Sebaliknya, sesulit apapun pelajarannya, kalau murid suka dengan gurunya, biasanya mereka akan bisa menerima ilmu tersebut dengan lebih baik. (Inget pelajaran fisika waktu nulis ini :p )
Ilmu juga nggak bisa sampai kepada murid kalau muridnya membenci gurunya, atau gurunya juga balik sebal pada muridnya. Bagaimana mungkin cangkir bisa menerima air dari teko kalau cangkirnya ditutup atau tekonya tertutup? Kebencian adalah hal yang menutup hati dan pikiran kita dari ilmu-ilmu baik yang sebenarnya ada diantara guru dan murid. Sebaik apapun ilmu, jika disampaikan atau diterima dengan kebencian, ilmu itu tidak akan pernah sampai kepada muridnya.
Dan kebencian bisa datang dari banyak sumber. Sikap murid yang tidak hormat, atau sikap guru yang membuat murid jadi tidak hormat. Merasa diri paling pintar dan sikap merendahkan murid adalah salah satu yang paling menimbulkan kebencian.
Beberapa kali saya mendengar seorang guru berkata: “Ah, dulu saya bisa mengerjakannya kok. Kenapa mereka nggak bisa? Kan kita sama-sama makan nasi.”
Pernyataan tersebut bisa mengimplikasikan dua hal. Pertama, bahwa sang guru sudah bisa membaca dan berhitung sejak lahir (saking jeniusnya, sehingga tidak pernah menjadi orang bodoh). Kemungkinan kedua, bahwa saking pintarnya sang guru sekarang, beliau sampai lupa bagaimana rasanya menjadi tidak tahu.
Benar adanya bahwa para guru pastilah lebih berpengalaman daripada murid-muridnya sehingga beliau pasti sudah tahu bahwa soal-soal seperti itu bukan soal yang mustahil dikerjakan. Tapi para guru seringkali lupa bahwa beliau dulu juga pernah menjadi murid yang tidak tahu. Mereka lupa bahwa saat mereka masih muda dulu, soal-soal sepele itu adalah hal yang besar bagi mereka. Mereka lupa bahwa dulu mereka pernah merasa tidak bisa melakukan sesuatu sebelum akhirnya mereka menemukan cara untuk menyelesaikannya. Mereka bahkan lupa bahwa murid memang memiliki hak untuk bodoh, karena mereka hanya seorang murid. Mereka membayar sekolah untuk dididik, bukan untuk diklaim sebagai orang bodoh. Jika murid-murid itu sudah pintar, untuk apa lagi mereka sekolah dan kuliah? Para guru mungkin melupakan fakta penting itu.
Para guru seringkali lupa dan mengira para murid sudah sama pintar dan sama tahunya dengan mereka sekarang. Akibatnya mereka menjelaskan dengan terburu-buru, dan terlewat menanamkan pemahaman-pemahaman dasar yang dibutuhkan murid untuk memahami pengetahuan yang lebih tinggi. Hal-hal seperti itu yang membuat murid jadi frustasi dalam menerima pelajaran.
Ada kalanya saya berpikir, guru yang baik sebenarnya bukan hanya yang paling pintar, atau yang gelarnya paling panjang ya? Guru yang baik mungkin saja kepintarannya hanya bernilai delapan, tapi seluruhnya bisa diturunkan kepada murid-muridnya …. alih-alih guru jenius dengan kecerdasan bernilai sepuluh, tapi hanya sepertiga dari ilmunya yang bisa diturunkannya. Guru yang baik rasanya bukan yang paling pintar (bukan berarti guru tidak harus pintar. Tentunya seorang guru haruslah yang pintar), tapi juga yang paling memahami apa yang dibutuhkan muridnya untuk menjadi pintar. Sayangnya, kecerdasan untuk memahami murid tidak selalu berbanding lurus dengan kecerdasan intelegensia. Itu mengapa menjadi pintar jauh lebih mudah daripada menjadi seorang guru.
Padahal, kalau dipikir-pikir lagi, untuk memahami seorang murid, nggak sesulit itu kan? Seorang guru juga pernah menjadi abege kan? Hanya saja mungkin ketika sudah terlalu lama menjadi guru, kita justru lupa bagaimana rasanya menjadi murid. Ketika kita beranjak dewasa, kita jadi lupa bahwa dulu kita juga sering melakukan kekonyolan-kekonyolan yang sama dengan para abege itu. Lupa deh kita bahwa kita dulu pernah juga bergaya “labil”, atau bahkan masih labil sampai sekarang, meski dalam bentuk yang berbeda. Kita juga lupa bahwa dulu kita adalah “galauers everywhere, everytime” bahkan oleh hal-hal yang sekarang kita anggap sepele.
Yeah, pengalaman guru memang lebih banyak. Dan guru yang sering mengatakan “saya juga dulu pernah jadi murid, tapi nggak gitu-gitu amat deh” juga memang pernah muda. Mungkin mereka hanya lupa, bagaimana menjadi muda dan galau :p


Tulisan ini dibuat sebagai topik balasan dalam serial “You Jump, I Jump” antara saya dan Ambar. Pada topik terbaru yang dipilihnya (seperti dapat dibaca pada blog berikut: http://ambareetabercerita.wordpress.com/2011/10/07/ants-story/), Ambar bercerita tentang betapa kita ini hamba yang tidak tahu rencana Tuhan tapi dengan sok tahunya merasa bahwa Tuhan tidak sayang pada kita. Padahal sesungguhnya Tuhan punya rencana yang lebih besar dan lebih indah bagi kita. Kita hanya terlalu kecil untuk mengetahui rencana besar itu saat ini.
Mengambil tema serupa, kali ini saya membahas tentang masa lalu kita, semasa masih sekolah dulu. Ini cerita tentang murid, dengan segala tingkah dan ke-sotoy-annya. Ini cerita tentang murid, yang diceritakan oleh seorang murid ... yang saat ini sedang berusaha menjadi guru.

Apa lalu saya sudah menjadi guru paling baik sehingga bisa memposting artikel aneh macam ini? Pastinya, saya masih jauh dari menjadi guru yang baik. Dan untuk menjadi guru seperti itu sama sulitnya dengan mendapat nilai sepuluh dalam pelajaran fisika, bagi saya. Saya cuma seseorang yang sedang terus belajar untuk bisa kembali memahami dunia remaja agar bisa menjadi sahabat mereka. Bukankah pengetahuan apapun paling mudah ditransfer oleh seorang sahabat, ketimbang oleh seorang guru?



2 komentar: