Luna Lovegood inside. Noda Megumi outside.

Senin, 12 September 2011

FARMASIS GALAU

Di malam minggu nan galau ini entah mengapa pikiran saya sedang “agak bener”.  Nah, mumpung saya lagi “bener” nih, saya mau membahas sesuatu yg “rada bener”.

Jadi ceritanya, di malam minggu yang galau ini, ada satu tontonan di MetroTV yang makin bikin saya galau. Bukan galau scr pribadi, tapi galau sbg seorang farmasis (tuh kan,, malaikat apa pula yg sedang mengilhami saya nih?)

Bahasan MetroFiles hari ini (yang ditayangkan jam 7 malam ini) berjudul “Farmasi Untuk Negeri”. Berikut saya cuma ingin mereview beberapa poin yang membuat saya galau ketika menonton tadi ,,, dan akan mencoba sotoy mengomentari beberapa komentar para komentator  (pusing nggak bacanya? maklumlah, ini ditulis oleh orang yang “rada” bener)

1.  Dibandingkan negara industri di Eropa, US, Jepang etc, penemuan obat di Indonesia sangat buruk. Alih-alih berfokus pada pengembangan obat kimiawi, Indonesia sebaiknya mengembangkan riset di bidang obat yang berasal dari bahan alam. (dr. Bunyamin) à setuju ini mah sama Bapak pendiri Kalbe Farma ini. Alih-alih terus terpaku & berusaha menyaingi negara yg lebih maju, kenapa kita tidak menjadi “trend setter”. Alih-alih berfokus pada pengembangan bahan obat kimiawi, knpa ga justru mengembangkan bahan obat dari alam. hehehe. Ini ibarat: “daripada menunggu pintu terbuka, kenapa nggak masuk lewat jendela saja” (ngajarin maling).

2. Indonesia masih ketergantungan impor bahan baku obat. (dr. Bunyamin) à bener banget. Jangankan bahan baku obat, lha wong eksipien aja masih import tho.  Di Asia, kita malah belum ada apa2nya dibanding India & China soal produksi bahan baku ini. Apa saya kuliah ke India aja yah? barangkali aja bisa sekalian casting jd aktris bollywood kan? #SingWarasNgalah . hehehe.
Oiya, soal industri bahan baku obat di Indonesia, spt kata dr. Bunyamin, baru bisa dilakukan jika industri kimianya sudah baik. Kan sintesis obat butuh solven, reagen, dsb. Kalau reagennya saja nggak ada (dan fasilitas sintesisnya ga ada), bagaimana mau membuatnya? Paracetamol Indonesia aja katanya kualitasnya masih jauh dr kualitas Paracetamol punya India.

3. Kurangnya industri berbasis riset, menyebabkan industri farmasi kurang berkembang. Hal ini juga disebabkan karena kurangnya kerjasama antara industri farmasi dgn institusi pendidikan serta kurangnya dana riset dari pemerintah. (dr. Bunyamin) à inilah mengapa riset yg dilakukan industri farmasi hanya sebatas variasi eksipien, penampilan dan bentuk sediaan à dananya jg terbatas sih ya. Dan soal kerjasama dgn instansi pendidikan,,, mungkin universitas harus mulai mengambangkan riset-riset yang aplikatif, bukan sekedar teori shg hasil penelitian bisa dimanfaatkan bersama dgn industri farmasi. Dengan demikian, dana penelitian bisa dioptimalkan oleh instansi pendidikan, tp hasilnya jg bisa dirasakan oleh industri farmasi.
Mengutip kata2 Pietra bbrp waktu lalu: Riset-riset di universitas itu kebanyakan masih bersifat teori dan hanya demi memenuhi tuntutan kelulusan, jd tidak bisa dimanfaatkan oleh industri farmasi.

4. Beberapa komentar berikut, saya satukan dalam satu topik, krn saya akan membahasnya scr parallel:
- Paradigma kefarmasian telah beralih kpd patient oriented, sehingga hendaknya apoteker bukan hanya berada di balik meja, atau bahkan hanya sekedar pasang nama di apotek.(Ahaditomo)
- Apoteker hrs lgsg berhadapan dgn pasien, sehingga peran apoteker bukan sekedar jual-beli obat , tp juga memberikan pelayanan informasi obat (PIO) (Dani pratomo)

Terhadap kedua pernyataan tersebut di atas, itu jg bikin galau. Bukannya saya nggak setuju dgn “peran apoteker sbg PIO di apotek” sehingga harus selalu berada di apotek selama jam buka apotek. Bukan juga nggak setuju dgn slogan “no pharmacist, no service”.
Kadang2, sering dibandingkan antara praktek dokter (yang kliniknya tutup kalau dokternya nggak ada), sementara kalo apotek tetap buka meski apoteker nggak ada.
Kalau mau ditelisik lebih jauh, mungkin sebenarnya bukan para apoteker yang tidak mau menjalankan perannya dgn optimal, tapi karena penghargaan orang yang kurang thd peran apoteker.
Peraturannya sih apoteker harus stand-by di apotek selama jam buka apotek. Tapi apoteker mana yang mau stand-by 8 jam per hari kalau cuma digaji 1 juta per bulan (jangan tanya saya, “Memangnya ada apoteker yg cuma digaji segitu? “ADA! Percaya deh. Makanya dia ga stand-by di apotek.)
Kadang penghargaan kita terhadap profesi tertentu itu sangat memalukan. Daripada menggaji besar para koruptor itu, bukankah seharusnya menggaji guru dgn lebih layak? Kan profesi gurulah yg mendidik anak2 bangsa kita. Anak-anak bangsa dgn kualitas seperti apa yang kita harapkan dari guru yang mengajarkan matematika dgn tdk fokus karena sambil memikirkan berasnya yang habis di rumah?
Begitu juga dgn apoteker. Apoteker kan juga pekerjaan profesi spt dokter ya? Yang resikonya thd keselamatan pasien sama besarnya, jd mengapa tidak dihargai scr berimbang?
Kalau membandingkan antara gaji saya dgn gaji adik saya yg anak teknik, kok rasanya nyesek ya? Resiko pekerjaan adik saya nampaknya tidak sebesar resiko pekerjaan saya yg kalau salah pakai alupush untuk kemasan tablet saja bisa membahayakan pasien. Tapi kenapa adik saya gajinya lbh besar? Di industri farmasipun gajinya orang2 finance tuh kadang lbh besar lho drpd gaji apoteker pada level yg sama. Padahal, resiko pekerjaannya thd keselamatan manusia lbh kecil.
Hal-hal semacam itulah yang membuat apoteker tdk menjalankan fungsinya secara seharusnya. Jangan bilang soal “kerja itu kan ibadah”! Hanya karena tujuan kerja kita sebagai ibadah, maka bukan berarti kita tidak pantas dihargai dgn layak kan?

Kalau kata dr. Bunyamin: “Kalau suatu usaha mau maju, SDM mesti diperhatikan. “ à totalitas dan pengabdian thd pekerjaan bukan berarti menghilangkan profesianalisme dan kebutuhan untuk dihargai dengan pantas!

Tapi ini seperti pisau bermata dua sih ya. Kalau para apotekernya sendiri tidak membiarkan dirinya digaji rendah, pasti para PSA/ pemilik industri farmasi/ RS  juga terpaksa menggaji dgn layak kan?
“Habis gimana dong. Ya sudahlah, 1 juta juga cukup kok. Toh sebulan sekali doang ke apotek,” begitu komentarnya. Kalau sudah begitu, bingung juga deh, mana dulu yg harus diperbaiki: peraturannya, atau apotekernya atau sistemnya? Rasanya spt lingkaran setan.
Andai IAI punya kebijakan ttg standar gaji apoteker.
Membuat peraturan soal “no pharmacist, no service” saja TIDAK AKAN PERNAH BERHASIL kalau tdk disertai dgn penetapan standar gaji apoteker.  Kalau IAI sudah menetapkan standar gaji apoteker, dan semua apoteker sepakat u/ tidak mau bekerja jika tidak digaji dgn layak, dan ada peraturan tegas tentang “no pharmacist, no service” ini ,,, pasti nantinya dgn terpaksa PSA juga akan menyesuaikan gaji apotekernya dgn standar tsb kok. Dgn gaji yg sesuai, apoteker pasti akan bekerja dgn optimal di apotek (bukan cuma datang sebulan sekali),,, dan wacana “pharmaceutical care” bukan lagi sekedar omong kosong.


Yah, begitulah kira2 sesi menggalau saya malam ini. Sungguh ke-sotoy-an saya membuat note semacam ini. Tapi tidakkah ada yang berpikiran sama dgn saya? Atau hanya saya yang berpikiran nyeleneh soal hal-hal ini? Hahaha.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar