Luna Lovegood inside. Noda Megumi outside.

Senin, 26 Desember 2016

SEJAK MENIKAH

Dulu waktu saya n si pacar masih temenan, saat membonceng motornya lalu tiba2 lewat seseorang yg mengendarai motor sport, saya sering otomatis bilang "wah, motornya keren! Orangnya pasti ganteng ni!"
Waktu kami sekolah di Belanda, saat naik sepeda bersama (bukan boncengan) dan ada motor keren yg lewat, saya juga otomatis berucap serupa.
Saat saya pulang ke Indonesia, saya kaget krn ternyata si pacar (yg saat itu sdh mjd tunangan saya) datang ke rumah mengendarai motor sport yg kece.
"Kok ganti motor?" tanya saya waktu itu.
"Kenapa? Keren kan?" jawabnya, malah balik bertanya.
Beauty is pain, katanya.
Untuk terlihat keren jg tidak mudah. Naik motor sport memang kelihatannya keren sih, tapi jelas lebih ribet dibanding naik motor bebek atau motor matic biasa. Untungnya kaki saya lmyn panjang shg saya tdk tll kesulitan naik motor. Kesulitan naik motor sport baru saya rasakan setelah menikah, terutama saat belanja bulanan. Tidak seperti motor bebek dan motor matic yg tersedia tempat untuk menggantung tas2 belanjaan di bagian depan motor, motor sport tdk memiliki fasilitas ini. Akibatnya, kami tdk bs membeli byk barang saat belanja bulanan. Belakangan, kami tdk lagi naik motor kl belanja bulanan. Kami memilih pergi n pulang belanja naik taksi online.
Setelah menikah, menjadi keren tdk lagi penting. Yg penting adalah manfaatnya.
Sejak itu, saya memutuskan untuk lebih berhati2 bicara pada si pacar. Kalau dulu dia membeli motor sport hanya gara2 saya srg nyeletuk "motornya keren, orangnya pasti ganteng!", takutnya besok2 dia korupsi hanya karena saya srg nyeletuk "aduh biaya pendaftaran sekolahnya kakak mahal ni, uang belanja buat beli susu adek jg kurang, cicilan rumah belum dibayar pula."
Kan katanya di balik lelaki hebat ada perempuan hebat, dan dibalik lelaki yg korupsi ada perempuan yg pengeretan (tahu istilah "pengeretan" kan?).
* * *
Belakangan ini saya baru tahu bahwa ternyata si pacar udh naksir sama saya jauh sebelum kami sama2 sekolah di Belanda.
"Kamu sih nggak peka," kata si pacar, memprotes ketidak-pekaan saya shg tdk menyadari bhw dia naksir sama saya sjk lama.
Sbnrnya bukannya saya tdk peka, tapi sejak beberapa tahun lalu, saya memang sengaja menumpulkan perasaan saya spy ga gampang GR atau baper. Tapi sejak menikah, saya menajamkan kembali kepekaan perasaan saya spy bisa mendeteksi kode2 halus semacam "hari ini masak apa ya?" sbg kata lain dari "bukan oseng2 lagi kan?"
Mungkin gara2 hal ini, sampai ada yg pernah blg "Sejak nikah sama Radit, nia jadi baperan."
Nyatanya, sejak menikah, memang ada beberapa hal yg berubah pd saya. Selain jadi lebih hati2 dalam bicara, saya jg jd lebih peka thd bbrp hal: tdk hanya thd perasaan, tp jg thd uang.
Saat ini, saat mengambil keputusan, ada 1 hal tambahan yg saya pertimbangkan, yaitu keluarga. Apakah hal yg saya lakukan/ putuskan ini akan berdampak baik atau buruk untuk kami berdua.
Apakah mengerjakan ini/itu dan membantu ini/itu akan mengganggu prioritas kami saat ini atau tidak.
Misalnya, karena dua dari bbrp prioritas kami saat ini adl membeli rumah dan menyelesaikan sekolah, maka saya akan menolak semua hal yg dapat mengganggu prioritas kami. Itu knpa kalau si pacar mulai liat2 BukaLapak, saya jd sewot. Kalau si pacar ga bs menolak membantu orang lain ini dan itu, saya jg sewot. Lha wong gara2 tll sibuk bantu ini-itu, kelulusannya terpaksa diundur. Kalau bukan kita yg memperjuangkan hal yg kita prioritaskan, memang ada orang lain yg mau memperjuangkannya untuk kita? Kalau kita tll baik meminjamkan uang kesana kemari shg kita sendiri ga bisa beli rumah, atau kita tll ga enak untuk menolak membantu ini dan itu shg tesis tdk jg kunjung selesai ditulis, memangnya ada orang lain yg mau membelikan rumah untuk kita, atau menuliskan buku tesis untuk kita?
Setelah menikah, terlihat keren di hadapan oranglain tdk lagi menjadi penting. Yg penting apakah hal2 yg kita lakukan dpt mendukung hal2 yg kita perjuangkan atau tidak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar