Beberapa orang butuh
waktu lama untuk menyadari sesuatu
Beberapa yang lain
butuh waktu lebih lama untuk mengakuinya
Banyak
orang yang terlambat menyadari sesuatu sehingga menyesalinya di kemudian hari.
Tapi mereka bukanlah orang-orang yang paling menyedihkan. Beberapa orang justru
memerlukan waktu lebih lama untuk mengakui sesuatu, bahkan meski mereka telah
menyadarinya. Merekalah yang lebih menyedihkan. Sementara waktu tidak menunggu
dan tidak pula kembali, mereka masih saja berdebat dengan diri mereka sendiri
untuk mengakui kebenaran yang telah mereka ketahui.
Bintang
Andromeda membenci sekaligus mengasihani dirinya
sendiri karena dia adalah salah satu dari manusia-manusia menyedihkan itu.
Telah sejak lama dia menyadari bahwa perasaannya telah berubah, dan dia dengan
jelas mengetahui bahwa perubahan perasaannya bukan sekedar karena kecocokan
sifat karena sifat mereka jelas bertolak belakang. Bagi Andromeda yang cerdas,
mengetahui dan memahami sesuatu bukanlah hal yang sulit. Begitu pula untuk
memahami perasaannya sendiri, tidaklah sulit. Yang sangat sulit baginya adalah
untuk mengakui kenyataan baru tersebut.
Bertahun-tahun
Andromeda berdebat dengan dirinya sendiri, apakah sebaiknya dia mengaku kepada
Andrea Lintang bahwa dia mencintai gadis itu atau tidak. Dan perdebatan itu
belum juga berujung hingga kini. Setiap kali berdebat dengan Andrea tentang
deviasi proses atau keterlambatan perilisan produk obat mereka, di dalam hati
Andromeda sendiri juga sedang terjadi perdebatan yang lain. Di satu sisi dia
menggerutui kekeras-kepalaan Andrea, dan di sisi lain dia mengutuki dirinya
sendiri karena selalu terpesona pada kekeras-kepalaan yang sama.
Andromeda
pertama kali bertemu Andrea lima tahun yang lalu saat ia pindah kerja ke
perusahaan itu, salah satu perusahaan farmasi multinasional terkenal di
Jakarta, sebagai Plant Manager. Bahkan
meski saat itu Andrea hanya seorang Quality Supervisor, yang notabene bukan
bawahan langsungnya, Andro langsung mengetahui dia akan sering bertengkar
dengan gadis itu. Saat tiga tahun yang lalu Andrea dipromosikan oleh Plant
Director menjadi Quality Manager, menggantikan Quality Manager yang pindah ke
perusahaan lain, dan menjadi bawahan langsung Andro, ia membuktikan dugaannya
dengan makin jelas.
Benarlah
adanya pepatah yang mengatakan bahwa kita tidak bisa menilai sebuah buku hanya
dari sampulnya. Orang juga tidak bisa begitu saja menilai orang lain dari
penampilan luarnya. Meski telah mengenal Andrea sejak dua tahun sebelumnya,
tapi ketika Andrea menjadi bawahannya langsung, Andormeda tetap bisa merasa
terkaget-kaget. Selama ini dia lebih banyak berinteraksi langsung dengan Andrea
diluar pekerjaan kantor karena untuk urusan Quality Andro lebih sering
berinteraksi dengan sang Quality Manager, atasan Andrea saat itu. Dia tidak
pernah mengira bahwa Andrea yang suara tawanya mampu membuat semua orang yang
sedang makan siang di kantin menoleh serempak, ternyata suara marahnya juga
sama menggelegarnya. Andrea yang lembut sikapnya terhadap anak-anak, ternyata
keras hatinya jika sedang berdebat tentang Quality Compliance.
“Kenapa
sampai sekarang Metrin batch 30 belum
dirilis juga? Akhir bulan ini sudah harus dikirim ke Vietnam kan? Dan akhir
bulan ini tinggal bersisa 3 jam lagi!” kata Andro suatu malam kepada Andrea.
Pukul sembilan malam saat itu.
Dengan
wajah datar dan mata yang tetap fokus kepada laptopnya, Andrea menjawab: “Deviasi, Pak. Kesalahan
pemakaian packing material. Semua
harus di re-dress. Packaging
Departement tidak menyanggupi untuk menyelesaikannya sebelum jam 11 malam.”
“Itu
kan cuma packing material, Ndre.
Tidak bisakah kita rilis saja supaya target kita bulan ini tercapai.”
“Target
siapa, Pak? Target Bapak adalah untuk memenuhi order bulan ini. Target saya
adalah untuk memastikan produk yang saya kirim sesuai dengan kualitas yang
ditetapkan.”
“Kualitas
apa, Andrea?! Ini hanya soal folding box dan leaflet. Nggak ada pasien yang peduli
soal itu. Di sini FB dan leaflet dibuang di tong sampah. Dan menurut Regulatory
Affairs, hanya ada minor changes pada
FB dan leaflet baru itu.”
“Itu
di Indonesia, Pak. Dan kalau-kalau Regulatory Affairs lupa memberitahu Bapak,
mungkin Bapak perlu tahu bahwa FB dan leaflet baru itu sudah harus digunakan
sejak bulan depan. Dan bulan depan tinggal 3 jam lagi. Kenekatan pengiriman
hanya menyebabkan Return Product yang
Bapak sendiri tahu akan lebih merugikan dibanding ketidak-terpenuhinya target
bulan ini,” jawab Andrea, kali itu akhirnya mengangkat kepala dari laptopnya.
Selagi melepas kacamatanya, gadis itu memandang Andromeda dan melanjutkan: “Dan
barangkali Bapak lupa, ini sudah ketiga kalinya saya meminta Bapak berhenti
mendesak saya merilis produk saat deadline.
Kenapa Bapak nggak meneror Planning
Manager untuk menyusun jadwal produksi yang lebih masuk akal ketimbang
memaksa saya merilis produk yang bahkan belum setengahnya selesai dikemas?”
Kali
lain Andromeda bahkan pernah menemui Andrea pukul tujuh pagi, tepat tiga detik
setelah Andrea memasuki ruang kerjanya, bahkan sebelum gadis itu sempat
meletakkan tas kerjanya di meja.
“Baca
email dari Palvanan Pilai,
Andrea! Thailand komplain karena ditemukan kemasan yang penyok lagi. Ini sudah
komplain ketiga kalinya dalam dua bulan ini. Apa kamu sudah berlakukan SOP 100%-inspection? Apa sudah minta TSD
perbaiki folding machine kita?”
Andrea
meletakkan tasnya di meja, lalu menghadapi Andromeda dengan wajah marahnya.
Hanya Andrea yang berani menantang Andromeda seperti itu.
“Alih-alih
menyalahkan kru sendiri, Pak, kenapa Bapak nggak memperhatikan bahwa dari 20
negara yang kita suplay, hanya Thailand yang selalu komplain, bahkan untuk
masalah sesepele folding box inipun. Kalau-kalau Bapak tidak sempat memantau
keadaan aktual di pabrik, saya konfirmasikan bahwa tidak ada masalah pada folding machine kita, dan 100%-inspection sudah diberlakukan.
Kenapa Bapak nggak cek forwarding kita? Adakah yang salah dengan SOP pengiriman
mereka sehingga selalu ada produk yang defek? Atau memang Mr.Palvanan yang
berlebihan? Foto yang dikirimkannya bukan foto folding box penyok, Pak. Saya
bahkan nggak bisa menganggap itu defek.”
“Tapi
customer adalah raja, Andrea. Dan
permintaan mereka, setinggi apapun standarnya, harus kita penuhi.”
“Memperlakukan
customer sebagai raja bukan berarti
memperlakukan keluarga sendiri
sebagai babu yang bisa disalah-salahi terus kan, Pak?”
Andromeda
akhirnya harus mengakui bahwa dia tidak akan pernah menang berdebat dengan
Andrea. Gadis itu memiliki pendirian yang kuat sekaligus pilihan kata-kata yang
sarkastik. Bukan kombinasi yang bisa membuat pria jatuh cinta. Maka ketika
pertama kali Andromeda mulai menyadari perasaannya, dia berusaha mati-matian
menyangkalnya.
Tidak
butuh waktu lama bagi Andromeda untuk menyadari bahwa dia telah jatuh hati pada
Andrea. Tapi butuh lebih banyak waktu baginya untuk berani mengakuinya
mengingat fakta bahwa dia adalah atasan Andrea di kantor dan dirinya adalah
seorang duda dengan seorang putri berusia remaja sementara Andrea belum pernah
menikah.
Perasaan itu seperti
energi, kekal.
Tidak pernah mati, ia
hanya berubah bentuk.
Andrea
mengira ia tidak akan bisa jatuh cinta lagi. Atau lebih tepatnya ia memutuskan
untuk tidak jatuh cinta lagi. Dia rasanya telah memiliki “tabungan sakit hati”
yang lebih dari cukup untuk seumur hidupnya. Tidak perlu jatuh cinta lagi jika
hanya untuk merasa sakit hati lagi, pikirnya. Tapi seperti selalu, memangnya
hidup selalu seperti yang kita pikirkan atau rencanakan? Seringkali hidup
berputar ke arah yang tidak kita kehendaki. Justru di saat Andrea telah
menetapkan hati untuk tidak jatuh cinta lagi, Andari hadir dalam kehidupannya.
Gadis
kecil itu berusia delapan tahun ketika mereka pertama kali bertemu di suatu
acara Family Gathering. Andari adalah putri tunggal sang Plant Manager. Saat
Andrea berkenalan dengan Andari, dia belum jadi bawahan langsung Andromeda.
Tidak
perlu waktu lama bagi Andrea dan Andari untuk saling menyadari bahwa mereka
saling jatuh cinta. Andari menemukan sosok Ibu yang tidak pernah dikenalnya
pada diri Andrea. Dan Andrea menemukan sebentuk cinta baru yang dipikirnya
tidak akan menyakitinya. Andari tidak mungkin menyakiti perasaannya seperti
yang dilakukan “pria itu” kepadanya.
Rasa
memang tidak bisa mati. Ia hanya berubah bentuk ... misalnya menjadi kasih
sayang yang dalam.
Bahkan
setelah Andrea menjadi anak buah Andromeda dan frekuensi pertengkaran mereka
menjadi makin sering, Andrea tetap menyayangi Andari. Diluar hubungannya dengan
Andromeda yang sering memanas, Andrea tetap mau menemani Andari membeli
perlengkapan sekolah baru ketika Andari lulus SD dan menjadi murid baru SMP.
Juga mendengarkan curhatan Andari tentang cowok pertama yang ditaksirnya,
berjam-jam di telpon. Andari bahkan pernah menelpon Andrea pagi-pagi buta dan
memintanya datang ke rumahnya.
“Tante
Rea!”
Saat
itu Andrea mendengar suara isak tangis melatar belakangi suara Andari yang
nyaris seperti tikus mencicit.
“Ari!
Kenapa? Kok pagi-pagi telpon Tante? Kamu nangis ya?” Andrea berusaha
mengumpulkan nyawanya yang berceceran secepat mungkin ketika mengucek-ucek
matanya yang masih sepat karena baru saja bangun tidur dengan kaget.
“Tante,
aku berdarah,” suara isak tangis Andari terdengar makin keras.
“Lho?
Ari, kamu ngapain? Kok bisa berdarah?!”
Alih-alih
menjawab pertanyaan Andrea, Andari malah menyuruh Andrea datang ke rumahnya.
“Jangan bilang Papa ya Tante. Ari takut,” lanjutnya sebelum dengan serta-merta
gadis kecil itu memutus pembicaraan per telponnya.
Saking
paniknya menerima telpon misterius di pagi buta itu, Andrea tidak sempat
berpikir lama. Ia segera melajukan mobilnya ke rumah Andari. Andromeda yang
membukakan pintu terkaget-kaget menerima tamu sepagi itu saat akhir pekan,
apalagi karena tamunya adalah anak buahnya sendiri.
“Deviasi
segawat apa yang bikin kamu datang pagi-pagi buta begini, Ndre? Kenapa nggak
telpon saya aja?” sambut Andromeda, siap memarahi anak buahnya.
“Saya
datang bukan karena deviasi, pak. Tapi karena Andari. Dimana dia?”
Andromeda
tampak syok mendengar sesuatu terjadi pada putri tunggalnya. Dengan cepat dan
singkat Andrea menceritakan telpon-pagi-butanya dan meminta bertemu dengan
Andari. Tanpa pikir panjang, karena ikutan panik, Andromeda segera mengantarkan
Andrea ke kamar Andari. Begitu Andari membuka pintu kamarnya, Andromeda segera
memberondongnya dengan pertanyaan kekhawatiran. Tanpa menjawab satupun
pertanyaan ayahnya, Andari menarik Andrea masuk dan menutup pintu kamarnya.
Andrea
keluar dari kamar Andari setengah jam kemudian sambil tersenyum menenangkan,
“Ini menstruasi pertamanya. No wonder
dia panik, Pak. Santai aja.”
Hubungannya
yang terlalu dekat dengan putri bosnya sendiri terkadang juga membuat Andrea
kikuk. Apalagi kalau mendengar gosip-gosip yang beredar di kantornya. Sudah
banyak orang yang berusaha menjodohkannya dengan si bos. Bahkan Andari sendiri
pernah berkata padanya: “Kalau Ari punya Mama kayak Tante, pasti Ari nggak
kesepian. Papa pulang malam terus sih, Ari jadi nggak ada temen di rumah.”
Sambil
mencoba meredakan gejolak hatinya sendiri, Andrea berkata kepada gadis kecil
itu: “Tante Rea pulang kerjanya lebih malam daripada Papa lho, Ri.”
“Kalo
gitu, nanti aku suruh Papa ijinin Tante pulang cepet buat nemenin Ari.”
“Ya
nggak bisa gitu dong, Sayang.” Andrea terkekeh sambil mengacak rambut Andari
pelan. Memangnya bos besarnya itu bisa mengijinkannya pulang sebelum merilis
obat dan menyelesaikan report-nya?
Dunia rasanya akan segera kiamat jika hal tersebut bisa benar-benar terjadi.
Meski
Andrea sangat menyayangi Andari, tapi dia tidak pernah berani memikirkan dirinya
menjadi Ibu bagi gadis itu. Meski istrinya sudah meninggal 13 tahun lalu ketika
melahirkan Andari, Andromeda belum pernah menikah lagi. Itu adalah bukti yang
sangat kuat bahwa sampai saat ini Andromeda masih mencintai almarhumah
istrinya.
