"Udah mau pulang?"
"Iya." Haiva menjawab singkat sambil merapikan dokumen yang berserakan di mejanya.
"Jam segini? Tumben."
"Hmmm." Dengan satu gerakan sigap, Haiva memasukkan beberapa dokumen sekaligus ke dalam tasnya. Ia berniat menyelesaikan pekerjaannya di rumah saja.
"Buru-buru amat?"
"Udah ditungguin."
"Sama siapa? Pacar?"
Haiva hanya menjawab dengan berdehem pelan.
Mata Haris langsung membelalak. "Hah! Emang lo punya pacar?"
"Hahaha."
Haiva tidak menjawab. Ia hanya tertawa
* * *
"Eh Va, udah mau pulang?" Haris bertanya selagi men-shutdown laptopnya.
"Iya. Lo udah mau pulang juga kan?" Haiva menjawab sambil membereskan validation reportnya.
"Mau pulang bareng?" Haris menawarkan.
"Makasih Ris. Tapi gue udah ditungguin pulang bareng."
"Hah? Pulang bareng siapa lo? Pacar?"
Haiva tertawa. Haris manyun.
"Beneran lo udah punya pacar sekarang ya Va?"
"Ah, kata siapa?"
"Itu lo udah beberapa kali dianter pulang. Sama cowok kan?"
"Siapa bilang yang nungguin gue pulang itu cowok?"
"Tapi emang cowok kan?"
"Iya sih."
Haiva menyambar tasnya lalu melambai cepat kepada Haris.
"Duluan ya Ris."
Haris hanya memandang Haiva yang keluar ruangan dengan wajah bete.
Sudah 3 tahun mereka menjadi rekan kerja, baru belakangan ini dia melihat Haiva pulang kerja bersama laki-laki lain. Padahal biasanya Haiva nebeng pulang bareng dirinya. Haris jadi bete melihat perubahan Haiva yang tidak lagi seperti dulu, yang selalu menunggunya untuk pulang bersama.
Didera rasa penasaran, Haris membuntuti Haiva dari jauh dan mendapati gadis itu naik ke sebuah mobil yang sudah dikenal Haris. Mobil Pak Herman, IT Director perusahaannya.
Eh? Pak Herman? Kan beliau udah punya istri? Haiva nggak mungkin pacaran sama Pak Herman kan?, Haris menerka-nerka dalam hati.
* * *
"Lo kemarin pulang bareng Pak Herman ya?" tanya Haris keesokan paginya begitu bertemu Haiva.
"Lo lihat ya?"
Salah tingkah sesaat, Haris khawatir ketahuan membuntuti Haiva kemarin. Tapi Haris dengan cepat mengatasi salah tingkahnya. Ia buru-buru pasang tampang cool.
"Lha kan kemarin kita bareng keluar ruangan, jadi gue lihat lo naik mobil Pak Herman."
"Ooh."
"Jadi lo belakangan ini kalo nggak bareng gue, lo pulang bareng Pak Herman?"
"Yoi. Doi kan baru pindah rumah, deket rumah gue. Lumayan kalo nebeng beliau, bisa sampe rumah. Kan kalo nebeng lo, gue cuma nebeng sampe Kampung Melayu doang."
"Jiaaahh,,, ngakunya dijemput pacar? Nggak tahunya sama Pak Herman. Bohong lo ya. Padahal masih jomblo. Sok punya pacar aja lo."
"Dih. Siapa yang bilang gue dijemput pacar?"
"Lo yang bilang."
"Gue nggak pernah bilang bahwa gue dijemput pacar."
"Kalo gue ajak pulang bareng, lo jawab gue udah ditungguin."
"See? Gue nggak pernah bilang dijemput. Apalagi sama pacar. Kan lo yang nyangka gue pulang bareng pacar. Gue nggak pernah meng-iya-kan lho."
Haris manyun.
Haiva tertawa. "Jealous lo ya?"
"Dih. GR aje lo," kata Haris sok cool.
Haiva tertawa lagi. Padahal dalam hati ia berharap Haris benar-benar cemburu padanya.
* * *
"Pulang duluan ya Ris."
"Hah? Validation report lo udah beres?"
"Belom. Gue kerjain di rumah aja. Gue mesti buru-buru pulang."
"Udah ditungguin?"
"Yoi."
"Sama siapa?"
"Pacar."
Haris tertawa. Meledek. "Ah,paling-paling pak Herman lagi. Ahahahaha."
Haiva cuma tersenyum.
"Udah ya Ris, gue duluan. Daaah."
Haris membalas lambaian tangan Haiva sekilas sebelum kembali menekuni desain artwork packaging materialnya.
Hamka datang ke ruang kerja Haris sepuluh menit kemudian.
"Tumben tuh si Haiva udah pulang."
"Iye tuh," jawab Haris singkat.
"Dia pulang bareng cowok pula. Tadi gue lihat di parkiran."
"Paling nebeng Pak Herman."
"Bukan mobilnya Pak Herman sih kayaknya."
"Paling nebeng orang lain kalo gitu."
"Iya kali ya? Eh, tapi lo ga jealous?"
Haris menghentikan pekerjaannya demi meladeni Hamka.
"Kenapa mesti jealous?"
"Karena dia nggak nebeng pulang bareng lo lagi."
Haris tertawa.
"Serius gue," kata Hamka, "Lo naksir Haiva kan? Nggak cemburu dia udah punya pacar?"
"Kata siapa itu pacarnya? Ah, itu mah sok-sokannya dia aja udah punya pacar. Gue yakin dia masih jomblo. Cuma pengen bikin gue jealous aja tuh."
"Tuh kan, lo jealous kan?"
"Biasa aja. Gue tahu itu bukan pacarnya. Dia mah udah disorientasi definisi pacar. Semua orang yang nganter dia pulang pasti dibilang pacar. Pak Herman aja dibilang pacar."
"Tapi yang tadi gue lihat bukan Pak Herman. Cowok. Masih muda. Curiga gue, mungkin beneran pacarnya Haiva."
"Ah, paling-paling karyawan dari divisi lain yang rumahnya searah sama dia."
"Lo tuh katanya suka sama Haiva. Kok nggak jealous? Cemburu itu tanda cinta,tau."
"Ngapain cemburu? Gue yakin si Haiva belum punya pacar kok."
"Nyesel lo kalo beneran tuh cowok adalah pacarnya Haiva."
Haris mendelik.
"Lo belom nembak dia juga kan Ris? Ntar keburu diambil orang lho."
"Nggak. Gue tahu kok dia juga naksir sama gue."
"Dih. GR amat lo. Tau dari mana si Haiva naksir lo?"
"Tuh, dari si Hana, sahabatnya Haiva. Dia bilang ke gue bahwa Haiva juga naksir gue."
"Nah terus? Kenapa lo belum bilang cinta juga ke Haiva?"
Haris tersenyum.
"Ih, gue geregetan sama lo. Udah jelas-jelas lo naksir dia. Lo juga udah tau bahwa dia naksir lo. Nunggu apa lagi? Nunggu Haiva diambil orang lain?"
"Gue nunggu waktu yang tepat."
Hamka menggelengkan kepala. "Nunggu waktu yang tepat? Waktu yang tepat itu bukan ditunggu, Ris, tapi dibuat."
Haris hanya tersenyum. Dia tahu tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Dia percaya Haiva juga mencintainya dan akan menunggunya menjemput hati gadis itu.
* * *
Weekly meeting selalu diadakan tiap hari Jumat pagi, 15 menit sebelum jam kerja dimulai. Bukan jenis meeting formal, tapi pertemuan itu diadakan sebagai ajang silaturahmi untuk share informasi dan curhatan para karyawan departemen QA seputar pekerjaan maupun pribadi, demi menjaga kinerja dan hubungan interpersonal yang baik antar rekan kerja. Pada saat weekly meeting itulah Haiva mengumumkan hal penting. Ia menbagikan sebuah undangan kepada masing-masing personil QA.
"Lo nikah, Va? Kok mendadak?" tanya Hilda takjub.
"Ah, nggak mendadak kali."
"Tapi gue nggak pernah tahu bahwa lo punya pacar."
"Ya emang kalo gue punya pacar, mesti gue woro-woro gitu?"
"Jangan-jangan yang beberapa bulan ini sering jemput lo pulang ya?" tanya Hamka cepat.
"Nah, pinter nih si Hamka," jawab Haiva sambil tertawa tersipu.
"Bukannya ... lo pulang bareng Pak Herman?" akhirnya Haris bersuara dengan kikuk.
Hamka melirik Haris. Tampak jelas wajah Haris yang terpukul.
"Seringnya sih gue nebeng Pak Herman. Tapi kadang-kadang dijemput juga sama pacar," kata Haiva, "Lha kan tiap mau pulang, gue pasti pamit sama lo dan bilang bahwa gue dijemput pacar."
"I thought ... you're kidding me..." Haris bergumam lirih.
Haiva tertawa.
Haris bersitatap dengan Hamka, dan sahabatnya itu memberikan tatapan mengejek.
Gue bilang juga apa, begitu kira-kira Haris mengartikan tatapan Hamka yang penuh makna itu, waktu yang tepat itu bukan ditunggu. Lo yang harus menciptakan waktu yang tepat itu. Makan tuh gengsi!
Haris makin nelangsa melihat tatapan Hamka yang seperti sedang mencemoohnya.
Hana, lo kok nggak bilang bahwa Haiva udah punya pacar? , Haris mengirim SMS kepada Hana, sahabat Haiva yang bekerja di departeman Regulatory, setelah selesai weekly meeting.
Beberapa menit kemudian, dia menerima balasan SMS Hana: Lha, gue kira lo udah tahu bahwa Haiva udah punya pacar. Kata Haiva, dia udah ngasih tau lo.
Dengan cepat Haris membalas: Kalo gue udah tau, gue nggak mungkin sekaget ini terima undangan nikahnya. Lo bilang dia cinta sama gue. Gue lagi nunggu waktu yang tepat buat bilang ke dia. Eh tiba-tiba dia udah mau nikah. Lo bohongin gue ya?
Tidak sampai semenit kemudian balasan Hana datang. Isinya sangat menusuk Haris: Haris, Haiva emang cinta sama lo. Tapi cinta nggak menunggu. Cinta itu memperjuangkan atau melepaskan, bukan menunggu. She ever loved you. She loves you no more. Dia udah menemukan laki-laki yang memperjuangkan dia, bukan hanya menunggunya.
Haris terpaku memandang undangan pernikahan itu. Membaca nama lelaki itu
HASAN.
HAIVA dan HASAN.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar