Luna Lovegood inside. Noda Megumi outside.

Minggu, 29 April 2012

ANDREA dan ANDROMEDA


Beberapa orang butuh waktu lama untuk menyadari sesuatu

Beberapa yang lain butuh waktu lebih lama untuk mengakuinya





Banyak orang yang terlambat menyadari sesuatu sehingga menyesalinya di kemudian hari. Tapi mereka bukanlah orang-orang yang paling menyedihkan. Beberapa orang justru memerlukan waktu lebih lama untuk mengakui sesuatu, bahkan meski mereka telah menyadarinya. Merekalah yang lebih menyedihkan. Sementara waktu tidak menunggu dan tidak pula kembali, mereka masih saja berdebat dengan diri mereka sendiri untuk mengakui kebenaran yang telah mereka ketahui.

Bintang Andromeda membenci sekaligus mengasihani dirinya sendiri karena dia adalah salah satu dari manusia-manusia menyedihkan itu. Telah sejak lama dia menyadari bahwa perasaannya telah berubah, dan dia dengan jelas mengetahui bahwa perubahan perasaannya bukan sekedar karena kecocokan sifat karena sifat mereka jelas bertolak belakang. Bagi Andromeda yang cerdas, mengetahui dan memahami sesuatu bukanlah hal yang sulit. Begitu pula untuk memahami perasaannya sendiri, tidaklah sulit. Yang sangat sulit baginya adalah untuk mengakui kenyataan baru tersebut.

Bertahun-tahun Andromeda berdebat dengan dirinya sendiri, apakah sebaiknya dia mengaku kepada Andrea Lintang bahwa dia mencintai gadis itu atau tidak. Dan perdebatan itu belum juga berujung hingga kini. Setiap kali berdebat dengan Andrea tentang deviasi proses atau keterlambatan perilisan produk obat mereka, di dalam hati Andromeda sendiri juga sedang terjadi perdebatan yang lain. Di satu sisi dia menggerutui kekeras-kepalaan Andrea, dan di sisi lain dia mengutuki dirinya sendiri karena selalu terpesona pada kekeras-kepalaan yang sama.





Andromeda pertama kali bertemu Andrea lima tahun yang lalu saat ia pindah kerja ke perusahaan itu, salah satu perusahaan farmasi multinasional terkenal di Jakarta, sebagai Plant Manager.  Bahkan meski saat itu Andrea hanya seorang Quality Supervisor, yang notabene bukan bawahan langsungnya, Andro langsung mengetahui dia akan sering bertengkar dengan gadis itu. Saat tiga tahun yang lalu Andrea dipromosikan oleh Plant Director menjadi Quality Manager, menggantikan Quality Manager yang pindah ke perusahaan lain, dan menjadi bawahan langsung Andro, ia membuktikan dugaannya dengan makin jelas.

Benarlah adanya pepatah yang mengatakan bahwa kita tidak bisa menilai sebuah buku hanya dari sampulnya. Orang juga tidak bisa begitu saja menilai orang lain dari penampilan luarnya. Meski telah mengenal Andrea sejak dua tahun sebelumnya, tapi ketika Andrea menjadi bawahannya langsung, Andormeda tetap bisa merasa terkaget-kaget. Selama ini dia lebih banyak berinteraksi langsung dengan Andrea diluar pekerjaan kantor karena untuk urusan Quality Andro lebih sering berinteraksi dengan sang Quality Manager, atasan Andrea saat itu. Dia tidak pernah mengira bahwa Andrea yang suara tawanya mampu membuat semua orang yang sedang makan siang di kantin menoleh serempak, ternyata suara marahnya juga sama menggelegarnya. Andrea yang lembut sikapnya terhadap anak-anak, ternyata keras hatinya jika sedang berdebat tentang Quality Compliance.

“Kenapa sampai sekarang Metrin batch 30 belum dirilis juga? Akhir bulan ini sudah harus dikirim ke Vietnam kan? Dan akhir bulan ini tinggal bersisa 3 jam lagi!” kata Andro suatu malam kepada Andrea. Pukul sembilan malam saat itu.

Dengan wajah datar dan mata yang tetap fokus kepada laptopnya,  Andrea menjawab: “Deviasi, Pak. Kesalahan pemakaian packing material. Semua harus di re-dress. Packaging Departement tidak menyanggupi untuk menyelesaikannya sebelum jam 11 malam.”

“Itu kan cuma packing material, Ndre. Tidak bisakah kita rilis saja supaya target kita bulan ini tercapai.”

“Target siapa, Pak? Target Bapak adalah untuk memenuhi order bulan ini. Target saya adalah untuk memastikan produk yang saya kirim sesuai dengan kualitas yang ditetapkan.”

“Kualitas apa, Andrea?! Ini hanya soal folding box dan leaflet. Nggak ada pasien yang peduli soal itu. Di sini FB dan leaflet dibuang di tong sampah. Dan menurut Regulatory Affairs, hanya ada minor changes pada FB dan leaflet baru itu.”

“Itu di Indonesia, Pak. Dan kalau-kalau Regulatory Affairs lupa memberitahu Bapak, mungkin Bapak perlu tahu bahwa FB dan leaflet baru itu sudah harus digunakan sejak bulan depan. Dan bulan depan tinggal 3 jam lagi. Kenekatan pengiriman hanya menyebabkan Return Product yang Bapak sendiri tahu akan lebih merugikan dibanding ketidak-terpenuhinya target bulan ini,” jawab Andrea, kali itu akhirnya mengangkat kepala dari laptopnya. Selagi melepas kacamatanya, gadis itu memandang Andromeda dan melanjutkan: “Dan barangkali Bapak lupa, ini sudah ketiga kalinya saya meminta Bapak berhenti mendesak saya merilis produk saat deadline. Kenapa Bapak nggak meneror Planning Manager untuk menyusun jadwal produksi yang lebih masuk akal ketimbang memaksa saya merilis produk yang bahkan belum setengahnya selesai dikemas?”





Kali lain Andromeda bahkan pernah menemui Andrea pukul tujuh pagi, tepat tiga detik setelah Andrea memasuki ruang kerjanya, bahkan sebelum gadis itu sempat meletakkan tas kerjanya di meja.

“Baca email dari Palvanan Pilai, Andrea! Thailand komplain karena ditemukan kemasan yang penyok lagi. Ini sudah komplain ketiga kalinya dalam dua bulan ini. Apa kamu sudah berlakukan SOP 100%-inspection? Apa sudah minta TSD perbaiki folding machine kita?”

Andrea meletakkan tasnya di meja, lalu menghadapi Andromeda dengan wajah marahnya. Hanya Andrea yang berani menantang Andromeda seperti itu.

“Alih-alih menyalahkan kru sendiri, Pak, kenapa Bapak nggak memperhatikan bahwa dari 20 negara yang kita suplay, hanya Thailand yang selalu komplain, bahkan untuk masalah sesepele folding box inipun. Kalau-kalau Bapak tidak sempat memantau keadaan aktual di pabrik, saya konfirmasikan bahwa tidak ada masalah pada folding machine kita, dan 100%-inspection sudah diberlakukan. Kenapa Bapak nggak cek forwarding kita? Adakah yang salah dengan SOP pengiriman mereka sehingga selalu ada produk yang defek? Atau memang Mr.Palvanan yang berlebihan? Foto yang dikirimkannya bukan foto folding box penyok, Pak. Saya bahkan nggak bisa menganggap itu defek.”

“Tapi customer adalah raja, Andrea. Dan permintaan mereka, setinggi apapun standarnya, harus kita penuhi.”

“Memperlakukan customer sebagai raja bukan berarti memperlakukan keluarga sendiri sebagai babu yang bisa disalah-salahi terus kan, Pak?”

Andromeda akhirnya harus mengakui bahwa dia tidak akan pernah menang berdebat dengan Andrea. Gadis itu memiliki pendirian yang kuat sekaligus pilihan kata-kata yang sarkastik. Bukan kombinasi yang bisa membuat pria jatuh cinta. Maka ketika pertama kali Andromeda mulai menyadari perasaannya, dia berusaha mati-matian menyangkalnya.

Tidak butuh waktu lama bagi Andromeda untuk menyadari bahwa dia telah jatuh hati pada Andrea. Tapi butuh lebih banyak waktu baginya untuk berani mengakuinya mengingat fakta bahwa dia adalah atasan Andrea di kantor dan dirinya adalah seorang duda dengan seorang putri berusia remaja sementara Andrea belum pernah menikah.





Perasaan itu seperti energi, kekal.

Tidak pernah mati, ia hanya berubah bentuk.





Andrea mengira ia tidak akan bisa jatuh cinta lagi. Atau lebih tepatnya ia memutuskan untuk tidak jatuh cinta lagi. Dia rasanya telah memiliki “tabungan sakit hati” yang lebih dari cukup untuk seumur hidupnya. Tidak perlu jatuh cinta lagi jika hanya untuk merasa sakit hati lagi, pikirnya. Tapi seperti selalu, memangnya hidup selalu seperti yang kita pikirkan atau rencanakan? Seringkali hidup berputar ke arah yang tidak kita kehendaki. Justru di saat Andrea telah menetapkan hati untuk tidak jatuh cinta lagi, Andari hadir dalam kehidupannya.

Gadis kecil itu berusia delapan tahun ketika mereka pertama kali bertemu di suatu acara Family Gathering. Andari adalah putri tunggal sang Plant Manager. Saat Andrea berkenalan dengan Andari, dia belum jadi bawahan langsung Andromeda.

Tidak perlu waktu lama bagi Andrea dan Andari untuk saling menyadari bahwa mereka saling jatuh cinta. Andari menemukan sosok Ibu yang tidak pernah dikenalnya pada diri Andrea. Dan Andrea menemukan sebentuk cinta baru yang dipikirnya tidak akan menyakitinya. Andari tidak mungkin menyakiti perasaannya seperti yang dilakukan “pria itu” kepadanya.

Rasa memang tidak bisa mati. Ia hanya berubah bentuk ... misalnya menjadi kasih sayang yang dalam.





Bahkan setelah Andrea menjadi anak buah Andromeda dan frekuensi pertengkaran mereka menjadi makin sering, Andrea tetap menyayangi Andari. Diluar hubungannya dengan Andromeda yang sering memanas, Andrea tetap mau menemani Andari membeli perlengkapan sekolah baru ketika Andari lulus SD dan menjadi murid baru SMP. Juga mendengarkan curhatan Andari tentang cowok pertama yang ditaksirnya, berjam-jam di telpon. Andari bahkan pernah menelpon Andrea pagi-pagi buta dan memintanya datang ke rumahnya.

“Tante Rea!”

Saat itu Andrea mendengar suara isak tangis melatar belakangi suara Andari yang nyaris seperti tikus mencicit.

“Ari! Kenapa? Kok pagi-pagi telpon Tante? Kamu nangis ya?” Andrea berusaha mengumpulkan nyawanya yang berceceran secepat mungkin ketika mengucek-ucek matanya yang masih sepat karena baru saja bangun tidur dengan kaget.

“Tante, aku berdarah,” suara isak tangis Andari terdengar makin keras.

“Lho? Ari, kamu ngapain? Kok bisa berdarah?!”

Alih-alih menjawab pertanyaan Andrea, Andari malah menyuruh Andrea datang ke rumahnya. “Jangan bilang Papa ya Tante. Ari takut,” lanjutnya sebelum dengan serta-merta gadis kecil itu memutus pembicaraan per telponnya.

Saking paniknya menerima telpon misterius di pagi buta itu, Andrea tidak sempat berpikir lama. Ia segera melajukan mobilnya ke rumah Andari. Andromeda yang membukakan pintu terkaget-kaget menerima tamu sepagi itu saat akhir pekan, apalagi karena tamunya adalah anak buahnya sendiri.

“Deviasi segawat apa yang bikin kamu datang pagi-pagi buta begini, Ndre? Kenapa nggak telpon saya aja?” sambut Andromeda, siap memarahi anak buahnya.

“Saya datang bukan karena deviasi, pak. Tapi karena Andari. Dimana dia?”

Andromeda tampak syok mendengar sesuatu terjadi pada putri tunggalnya. Dengan cepat dan singkat Andrea menceritakan telpon-pagi-butanya dan meminta bertemu dengan Andari. Tanpa pikir panjang, karena ikutan panik, Andromeda segera mengantarkan Andrea ke kamar Andari. Begitu Andari membuka pintu kamarnya, Andromeda segera memberondongnya dengan pertanyaan kekhawatiran. Tanpa menjawab satupun pertanyaan ayahnya, Andari menarik Andrea masuk dan menutup pintu kamarnya.

Andrea keluar dari kamar Andari setengah jam kemudian sambil tersenyum menenangkan, “Ini menstruasi pertamanya. No wonder dia panik, Pak. Santai aja.”





Hubungannya yang terlalu dekat dengan putri bosnya sendiri terkadang juga membuat Andrea kikuk. Apalagi kalau mendengar gosip-gosip yang beredar di kantornya. Sudah banyak orang yang berusaha menjodohkannya dengan si bos. Bahkan Andari sendiri pernah berkata padanya: “Kalau Ari punya Mama kayak Tante, pasti Ari nggak kesepian. Papa pulang malam terus sih, Ari jadi nggak ada temen di rumah.”

Sambil mencoba meredakan gejolak hatinya sendiri, Andrea berkata kepada gadis kecil itu: “Tante Rea pulang kerjanya lebih malam daripada Papa lho, Ri.”

“Kalo gitu, nanti aku suruh Papa ijinin Tante pulang cepet buat nemenin Ari.”

“Ya nggak bisa gitu dong, Sayang.” Andrea terkekeh sambil mengacak rambut Andari pelan. Memangnya bos besarnya itu bisa mengijinkannya pulang sebelum merilis obat dan menyelesaikan report-nya? Dunia rasanya akan segera kiamat jika hal tersebut bisa benar-benar terjadi.

Meski Andrea sangat menyayangi Andari, tapi dia tidak pernah berani memikirkan dirinya menjadi Ibu bagi gadis itu. Meski istrinya sudah meninggal 13 tahun lalu ketika melahirkan Andari, Andromeda belum pernah menikah lagi. Itu adalah bukti yang sangat kuat bahwa sampai saat ini Andromeda masih mencintai almarhumah istrinya.

Andrea juga pernah secara tidak sengaja mendengar Andromeda berkata kepada putrinya: “Nggak ada pengganti Mama, Ari. Mamanya Ari tetap Mama Andini.”

Pernyataan tersebut dengan lugas menjelaskan bahwa tidak akan pernah ada yang bisa menggantikan Andini di hati Andromeda. Cinta Andromeda akan selalu hanya untuk Andini. Tidak ada tempat lagi di hati Andromeda. Tidak ada.

Ironisnya, meski Andrea sudah memutuskan untuk tidak pernah jatuh cinta lagi demi agar tidak bisa tersakiti lagi, dia ternyata masih bisa merasa sakit ketika mengetahui fakta itu. Akhirnya Andrea menyimpulkan bahwa jatuh cinta bukan satu-satunya penyebab rasa sakit.  Masa lalu bisa sama menyakitkannya.





Kita tidak bisa memiliki segalanya.

Dan terkadang kita tidak bisa mendapatkan yang satu tanpa melepas yang lain.





Apakah Andromeda masih mencintai Andini? Tidak perlu dipertanyakan. Bahkan setelah bertahun-tahun kepergiannya, Andromeda tidak pernah tertarik menikah lagi karena tidak ada perempuan lain yang bisa membuatnya jatuh cinta seperti Andini telah mengubah hidupnya. Melihat Andari tumbuh menjadi semakin mirip dengan Andini dari hari ke hari makin memperkuat alasannya untuk tidak menikah lagi. Cukuplah Andari baginya, ada cinta dan wajah ibunya disana, Andromeda tidak memerlukan perempuan lain lagi di rumahnya. Dengan sekuat tenaga dia berusaha menjadi ayah dan ibu yang baik bagi Andari.

Tapi posisi ibu adakalanya memang tidak akan pernah bisa digantikan oleh seorang lelaki. Dan Andrea telah membuktikan bahwa ada hal-hal yang hanya bisa dimengerti oleh sesama wanita. Ada hal-hal yang hanya bisa diceritakan Andari kepada Andrea, dan tidak kepada ayahnya sendiri.

Andromeda sudah merasa tertarik kepada Andrea sejak mereka pertama kali bertemu. Sifatnya yang periang dan sarkastik adalah kombinasi yang membuat Andromeda penasaran. Tapi setelah ia melihat putri tunggalnya segera akrab dengan Andrea bahkan sejak pertemuan pertama mereka saat Family Gathering, rasa penasaran Andromeda perlahan berubah. Andrea memang telah mengisi kekosongan posisi ibu di hati Andari, tapi terlebih lagi, gadis itu juga ternyata telah berhasil mengisi kekosongan di hati Andromeda yang ditinggalkan Andini sejak kepergiannya. Tidak pernah ada yang bisa mengisi ruang kosong itu selain Andini ... sampai kini Andrea muncul di kehidupannya.

Tapi setiap kali melihat Andari sedang bermain bersama Andrea, perasaan Andromeda tercabik-cabik. Andari adalah duplikat ibunya, dengan tingkat kemiripan nyaris sempurna. Melihat Andari dan Andrea bermain bersama seperti melihat masa lalu dan masa depannya di saat bersamaan. Mencintai Andrea rasanya seperti mengkhianati cintanya kepada almarhumah istrinya. Dan dia tidak tahu apakah ia berhak mencintai Andrea selagi ia masih terus mengenang Andini.

Apakah seorang laki-laki bisa mencintai dua orang wanita di saat bersamaan? Bukankah itu brengsek namanya? Apakah dengan mencintai Andrea berarti dia tidak boleh mengingat Andini lagi?





Statusnya sebagai duda dengan satu anak adalah salah satu hal yang membuatnya tidak berani mengakui perasaannya pada Andrea. Bahwa Andrea adalah anak buahnya sendiri, yang justru paling sering berdebat dengannya, adalah fakta meresahkan lainnya yang muncul akibat Andromeda terlalu mempedulikan gosip dan apa-kata-orang. Tetapi satu hal yang paling menghalanginya adalah masa lalu Andrea.

Pernah suatu kali dia mencandai Andrea di acara pernikahan teman sekantor mereka dan menanyakan “Kapan Andrea nyusul?”

Kala itu Andrea hanya tersenyum dan berkata ringan: “Males, Pak.”

“Lho, kok?”

Andromeda tidak pernah bertemu seseorang yang menjawab “malas menikah” seperti yang baru saja didengarnya dari mulut gadis itu.

Andrea hanya nyengir dan berlalu, malas menjelaskan lebih jauh.

Dari Quality Managernyalah (atasan Andrea saat itu) Andromeda mengetahui alasan jawaban Andrea tersebut.





Cinta tidak pernah pergi.

Mungkin kamu yang melarikan diri darinya.

Cinta tidak pernah mati.

Mungkin kau yang membuat dirimu sendiri mati rasa.





Andromeda pernah mendengar bahwa Andrea pernah akan menikah dengan seseorang. Kabarnya ayahnya menjodohkannya dengan pria itu. Tapi tepat di hari pernikahannya, pria itu tidak datang. Membatalkan pernikahan mereka. Melarikan diri dari pernikahan-akibat-perjodohan itu. Membuat orang tua pihak lelaki malu. Dan membuat ayah Andrea meninggal akibat serangan jantung saking malunya. Beruntung ibu Andrea memang sudah meninggal tiga tahun sebelumnya sehingga tidak perlu merasa malu lagi.

Seminggu setelah acara pernikahannya yang batal dan meninggalnya ayahnya, Andrea kembali bekerja dengan wajah seceria biasanya. Mengabaikan bisik-bisik yang terjadi di balik punggungnya, Andrea bersikap seolah tidak pernah terjadi apa-apa dalam hidupnya.

“Hari pertama pak Andro di sini adalah hari pertama Andrea masuk kerja lagi setelah pernikahannya batal dan ayahnya meninggal,” kata bu Anya, atasan Andrea saat itu.

Ketika mengingat lagi hari pertamanya bertemu Andrea saat itu, Andrea sama sekali tidak tampak sedih. Lebih jauh lagi, Andromeda juga sama sekali tidak ingat bahwa Andrea pernah terlihat murung. Selama mengenal Andrea, gadis itu hanya pernah menunjukkan dua jenis emosi: tertawa atau marah. Tidak pernah bersedih dan menangis.





Ketika dirinya memutuskan untuk kembali bekerja setelah drama-pernikahannya itu, Andrea tahu bahwa semua orang menunggunya menangis sewaktu-waktu. Dia bukannya tidak tahu bahwa orang-orang membicarakan kemalangannya di balik punggungnya. Ada yang mengasihaninya, ada pula yang bergosip tentangnya. Tapi dia tidak pernah membiarkan kedua kubu tersebut melihatnya menangis. Dan dia memang merasa tidak perlu menangisi apapun. Meninggalnya sang ayah memang menyedihkan, tapi dia sendiri tidak pernah terlalu dekat dengan sang ayah. Kehilangan ayah hanya berarti kehilangan orang yang selalu memaksakan kehendak kepadanya, termasuk memaksakan perjodohannya dengan lelaki itu.

