Untuk menerima ilmu, yang perlu kita lakukan adalah merendahkan hati.
Bagaimana gelas bisa menerima air dari teko jika posisinya lebih tinggi
daripada tekonya? Nah, filosofi murid ini pasti semua sudah pernah
mendengarnya. Lalu apa yang kita lakukan untuk memberi ilmu? Apa kita
perlu menjadi lebih tinggi dari murid supaya bisa menuangkan air dari teko?
Secara ilmu, tentu saja seorang guru harus menguasai lebih banyak dan
lebih tinggi daripada muridnya. Tapi jika itu disama-artikan dengan
meninggikan hati, tentu bukan begitu maksudnya. Seorang guru saya
mengajarkan saya bagaimana menjadi seorang guru.
“Niechan, saya menjadi gurumu bukan karena saya lebih pintar darimu. Saya hanya lebih dahulu mengetahui. Bukan berarti lebih banyak mengetahui.”
Itu
adalah kata-kata Sensei saya. Beliau adalah guru les bahasa Jepang
saya. Mengingat gayanya yang cuek dan “semau gue”, saya tidak yakin
bahwa kata-kata sedramatis itu bisa diucapkan olehnya. Beliau pasti
baru saja membacanya dari sebuah buku, atau mungkin mengutipnya dari
seseorang lain. Tapi bukan itu masalahnya. Masalahnya adalah, kata-kata
beliau tersebut membuat saya sangat terharu. Sensei saya adalah orang
yang sederhana, mudah ditebak, suka melucu, nggak neko-neko dan
apa adanya. Maka entah kata-kata itu terinspirasi dari buku manapun,
jika Sensei sudah mengatakannya berarti itulah yang dipikirkannya. Dan
dengan benar-benar memaksudkan kata-katanya seperti itu, terenyuhlah
saya pada kerendahan hatinya.
Saya percaya, Tuhan menciptakan
manusia dengan kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Tidak ada
manusia yang sempurna. Pun tidak ada manusia yang tidak memiliki
kelebihan. Dan Sensei saya itu adalah tipe manusia yang mensyukuri
kekurangannya selagi meningkatkan kelebihannya, dan tidak sombong pada
kelebihannya.
Ketika mengetahui bahwa selain menjadi mahasiswa
saya juga seorang guru les privat murid SMU untuk pelajaran Kimia,
Sensei memuji saya.
“Nilai sains saya sejak dulu jelek banget.
Sampai sekarang aja saya sering salah kalau menghitung uang kembalian
belanja,” kata Sensei sambil tertawa geli.
Saat itulah, saya yang
selalu merasa bahwa Sensei saya pintar sekali sehingga menguasai lima
bahasa (bahasa Inggris, Jepang, Prancis, Indonesia dan Jawa tentunya)
ternyata tidak sesempurna itu. Beliau ternyata tidak menguasai
perhitungan yang mudah. Sungguh bertolak belakang dengan saya. Saya
cukup cepat menyelesaikan perhitungan tanpa kalkulator. Selalu mendapat
nilai baik dalam pelajaran sains, terutama kimia dan biologi. Tapi
selalu sulit mempelajari bahasa. Jangankan mempelajari bahasa Inggris
atau bahasa Jepang, nilai bahasa Indonesia saya selama sekolahpun selalu
menyedihkan jika disandingkan dengan nilai pelajaran-pelajaran sains
saya. Menyedihkan.
Saya kemudian menyimpulkan bahwa Tuhan
menciptakan kelebihan pada otak kiri saya dan memberikan kelebihan pada
otak kanan Sensei. Itulah mengapa sebagai gurupun kita tidak boleh
sombong dan memandang rendah murid. Karena dia mungkin murid kita dalam
satu hal, tapi bisa menjadi guru kita dalam hal lain.
Hal serupa
terjadi pada saya dan murid saya. Saya mengajar Kimia untuk seorang
murid sekolah internasional. Bramantyo namanya. Orangtuanya adalah orang
Indonesia, Jawa tulen. Tapi sampai berusia enam tahun, anak itu lahir
dan besar di Amerika Serikat selagi sang ibu menyelesaikan program
doktoralnya disana. Lebih sering dititipkan di daycare
ketimbang bersama sang ibu yang sibuk riset menyebabkan Bram lebih
mengenal bahasal Inggris dibanding bahasa ibunya. Ketika pulang ke
Indonesia, dia mengalami kesulitan bahasa sehingga sang ibu
menyekolahkannya di sekolah internasional. Sampai sekarang, Bram lebih
fasih berbicara bahasa Inggris dibanding bahasa Indonesia. Sial bagi
saya karena bahasa Inggris saya tidak terlalu bagus. Sial baginya,
karena mendapat guru seperti saya. Tapi mengapa pula saya harus menyerah
hanya karena satu kekurangan saya? Saya menerima pekerjaan itu. Mencoba
bukan sesuatu yang buruk. Dan saya katakan pada sang ibu tentang
keterbatasan active-English saya. Sang ibu memahami dan
mengatakan “Bram paham bahasa Indonesia kok. Dia hanya sulit membalas
dalam bahasa Indonesia.” Tepat berkebalikan dengan saya! Saya paham jika
seseorang mengajak saya bicara dalam bahasa Inggris. Tapi karena jarang
berlatih, saya seringkali terbata jika berbicara dalam bahasa Inggris.
Akhirnya
yang terjadi pada kami adalah saya mengajari Bram dengan separuh bahasa
Inggris – separuh bahasa Indonesia. Dan dia akan menjawab
pertanyaan-pertanyaan saya dalam bahasa Inggris. Baik baginya karena
bersama saya dia makin terbiasa berbahasa Indonesia. Baik bagi saya
karena bersamanya saya makin terbiasa berbahasa Inggris. Malu awalnya
harus bercakap dalam bahasa Inggris dengan seseorang yang lebih pandai
berbahasa daripada saya. Tapi Bram cukup memahami saya. Dan selagi saya
sering mengkoreksi hitungan stoikiometrinya, dia juga seringkali
mengkoreksi ucapan saya yang keliru. Saya sering tertawa sendiri
setelahnya, sebenarnya diantara kami siapa yang menjadi guru bagi siapa?
Hukum
sebab-akibat selalu terjadi dalam segala sisi kehidupan. Jika kau ingin
dicintai, maka kau harus mencintai lebih dahulu. Begitu juga dalam
mengajar. Dalam proses belajar-mengajar, bukan murid yang harus memahami
perkataan kita. Gurulah yang harus memahami murid terlebih dahulu.
Itulah filosofi kedua yang diajarkan Sensei.
Mengajar Bram sama
artinya seperti main layangan. Kalau dia sedang menarik, kau harus
sedikit mengulurnya. Kalau dia terlalu terulur, kau harus buru-buru
menariknya. Bram, seperti umumnya remaja, kecerdasannya sangat
dipengaruhi oleh suasana hati. Kalau mood-nya sedang buruk, menghitung
reaksi netralisasi saja sulitnya setengah mati. Tak perlu lagi menghapal
senyawa-senyawa hidrokarbon, hapalan tentang berapa bobot atom hidrogen
saja dia lupa. Kalau sudah begini, saya bingung sendiri bagaimana harus
mengajarnya.
Sebenarnya, teorinya mudah saja. Bagaimana caranya
agar tidak takut? Jangan takut! Jadi bagaimana supaya seorang murid jadi
mood belajar? Tentu saja, buat suasana belajar jadi menyenangkan! Dan
praktek akan selalu menjadi bagian tersulitnya. Bagaimana membuat
suasana belajar jadi menyenangkan kalau sang murid sudah pasang tampang
jutek begitu?
Belakangan saya ketahui bahwa Bram ini sebenarnya
sangat mirip dengan saya. Jenis manusia audio-learner. Artinya, Bram
akan lebih cepat menerima pelajaran dengan cara mendengarnya. Satu hal
lain yang saya perhatikan dari seorang audio-learner adalah kami selalu
membutuhkan suara di sekitar kami. Kami adalah orang-orang yang suka
mendengarkan musik. Menjadi entah bagaimana lebih cerdas jika belajar
sambil mendengarkan musik. Dan sementara orang-orang menyepi untuk
memperoleh ketenangan untuk belajar, kami lebih senang belajar di
keramaian. Sejak mengetahui fakta itu, kami mulai belajar sambil
mendengarkan musik. Bram menyukai musik jazz. Dan meski saya lebih
menyukai musik yang menghentak-hentak, saya mengalah dan mengijinkannya
memutar musik jazz kesukaannya.
Mood bukanlah satu-satunya masalah
Bram. Konsentrasi adalah masalah terbesarnya. Ada saat-saat dimana saya
heran, mengapa meski Bram sedang dalam keadaan senang, tapi dia tidak
fokus pada topik yang sedang saya ajarkan. Setiap kali saya membahas
stoikiometri, Bram langsung mengalihkan pembicaraan. Biasanya dia
tiba-tiba curhat tentang hal-hal yang dialami di sekolahnya, atau kisah
cinta ala abege-nya. Awalnya, saya selalu menanggapi dengan simpatik.
Lama kelamaan Bram seperti memanfaatkan kelemahan hati saya dan selalu
mengalihkan topik stoikiometri saya menjadi sesi curhat. Akhirnya saya
tahu juga alasannya.
Kata orang, kerjakanlah apa yang kau sukai.
Atau cobalah untuk menyukai apa yang kau kerjakan. Jika tidak bisa
keduanya, maka apa lagi yang bisa kau kerjakan? Hal tersebut terjadi
pada kasus Bram. Bagaimana kau bisa tahan mengerjakan sesuatu yang tidak
kau sukai? Suatu kali, saya memanfaatkan sesi curcol-nya Bram untuk
mengorek rahasia darinya. Dan akhirnya saya tahu bahwa dia memang tidak
menyukai pelajaran-pelajaran sains. Kimia dan fisika adalah salah satu
yang dibencinya. Dan stoikiometri adalah salah satu yang paling
dibencinya dari kimia.
Menyakitkan saat mendengar seseorang tidak
menyukaimu. Sama menyakitkannya bagi seorang guru saat mengetahui bahwa
muridnya tidak menyukai pelajarannya.
“So, what are you interested in, Bram?” tanya saya akhirnya.
“English Literate,” dia menjawab.
“Why did you choose these subject? Chemistry and Physics?”
“Ibu and Bapak want me to be a doctor, just like them.”
Hooo, sou desuka. Mengertilah saya sekarang. Menyukai sastra, tapi diharapkan menjadi dokter. Lima kali seminggu harus les basic math, advance math, physics, chemistry dan biology. Tiap Sabtu masih harus les piano. Kehidupan macam apapula itu? Keterpaksaan macam apa yang harus dijalaninya setiap hari?
Tapi
dapat dipahami juga mengapa orangtua Bram sangat berharap dari Bram.
Siapa pula yang bisa diharapkan lagi? Bram adalah anak tunggal mereka.
Mungkin bagi mereka, kehidupan penulis tidaklah menjanjikan masa depan
cemerlang. Itu mengapa mereka menginginkan anak tunggal mereka mengikuti
jejak mereka sebagai dokter.
Jadi apa yang bisa saya lakukan?
Menyuruh Bram mengejar impiannya sendiri? Atau memenuhi keinginan
orangtuanya? Saya memutuskan untuk mendukung Bram untuk menuruti
orangtuanya. Sejauh yang saya lihat, tidak ada yang salah dengan
keinginan orangtua Bram. Maka mengapa pula harus mengorbankan
kebahagiaan orangtua demi kebahagiaan sendiri jika sebenarnya kita bisa
memenuhi keinginan orangtua sambil memuaskan diri sendiri.
“You like to write something? Kinda short-story?” saya bertanya, menelisik.
“No. I write poem.”
“Really?”
Bram
tersenyum dan menunjukkan salah satu puisinya kepada saya. Ditulis
dalam bahasa Inggris, dengan rima yang indah dan diksi yang menarik.
Caranya menceritakan gadis yang disukainya dengan perumpamaan empat
musim, sungguh bagus. Dan saya langsung jatuh cinta pada puisi-puisinya.
“I also like to write,” kata saya.
Bram
menaikkan alisnya. Tampak tidak yakin bahwa orang seaneh saya bisa
menulis sesuatu. Atau mungkin tidak yakin tulisan saya bisa lebih bagus
daripada puisi-puisinya. Dan memang benar tulisan saya tidak sebagus
puisinya, tapi saya pantang menyerah. Saya ambil selembar kertas, lalu
saya tuliskan kata-kata yang baru saja terlintas di pikiran.
Hey kamu! Iya kamu!
Yang sering lupa reaksi netralisasi
Atau bagaimana menghitung reaksi reduksi-oksidasi
Bagaimana nanti kalau kita sudah mulai belajar asilasi?
“Sorry,
I don’t write in English,” kata saya sambil menyerahkan puisi
asal-asalan itu. Bram membacanya dan dia tertawa. Sejak itu jika Bram
mulai bĂȘte, kami akan saling membuat pantun atau puisi singkat. Lebih
sering adalah pantun-pantun sindiran seperti diatas. Tapi sering juga
saya menulis tema lain seperti ini:
It is me, Winter.
I’m not Summer who embrace you with warmth.
Neither Spring who pour you colourful cherry-blossom.
I’m just Autumn, who turns you into who you are.
“Do
not feel that you are forced to fulfill your parents dream, “ kata saya
pada Bram suatu kali, “They both give you everything to ensure that you
will gain the best future. Make them happy. And make yourself
satisfied. Keep writing on your poem, while calculating your reaction. I
did the same.”
Bram tersenyum. Entah tersenyum karena nasehat saya, atau sedang menertawakan bahasa Inggris saya lagi.
Suatu
ketika saya pernah ngobrol dengan ibunya Bram. Beliau menanyakan
perkembangan Bram. Saya mengatakan bahwa sepertinya Bram cukup oke dalam
menghapal, tapi sering terjebak oleh soal-soal hitungan. Ibunya Bram
mengatakan bahwa nilai Bram fluktuatif, kadang sangat baik dan kadang
juga buruk. Tidak ada pola tertentu pada hasil tes itu. Kadang Bram
mendapat nilai baik dalam stoikiometri, kadang justru mendapat nilai
buruk dalam soal kimia organik.
Tidak menemukan pola yang teratur
pada nilai-nilanya, saya minta ijin untuk meminjam hasil-hasil tes Bram
selama ini. Saya mempelajari kesalahan-kesalahan yang dibuat Bram.
Setelahnya saya membuat soal sejenis untuknya, dan meminta Bram
mengerjakan soal itu. Barulah saat itu saya tahu bahwa masalah Bram
memang pada konsentrasi. Bram bukannya bodoh. Dia hanya tidak mampu
berkonsentasi dalam waktu lama, dan seiring waktu ketelitiannya menurun.
“If you are given 1 hour to do the test, in what time you usually finish it?” tanya saya.
“30 minutes is enough for me,” jawabnya cuek.
“And what did you do in the rest of time?”
“Nothing. I just wanna do it as soon as possible.”
“You didn’t recheck your answer?”
Bram mengangkat bahunya sambil nyengir tak berdosa.
Itu
masalahnya! Bram bukan bodoh. Dia hanya tidak bisa berkonsentrasi. Dan
dia tidak teliti. Seringkali dia melewatkan informasi-informasi penting
dalam soal. Jika saya mengkoreksi jawabannya, dia cuma nyengir sambil
berkata: “Why did’t I see that clue?”
Aaarrrggghhh, geregetan! Saya geregetan!
Anak
ini selalu santai menghadapi ujian, dan malah saya yang stress setiap
kali dia akan ujian. Saya selalu khawatir dia melakukan
kesalahan-kesalahan kecil yang tidak seharusnya dilakukan hanya karena
dia tidak teliti.
Kehabisan ide, saya menerapkan filosofi–mengajar
ketiga yang diajarkan Sensei. Filosofi ketiga tersebut adalah bahwa
Tuhan selalu mendengar impianmu, dan seluruh alam raya akan bersatu padu
mewujudkannya asalkan kita konsisten memimpikannya dan mengusahakannya.
Menyebutnya sekali membuat kita menyadari sesuatu. Menyebutnya
berkali-kali membuatnya tertanam di pikiran kita. Menyebutnya
terus-menerus akan menerakannya di alam bawah sadar. Dan bagaimana
mungkin kita tidak mengusahakan sesuatu yang terpatri kuat di hati dan
pikiran kita?
Itu jugalah yang saya lakukan terhadap Bram.
Prinsipnya adalah pengulangan. Jika orang cerdas bisa memahami pelajaran
hanya dengan sekali mempelajarinya, bukan berarti yang tidak cerdas
tidak bisa. Kita hanya perlu mempelajarinya lagi dan lagi dan lagi.
Saya
membuatkan catatan-catatan ringkas untuknya. Diagram-diagram dan
rangkuman dari pelajaran-pelajarannya, agar dia mudah memahaminya. Saya
mengulangnya berkali-kali. Menanyainya terus-menerus, memastikan dia
hapal dan mengerti. Menghapal saja tidak cukup, mengerti adalah
keharusan. Dan saya juga terus-terusan mencekokinya dengan kata-kata:
“Mengerjakan cepat itu baik. Mengerjakan dengan tepat, itu lebih baik.
Do it fast, and ensure that you’ve done it correctly. Re-check you
answer! RE-CHECK!”
Bram biasanya hanya nyengir-nyengir geli menghadapi kegalakan saya. Dia menganggap wajah galak saya itu lucu.
“I give you chocolate if you get a good score!” kata saya mengiming-imingi.
“Do you think I’m a little girl? I don’t want chocolate,” katanya mencemooh.
“So?”
“Willy Wonka Candy. You can only find them at KemChick.”
Ahahaha, dasar anak pintar! Nyusahin aja deh.
“Deal!” kata saya sambil tertawa. “Give me score of 90. I give you my word.”
Bram nyengir.
Sayangnya, saya tidak bisa memenuhi janji saya. Ketika akhirnya dia mendapat nilai 97 pada subjek Chemistry
untuk ujian kenaikan kelasnya, saya lagi-lagi hanya bisa membelikannya
coklat. Sebagai permintaan maaf, saya tulis pantun pendek untuknya.
Hei kamu! Iya, kamu!
Yang ujian kimianya bernilai nyaris sempurna
Ingat yg aku bilang di awal jumpa?
Kau tidak bodoh, tidak juga lama
Kamu cuma perlu teliti membaca
Karena kamu sudah pintar luar biasa
Lagi-lagi
dia tertawa membacanya. Entah kenapa. Saya abaikan saja tawa
mengejeknya itu. Saya tahu dia sedang mengira yang saya lakukan itu
konyol.
Seperti yang saya katakan sebelumnya,
bersama Bram saya harus pandai menarik ulur. Memaksanya belajar tidak
akan efektif. Membiarkannya bermain semaunya, juga suatu keria-siaan.
Maka kemampuan berkompromi adalah hal yang harus saya miliki saat
menghadapi dia. Dan saya masih harus banyak belajar soal itu.
Dalam
hidup, kita menerima dan memberi. Sensei telah mengajari saya bagaimana
menjadi seorang guru. Saya meneruskannya kepada Bram, bagaimana
seharusnya dia belajar. Dan Bram juga mengajari saya banyak hal, bahkan
mungkin lebih banyak daripada yang saya berikan. Bram mengajari saya
untuk mengenal karakter, mempelajari sifat dan keinginan manusia,
bersabar, berkompromi dan berstrategi. Jadi sebenarnya, kita adalah guru
bagi sesama kita. Tinggal kitalah yang memilih, apakah kita ingin jadi
guru yang baik atau guru yang mencontohkan keburukan.
"I’m just Autumn, who turns you into who you are."
BalasHapusLovely poem, really :D