Andrea
juga pernah secara tidak sengaja
mendengar Andromeda berkata kepada putrinya: “Nggak ada pengganti Mama, Ari. Mamanya Ari tetap
Mama Andini.”
Pernyataan
tersebut dengan lugas menjelaskan bahwa tidak akan pernah ada yang bisa
menggantikan Andini di hati Andromeda. Cinta Andromeda akan selalu hanya untuk
Andini. Tidak ada tempat lagi di hati Andromeda. Tidak ada.
Ironisnya,
meski Andrea sudah memutuskan untuk tidak pernah jatuh cinta lagi demi agar
tidak bisa tersakiti lagi, dia ternyata masih bisa merasa sakit ketika
mengetahui fakta itu. Akhirnya Andrea menyimpulkan bahwa jatuh cinta bukan
satu-satunya penyebab rasa sakit. Masa
lalu bisa sama menyakitkannya.
Kita tidak bisa
memiliki segalanya.
Dan terkadang kita
tidak bisa mendapatkan yang satu tanpa melepas yang lain.
Apakah
Andromeda masih mencintai Andini? Tidak perlu dipertanyakan. Bahkan setelah
bertahun-tahun kepergiannya, Andromeda tidak pernah tertarik menikah lagi
karena tidak ada perempuan lain yang bisa membuatnya jatuh cinta seperti Andini
telah mengubah hidupnya. Melihat Andari tumbuh menjadi semakin mirip dengan
Andini dari hari ke hari makin memperkuat alasannya untuk tidak menikah lagi.
Cukuplah Andari baginya, ada cinta dan wajah ibunya disana, Andromeda tidak
memerlukan perempuan lain lagi di rumahnya. Dengan sekuat tenaga dia berusaha
menjadi ayah dan ibu yang baik bagi Andari.
Tapi
posisi ibu adakalanya memang tidak akan pernah bisa digantikan oleh seorang
lelaki. Dan Andrea telah membuktikan bahwa ada hal-hal yang hanya bisa
dimengerti oleh sesama wanita. Ada hal-hal yang hanya bisa diceritakan Andari
kepada Andrea, dan tidak kepada ayahnya sendiri.
Andromeda
sudah merasa tertarik kepada Andrea sejak mereka pertama kali bertemu. Sifatnya
yang periang dan sarkastik adalah kombinasi yang membuat Andromeda penasaran.
Tapi setelah ia melihat putri tunggalnya segera akrab dengan Andrea bahkan
sejak pertemuan pertama mereka saat Family Gathering, rasa penasaran Andromeda
perlahan berubah. Andrea memang telah mengisi kekosongan posisi ibu di hati Andari,
tapi terlebih lagi, gadis itu juga ternyata telah berhasil mengisi kekosongan
di hati Andromeda yang ditinggalkan Andini sejak kepergiannya. Tidak pernah ada
yang bisa mengisi ruang kosong itu selain Andini ... sampai kini Andrea muncul
di kehidupannya.
Tapi
setiap kali melihat Andari sedang bermain bersama Andrea, perasaan Andromeda
tercabik-cabik. Andari adalah duplikat ibunya, dengan tingkat kemiripan nyaris
sempurna. Melihat Andari dan Andrea bermain bersama seperti melihat masa lalu
dan masa depannya di saat bersamaan. Mencintai Andrea rasanya seperti
mengkhianati cintanya kepada almarhumah istrinya. Dan dia tidak tahu apakah ia
berhak mencintai Andrea selagi ia masih terus mengenang Andini.
Apakah
seorang laki-laki bisa mencintai dua orang wanita di saat bersamaan? Bukankah
itu brengsek namanya? Apakah dengan mencintai Andrea berarti dia tidak boleh
mengingat Andini lagi?
Statusnya
sebagai duda dengan satu anak adalah salah satu hal yang membuatnya tidak
berani mengakui perasaannya pada Andrea. Bahwa Andrea adalah anak buahnya
sendiri, yang justru paling sering berdebat dengannya, adalah fakta meresahkan
lainnya yang muncul akibat Andromeda terlalu mempedulikan gosip dan
apa-kata-orang. Tetapi satu hal yang paling menghalanginya adalah masa lalu
Andrea.
Pernah
suatu kali dia mencandai Andrea di acara pernikahan teman sekantor mereka dan
menanyakan “Kapan Andrea nyusul?”
Kala
itu Andrea hanya tersenyum dan berkata ringan: “Males, Pak.”
“Lho,
kok?”
Andromeda
tidak pernah bertemu seseorang yang menjawab “malas menikah” seperti yang baru
saja didengarnya dari mulut gadis itu.
Andrea
hanya nyengir dan berlalu, malas menjelaskan lebih jauh.
Dari
Quality Managernyalah (atasan Andrea saat itu) Andromeda mengetahui alasan
jawaban Andrea tersebut.
Cinta tidak pernah
pergi.
Mungkin kamu yang
melarikan diri darinya.
Cinta tidak pernah
mati.
Mungkin kau yang
membuat dirimu sendiri mati rasa.
Andromeda
pernah mendengar bahwa Andrea pernah akan menikah dengan seseorang. Kabarnya
ayahnya menjodohkannya dengan pria itu. Tapi tepat di hari pernikahannya, pria
itu tidak datang. Membatalkan pernikahan mereka. Melarikan diri dari
pernikahan-akibat-perjodohan itu. Membuat orang tua pihak lelaki malu. Dan
membuat ayah Andrea meninggal akibat serangan jantung saking malunya. Beruntung
ibu Andrea memang sudah meninggal tiga tahun sebelumnya sehingga tidak perlu
merasa malu lagi.
Seminggu
setelah acara pernikahannya yang batal dan meninggalnya ayahnya, Andrea kembali
bekerja dengan wajah seceria biasanya. Mengabaikan bisik-bisik yang terjadi di
balik punggungnya, Andrea bersikap seolah tidak pernah terjadi apa-apa dalam
hidupnya.
“Hari
pertama pak Andro di sini adalah hari pertama Andrea masuk kerja lagi setelah
pernikahannya batal dan ayahnya meninggal,” kata bu Anya, atasan Andrea saat
itu.
Ketika
mengingat lagi hari pertamanya bertemu Andrea saat itu, Andrea sama sekali
tidak tampak sedih. Lebih jauh lagi, Andromeda juga sama sekali tidak ingat
bahwa Andrea pernah terlihat murung. Selama mengenal Andrea, gadis itu hanya
pernah menunjukkan dua jenis emosi: tertawa atau marah. Tidak pernah bersedih
dan menangis.
Ketika
dirinya memutuskan untuk kembali bekerja setelah drama-pernikahannya itu,
Andrea tahu bahwa semua orang menunggunya menangis sewaktu-waktu. Dia bukannya
tidak tahu bahwa orang-orang membicarakan kemalangannya di balik punggungnya.
Ada yang mengasihaninya, ada pula yang bergosip tentangnya. Tapi dia tidak
pernah membiarkan kedua kubu tersebut melihatnya menangis. Dan dia memang
merasa tidak perlu menangisi apapun. Meninggalnya sang ayah memang menyedihkan,
tapi dia sendiri tidak pernah terlalu dekat dengan sang ayah. Kehilangan ayah
hanya berarti kehilangan orang yang selalu memaksakan kehendak kepadanya,
termasuk memaksakan perjodohannya dengan lelaki itu.
Yang
membuat Andrea merasa lebih sakit sebenarnya justru adalah kepergian “lelaki
itu”. Di saat Andrea menentang perjodohan itu, lelaki itu justru meyakinkannya
tentang sesuatu yang disebut “cinta”.
“Bukannya
kamu udah punya pacar?” tanya Andrea ketika lelaki itu meyakinkannya untuk
menerima rencana perjodohan itu.
“Kami
sudah putus,” kata lelaki itu.
“Kenapa?
Cuma gara-gara perjodohan yang dipaksakan ini kalian putus? Kalian nggak perlu
putus. Aku bahkan nggak berniat menerima perjodohan ini.”
“Bukankah
berbakti kepada orangtua lebih utama daripada kebahagiaan sendiri?”
“Jadi
demi orangtua, kamu bisa menikah dengan orang yang nggak kamu cintai?”
“Kita
nggak bisa menikah dengan orang yang nggak kita cintai. Tapi kita bisa belajar
mencintai. Dan kita punya banyak waktu untuk saling mengenal.”
“Dan
apa maksudnya itu?”
“Belajarlah
mencintaiku, seperti aku akan belajar mencintaimu. Kita nggak perlu menikah
kalau pada akhirnya kita tetap nggak bisa saling mencintai.”
Lelaki
itu telah membuat Andrea percaya bahwa cinta bisa dipelajari dan dibangun.
Dengan kebaikan hatinya dan kesantunan perilakunya, lelaki itu telah membuat
Andrea benar-benar jatuh cinta kepadanya. Dan meski berkali-kali Andrea
menanyakan keseriusan lelaki itu, lelaki itu berkeras bahwa dia sudah melupakan
mantan pacarnya dan benar-benar serius ingin menikahi Andrea.
Maka
ketika di hari pernikahannya lelaki itu tidak datang, Andrea terpukul. Lelaki
itu hanya mengirimkan sebuah email kepada Andrea. Setengah jam sebelum akad
nikah, Andrea mengecek email melalui ponselnya dan mendapati surat itu.
Aku sudah berusaha keras melupakan dia, Andrea, sama
kerasnya seperti aku berusaha mencintai kamu. Tapi akhirnya aku sadar, cinta
bukanlah hal yang bisa dipaksakan atau dipelajari. Hari-hari bersamamu selalu
menyenangkan, Andrea, tapi aku cuma bisa menyayangimu sebagai seorang adik.
Ternyata tidak bisa lebih. Aku masih mencintai dia.
Bencilah aku yang pengecut ini, Andrea. Tapi aku
tidak mau menyakitimu lebih jauh lagi dengan menikahimu sementara hatiku masih
mencintai gadis lain. Kamu berhak menikah dengan lelaki yang lebih baik
daripada aku ... lelaki yang mencintaimu.
Aku tidak bisa memintamu memaafkan aku karena
kesalahanku tidak termaafkan. Benci aku, Andrea.
Lalu lupakan saja aku.
Setelah
membaca email itu, Andrea dengan panik berusaha menghubungi lelaki itu. Tapi
ponsel lelaki itu tidak pernah aktif lagi. Nomor ponsel itu mati. Seperti juga
hati Andrea.
Andrea
menemui ayahnya dengan wajah datar lalu menyerahkan ponselnya yang masih
membuka email lelaki itu.
“Pernikahan
batal, Pa. Saya nggak akan menikah.”
Nggak akan pernah menikah,
Andrea bersumpah dalam hati.
Ayah
Andrea collapse. Serangan jantung
segera setelah selesai membaca email itu. Dan mata sang ayah tidak pernah
terbuka lagi sejak saat itu. Seperti juga hati Andrea yang tidak pernah terbuka
lagi. Mungkin sang ayah memutuskan untuk mati saja sehingga tidak perlu
menanggung malu karena batalnya pernikahan putrinya. Maka Andrea juga
memutuskan untuk membuat hatinya mati saja, sehingga tidak perlu merasa sakit
lagi.
Tidak ada hal yang
disebut “cinta yang baru”.
Karena rasa itu sudah
ada disana.
Tidak hilang, tidak
pergi, tidak mati.
Kamu hanya perlu
menemukannya.
Semua
orang rasanya sudah bosan berusaha menjodohkan Andromeda dan Andrea. Mereka adalah
sepasang manusia yang sudah diakui keserasiannya. Namun tidak ada satupun dari
mereka yang menganggap serius usaha teman-temannya itu.
“Kalau
saya nikah sama pak Andro mah berarti saya harus berantem terus selama 24 jam
dong?” kilah Andrea sambil tertawa-tawa ringan menghadapi godaan
teman-temannya, “Kayaknya berantem di kantor aja udah cukup deh buat saya.”
“Kalau
dilanjutin di rumah, bisa bunuh-bunuhan kali ya Ndre?” Andromeda ujug-ujug
nimbrung di antara Andrea dan teman-temannya yang sedang makan siang di kantin
kantor.
Andrea
tersenyum menyambut Andromeda. Sama sekali tidak kikuk terpergok sedang
dijodoh-jodohkan dengan bosnya itu. Andrea dan Andromeda sudah telalu bosan dan
terbiasa dijodoh-jodohkan terus. Teman-teman Andrea sesama manajer bawahan
Andromeda itu juga sepertinya tidak sungkan lagi berusaha menjodohkan teman
mereka dengan bosnya.
“Yang
jelas Bapak nggak akan bisa menang berantem sama saya,” jawab Andrea.
“Masa?
Saya kan selama ini cuma mengalah aja sama kamu,” Andromeda tidak mau kalah.
Dia meladeni candaan Andrea dan anak buahnya yang lain.
“Oh
yeah? Yakin bisa ngalahin saya, Pak?” Andrea menantang sambil tertawa-tawa.
“Eh,
jangan meremehkan laki-laki, Andrea. Laki-laki punya senjata rahasia untuk
memenangkan pertarungan dan membuat si perempuan mengalah padanya.”
“Oh
yeah? Senjata rahasia apa, Pak?”
“Cinta,”
jawab Andromeda, berusaha memancing. Dia berharap Andrea bisa membaca hatinya.
Tapi
yang terpancing justru teman-teman Andrea yang duduk di sekitar mereka. Para
manajer itu segera ramai tertawa dan makin menggoda Andromeda dan Andrea. Meja
makan mereka segera riuh dengan suara siulan.
“Cinta
ya?” Andrea bertanya sambil tersenyum.
Entah
apakah orang lain menyadarinya atau tidak, tapi Andromeda merasa sangat yakin
bahwa sepersekian detik tadi dia melihat perubahan wajah Andrea. Gadis itu
boleh saja tersenyum tapi matanya seketika redup.
“Cinta
memang senjata ampuh laki-laki untuk mengalahkan perempuan ya Pak. Dan mungkin
juga senjata yang paling mematikan untuk membunuh.”
Diantara
keriuhan suara menggoda teman-teman Andrea, suara Andrea yang pelan itu
sepertinya hanya bisa didengar oleh Andromeda. Membuat Andromeda terpukul.
“Pak,
Bu!” kata Andrea, kembali bersuara lantang meningkahi suara ramai
teman-temannya. “Saya duluan ya.” Dia segera berdiri dari kursinya.
“Lho,
Bu Andrea cepat banget makannya?” kata Pak Angga, TSD Manager.
“Kita
belum puas nih godain bu Andrea dan pak Andro. Selalu melarikan diri deh kalau
kita berusaha menjodohkan,” celetuk Bu Asri, Production Manager.
Andrea
tertawa. “Tenang aja, masih ada Pak Andro yang
siap sedia untuk digodain tuh. Tapi habis ini saya
ada meeting sama Regulatory, jadi harus buru-buru. Maaf yah.”
Kemudian
Andrea pergi. Tanpa melirik Andromeda lagi. Membuat Andromeda merasa menyesal
setengah mati karena sudah memilih cara yang salah untuk memancing perasaan
Andrea.
Sudah
seringkali juga Andari meminta kepada Andromeda agar Andrea bisa menjadi
pengganti ibu yang tidak pernah dikenalnya. Tapi demi tidak membuat Andari
kecewa jika Andrea tidak membalas cintanya dan tidak mau menikah dengannya,
Andromeda berkata kepada putrinya: “Nggak ada pengganti Mama, Ari. Mamanya Ari
tetap Mama Andini.”
Lebih
dari itu, Andromeda sebenarnya mengatakan hal tersebut demi melindungi hatinya
sendiri dari rasa sakit yang mungkin akan dideritanya jika Andrea menolaknya,
karena secara akal sehat gadis secantik Andrea tidak akan mungkin mencintai
seorang duda beranak satu seperti dirinya.
Hidup itu seperti roda
yang berputar.
Kadang di bawah ... dan
mungkin tidak akan pernah sampai di atas,
Jika kau membiarkannya
berhenti di tengah jalan.
Setelah
berdebat dengan dirinya sendiri selama bertahun-tahun akhirnya Andromeda harus
menerima saran dari sahabatnya. Dia tidak bisa mendapatkan jawaban apapun hanya
dengan bertengkar dengan dirinya sendiri.
“Jadi
akhirnya lo menyadari bahwa lo cinta sama dia?” kata Aryo setelah mendengar
cerita Andromeda tentang Andrea.
“Nggak
butuh waktu lama untuk menyadarinya, Yo,” jawab Andromeda.
“Tapi
seperti yang selalu terjadi sama lo, selalu butuh waktu lebih lama untuk berani
mengakuinya kan?”
Andromeda
mengangkat bahunya. Pasrah akan tudingan sahabatnya.
“Dulu
juga Andini yang duluan menyatakan cinta ke lo kan? Dan sekarang lo
mengharapkan Andrea melakukan hal yang sama sehingga lo nggak perlu bersusah
payah mempertaruhkan harga diri lo yang tinggi itu hanya karena takut ditolak
kan?”
Andromeda
terpaksa menerima tuduhan sahabatnya lagi. Karena memang itulah yang terjadi.
Dia terlalu takut ditolak. Dia tidak pernah ditolak. Karena dia memang tidak
pernah menyatakan cinta. Cinta pertamanya adalah Andini. Dan gadis itulah yang
lebih dulu menyatakan cinta kepadanya. Dia tidak pernah punya pengalaman
mengejar gadis manapun.
“Kalau
gitu, berhenti berharap pada Andrea, Ndro. Percuma. Sia-sia,” kata Aryo
akhirnya. Patah arang dia menghadapi sahabatnya yang satu itu.
“Maksud
lo?”
“Kalau
benar seperti yang lo ceritakan tentang masa lalunya, Andrea bahkan nggak akan
menerima lo meski lo menyatakan cinta.”
“Maksud
lo?”
“Dia
bahkan nggak akan menerima lelaki manapun juga.”
“Hah?”
“Dia
pernah dikhianati tepat di hari pernikahannya. Dia nggak akan percaya lagi sama
kata-kata cinta dan pernikahan.”
“Lo
harusnya jadi psikolog aja Yo.”
“Emang
gue ini psikolog, Andro! Lo amnesia ya?”
Andro
tertawa. Menertawakan kegoblokannya. Bisa-bisanya dia lupa bahwa sahabatnya
sendiri memang seorang psikolong.
“Andai
lo mengakui cintapun,
dia nggak akan menerima lo. Apalagi kalau lo berharap dia yang bilang cinta
duluan. Mati aja lo, Ndro! Sampai kiamat juga nggak bakal terjadi. Lo yang
harus mengambil tindakan. Mau maju? Atau mundur?”
Andromeda
terdiam.
“Bahkan
meski lo sudah maju, kemungkinan besar dia bakal melarikan diri. Menjadikannya
ibu dari Andari nggak akan semudah membuat Andini menjadi istri lo. Hanya kalau
lo siap ditolak, dan siap mengejarnya, baru lo boleh menyatakan cinta padanya.”
Seperti
kata Aryo, bagi Andro yang sama sekali belum pernah mengejar gadis manapun,
memutuskan untuk menyatakan cinta pada gadis dengan kemungkinan penolakan
99% adalah suatu pertaruhan yang berat
atas harga dirinya. Tapi tidak menyatakannya sama sekali hanya membuatnya makin
tersiksa dari hari ke hari. Akhirnya di suatu sore, selepas jam kantor sehingga
para karyawan sudah pulang, Andromeda memutuskan untuk membuat suatu gebrakan
dalam hidupnya.
Andromeda
melihat Andrea sendirian di ruangannya. Gadis itu menatap laptopnya dengan
serius. Dia suka melihat mata tajam dan kening berkerut itu.
“Pulang
jam berapa, Ndre?” tanya Andromeda, sambil melangkah masuk ke ruangan Andrea dengan
kebulatan tekad.
“Eh,
Pak Andro! Kok belum pulang? Mau nagih rilis produk apa lagi nih?” sambut
Andrea, waspada, tapi tetap tersenyum.
“Emangnya
saya menemui kamu kalau nagih rilis aja?”
Andrea
nyengir. “Nggak sih. Kalau nagih monthly
report juga Bapak langsung datang kesini.”
“Nyindir
banget deh kamu.”
Andrea
tertawa. Andromeda menyukai tawa itu. Tapi dia bertanya dalam hati, apakah di
semua tawa yang dilihatnya tidak pernah ada yang berupa kepura-puraan untuk
menutupi kepedihan hatinya?
“Jadi,
pulang jam berapa, Ndre?” tanya Andro sekali lagi.
“Sebentar
lagi pulang kok Pak, abis sholat Maghrib. Tinggal periksa Validation Report
aja, harus rilis besok soalnya.”
“Temani
saya makan malam yuk, Ndre,” kata Andromeda dengan gaya santai, padahal
perasaannya nggak santai sama sekali.
“Eh? Dalam rangka apa Pak? Bapak nggak ulang
tahun kan?”
“Nggak.
Pengen ngobrol aja sama kamu,” jawab Andromeda sambil komat-kamit dalam hati,
berdoa semoga Andrea tidak menolak ajakan makan malamnya.
“Ada
masalah sama Andari ya Pak?” terka Andrea kemudian, tampak khawatir.
Melihat
kekhawatiran Andrea terhadap putri tunggalnya membuat Andromeda makin mencintai
gadis itu.
“Bukan
mau ngomongin Ari kok,” jawab Andromeda kemudian. “Ya udah, cepat selesaikan review Validation Reportnya. Saya datang
lagi setelah sholat Maghrib ya.”
Agak
bengong, Andrea hanya mengangguk linglung. Kemudian melihat bosnya pergi dengan
tatapan bingung.
“Saya
cinta sama kamu, Andrea.”
Setelah
melatihnya selama berhari-hari, akhirnya Andromeda berhasil juga mengucapkan
kata-kata itu. Dia bahkan telah melatih banyak kata-kata untuk meyakinkan
Andrea jika Andrea benar-benar menolaknya.
Andrea
berhenti memakan bihun goreng spesialnya. Dia segera kehilangan selera atas
makanan kesukaannya sendiri.
Andrea
mengamati wajah Andromeda, kemudian tersenyum. Andromeda jadi salah tingkah dan
makin was-was melihat senyum Andrea.
“Nggak
perlu mengatakan cinta hanya demi Andari, Pak. Saya tetap menyayangi Andari
meski saya bukan ibunya,” kata Andrea sambil tersenyum maklum.
“Tapi
kamu nggak bisa selamanya menyayanginya.”
“Kenapa
nggak bisa?”
“Kalau
kamu sudah punya anak sendiri nanti ...”
“Saya
nggak akan menikah, Pak,” potong Andrea cepat.
“Apa?”
Andromeda kaget dan tidak mengerti.
“Saya
nggak akan menikah. Dan nggak akan punya anak sendiri. Saya bisa tetap
menyayangi Andari.”
Ekspresi
menderita terpancar di wajah gadis itu ketika mengatakan hal itu.
“Jadi Bapak nggak usah mengatakan cinta kepada
saya hanya karena takut Andari kehilangan saya,” lanjut Andrea.
“Saya
memang takut kamu nggak akan
menyayangi Andari lagi. Tapi lebih dari itu, saya sendiri yang takut kehilangan
kamu.”
Andrea
tersenyum sedih. “Nggak perlu mengatakan hal seindah itu hanya demi orang lain,
Pak. Saya sudah bilang, Andari nggak akan kehilangan saya.”
“Ini
bukan demi Andari, Ndre. Ini tentang saya dan kamu.”
Senyum
Andrea lenyap.
“Jangan
diteruskan, Pak. Kita selesaikan makan malam kita, lalu kita anggap obrolan
ngaco ini nggak pernah terjadi,” kata Andrea, serius.
“Kenapa
kamu nggak mau menikah?” tanya Andromeda, mulai mengkonfrontir.
“Malas,”
jawab Andrea, seperti selalu.
“Masih
trauma dengan pernikahanmu dulu?”
Andrea
meletakkan sendok dan garpunya dengan dentingan keras. “Saya nggak mau menemani
Bapak makan lagi kalau kita masih membahas hal absurd ini.”
“Belajarlah
mengenal saya, Andrea. Saya bukan orang brengsek seperti calon suamimu dulu
itu,” Andromeda makin nekat. Bahkan meski ia telah melihat wajah Andrea makin
pucat.
“Saya
sudah mengenal Bapak dengan baik selama lima tahun ini. Kalau Bapak lupa, saya malah
hapal bahwa setiap akhir bulan Bapak selalu meneror saya merilis produk dan
tiap Bapak butuh teman curhat Bapak pasti datang membawakan martabak ke ruangan
saya. Tapi itu nggak berarti apa-apa, Pak.”
“Kalau
kamu sudah mengenal saya, belajarlah mencintai saya, seperti kamu menyayangi
Andari. Kita nggak perlu menikah kalau ternyata kamu tetap nggak bisa mencintai
saya.”
Dunia
Andrea serasa lumpuh. Enam tahun lalu dia pernah mendengar kata-kata indah
seperti itu. Tapi akhir ceritanya sama sekali tidak indah.
Dengan
menahan air mata, Andrea menyambar tasnya. Tanpa menghabiskan makan malamnya
atau pamit kepada bosnya, dia segera berdiri dan pergi dari restoran itu.
Bergegas
Andromeda mengejar Andrea dan menyambar tangannya sebelum gadis itu pergi lebih
jauh.
“Jangan
bergaya seperti remaja, Pak. Lepasin tangan saya!” kata Andrea mengancam.
“Kenapa
nggak bisa belajar mencintai saya, Andrea?”
“Cinta
bukan hal yang bisa dipelajari, Pak. Dan saya pernah bertemu dengan laki-laki
seperti Bapak yang meminta saya belajar mencintai. Dia mengatakan cinta pada
saya demi orang tuanya. Bapak mengatakan cinta demi putri Bapak. Kalian sama
sekali nggak ada bedanya! Brengsek!”
Andromeda
terpukul dengan kata-kata Andrea. Dia
sudah sering mendengar Andrea marah, tapi baru kali itu ia mendengar Andrea
memaki. Jika bukan karena terlalu terluka, tidak mungkin Andrea berkata sekasar
itu.
Andromeda
kehilangan semua jurus yang telah dipersiapkannya untuk meyakinkan Andrea
tentang cintanya. Lelaki di masa lalu gadis itu sudah begitu menanamkan
kenangan buruk tentang cinta rupanya.
Andrea
menatap Andromeda dengan tatapan pedih.
“Kenapa
Bapak nggak menikah lagi sejak ibunya Andari meninggal?” tanya Andrea akhirnya.
Andromeda bengong, tidak siap dengan
pertanyaan tiba-tiba seperti itu.
Dan
sebelum Andromeda sempat menjawab, Andrea menjawab sendiri dengan asumsinya:
“Karena Bapak masih mencintai ibunya Andari kan? Orang tidak bisa memulai yang
baru kalau tidak pernah melepas
yang lama, Pak.”
“Belajarlah mencintaiku, seperti aku akan
belajar mencintaimu. Kita nggak perlu menikah kalau pada akhirnya kita tetap
nggak bisa saling mencintai.”
Setelah
bertahun-tahun tidak pernah menangis lagi, tangis Andrea akhirnya pecah ketika
dia masuk ke mobilnya. Mendengar kata-kata yang pernah diucapkan lelaki itu
kini diucapkan lagi oleh Andromeda membuat hatinya merasa sakit lagi.
Dan
rasa sakit atas kata-kata Andromeda belum seberapa dibandingkan kebungkaman
Andromeda ketika Andrea mengkonfrontirnya tentang mendiang istrinya. Andromeda
sama sekali tidak menjawab atau mengelak ketika ia menanyakan cinta Andromeda
kepada mendiang istrinya. Andromeda tidak mengingkarinya, berarti ia memang
masih sangat mencintai mendiang istrinya kan? Jadi mengapa Andromeda harus
menyatakan cinta padanya sementara cinta lelaki itu masih selalu untuk
perempuan itu?
Laki-laki
tidak pernah bisa melupakan cinta pertamanya. Apalagi jika wajah wanita
pertamanya itu selalu hadir di hadapannya dalam rupa putri tercintanya. Tidak
ada yang bisa menghapus cinta macam itu. Tidak ada yang akan bisa menggantikan
cinta sedalam itu. Andrea merasa tidak mungkin menang bersaing dengan cinta
pertama Andromeda itu.
Maka
demi melindungi hatinya sendiri, meski ia sendiri mencintai Andromeda, Andrea
menolaknya. Pernyataan cinta lelaki itu pasti semata karena Andari. Dan Andrea
tidak bisa menerima cinta semacam itu. Dia sudah pernah merasakan sakitnya
cinta yang dijalani hanya demi orang lain.
Sudah
satu jam lamanya Andromeda sampai di rumahnya. Dia sudah mematikan mesin
mobilnya, tapi tidak juga keluar dari mobilnya. Dia masih syok dengan
pertanyaan Andrea. Dan dia memaki dirinya sendiri karena dia sudah mengetahui
jawaban atas pertanyaan itu, tapi dia tahu bahwa dia tidak berhak menjawab
begitu.
Kamu pintar, Andrea, aku memang masih mencintai Andini.
Tapi tidak bolehkah aku mencintaimu selagi aku mengenangnya?, tanya Andromeda dalam hati, frustasi.
Semua orang punya masa
lalu, tapi tidak semua orang punya masa depan,
Terutama orang-orang
yang membiarkan hidupnya berhenti di masa lalu.
Andrea
bersungguh-sungguh dengan kata-katanya. Ketika Andromeda bertemu dengan Andrea
pada monthly meeting keesokan
paginya, sikap Andrea seperti hari kemarin, kemarin dulu, dan seperti selama
ini. Biasa saja. Dia menganggap kejadian malam itu tidak pernah terjadi dalam
hidupnya. Ketika matanya bertemu dengan Andro, Andrea bahkan tidak memalingkan
wajah dan malah tersenyum normal.
Yang
tidak biasa justru Andromeda. Dia tidak mengomeli presentasi Andrea yang
menampilkan deviasi konyol akibat kesalahan kode produk packaging material. Dia sebenarnya malah hampir tidak bicara
apa-apa sepanjang monthly meeting
kali itu. Hal ini membuat para manager bawahannya merasa lega dan penasaran di
saat bersamaan. Lega karena tidak menerima omelan, dan penasaran dengan sikap
bos mereka yang terlalu baik.
Begitu
juga perasaan Andromeda setiap kali melihat Andrea. Dia juga merasa lega dan
penasaran. Lega karena sikap Andrea terhadapnya tidak berubah, sekaligus
penasaran mengapa sikap Andrea seperti tidak pernah terjadi apa-apa di antara
mereka?
Satu-satunya
yang berubah dari Andrea hanyalah jadwal kerjanya. Andrea tidak pernah lagi
pulang selewat Maghrib. Jam lima sore dia sudah memasukkan laptopnya ke dalam
tas dan bersiap pulang. Hal ini jelas suatu usaha melarikan diri. Meski sikap
Andrea terhadapnya biasa saja, Andro tahu bahwa Andrea sedang menghindarinya.
Dengan pulang tepat waktu, Andrea tidak memberikan kesempatan kepada Andromeda
untuk bicara berdua saja dengannya.
Hanya
kemacetan, ternyata, yang bisa menahan Andrea tetap berada di kantor hingga
lewat senja. Jumat sore itu Andrea sudah siap keluar dari gerbang kantornya
ketika ia melihat antrian panjang mobil-mobil, hanya 10 meter dari gerbang.
Membayangkan kemacetan semacam itu terjadi berjam-jam pada dirinya, Andrea
mengurungkan niatnya untuk pulang sore. Lebih baik pulang tengah malam
sekalian, kalau perlu. Kalau pulang sekarangpun, dengan kondisi kemacetan
seperti itu, pasti dia sampai di rumah tengah malam juga.
Andrea
terpaksa memarkirkan kembali mobilnya dan kembali ke ruangannya. Dan langkahnya
terhenti tepat sebelum mencapai pintu ruangannya. Seseorang berdiri di sana.
Berbalik ke arahnya ketika mendengar langkah kakinya, lalu terkesiap. Tapi
kemudian tersenyum.
“Ngapain
Bapak kesini? Dokumen ACTD Metrin Thailand sudah saya approve dan kirim ke Regulatory, Pak,” kata Andrea sambil membuka
pintu ruangannya. Berusaha bersikap biasa. Padahal hatinya sudah kebat-kebit.
Setelah seminggu berusaha menghindar, sekarang dia tertangkap basah.
“Kok
balik lagi? Nggak jadi pulang?” Andromeda malah balik bertanya, alih-alih
menjawab pertanyaan Andrea. Dia mengikuti Andrea masuk ke ruangannya.
Andrea
rasanya ingin menghalangi bosnya itu masuk ke ruangannya. Tapi masa dia harus
mengusirnya?
“Di
depan kantor macet banget, Pak. Mending saya pulang jam 10 malam sekalian deh,
daripada bermacet-macet ria.”
Andro
tersenyum mendengar jawaban Andrea. Senyum yang membuat Andrea meleleh,
sekaligus takut.
“Alhamdulillah,
hari ini macet,” kata Andro.
“Hah?”
Andrea tidak mengerti. Dia meletakkan tas kerja dan tas laptopnya kembali di
mejanya, lalu menoleh kepada Andro.
“Seminggu
ini saya selalu kemari selewat jam kantor, berharap bisa ketemu kamu berdua aja.
Hari ini untungnya macet, jadi bisa ketemu kamu.”
Andrea
mulai merasa tidak enak.
“Lha,
hampir tiap hari kita meeting bareng,
Pak. Masalah kantor kan bisa dibicarakan pas meeting.”
“Tapi
masalah pribadi, nggak bisa kan?”
“Emang
Bapak ada masalah sama saya? Perdebatan kita kan selalu pertengkaran seputar
kerjaan, Pak.”
“Kamu
pasti bisa menang Piala Citra, Ndre. Akting kamu bagus banget,” jawab Andro,
jelas dengan nada menyindir.
“Makasih,”
Andrea menjawab singkat. Nadanya datar.
“Kok
kamu bisa sih bersikap seolah-olah nggak pernah terjadi apa-apa sama kita,
Ndre?” nada suara Andro sedikit meninggi.
“Lah,
emang nggak pernah terjadi apa-apa.”
“Setelah
saya mengaku cinta sama kamu minggu lalu?”
“Nggak
usah kuatir, Pak. Saya tahu Bapak nggak benar-benar bermaksud begitu,” Andrea
menjawab lugas.
“Tapi
saya memang bermaksud begitu.”
Andrea
berpaling. “Pantesan dari tadi panas banget. Saya belum nyalain AC lagi.” Dia
lalu sibuk mencari remote AC, dan menekan tombol ON-nya.
Andro
menghentikan gerakan sok paniknya Andrea dengan menyambar tangan gadis itu.
Spontan, Andrea menarik balik tangannya.
“Kamu
cinta juga sama saya kan Andrea?” tanya Andro, frontal.
Absolutely,
kata hati Andrea. “Impossible!” kata mulutnya.
“Semua
orang punya masa lalu, Andrea. Tidak bisakah melupakan laki-laki brengsek itu?”
Andro makin sinting.
Dia
sudah hilang akal, bagaimana harusnya mengkonfrontir Andrea. Bertahan
berhari-hari tanpa arah seperti yang dilakukannya seminggu terakhir ini sungguh
membuat frustasi.
“Laki-laki
brengsek itu dulu pernah bilang cinta sama saya, demi orangtuanya. Dan sekarang
Bapak melakukan hal yang sama demi Andari, anak Bapak. Bapak sama brengseknya,
kalau begitu!”
JLEB!!!
“Saya
melakukannya demi diri saya sendiri. Karena saya mencintai kamu. Bukan karena
Andari. Jadi bisakah melepaskan masa lalu kamu dan memulai dengan saya?” kata
Andromeda, sambil menatap Andrea, dalam.
Andrea
balas menatap dengan sinis.
“Bisa!”
jawab Andrea, menantang. “Asal Bapak juga bisa melupakan ibunya Andari!”
Andro
serta-merta terdiam. Tapi beberapa detik kemudian dia tertawa. Menertawakan
diri, sebenarnya.Andrea mengernyit, bingung dengan sikap Andro.
“Lucu
banget kita ini!” kata Andro ketika tawanya mereda. “Kita ini
saling mencintai, tapi harus menghadapi masa lalu orang yang dicintainya. Kamu takut bersaing dengan
Andini, masa lalu saya
yang indah. Sementara saya sendiri
sebenarnya nggak tahu apakah saya bisa mengalahkan
ketakutan kamu
terhadap kata cinta dan pernikahan, akibat masa
lalu kamu yang kelam.”
Andrea
melengos. Tepat seperti itulah yang dirasakannya. Dan Andromeda berhasil
menerka hatinya dengan tepat.
Andromeda
sekali lagi mencoba menggenggam tangan Andrea. Saat Andrea berusaha menarik
tangannya, Andro berkata: “Dengar saya sebentar aja,” dengan suara lembutnya,
membuat sikap keras kepala Andrea melunak.
Andro
menggenggam tangan kanan Andrea dan menepuk-nepuknya dengan lembut. Dan Andrea
berjuang sekuat tenaga agar air yang sudah menggenang di kelopak matanya tidak
jatuh.
“Kamu
bilang, orang nggak bisa memulai yang baru tanpa melepas yang lama?” Andro
bertanya. Tapi dia segera melanjutkan kalimatnya tanpa menunggu jawaban Andrea.
“Kamu mungkin benar. Tapi kalau begitu, harusnya Tuhan membuat kita amnesia aja
setiap kita selesai dengan satu hubungan.”
Sekarang
Andro membelai lengan Andrea, membuat gadis itu kaku. Dia belum pernah
diperlakukan semanis ini oleh lelaki lain, bahkan oleh lelaki brengsek yang
dulu berencana menikahinya itu.
“Padahal
melepaskan bukan berarti harus melupakan kan,
Andrea? Melepaskan hanya berarti kamu terus melangkah
bersama ingatan-ingatan itu. Mengingat masa lalu bukanlah dosa. Tapi membiarkan ingatan
masa lalu mengikatmu sehingga kamu
nggak bisa melangkah ke
depan, itulah yang salah.”
Andrea
tertegun.
“Jangan
minta saya melupakan Andini, Ndre, karena itu nggak mungkin. Darinya saya
mendapatkan Andari. Tapi kamu bisa percaya bahwa cinta saya ke kamu, dan ke
Andini, tidak sama. Kalian punya tempat yang berbeda di hati saya, dalam porsi
yang sama banyaknya.”
Andrea
masih diam. Kalau saja Andro sekedar merayu dan tidak serius terhadapnya,
harusnya Andro bisa saja mengatakan bahwa dia akan melupakan Andini demi
Andrea. Tapi mendengar jawaban Andro yang seperti itu, meski di satu sisi
Andrea merasa sakit karena pria itu dengan tegas menyatakan tidak bisa
melupakan mendiang istrinya, tapi di sisi lain dia juga merasakan keseriusan
lelaki itu. Pria itu bukan sekedar sedang menggombal.
Andro
menghela nafas panjang sebelum mengeluarkan jurus terakhirnya.
“Kalau
kamu nggak bisa melepaskan diri dari masa lalu kamu, bisakah setidaknya
mengijinkan saya membantu kamu melepaskan diri? Hanya kalau kamu mengijinkan.”
Postur
tubuh tinggi, mata hitam, alis lebat, rahang kokoh dan kelabu adalah kombinasi
yang sempurna untuk meluluhkan wanita manapun. Ditambah lagi dengan kata-kata
seperti itu, hanya wanita yang hatinya sudah mati yang tidak akan tersentuh. Dan
meski Andrea berhati batu, ternyata kata-kata Andro masih bisa memberi efek
seperti air yang menetesi batu itu hingga berlubang.
Dan
kini si hati batu itu luluh, meneteskan air mata.
Tangan
Andro terangkat, menyentuh pipi gadis itu. Membuat tangisan Andrea malah makin menjadi-jadi.
Andro mengusap pipi basah itu pelan. Mata hitam bertemu mata hitam. Lalu
seperti seluruh alam juga sudah tahu apa yang seharusnya terjadi, Andro mencium
bibir Andrea. Membuat suara tangis Andrea terhenti, dan air matanya makin deras
mengalir.
Sekarang
Andrea tahu mengapa orang selalu menutup matanya saat berciuman. Karena kita
seringkali tidak kuat melihat sesuatu yang terlalu indah. Karena hal-hal yang
terlalu indah terkadang hanya bisa dirasakan, bukan untuk dilihat. Dan itu pertama
kalinya Andrea merasa senyaman itu bersama seseorang.
Setelah
rasanya bagai seabad yang sangat indah bagi Andrea, Andro melepaskannya. Lalu
lelaki itu tersenyum padanya. Menatap mata Andrea, masih menggenggam jemarinya,
sambil bertanya dengan manis: “Mau ya, jadi masa depan saya?”
Dengan
muka merah padam, dengan gaya galak demi menutupi salah tingkah, Andrea
menjawab: “Kalau saya nggak mau, dari tadi saya udah nonjok muka Bapak karena
berani mengambil ciuman pertama saya.”
“Ini juga pertama kalinya buat saya,” jawab
Andro.
Andrea
mengernyit senewen. Andro seperti sedang mengejeknya. Pertama kali apaan? Udah profesional gitu gayanya, gerutu Andrea
dalam hati.
Andro
menyadari tatapan sinis Andrea, lalu tersenyum. “Pertama kalinya saya ciuman
basah-basahan begini,” katanya sambil mengeringkan pipi Andrea dengan sapu
tangannya.
Pipi
Andrea yang sudah memerah, kini menjadi seperti udang rebus. Demi menyelamatkan
harga dirinya, dia melengos. Tapi Andro menarik tangannya lagi.
“Kalau gitu mungkin mulai sekarang kamu bisa
mulai panggil saya Mas.”
Andrea
mengernyit, seolah jijik. “Mas apaan?
Sok muda banget deh Pak. Lima belas tahun lebih tua dari saya, ya emang udah
sepantasnya saya panggil Bapak, kali!”
Andromeda
manyun. Andrea tersenyum. Lalu Andromeda menarik gadis itu ke pelukannya, dan
sengaja memeluknya dengan terlalu keras, sampai gadis itu menjerit ... sebagai
balasan atas kata-katanya barusan.
Hanya kalau kamu mengijinkan orang lain membantumu
melepaskan masa lalu, kamu mungkin bisa menjalani masa depanmu dengannya.