Yang membuat Andrea merasa lebih sakit sebenarnya justru adalah kepergian “lelaki itu”. Di saat Andrea menentang perjodohan itu, lelaki itu justru meyakinkannya tentang sesuatu yang disebut “cinta”.

“Bukannya kamu udah punya pacar?” tanya Andrea ketika lelaki itu meyakinkannya untuk menerima rencana perjodohan itu.

“Kami sudah putus,” kata lelaki itu.

“Kenapa? Cuma gara-gara perjodohan yang dipaksakan ini kalian putus? Kalian nggak perlu putus. Aku bahkan nggak berniat menerima perjodohan ini.”

“Bukankah berbakti kepada orangtua lebih utama daripada kebahagiaan sendiri?”

“Jadi demi orangtua, kamu bisa menikah dengan orang yang nggak kamu cintai?”

“Kita nggak bisa menikah dengan orang yang nggak kita cintai. Tapi kita bisa belajar mencintai. Dan kita punya banyak waktu untuk saling mengenal.”

“Dan apa maksudnya itu?”

“Belajarlah mencintaiku, seperti aku akan belajar mencintaimu. Kita nggak perlu menikah kalau pada akhirnya kita tetap nggak bisa saling mencintai.”





Lelaki itu telah membuat Andrea percaya bahwa cinta bisa dipelajari dan dibangun. Dengan kebaikan hatinya dan kesantunan perilakunya, lelaki itu telah membuat Andrea benar-benar jatuh cinta kepadanya. Dan meski berkali-kali Andrea menanyakan keseriusan lelaki itu, lelaki itu berkeras bahwa dia sudah melupakan mantan pacarnya dan benar-benar serius ingin menikahi Andrea.

Maka ketika di hari pernikahannya lelaki itu tidak datang, Andrea terpukul. Lelaki itu hanya mengirimkan sebuah email kepada Andrea. Setengah jam sebelum akad nikah, Andrea mengecek email melalui ponselnya dan mendapati surat itu.



Aku sudah berusaha keras melupakan dia, Andrea, sama kerasnya seperti aku berusaha mencintai kamu. Tapi akhirnya aku sadar, cinta bukanlah hal yang bisa dipaksakan atau dipelajari. Hari-hari bersamamu selalu menyenangkan, Andrea, tapi aku cuma bisa menyayangimu sebagai seorang adik. Ternyata tidak bisa lebih. Aku masih mencintai dia.

Bencilah aku yang pengecut ini, Andrea. Tapi aku tidak mau menyakitimu lebih jauh lagi dengan menikahimu sementara hatiku masih mencintai gadis lain. Kamu berhak menikah dengan lelaki yang lebih baik daripada aku ... lelaki yang mencintaimu.

Aku tidak bisa memintamu memaafkan aku karena kesalahanku tidak termaafkan. Benci aku, Andrea. Lalu lupakan saja aku.



Setelah membaca email itu, Andrea dengan panik berusaha menghubungi lelaki itu. Tapi ponsel lelaki itu tidak pernah aktif lagi. Nomor ponsel itu mati. Seperti juga hati Andrea.

Andrea menemui ayahnya dengan wajah datar lalu menyerahkan ponselnya yang masih membuka email lelaki itu.

“Pernikahan batal, Pa. Saya nggak akan menikah.”

Nggak akan pernah menikah, Andrea bersumpah dalam hati.

Ayah Andrea collapse. Serangan jantung segera setelah selesai membaca email itu. Dan mata sang ayah tidak pernah terbuka lagi sejak saat itu. Seperti juga hati Andrea yang tidak pernah terbuka lagi. Mungkin sang ayah memutuskan untuk mati saja sehingga tidak perlu menanggung malu karena batalnya pernikahan putrinya. Maka Andrea juga memutuskan untuk membuat hatinya mati saja, sehingga tidak perlu merasa sakit lagi.





Tidak ada hal yang disebut “cinta yang baru”.

Karena rasa itu sudah ada disana.

Tidak hilang, tidak pergi, tidak mati.

Kamu hanya perlu menemukannya.





Semua orang rasanya sudah bosan berusaha menjodohkan Andromeda dan Andrea. Mereka adalah sepasang manusia yang sudah diakui keserasiannya. Namun tidak ada satupun dari mereka yang menganggap serius usaha teman-temannya itu.

“Kalau saya nikah sama pak Andro mah berarti saya harus berantem terus selama 24 jam dong?” kilah Andrea sambil tertawa-tawa ringan menghadapi godaan teman-temannya, “Kayaknya berantem di kantor aja udah cukup deh buat saya.”

“Kalau dilanjutin di rumah, bisa bunuh-bunuhan kali ya Ndre?” Andromeda ujug-ujug nimbrung di antara Andrea dan teman-temannya yang sedang makan siang di kantin kantor.

Andrea tersenyum menyambut Andromeda. Sama sekali tidak kikuk terpergok sedang dijodoh-jodohkan dengan bosnya itu. Andrea dan Andromeda sudah telalu bosan dan terbiasa dijodoh-jodohkan terus. Teman-teman Andrea sesama manajer bawahan Andromeda itu juga sepertinya tidak sungkan lagi berusaha menjodohkan teman mereka dengan bosnya.

“Yang jelas Bapak nggak akan bisa menang berantem sama saya,” jawab Andrea.

“Masa? Saya kan selama ini cuma mengalah aja sama kamu,” Andromeda tidak mau kalah. Dia meladeni candaan Andrea dan anak buahnya yang lain.

“Oh yeah? Yakin bisa ngalahin saya, Pak?” Andrea menantang sambil tertawa-tawa.

“Eh, jangan meremehkan laki-laki, Andrea. Laki-laki punya senjata rahasia untuk memenangkan pertarungan dan membuat si perempuan mengalah padanya.”

“Oh yeah? Senjata rahasia apa, Pak?”

“Cinta,” jawab Andromeda, berusaha memancing. Dia berharap Andrea bisa membaca hatinya.

Tapi yang terpancing justru teman-teman Andrea yang duduk di sekitar mereka. Para manajer itu segera ramai tertawa dan makin menggoda Andromeda dan Andrea. Meja makan mereka segera riuh dengan suara siulan.

“Cinta ya?” Andrea bertanya sambil tersenyum.

Entah apakah orang lain menyadarinya atau tidak, tapi Andromeda merasa sangat yakin bahwa sepersekian detik tadi dia melihat perubahan wajah Andrea. Gadis itu boleh saja tersenyum tapi matanya seketika redup.

“Cinta memang senjata ampuh laki-laki untuk mengalahkan perempuan ya Pak. Dan mungkin juga senjata yang paling mematikan untuk membunuh.”

Diantara keriuhan suara menggoda teman-teman Andrea, suara Andrea yang pelan itu sepertinya hanya bisa didengar oleh Andromeda. Membuat Andromeda terpukul.

“Pak, Bu!” kata Andrea, kembali bersuara lantang meningkahi suara ramai teman-temannya. “Saya duluan ya.” Dia segera berdiri dari kursinya.

“Lho, Bu Andrea cepat banget makannya?” kata Pak Angga, TSD Manager.

“Kita belum puas nih godain bu Andrea dan pak Andro. Selalu melarikan diri deh kalau kita berusaha menjodohkan,” celetuk Bu Asri, Production Manager.

Andrea tertawa. “Tenang aja, masih ada Pak Andro yang siap sedia untuk digodain tuh. Tapi habis ini saya ada meeting sama Regulatory, jadi harus buru-buru. Maaf yah.”

Kemudian Andrea pergi. Tanpa melirik Andromeda lagi. Membuat Andromeda merasa menyesal setengah mati karena sudah memilih cara yang salah untuk memancing perasaan Andrea.





Sudah seringkali juga Andari meminta kepada Andromeda agar Andrea bisa menjadi pengganti ibu yang tidak pernah dikenalnya. Tapi demi tidak membuat Andari kecewa jika Andrea tidak membalas cintanya dan tidak mau menikah dengannya, Andromeda berkata kepada putrinya: “Nggak ada pengganti Mama, Ari. Mamanya Ari tetap Mama Andini.”

Lebih dari itu, Andromeda sebenarnya mengatakan hal tersebut demi melindungi hatinya sendiri dari rasa sakit yang mungkin akan dideritanya jika Andrea menolaknya, karena secara akal sehat gadis secantik Andrea tidak akan mungkin mencintai seorang duda beranak satu seperti dirinya. 





Hidup itu seperti roda yang berputar.

Kadang di bawah ... dan mungkin tidak akan pernah sampai di atas,

Jika kau membiarkannya berhenti di tengah jalan.





Setelah berdebat dengan dirinya sendiri selama bertahun-tahun akhirnya Andromeda harus menerima saran dari sahabatnya. Dia tidak bisa mendapatkan jawaban apapun hanya dengan bertengkar dengan dirinya sendiri.

“Jadi akhirnya lo menyadari bahwa lo cinta sama dia?” kata Aryo setelah mendengar cerita Andromeda tentang Andrea.

“Nggak butuh waktu lama untuk menyadarinya, Yo,” jawab Andromeda.

“Tapi seperti yang selalu terjadi sama lo, selalu butuh waktu lebih lama untuk berani mengakuinya kan?”

Andromeda mengangkat bahunya. Pasrah akan tudingan sahabatnya.

“Dulu juga Andini yang duluan menyatakan cinta ke lo kan? Dan sekarang lo mengharapkan Andrea melakukan hal yang sama sehingga lo nggak perlu bersusah payah mempertaruhkan harga diri lo yang tinggi itu hanya karena takut ditolak kan?”

Andromeda terpaksa menerima tuduhan sahabatnya lagi. Karena memang itulah yang terjadi. Dia terlalu takut ditolak. Dia tidak pernah ditolak. Karena dia memang tidak pernah menyatakan cinta. Cinta pertamanya adalah Andini. Dan gadis itulah yang lebih dulu menyatakan cinta kepadanya. Dia tidak pernah punya pengalaman mengejar gadis manapun.

“Kalau gitu, berhenti berharap pada Andrea, Ndro. Percuma. Sia-sia,” kata Aryo akhirnya. Patah arang dia menghadapi sahabatnya yang satu itu.

“Maksud lo?”

“Kalau benar seperti yang lo ceritakan tentang masa lalunya, Andrea bahkan nggak akan menerima lo meski lo menyatakan cinta.”

“Maksud lo?”

“Dia bahkan nggak akan menerima lelaki manapun juga.”

“Hah?”

“Dia pernah dikhianati tepat di hari pernikahannya. Dia nggak akan percaya lagi sama kata-kata cinta dan pernikahan.”

“Lo harusnya jadi psikolog aja Yo.”

“Emang gue ini psikolog, Andro! Lo amnesia ya?”

Andro tertawa. Menertawakan kegoblokannya. Bisa-bisanya dia lupa bahwa sahabatnya sendiri memang seorang psikolong.

“Andai lo mengakui cintapun, dia nggak akan menerima lo. Apalagi kalau lo berharap dia yang bilang cinta duluan. Mati aja lo, Ndro! Sampai kiamat juga nggak bakal terjadi. Lo yang harus mengambil tindakan. Mau maju? Atau mundur?”

Andromeda terdiam.

“Bahkan meski lo sudah maju, kemungkinan besar dia bakal melarikan diri. Menjadikannya ibu dari Andari nggak akan semudah membuat Andini menjadi istri lo. Hanya kalau lo siap ditolak, dan siap mengejarnya, baru lo boleh menyatakan cinta padanya.”





Seperti kata Aryo, bagi Andro yang sama sekali belum pernah mengejar gadis manapun, memutuskan untuk menyatakan cinta pada gadis dengan kemungkinan penolakan 99%  adalah suatu pertaruhan yang berat atas harga dirinya. Tapi tidak menyatakannya sama sekali hanya membuatnya makin tersiksa dari hari ke hari. Akhirnya di suatu sore, selepas jam kantor sehingga para karyawan sudah pulang, Andromeda memutuskan untuk membuat suatu gebrakan dalam hidupnya.

Andromeda melihat Andrea sendirian di ruangannya. Gadis itu menatap laptopnya dengan serius. Dia suka melihat mata tajam dan kening berkerut itu.

“Pulang jam berapa, Ndre?” tanya Andromeda, sambil melangkah masuk ke ruangan Andrea dengan kebulatan tekad.

“Eh, Pak Andro! Kok belum pulang? Mau nagih rilis produk apa lagi nih?” sambut Andrea, waspada, tapi tetap tersenyum.

“Emangnya saya menemui kamu kalau nagih rilis aja?”

Andrea nyengir. “Nggak sih. Kalau nagih monthly report juga Bapak langsung datang kesini.”

“Nyindir banget deh kamu.”

Andrea tertawa. Andromeda menyukai tawa itu. Tapi dia bertanya dalam hati, apakah di semua tawa yang dilihatnya tidak pernah ada yang berupa kepura-puraan untuk menutupi kepedihan hatinya?

“Jadi, pulang jam berapa, Ndre?” tanya Andro sekali lagi.

“Sebentar lagi pulang kok Pak, abis sholat Maghrib. Tinggal periksa Validation Report aja, harus rilis besok soalnya.”

“Temani saya makan malam yuk, Ndre,” kata Andromeda dengan gaya santai, padahal perasaannya nggak santai sama sekali.

 “Eh? Dalam rangka apa Pak? Bapak nggak ulang tahun kan?”

“Nggak. Pengen ngobrol aja sama kamu,” jawab Andromeda sambil komat-kamit dalam hati, berdoa semoga Andrea tidak menolak ajakan makan malamnya.

“Ada masalah sama Andari ya Pak?” terka Andrea kemudian, tampak khawatir.

Melihat kekhawatiran Andrea terhadap putri tunggalnya membuat Andromeda makin mencintai gadis itu.

“Bukan mau ngomongin Ari kok,” jawab Andromeda kemudian. “Ya udah, cepat selesaikan review Validation Reportnya. Saya datang lagi setelah sholat Maghrib ya.”

Agak bengong, Andrea hanya mengangguk linglung. Kemudian melihat bosnya pergi dengan tatapan bingung.





“Saya cinta sama kamu, Andrea.”

Setelah melatihnya selama berhari-hari, akhirnya Andromeda berhasil juga mengucapkan kata-kata itu. Dia bahkan telah melatih banyak kata-kata untuk meyakinkan Andrea jika Andrea benar-benar menolaknya.

Andrea berhenti memakan bihun goreng spesialnya. Dia segera kehilangan selera atas makanan kesukaannya sendiri.

Andrea mengamati wajah Andromeda, kemudian tersenyum. Andromeda jadi salah tingkah dan makin was-was melihat senyum Andrea.

“Nggak perlu mengatakan cinta hanya demi Andari, Pak. Saya tetap menyayangi Andari meski saya bukan ibunya,” kata Andrea sambil tersenyum maklum.

“Tapi kamu nggak bisa selamanya menyayanginya.”

“Kenapa nggak bisa?”

“Kalau kamu sudah punya anak sendiri nanti ...”

“Saya nggak akan menikah, Pak,” potong Andrea cepat.

“Apa?” Andromeda kaget dan tidak mengerti.

“Saya nggak akan menikah. Dan nggak akan punya anak sendiri. Saya bisa tetap menyayangi Andari.”

Ekspresi menderita terpancar di wajah gadis itu ketika mengatakan hal itu.

 “Jadi Bapak nggak usah mengatakan cinta kepada saya hanya karena takut Andari kehilangan saya,” lanjut Andrea.

“Saya memang takut kamu nggak akan menyayangi Andari lagi. Tapi lebih dari itu, saya sendiri yang takut kehilangan kamu.”

Andrea tersenyum sedih. “Nggak perlu mengatakan hal seindah itu hanya demi orang lain, Pak. Saya sudah bilang, Andari nggak akan kehilangan saya.”

“Ini bukan demi Andari, Ndre. Ini tentang saya dan kamu.”

Senyum Andrea lenyap.

“Jangan diteruskan, Pak. Kita selesaikan makan malam kita, lalu kita anggap obrolan ngaco ini nggak pernah terjadi,” kata Andrea, serius.  

“Kenapa kamu nggak mau menikah?” tanya Andromeda, mulai mengkonfrontir.

“Malas,” jawab Andrea, seperti selalu.

“Masih trauma dengan pernikahanmu dulu?”

Andrea meletakkan sendok dan garpunya dengan dentingan keras. “Saya nggak mau menemani Bapak makan lagi kalau kita masih membahas hal absurd ini.”

“Belajarlah mengenal saya, Andrea. Saya bukan orang brengsek seperti calon suamimu dulu itu,” Andromeda makin nekat. Bahkan meski ia telah melihat wajah Andrea makin pucat.

“Saya sudah mengenal Bapak dengan baik selama lima tahun ini. Kalau Bapak lupa, saya malah hapal bahwa setiap akhir bulan Bapak selalu meneror saya merilis produk dan tiap Bapak butuh teman curhat Bapak pasti datang membawakan martabak ke ruangan saya. Tapi itu nggak berarti apa-apa, Pak.”

“Kalau kamu sudah mengenal saya, belajarlah mencintai saya, seperti kamu menyayangi Andari. Kita nggak perlu menikah kalau ternyata kamu tetap nggak bisa mencintai saya.”

Dunia Andrea serasa lumpuh. Enam tahun lalu dia pernah mendengar kata-kata indah seperti itu. Tapi akhir ceritanya sama sekali tidak indah.

Dengan menahan air mata, Andrea menyambar tasnya. Tanpa menghabiskan makan malamnya atau pamit kepada bosnya, dia segera berdiri dan pergi dari restoran itu.

Bergegas Andromeda mengejar Andrea dan menyambar tangannya sebelum gadis itu pergi lebih jauh.

“Jangan bergaya seperti remaja, Pak. Lepasin tangan saya!” kata Andrea mengancam.

“Kenapa nggak bisa belajar mencintai saya, Andrea?”

“Cinta bukan hal yang bisa dipelajari, Pak. Dan saya pernah bertemu dengan laki-laki seperti Bapak yang meminta saya belajar mencintai. Dia mengatakan cinta pada saya demi orang tuanya. Bapak mengatakan cinta demi putri Bapak. Kalian sama sekali nggak ada bedanya! Brengsek!

Andromeda terpukul dengan kata-kata Andrea. Dia sudah sering mendengar Andrea marah, tapi baru kali itu ia mendengar Andrea memaki. Jika bukan karena terlalu terluka, tidak mungkin Andrea berkata sekasar itu.

Andromeda kehilangan semua jurus yang telah dipersiapkannya untuk meyakinkan Andrea tentang cintanya. Lelaki di masa lalu gadis itu sudah begitu menanamkan kenangan buruk tentang cinta rupanya.

Andrea menatap Andromeda dengan tatapan pedih.

“Kenapa Bapak nggak menikah lagi sejak ibunya Andari meninggal?” tanya Andrea akhirnya. Andromeda bengong, tidak siap dengan pertanyaan tiba-tiba seperti itu.

Dan sebelum Andromeda sempat menjawab, Andrea menjawab sendiri dengan asumsinya: “Karena Bapak masih mencintai ibunya Andari kan? Orang tidak bisa memulai yang baru kalau tidak pernah melepas yang lama, Pak.”





Belajarlah mencintaiku, seperti aku akan belajar mencintaimu. Kita nggak perlu menikah kalau pada akhirnya kita tetap nggak bisa saling mencintai.”

Setelah bertahun-tahun tidak pernah menangis lagi, tangis Andrea akhirnya pecah ketika dia masuk ke mobilnya. Mendengar kata-kata yang pernah diucapkan lelaki itu kini diucapkan lagi oleh Andromeda membuat hatinya merasa sakit lagi.

Dan rasa sakit atas kata-kata Andromeda belum seberapa dibandingkan kebungkaman Andromeda ketika Andrea mengkonfrontirnya tentang mendiang istrinya. Andromeda sama sekali tidak menjawab atau mengelak ketika ia menanyakan cinta Andromeda kepada mendiang istrinya. Andromeda tidak mengingkarinya, berarti ia memang masih sangat mencintai mendiang istrinya kan? Jadi mengapa Andromeda harus menyatakan cinta padanya sementara cinta lelaki itu masih selalu untuk perempuan itu?

Laki-laki tidak pernah bisa melupakan cinta pertamanya. Apalagi jika wajah wanita pertamanya itu selalu hadir di hadapannya dalam rupa putri tercintanya. Tidak ada yang bisa menghapus cinta macam itu. Tidak ada yang akan bisa menggantikan cinta sedalam itu. Andrea merasa tidak mungkin menang bersaing dengan cinta pertama Andromeda itu.

Maka demi melindungi hatinya sendiri, meski ia sendiri mencintai Andromeda, Andrea menolaknya. Pernyataan cinta lelaki itu pasti semata karena Andari. Dan Andrea tidak bisa menerima cinta semacam itu. Dia sudah pernah merasakan sakitnya cinta yang dijalani hanya demi orang lain.





Sudah satu jam lamanya Andromeda sampai di rumahnya. Dia sudah mematikan mesin mobilnya, tapi tidak juga keluar dari mobilnya. Dia masih syok dengan pertanyaan Andrea. Dan dia memaki dirinya sendiri karena dia sudah mengetahui jawaban atas pertanyaan itu, tapi dia tahu bahwa dia tidak berhak menjawab begitu.

Kamu pintar, Andrea, aku memang masih mencintai Andini. Tapi tidak bolehkah aku mencintaimu selagi aku mengenangnya?, tanya Andromeda dalam hati, frustasi.





Semua orang punya masa lalu, tapi tidak semua orang punya masa depan,

Terutama orang-orang yang membiarkan hidupnya berhenti di masa lalu.





Andrea bersungguh-sungguh dengan kata-katanya. Ketika Andromeda bertemu dengan Andrea pada monthly meeting keesokan paginya, sikap Andrea seperti hari kemarin, kemarin dulu, dan seperti selama ini. Biasa saja. Dia menganggap kejadian malam itu tidak pernah terjadi dalam hidupnya. Ketika matanya bertemu dengan Andro, Andrea bahkan tidak memalingkan wajah dan malah tersenyum normal.

Yang tidak biasa justru Andromeda. Dia tidak mengomeli presentasi Andrea yang menampilkan deviasi konyol akibat kesalahan kode produk packaging material. Dia sebenarnya malah hampir tidak bicara apa-apa sepanjang monthly meeting kali itu. Hal ini membuat para manager bawahannya merasa lega dan penasaran di saat bersamaan. Lega karena tidak menerima omelan, dan penasaran dengan sikap bos mereka yang terlalu baik.





Begitu juga perasaan Andromeda setiap kali melihat Andrea. Dia juga merasa lega dan penasaran. Lega karena sikap Andrea terhadapnya tidak berubah, sekaligus penasaran mengapa sikap Andrea seperti tidak pernah terjadi apa-apa di antara mereka?

Satu-satunya yang berubah dari Andrea hanyalah jadwal kerjanya. Andrea tidak pernah lagi pulang selewat Maghrib. Jam lima sore dia sudah memasukkan laptopnya ke dalam tas dan bersiap pulang. Hal ini jelas suatu usaha melarikan diri. Meski sikap Andrea terhadapnya biasa saja, Andro tahu bahwa Andrea sedang menghindarinya. Dengan pulang tepat waktu, Andrea tidak memberikan kesempatan kepada Andromeda untuk bicara berdua saja dengannya.

Hanya kemacetan, ternyata, yang bisa menahan Andrea tetap berada di kantor hingga lewat senja. Jumat sore itu Andrea sudah siap keluar dari gerbang kantornya ketika ia melihat antrian panjang mobil-mobil, hanya 10 meter dari gerbang. Membayangkan kemacetan semacam itu terjadi berjam-jam pada dirinya, Andrea mengurungkan niatnya untuk pulang sore. Lebih baik pulang tengah malam sekalian, kalau perlu. Kalau pulang sekarangpun, dengan kondisi kemacetan seperti itu, pasti dia sampai di rumah tengah malam juga.

Andrea terpaksa memarkirkan kembali mobilnya dan kembali ke ruangannya. Dan langkahnya terhenti tepat sebelum mencapai pintu ruangannya. Seseorang berdiri di sana. Berbalik ke arahnya ketika mendengar langkah kakinya, lalu terkesiap. Tapi kemudian tersenyum.

“Ngapain Bapak kesini? Dokumen ACTD Metrin Thailand sudah saya approve dan kirim ke Regulatory, Pak,” kata Andrea sambil membuka pintu ruangannya. Berusaha bersikap biasa. Padahal hatinya sudah kebat-kebit. Setelah seminggu berusaha menghindar, sekarang dia tertangkap basah.

“Kok balik lagi? Nggak jadi pulang?” Andromeda malah balik bertanya, alih-alih menjawab pertanyaan Andrea. Dia mengikuti Andrea masuk ke ruangannya.

Andrea rasanya ingin menghalangi bosnya itu masuk ke ruangannya. Tapi masa dia harus mengusirnya?

“Di depan kantor macet banget, Pak. Mending saya pulang jam 10 malam sekalian deh, daripada bermacet-macet ria.”

Andro tersenyum mendengar jawaban Andrea. Senyum yang membuat Andrea meleleh, sekaligus takut.

“Alhamdulillah, hari ini macet,” kata Andro.

“Hah?” Andrea tidak mengerti. Dia meletakkan tas kerja dan tas laptopnya kembali di mejanya, lalu menoleh kepada Andro.

“Seminggu ini saya selalu kemari selewat jam kantor, berharap bisa ketemu kamu berdua aja. Hari ini untungnya macet, jadi bisa ketemu kamu.”

Andrea mulai merasa tidak enak.

“Lha, hampir tiap hari kita meeting bareng, Pak. Masalah kantor kan bisa dibicarakan pas meeting.”

“Tapi masalah pribadi, nggak bisa kan?”

“Emang Bapak ada masalah sama saya? Perdebatan kita kan selalu pertengkaran seputar kerjaan, Pak.”

“Kamu pasti bisa menang Piala Citra, Ndre. Akting kamu bagus banget,” jawab Andro, jelas dengan nada menyindir.

“Makasih,” Andrea menjawab singkat. Nadanya datar.

“Kok kamu bisa sih bersikap seolah-olah nggak pernah terjadi apa-apa sama kita, Ndre?” nada suara Andro sedikit meninggi.

“Lah, emang nggak pernah terjadi apa-apa.”

“Setelah saya mengaku cinta sama kamu minggu lalu?”

“Nggak usah kuatir, Pak. Saya tahu Bapak nggak benar-benar bermaksud begitu,” Andrea menjawab lugas.

“Tapi saya memang bermaksud begitu.”

Andrea berpaling. “Pantesan dari tadi panas banget. Saya belum nyalain AC lagi.” Dia lalu sibuk mencari remote AC, dan menekan tombol ON-nya.

Andro menghentikan gerakan sok paniknya Andrea dengan menyambar tangan gadis itu. Spontan, Andrea menarik balik tangannya.

“Kamu cinta juga sama saya kan Andrea?” tanya Andro, frontal.

Absolutely, kata hati Andrea. “Impossible!” kata mulutnya.

“Semua orang punya masa lalu, Andrea. Tidak bisakah melupakan laki-laki brengsek itu?” Andro makin sinting.

Dia sudah hilang akal, bagaimana harusnya mengkonfrontir Andrea. Bertahan berhari-hari tanpa arah seperti yang dilakukannya seminggu terakhir ini sungguh membuat frustasi.

“Laki-laki brengsek itu dulu pernah bilang cinta sama saya, demi orangtuanya. Dan sekarang Bapak melakukan hal yang sama demi Andari, anak Bapak. Bapak sama brengseknya, kalau begitu!”

JLEB!!!

“Saya melakukannya demi diri saya sendiri. Karena saya mencintai kamu. Bukan karena Andari. Jadi bisakah melepaskan masa lalu kamu dan memulai dengan saya?” kata Andromeda, sambil menatap Andrea, dalam.

Andrea balas menatap dengan sinis.

“Bisa!” jawab Andrea, menantang. “Asal Bapak juga bisa melupakan ibunya Andari!”

Andro serta-merta terdiam. Tapi beberapa detik kemudian dia tertawa. Menertawakan diri, sebenarnya.Andrea mengernyit, bingung dengan sikap Andro.

“Lucu banget kita ini!” kata Andro ketika tawanya mereda. “Kita ini saling mencintai, tapi harus menghadapi masa lalu orang yang dicintainya. Kamu takut bersaing dengan Andini, masa lalu saya yang indah. Sementara saya sendiri sebenarnya nggak tahu apakah saya bisa mengalahkan ketakutan kamu terhadap kata cinta dan pernikahan, akibat masa lalu kamu yang kelam.

Andrea melengos. Tepat seperti itulah yang dirasakannya. Dan Andromeda berhasil menerka hatinya dengan tepat.

Andromeda sekali lagi mencoba menggenggam tangan Andrea. Saat Andrea berusaha menarik tangannya, Andro berkata: “Dengar saya sebentar aja,” dengan suara lembutnya, membuat sikap keras kepala Andrea melunak.

Andro menggenggam tangan kanan Andrea dan menepuk-nepuknya dengan lembut. Dan Andrea berjuang sekuat tenaga agar air yang sudah menggenang di kelopak matanya tidak jatuh.

“Kamu bilang, orang nggak bisa memulai yang baru tanpa melepas yang lama?” Andro bertanya. Tapi dia segera melanjutkan kalimatnya tanpa menunggu jawaban Andrea. “Kamu mungkin benar. Tapi kalau begitu, harusnya Tuhan membuat kita amnesia aja setiap kita selesai dengan satu hubungan.”

Sekarang Andro membelai lengan Andrea, membuat gadis itu kaku. Dia belum pernah diperlakukan semanis ini oleh lelaki lain, bahkan oleh lelaki brengsek yang dulu berencana menikahinya itu.

“Padahal melepaskan bukan berarti harus melupakan kan, Andrea? Melepaskan hanya berarti kamu terus melangkah bersama ingatan-ingatan itu. Mengingat masa lalu bukanlah dosa. Tapi membiarkan ingatan masa lalu mengikatmu sehingga kamu nggak bisa melangkah ke depan, itulah yang salah.

Andrea tertegun.

“Jangan minta saya melupakan Andini, Ndre, karena itu nggak mungkin. Darinya saya mendapatkan Andari. Tapi kamu bisa percaya bahwa cinta saya ke kamu, dan ke Andini, tidak sama. Kalian punya tempat yang berbeda di hati saya, dalam porsi yang sama banyaknya.”

Andrea masih diam. Kalau saja Andro sekedar merayu dan tidak serius terhadapnya, harusnya Andro bisa saja mengatakan bahwa dia akan melupakan Andini demi Andrea. Tapi mendengar jawaban Andro yang seperti itu, meski di satu sisi Andrea merasa sakit karena pria itu dengan tegas menyatakan tidak bisa melupakan mendiang istrinya, tapi di sisi lain dia juga merasakan keseriusan lelaki itu. Pria itu bukan sekedar sedang menggombal.

Andro menghela nafas panjang sebelum mengeluarkan jurus terakhirnya.

“Kalau kamu nggak bisa melepaskan diri dari masa lalu kamu, bisakah setidaknya mengijinkan saya membantu kamu melepaskan diri? Hanya kalau kamu mengijinkan.”

Postur tubuh tinggi, mata hitam, alis lebat, rahang kokoh dan kelabu adalah kombinasi yang sempurna untuk meluluhkan wanita manapun. Ditambah lagi dengan kata-kata seperti itu, hanya wanita yang hatinya sudah mati yang tidak akan tersentuh. Dan meski Andrea berhati batu, ternyata kata-kata Andro masih bisa memberi efek seperti air yang menetesi batu itu hingga berlubang.

Dan kini si hati batu itu luluh, meneteskan air mata.

Tangan Andro terangkat, menyentuh pipi gadis itu. Membuat tangisan Andrea malah makin menjadi-jadi. Andro mengusap pipi basah itu pelan. Mata hitam bertemu mata hitam. Lalu seperti seluruh alam juga sudah tahu apa yang seharusnya terjadi, Andro mencium bibir Andrea. Membuat suara tangis Andrea terhenti, dan air matanya makin deras mengalir.

Sekarang Andrea tahu mengapa orang selalu menutup matanya saat berciuman. Karena kita seringkali tidak kuat melihat sesuatu yang terlalu indah. Karena hal-hal yang terlalu indah terkadang hanya bisa dirasakan, bukan untuk dilihat. Dan itu pertama kalinya Andrea merasa senyaman itu bersama seseorang.

Setelah rasanya bagai seabad yang sangat indah bagi Andrea, Andro melepaskannya. Lalu lelaki itu tersenyum padanya. Menatap mata Andrea, masih menggenggam jemarinya, sambil bertanya dengan manis: “Mau ya, jadi masa depan saya?”

Dengan muka merah padam, dengan gaya galak demi menutupi salah tingkah, Andrea menjawab: “Kalau saya nggak mau, dari tadi saya udah nonjok muka Bapak karena berani mengambil ciuman pertama saya.”

 “Ini juga pertama kalinya buat saya,” jawab Andro.

Andrea mengernyit senewen. Andro seperti sedang mengejeknya. Pertama kali apaan? Udah profesional gitu gayanya, gerutu Andrea dalam hati.

Andro menyadari tatapan sinis Andrea, lalu tersenyum. “Pertama kalinya saya ciuman basah-basahan begini,” katanya sambil mengeringkan pipi Andrea dengan sapu tangannya.

Pipi Andrea yang sudah memerah, kini menjadi seperti udang rebus. Demi menyelamatkan harga dirinya, dia melengos. Tapi Andro menarik tangannya lagi.

 “Kalau gitu mungkin mulai sekarang kamu bisa mulai panggil saya Mas.

Andrea mengernyit, seolah jijik. “Mas apaan? Sok muda banget deh Pak. Lima belas tahun lebih tua dari saya, ya emang udah sepantasnya saya panggil Bapak, kali!”

Andromeda manyun. Andrea tersenyum. Lalu Andromeda menarik gadis itu ke pelukannya, dan sengaja memeluknya dengan terlalu keras, sampai gadis itu menjerit ... sebagai balasan atas kata-katanya barusan.





Hanya kalau kamu mengijinkan orang lain membantumu melepaskan masa lalu, kamu mungkin bisa menjalani masa depanmu dengannya.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar