Calista merasa tidak pernah bisa memahami cara berpikir Ghazali, abangnya,
terutama karena pola pikirnya yang aneh setiap kali terkait dengan Danu. Sejak dulu Ghaza sudah berkali-kali
melarang Calista berhubungan dengan
Danu, meski dengan gaya
santai dan terkesan bercanda. Tapi kali itu Ghaza menekankan hal itu kepada Calista dengan ekspresi yang lebih serius.
“Kami nggak ada hubungan apa-apa, bang. Kami bahkan udah lama nggak sms-an.
Terakhir kali kami sms-an cuma pas aku kasih tahu dia bahwa aku udah lulus
sidang sarjana,“ kata Tita pada Ghaza, mengakui kenyataan pahit itu.“Lagian ya bang ... pertama, ada masalah apa sih antara Abang dan mas Danu? Kok Abang sebegitu
keukeuhnya melarang aku? Kedua, ngapain sih Abang keukeuh melarang aku? Toh mas
Danu sendiri nggak naksir aku kan? Abang nggak usah paranoid gitu kaleee,” lanjutnya.
Ghaza menggeleng dengan lelah.
“ Pertama ya, Tita, adikku yang manis … “ kata Ghaza, “ … hubungan gue dan Danu luar biasa baik. Seperti lo tahu, kami udah dekat
banget seperti saudara sendiri. Tapi justru karena itulah, gue jadi tahu sisi lain kehidupannya. Dan gue
nggak mau lo terjebak dalam sisi hidupnya yang itu.”
“Apa maksud Abang? Dia
punya sisi gelap?”
“Sebaliknya, he has a very sparkling side.”
“ Maksudnya? “
Tita sama sekali tidak bisa memahami pikiran kakaknya.
“ Dengar Tita … Dia orang yang baik, personally. Tapi di Indonesia,
kalo lo menikahi satu orang, lo juga harus menikahi keluarganya. Secara
pribadi, gue bakal senang banget kalo dia benar-benar jadi saudara gue, jadi
adik ipar gue dan bukan sekedar saudara angkat aja. Tapi gue sadar, itu nggak
mungkin.”
“Maksudnya? ”
Tita jadi makin bingung. Kenapa omongan Ghaza jadi melantur kemana-mana?
Tapi tak ayal, wajah Tita agak memerah ketika Ghaza mengatakan bahwa dia senang
kalau Danu jadi adik iparnya.
“Dia anak orang kaya,
Tita. Ayahnya pengusaha terkenal di Indonesia yang punya banyak anak perusahaan
dan hotel-hotel di seluruh pulau Jawa. Ibunya masih keluarga keraton Jogja. Dia
anak orang kaya dan berdarah biru. Bandingkan dengan lo! Siapa lo? Lo cuma gadis dari kalangan biasa. Lo
sendiri udah pernah ketemu ibunya Danu kan, Ta? Sikapnya yang priyayi itu ...
nggak terlalu jelas diperlihatkan sih, tapi gue melihatnya, Ta.”
“Ibunya mas Danu baik sama aku kok, Bang.”
“Itu karena lo cuma temannya Danu! Beliau nggak masalah
anaknya berteman dengan siapa aja. Tapi beliau pasti punya kriteria khusus
untuk menantunya. Bibit, bebet dan bobot. Dan gue ragu apakah beliau bisa
menerima calon menantu dari kalangan biasa seperti lo masuk ke dalam keluarga
kaya-pengusaha-ningrat-nya. Lo nggak akan tahan punya mertua seperti beliau. ”
“Kenapa kita jadi
ngomongin pernikahan sih? Mas
Danu nggak suka sama aku kan? Dia cuma anggap aku adik aja kok. ”
Tapi meskipun mengelak demikian, sebenarnya Tita separuh berharap bahwa
Danu memang naksir padanya.
“Lo pasti bakal GR banget
dengar ini ... but unfortunately, dia emang naksir lo! ” kata
Ghaza.
Tolong diputar ulang! Trus ngomongnya pelan-pelan
aja, Bang! Tolong ulangi kalimat terakhir tadi
dong, Bang!
Tita nyaris tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Bahkan
Tita sampai bengong sangat lama … berusaha memastikan pendengaranya, sekaligus
menjernihkan pikirannya.
“ Waktu kami makan siang bareng tadi, dia tanya ke gue, apa lo udah punya
pendamping untuk wisuda atau belum.”
Kemudian Ghaza diam. Dia sengaja membuat jeda agar dapat melihat reaksi
adiknya. Tita yang tiba-tiba tersadar langsung memasang ekspresi sok polos,
meskipun di dalam hatinya sedang berkecamuk berbagai perasaan yang kompleks.
“ Gue bilang gue nggak
tahu, ” kata Ghaza beberapa saat kemudian, setelah berhasil mengetahui reaksi
Tita. Dan itu bukan reaksi yang diharapkannya.
“ Dia sempat mengatakan
sesuatu yang menyiratkan bahwa dia mau jadi PW (Pendamping Wisuda) lo, mau
nembak lo, atau semacam itulah. Gue nggak jawab apa-apa dan akhirnya gue
langsung mengalihkan pembicaraan. Jadi dia nggak ngomong lebih jauh...” lanjut Ghaza, “ Tapi dia pasti nggak puas dengan jawaban gue. Jadi mungkin
aja nanti dia tanya langsung ke lo. Karena itulah gue merasa perlu ngomong sama
lo sebelum lo kasih jawaban ke dia.”
Ghaza diam sejenak sebelum mulai bicara lagi. Dia merasa sangat tertekan
harus membicarakan hal ini. Tapi dia tak punya pilihan lagi. Dia tidak ingin
adik tersayangnya merasa menderita nantinya.
“ Umur lo berapa Ta? “ tanya Ghaza.
“ 22 tahun, September ini. “
Ghaza mengangguk dengan gaya yang sangat berwibawa. Dia memandang adiknya
lebih dalam, membuat Tita merasa kecil. Tita memang selalu merasa hanya seorang
gadis kecil di hadapan kakaknya, terutama pada saat-saat dimana Ghaza
menatapnya seperti itu.
” Pada umur segini, pastinya pikiran lo tentang suatu hubungan udah
melebihi sekedar pacaran kan? Gue percaya, biarpun lo masih sering bersikap childish,
tapi lo juga pasti udah berpikir tentang pernikahan. Jadi kalau hubungan lo dan Danu menjadi makin
serius, pasti akan mengarah ke pernikahan kan? ”
Wajah Tita memerah mendengar hal itu. Dalam hati dia mengakuinya ... dia
memang sudah beberapa kali menghayalkan pernikahannya dengan Danu. Tapi Tita
tetap tidak berani menjawab pertanyaan abangnya.
“ Tapi ada yang harus gue
kasih tahu ke lo, Ta,” kata Ghaza kemudian. ” Ini dunia nyata. Bukan dongeng
Cinderella atau Bawang Putih. Kita nggak tahu apakah setelah Cinderella menikah
dengan Pangeran trus sang Raja dan Ratu benar-benar menerima Cinderella sebagai
menantu mereka atau nggak. Tapi setahu gue, nggak ada hubungan beda kasta yang
bisa berjalan mulus.
Memang saat ini hubungan lo dan Danu masih sebatas teman. Tapi sejak dulu
gue udah merasakan pertanda tentang perasaannya terhadap lo. Dan baru siang ini
gue bisa memastikannya. Dia memang suka sama lo.
Gue pikir selama ini dia bertahan nggak mendekati lo karena gue pernah
setengah-bercanda mengancamnya untuk nggak mengganggu lo yang masih kuliah.
Tapi sekarang lo udah lulus kan? Well, meski lo masih harus kuliah profesi
setahun lagi sih. Jadi gue pikir, mungkin dalam waktu dekat ini dia bakal
menyatakan perasaannya. “
Tita merasa jantungnya berdegup dengan irama tak beraturan. Aritmia. Dia
senang mendengar bahwa Danu mencintainya. Setelah bertahun-tahun mengira
cintanya bertepuk sebelah tangan, akhirnya dia tahu bahwa Danu juga mencintainya.
Tapi kata-kata Ghaza membuat perasaannya hancur.
“Apa lo tahu bahwa Ayah
masih mencintai Ibu sampai sekarang?” tanya Ghaza, tiba-tiba mengubah topik
pembicaraan.
Mata Tita membesar ketika menatap abangnya. Dia terkejut dengan fakta itu.
Tita tidak pernah bertemu ayahnya lagi sejak kedua orangtuanya bercerai saat
usianya baru 3 tahun. Tita bahkan sama sekali tidak ingat pada wajah ayahnya.
Tidak ada foto beliau di dalam rumah itu. Mungkin ibunya sudah menyembunyikan
atau membuang semuanya, dan tak berniat mengingatnya lagi. Setiap kali Tita
menanyakan tentang ayahnya kepada sang ibu, beliau juga selalu berusaha
mengalihkan pembicaraan. Jadi Tita mengira bahwa hubungan kedua orangtuanya
sudah benar-benar berakhir.
“Gue nggak bohong, Ta, ”
kata Ghaza ketika melihat sinar mata ragu adiknya. “Ayah masih cinta sama Ibu. Dia mengatakannya saat di pernikahan gue, bahwa
dia masih cinta sama Ibu.”
“Apa? Ayah datang ke
pernikahan Abang? ”
“ Ya.”
“ Aku nggak melihatnya. “
“ Lo ketemu sama dia kok. Cuma lo nggak menyadarinya.”
“ Apa? “
“ Gue ngobrol sebentar
dengannya. Dan gue juga sempat mengenalkan lo padanya. Tapi lo nggak sadar
siapa dia.”
Tita berusaha mengingat-ingat lagi. Tapi dia tidak bisa mengingatnya. Resepsi pernikahan Ghaza sudah lewat
setahun yang lalu. Lagipula saat itu ada banyak sekali orang (teman-teman
kantor atau teman kuliah Ghaza) yang dikenalkan Ghaza padanya. Tita tidak bisa
mengingat mereka satu per satu. Saat itu pasti bang Ghaza mengenalkan ayahnya
sebagai salah seorang kenalannya.
“ Kenapa nggak kasih tahu aku kalau dia ádalah ayah?! “ tanya Tita dengan
nada marah.
“ Apa perlunya? ”
“ Aku juga anaknya, bang.
Aku berhak mengenal ayahku
sendiri! Kenapa nggak bilang padaku?! Abang jahat banget sih?!!!!”
“ Ibu nggak mengijinkan
gue kasih tahu lo, ” jawab Ghaza dengan berat hati.
Seketika air mata Tita merembes dari kelopak matanya. Rasanya dia ingin
menangis karena tumpukan perasaan di hatinya. Kini perasaannya jadi makin
kompleks. Dia senang mengetahui Danu mencintainya. Dia terpukul karena Ghaza
justru melarang hubungannya dengan Danu. Trus sekarang tiba-tiba dia tahu bahwa
ayahnya masih hidup dan malah datang ke pernikahan kakaknya setahun yang lalu,
tapi ibunya sengaja tak memberitahunya. Tita sedih karena telah kehilangan
kesempatan untuk mengenal ayahnya.
“ Itulah yang mau gue
bahas sekarang, Tita, ” kata Ghaza kemudian. Dia melihat air mata berlinangan
di pipi adiknya, tapi dia menguatkan hati untuk tetap mengatakan kenyataan.
Ghaza tahu, apa yang akan dikatakannya kali ini akan menyakiti Tita. Tapi
mengatakannya dan membiarkan Tita menangis sekarang justru lebih baik daripada
melihat adik kesayangannya itu menangis terus di kemudian hari.
“ Bahkan dua orang yang
saling mencintaipun nggak bisa bersatu kalau cuma bermodal cinta aja, Ta, ” kata
Ghaza.
“ Jadi apa hubungannya
antara cerita ayah dan ibu dengan aku dan mas Danu? “ tanya Tita akhirnya.
Lama-lama Tita jadi makin sedih dan makin bingung karena mendengar cerita
Ghaza yang ngalor-ngidul. Belum selesai ngomongin cerita Cinderella, trus nyambung
ke pengakuan cinta Danu, trus tiba-tiba pembicaraan beralih lagi kepada masalah
ayah dan ibunya? Tita jadi nggak mengerti.
“ Gue takut kisah ayah dan ibu bakal terulang lagi pada lo dan Danu.”
“ Apa sih? “ tanya Tita, makin nggak ngerti.
“ Gue mau cerita sesuatu,
Tita ...” kata Ghaza. Wajahnya berubah jadi lebih serius
lagi daripada sebelumnya. “ ... bukan dongeng Cinderella, tapi kenyataan ...”
Ghaza menghembuskan nafas berat sebelum memulai inti ceritanya. Dia memutar
otak lebih keras daripada biasanya untuk menemukan kata-kata yang tepat untuk
menjelaskan segalanya ... agar adiknya mengetahui kenyataan pahit itu, tanpa
harus terlalu tersakiti.
“ Ayah dan ibu bercerai bukan karena sudah nggak saling mencintai. Mereka
masih saling mencintai, Tita ... bahkan sampai sekarang. Lo pikir, kenapa ibu
nggak menikah lagi setelah bercerai? Padahal saat itu umur ibu belum sampai 40
tahun? Belum terlalu tua untuk menikah lagi kan? Tapi ibu nggak melakukannya
karena masih cinta sama ayah, dan masih belum bisa melupakan beliau.Begitu juga
dengan ayah, bahkan meski ayah sudah menikah dengan orang lain, ternyata beliau
tetap mencintai ibu. Beliau menikah lagi dengan wanita pilihan ibunya. Lo pikir, kenapa hal itu bisa terjadi, Tita? Kenapa ayah dan ibu bisa
bercerai? Kenapa dua orang yang saling mencintai harus berpisah juga?”
Ghaza menatap adiknya. Tita menggeleng sebagai jawaban atas
ketidaktahuannya tentang jawaban dari pertanyaan kakaknya.
“ Gue nggak pernah bisa memahaminya, Ta,“ kata Ghaza kemudian. “Mereka bercerai saat gue masih 8 tahun, jadi gue nggak bisa memahami kenapa
mereka bercerai, padahal mereka nggak pernah bertengkar hebat. Gue nggak pernah
melihat ayah memaki atau memukul ibu. Beberapa kali gue melihat ibu menangis,
tapi itu bukan karena ayah, karena pada saat yang sama ayah juga bermuka sedih.
Gue nggak bisa ngerti kenapa mereka cerai, karena waktu itu gue masih kecil.
Ibu cuma bilang bahwa mereka cerai karena nggak cocok. Tapi belakangan, setelah
gue lebih besar dan terus mendesak ibu, akhirnya ibu menceritakan alasannya
yang sebenarnya.”
“ Apa alasannya? Kenapa sebelumnya ibu bohong pada Abang? “ tanya Tita.
“ Ibu nggak bohong. Mereka memang bercerai karena ketidak cocokan. Masuk
akal sih. Mereka nggak mungkin cocok. Ayah adalah anak seorang pengusaha
terkenal. Dan ibu cuma karyawati biasa ... Gimana? Udah lihat hubungannya
dengan keadaan lo dan Danu? ”
Tita memandang kakaknya dengan tatapan ngeri. Dia mulai bisa menangkap arah tujuan pembicaraan
itu. Dan dia nggak menyukainya.
“ Ibunya ayah nggak
pernah benar-benar setuju dengan pernikahan mereka, karena ibu bukan berasal
dari kalangan mereka. Jadi setelah mereka menikahpun, nenek kita itu
... ” Ghaza mengatakan ketiga kata terakhir itu dengan nada sinis, “... selalu saja cari masalah, bahkan untuk urusan sepele sekalipun, beliau
selalu mengomentari ibu. Gue rasa gue nggak perlu lebih jauh merincinya ...
beliau udah meninggal, jadi nggak baik membicarakan kejelekan orang yang sudah
meninggal.
Intinya, setelah mencoba bertahan selama lebih dari 10 tahun, ibu merasa
sudah nggak tahan lagi hidup dibawah bayang-bayang nenek. Ayah juga
kelihatannya nggak cukup bijak dan berwibawa untuk menghadapi semua tekanan
nenek dan membela ibu ... Maka ibu meminta cerai dari ayah. Dan setelah itu nenek
menjodohkan ayah dengan wanita pilihannya ... dan ayah terpaksa menerimanya.
Ayah dan ibu masih sangat saling mencintai, Tita. Tapi bahkan cinta yang
dalampun nggak cukup kuat untuk menentang kasta. Ingat Prince Charles dan Lady
Diana? Itu juga kan yang terjadi pada mereka? Tanpa perbedaan kastapun, banyak
orang yang cek-cok dengan mertuanya, apalagi dengan adanya ketimpangan kasta
itu.
Saat gue melihat lo dan Danu ... Abang takut hal yang sama bakal terulang
pada lo, seperti hal yang menimpa ibu. ”
Ghaza berhenti bercerita. Jeda panjang terjadi. Pikiran Tita penuh. Sementara itu, perasaan Ghaza
lega karena telah mengungkapkan semuanya.
“Apa hal itu udah pasti
terjadi? ” tanya Tita tiba-tiba. “Ibunya mas Danu belum tentu sama dengan
nenek ... ” tambahnya. Entah kenapa ada sesuatu yang mendorongnya untuk
bertanya begitu. Meskipun Tita belum mendengar sendiri pernyataan cinta Danu
... tapi rasanya dia sendiri ingin memperjuangkan Danu. Tita mencintai Danu,
dan dia nggak mau melepasnya setelah tahun-tahun panjang penantiannya.
“Jelas nggak sama, ”
potong Ghaza cepat. ”Perkiraan gue, justru lebih parah. Nenek hanya orang-yang-luar-biasa-kaya.
Tapi ibunya Danu adalah konglomerat-berdarah-biru. Lebih parah kan?
Menurut akal sehat lo, mana yang kriteria-calon-menantu-nya lebih parah?”
“Tapi kita nggak bisa
men-generalisir bahwa semua orang kaya atau ningrat berpikir gitu kan?! ” Tita
tetap keukeuh membela Danu.
“Oh ya? ” Ghaza balik
bertanya.
Nada tanya Ghaza dan tatapan matanya sangat mengintimidasi Tita, membuatnya
meragukan argumennya sendiri.
Jeda panjang kembali terjadi. Tita kehilangan kata-kata dan tak bisa
mendebat lebih jauh lagi. Karena bahkan dirinya sendiri juga meragukan bahwa
ibunya Danu tidak seperti orang-kaya-dan-ningrat kebanyakan. Tita benci mengakuinya,
tapi dia tahu bahwa semua kata-kata abangnya benar … bahkan tanpa ketimpangan
kasta atau hartapun, banyak orang yang cek-cok dengan mertuanya … apalagi
dengan adanya ketimpangan kedua hal itu pada dirinya dan Danu.
“ Kenapa ibu cuma cerita pada Abang tentang semua itu? Kenapa nggak cerita
padaku juga? Padahal aku berhak tahu kan? ” kata Tita akhirnya ... setelah lama
tidak berhasil menemukan kata-kata pembelaan yang tepat untuk hubungannya dan
Danu. Kini perhatiannya malah kembali teralih pada masalah ayah dan ibunya.
“ Karena lo masih sangat kecil waktu mereka cerai. Ibu pikir, lebih baik
nggak membicarakan kebenarannya. Ibu ingin lo tetap berpikir positif tentang
ayah dan nenek. Tapi sekarang gue terpaksa melanggar janji gue pada ibu dan
memberitahu lo ... karena gue nggak mau hal yang sama terulang lagi pada adik
kesayangan gue.”
Ghaza membiarkan adiknya berpikir lebih dalam. Ketika Ghaza pergi, Tita
terpuruk dalam kenyataan pahit … bahwa ternyata cintanya pada Danu tidak
bertepuk sebelah tangan ... dan bahwa meskipun ternyata mereka saling
mencintai, mereka tetap tidak bisa saling mencintai ... karena ternyata cinta
tidak sekuat itu ...
Cinta tidak bisa mendaki gunung tertinggi.
Cinta juga tidak bisa menyeberangi samudra terluas ... dan tak juga
menyelami laut terdalam.
Cinta tidak bisa mendaki tebing yang curam ... dan tak juga melubangi batu
karang yang keras.
Semua perumpamaan itu hanya ada di cerita dongeng ... Karena bahkan cinta sejatipun tidak bisa
mengalahkan kasta dan harta.
*
* *
---DANU---
Kelihatannya gua udah melangkah terlalu jauh.
Tanpa gua sadari segalanya sudah terlanjur. Gua terbawa arus. Dan ternyata
gelombang penghanyut itu adalah ibu gua sendiri.
Gua menyukai Indy. Gua juga senang berteman
dengannya. Gua nyaman bersamanya. Tapi gua sadar bahwa itu bukan cinta. Apa gua
sayang sama dia? Mungkin ya. Bersamanya gua merasa benar-benar sebagai lelaki
pelindung yang dibutuhkan.
Dia adalah gadis yang dewasa dan lembut. Dan dia
gadis Jawa tulen yang penuh sopan santun dan tata krama. Itulah yang membuat
ibu gua jatuh hati padanya. Semua yang ada di diri Indy adalah tipe menantu
idaman ibu gua. Gua menyukai Indy, tapi mencintainya itu lain soal.
Menjadikannya sebagai istri gua dan menghabiskan hidup gua dengannya … itu juga
persoalan besar lainnya.
Tapi seperti gua bilang tadi, gua terlalu
mencintai ibu gua dan nggak bisa nolak permintaan beliau. Makanya, gua sekarang
udah melangkah terlalu jauh. Tiba-tiba saja gua sudah melamar Indy dan –
meskipun gua setengah berharap Indy bakal nolak gua – Indy justru menerima
lamaran gua tanpa berpikir terlalu lama. Dalam waktu singkat, tanpa sepenuhnya
gua sadari, tiba-tiba gedung sudah dipesan, pakaian pengantin sudah dijahit,
catering sudah diurus, sepasang cincin sudah dipilih dan undangan sudah
tercetak.
Apakah sekarang gua bahagia karena akan segera
menikah? Nggak bisa tepat dikatakan gitu sih. At least, gua bersyukur
karena sudah bisa membahagiakan ibu gua. Ada rasa bersalah di hati gua pada
Indy karena gua nggak bisa sepenuhnya mencintainya. Gua menyayanginya dan ingin
menjaganya. Tapi perasaan gua pada Indy lebih mirip perasaan kakak kepada
adiknya. Meskipun demikian, gua nggak pernah mengakuinya pada Indy, karena
pasti akan membuatnya terluka.
Damn!! Gua benci keadaan kayak gini, dimana gua seperti nggak punya pilihan lain. Andai gua bisa memilih,
ada gadis lain yang mengisi sebagian besar hati dan pikiran gua. Terkadang gua
merasa nggak berharga dan nggak dibutuhkan di sampingnya, karena dia begitu
mandiri, kuat dan independen. Tapi gua suka dengan sikapnya yang selalu ceria
dan lincah, sepertinya dia nggak pernah benar-benar meninggalkan masa
kanak-kanaknya. Sifatnya mirip sama gua, makanya kami suka bercanda, tertawa
terbahak-bahak, dodol-dodolan bareng dan mengenyahkan semua sopan santun.
Gua mengenalnya apa adanya, nggak ada yang disembunyikannya dari gua. Dan
selama 9 tahun ini kehadirannya terlanjur menyentuh hati gua begitu dalam.
Orang itu Calista Shelma Barnita.
Tapi belakangan gua tersadar, kami nggak
ditakdirkan bersama. Melihat gelagat kakaknya, bang Ghaza, kelihatannya dia
nggak setuju kalau gua mendekati adiknya. Gua nggak tahu, dan sama sekali nggak
habis pikir, apa yang salah pada diri gua. Gua pikir gua dan bang Ghaza udah
bersahabat dekat banget dan kelak dia bisa menerima gua lebih dari sekedar adik
angkat, maksudnya mengizinkan gua jadi adik iparnya. Tapi gua salah. Salah
besar! Berkali-kali gua menangkap kesan bahwa dia nggak bisa membiarkan gua
bersama adiknya meski dia nggak pernah benar-benar menunjukkannnya secara jelas.
Persahabatan kami tetap baik, tapi dia tetap nggak bisa menerima gua. Hal itu
bikin gua ragu untuk menyatakan cinta pada Tita.
Kenyataannnya, sampai sekarang gua memang belum
pernah sekalipun menyatakan perasaan gua secara terbuka kepada Tita. Goblok
banget kan?! Gua cuma terlalu sering memberinya isyarat halus bahwa gua
mencintainya. Tapi teori gua kelihatannya benar. Tita masih polos dan lugu
sehingga nggak bisa menangkap maksud tersirat gua. Gua frustasi berat dan putus
asa menghadapi sikap Tita yang tetap normal seakan nggak pernah tahu ada
seseorang yang mencintainya sejak lama. Dan dia tetap sering memanggil gua
dengan panggilan “Dear brother” atau “Kakakku yang cakep”, dengan tampang
lugu-bloon seperti biasanya, seakan-akan gua ini kakaknya aja. Tita goblok!
Gua tahu bahwa gua bodoh dan pengecut. Setelah
mencintainya bertahun-tahunpun gua tetap nggak berani menyatakannya pada Tita.
Gua takut ditolak (Betapa gobloknya cowok kaya’ gua yang sebegitu takutnya
ditolak seorang cewek!). Hubungan Tita dan bang Ghaza sangat dekat. Kalau Ghaza
aja menolak gua sebagai adik iparnya, kemungkinan besar Tita juga bakal
berpikiran sama kan? Dan gua sangat pengecut karena nggak mau mengambil resiko
ditolak Tita yang malah bisa bikin hubungan gua dan Tita justru jadi buruk. Gua
nggak akan bisa tahan jika Tita jadi menjauhi gua setelahnya.
Saat hati gua terombang-ambing dan perasaan gua
masih bimbang dan rasa cinta gua pada Tita belum sempat terucapkan, ayah
mengirim gua ke Jogja. Kami jadi terpisah jauh, meski gua tetap merasa hati
kami sedekat biasanya. Meskipun begitu, pada akhirnya jarak jugalah yang
memisahkan kami.
Di kota Jogja itulah gua ketemu Indy. Gua senang
berteman sama Indy dan obrolan kami cukup nyambung. Pemikirannya yang dewasa
membuatnya berbeda sangat jelas dengan sahabat dekatnya semasa kuliah, Tita.
Kadang gua nggak habis pikir, kok bisa-bisanya dua gadis yang berbeda
kepribadian itu (Tita dan Indy) bisa bersahabat dekat?
Ibu gua jelas-jelas jatuh cinta pada pandangan
pertama kepada Indy. Semua kriteria menantu idaman ibu ada pada Indy. Jadilah
beliau pingin gua cepat-cepat melamar Indy, padahal gua bahkan nggak pernah
minta Indy jadi pacar gua. Sinting kan? Gua menikahi Indy? Itu adalah ide
tersinting ibu gua seumur hidup.
“ Gadis seperti apa lagi yang kamu cari, Danu? “
tanya ibu waktu gua menolak keinginannya. “ Seperti Tita? “ beliau dengan
segera menebaknya dengan tepat sasaran.
Ibupun memasang tampang seriusnya. Dan gua benar-benar nggak suka melihatnya.
Itu wajah yang hanya ibu perlihatkan saat mengintimidasi seseorang. Dan
sekarang gua yang terintimidasi!
“ Indy lebih baik dari Tita, Nak, “ kata ibu
dengan nada bicara penuh wibawa dan intimidasi seperti biasanya. “ Indy adalah
gadis Jawa yang penuh sopan santun dan tata krama. Anaknya lembut, baik dan
dewasa. Dia pantas jadi istrimu, Nak. Dan memang seumurmu ini sudah sepantasnya
menikah.”
“ Tita juga anak yang baik, ibu. Dan jangan paksa saya menikahi Indy. Kami
nggak saling mencintai.”
“ Ibu nggak maksa kamu, “ kata ibu berkilah dengan
lihai, “ Dan tahu dari mana kamu apakah Indy cinta atau ndak padamu? Kamu
bahkan belum menanyakannya padanya. Ibu nggak bilang bahwa Tita nggak baik. Dia
juga gadis baik. Tapi sikapnya nggak cocok denganmu.”
“ Saya merasa nyaman dan cocok dengan Tita, ibu, “
potong gua cepat-cepat.
“ Tapi dia nggak pantas jadi istrimu!” potong ibu dengan tegas, mengintimidasi lebih kuat. “ Dia gadis yang baik,
tapi nggak pantas untukmu, Danu. Ingat siapa dirimu! Anak pengusaha besar di
Jakarta dan kamu juga masih keturunan ningrat. Kamu harus memilih istri yang
tepat! Dan Tita bukanlah orang yang tepat. Gadis yang tertawa terlalu lebar,
tidak suka berbasa-basi dan terlalu lugu, nggak dewasa.”
“ Tapi Tita gadis yang tulus. Dia selalu apa adanya.” kata gua membela.
Nggak jelas membela apa … membela Tita atau membela pilihan gua?
“ Indy juga tulus, tapi dia nggap pernah tertawa
terlalu lebar. Indy juga apa adanya, tapi nggak kekanakan seperti Tita. Jujur
aja, Ibu lebih cocok dengan Indy. Ibu lebih setuju kalau dialah yang jadi
menantu ibu.”
“
Tapi saya nggak mencintai Indy, ibu.”
“
Apa itu cinta? Kalau kamu merasa nyaman dan senang berteman dengannya, itu
sudah cukup. Cinta itu akan tumbuh dengan sendirinya setelah kalian menikah
nanti.”
“
Tapi bagaimana kalau Indy juga nggak mencintai Danu? “
“
Kamu itu bodoh atau buta sih, Nak? Sekali melihat saja, ibu langsung tahu bahwa
Indy mencintaimu.”
“ Tapi ibu … “
“ Lalu apa Tita mencintaimu? “ lanjut ibu balik
bertanya.
Gua terdiam, dan terhenyak, dan tersudut, dan
nggak bisa menjawab. Bagaimana gua bisa menjawab kalau gua juga nggak tahu
jawabannya. Sampai sekarang gua sendiri aja masih terus bertanya-tanya tentang
perasaan Tita terhadap gua. Dia selalu baik terhadap gua. Dan karena Tita
adalah gadis yang mandiri, maka ketika kadang-kadang dia bersikap agak manja
pada gua, gua sering menafsirkannya sebagai rasa sukanya terhadap gua. Tapi toh
dia nggak pernah menunjukkannya secara jelas. Dia selalu bikin gua
terombang-ambing dengan sikapnya yang fluktuatif, yang kadang sangat cuek dan
mandiri namun terkadang manja dan kekanakan. Gua bahkan sempat marah pada Tita
karena gua pikir selama ini dia cuma mempermainkan perasaan gua aja dengan
sikap baiknya. Tapi setelah gua pikir-pikir lagi, gua rasa sikap cueknya itu
mungkin karena dia emang masih polos dan kekanakan, sehingga bahkan nggak sadar
bahwa gua mencintainya dan sikap baiknya udah bikin gua salah paham dan
mengiranya juga mencintai gua. Damn! GR-nya gua!!!
Sikap bang Ghaza juga mencegah gua bertanya pada
Tita. Akhirnya sampai 9 tahun hubungan kami, segalanya tetap seperti ketika
semula kami berteman. Hubungan kami tetap di situ-situ aja dan tanpa kemajuan
sedikitpun.
Setelah pembicaraan dengan ibu gua itu, gua jadi
memikirkan kembali hubungan gua dan Tita. Sembilan tahun hubungan kami serasa
tak berarti. Bang Ghaza menetangnya, dan ibu gua menginginkan gua menikahi
Indy. Segala jalan serasa tertutup untuk gua dan Tita. Kedua pihak nggak
merestui, dan gua juga nggak tahu dengan pasti perasaan Tita terhadap gua.
Semua rintangan itu membuat gua berkesimpulan bahwa mungkin kami emang nggak
berjodoh dan nggak ditakdirkan untuk menikah dan melalui hidup bersama.
Akhirnya dengan segala pertimbangan, dan karena
rasa cinta gua yang besar kepada ibu gua, sekaligus rasa takut durhaka kepada
beliau, maka guapun melamar Indy. Dan seperti yang tadi udah gua ceritakan …
seperti hukum alam yang biasa ... sialnya, semuanya berjalan terlalu cepat
diluar kendali justru saat lo sebenarnya ingin menghindarinya. Dan tiba-tiba
aja … gua sudah akan segera menikah dengan Indy sebulan lagi.
Undangan sudah selesai dicetak dan sudah banyak
yang kami sebarkan kepada saudara, kerabat, rekan bisnis ayah dan para sahabat.
Undangan untuk bang Ghaza gua serahkan sendiri kepada bang Ghaza. Dia
mengucapkan selamat dengan ekspresi wajah kompleks yang sulit gua pahami.
Sejujurnya gua nggak tahu berharap ingin melihat ekspresi seperti apa dari
abang angkat gua itu.
Tadinya Indy berkeras pingin ngasih sendiri
undangan pernikahan kami kepada Tita karena mereka bersahabat dekat saat
kuliah. Tapi gua nggak kalah berkeras untuk memberikan undangan itu kepada
Tita. Gua bilang sama Indy bahwa gua akan menyerahkan undangan untuk Tita
sekalian saat menyerahkan undangan untuk Ghaza, dengan alasan efisiensi. Dan
akhirnya Indy setuju.
Pada kenyataannya, gua nggak menyerahkan undangan
untuk Tita kepada bang Ghaza. Sebenarnya gua emang nggak pernah benar-benar
berniat begitu. Gua pingin memberikan undangan itu secara pribadi kepada Tita. Gua pingin ketemu dia, at least for the last time before I
married another girl. Gua pingin menemuinya dan mencintainya
terakhir kali, meski gua nggak akan pernah bisa menyatakan cinta gua padanya
seumur hidup.
Malam
ini gua datang ke rumah Tita dan menyerahkan undangan pernikahan gua kepadanya.
Tita menerimanya sambil diam
dan membacanya dengan sangat lama. Gua menunggunya dengan perasaan nggak
karuan. Gua benci menunggu seperti itu! Sial!!! Kenapa belakangan ini gua harus
melakukan hal-hal yang nggak pingin gua lakukan?!
Setelah beberapa saat yang lama, akhirnya Tita
menutup kartu undangan pernikahan gua. Lalu dia menatap gua dengan ekspresi
datar.
“ Aku udah tahu mas akan menikah dengan Indy, “
kata Tita dengan nada tenang.
Gua yang kaget karena ternyata bang Ghaza bergerak
cepat mengabarkan berita ini pada adiknya, padahal gua baru memberitahunya tadi
siang. Dasar!
“ Indy yang cerita, “ kata Tita kemudian, seperti
menjawab kesalahpahaman gua. Inilah salah satu hal yang bikin gua suka pada Tita. Entah bagaimana,
sepertinya dia selalu bisa membaca pikiran gua. Gua nggak pernah perlu
menjelaskan panjang lebar tentang diri gua atau pikiran gua. Tita memahami gua
seolah-olah udah mengenal gua berabad-abad. Sialnya ... kenapa dia cuma bisa membaca pikiran
gua aja sih? Dan kenapa nggak bisa membaca hati gua? Kenapa???!!!
“ Dia minta pendapatku waktu mas Danu malamarnya
beberapa bulan yang lalu,” lanjut Tita.
Gua kaget untuk kedua kalinya. Indy meminta pendapat Tita? Dan apa
jawaban Tita?
“ Kubilang pada Indy, dia harus mengikuti kata
hatinya. Dan ternyata dia
menerima mas. Selamat ya Mas! “ lagi-lagi Tita menjawab pertanyaan
di kepala gua. Ekspresinya datar dan normal.
Gua nggak tahu harus mengharapkan reaksi seperti
apa dari Tita. Tapi jelas
bukan reaksi seperti ini. Gua mengharapkan ekspresi yang lebih ekstrim lagi!
Gua justru berharap dulu Tita melarang Indy menerima lamaran gua. Mungkin juga
gua setengah berharap Tita akan menangis setelah membaca undangan pernikahan
gua karena merasa kehilangan gua. Gua juga setengah berharap Tita tiba-tiba
marah dan menentang pernikahan gua, dan justru menyatakan cintanya terhadap
gua. Tapi semua itu tentu saja, sialnya, cuma ada di dalam hayalan liar gua.
Tita nggak pernah melakukan kedua hal konyol itu. Dan dia justru memberi gua
selamat sambil tersenyum. Sialan!
Hati gua hancur dan sakit menerima reaksi Tita.
Jadi selama ini dia memang nggak mencintai gua. Dia cuma menganggap gua sebagai
kakaknya. Maka dia nggak menyuruh Indy menolak gua dan malah memberi gua
selamat atas pernikahan gua dengan sahabatnya sendiri.
“ Aku marah karena mas baru kasih tahu aku
sekarang, “ kata Tita tiba-tiba. “ Tapi aku ikut bahagia untuk kebahagiaan
mas.”
Aku nggak bahagia,
Tita … kata gua perih
dalam hati … Aku menderita melihatmu begini.
Tiba-tiba saja gua merasa pertahanan gua hampir
jebol. Gua pasti sudah gila karena tiba-tiba aja gua pingin memeluk Tita dan
menyatakan cinta gua padanya. Tapi kemudian, unfortunately, lagi-lagi
kepengecutan dan akal sehat gua kembali mengambil alih. Untuk apa gua
mengatakannya sekarang? Tita hanya akan menatap gua dengan jijik karena
mengkhianati sahabatnya atau dia akan menganggap gua sudah gila dan
mempermainkannya. Dan kalau aja Tita malah menerima cinta gua, apa artinya? Toh
gua udah akan segera menikah dengan orang lain. Gua nggak bisa membatalkannya
dengan tiba-tiba. Kalau benar kami saling mencintai, trus gimana? Toh kedua
keluarga kami menentang hubungan kami … bang Ghaza dan ibu gua. Kalau kami
memang saling mencintai, toh kami tetap nggak bisa bersatu. Jadi apa gunanya
mengatakan perasaan gua sekarang, di saat segalanya sudah terlambat. Perbuatan
bodoh itu malah bakal membuat keruh suasana dan memperburuk hubungan kami.
Biarlah kami selamanya seperti ini. Mungkin emang
selamanya gua cuma bisa mencintainya dalam hati … pikir gua.
“ Kamu bakal datang kan?” kata gua akhirnya, dengan hati tersayat-sayat, sambil berusaha sekuat
mungkin untuk bersikap normal.
Tita tersenyum.
“ Aku nggak yakin sih Mas, “ katanya, “Sebenarnya bulan
depan aku sudah harus pergi ke Korea … “
“ Pergi kemana? “ potong gua cepat. Gua kaget
setengah mati, sampai-sampai gua menegakkan posisi duduk gua saking kagetnya
gua pas dengar berita itu.
“ Korea Selatan. Seoul tepatnya.”
“ Ngapain? “
“ Hehe … maaf ya aku lupa cerita. Akhirnya aku dapat
beasiswa ke Korea.”
Gua syok. Tita akan pergi. Bahkan sekarang gua
sudah merasa kehilangan sebelum dia benar-benar pergi.
“ Tapi kurasa aku masih sempat datang ke acara
pernikahan mas, “ kata Tita kemudian.
Tapi gua nggak peduli. Gua udah nggak peduli lagi
pada acara pernikahan gua. Berita yang baru aja gua dengar bikin gua syok
berat.
“ Berapa lama di sana? “ tanya gua khawatir.
“ Tiga tahun, mungkin? Atau lebih kalau aku bisa
dapat beasiswa doktoral juga.“
“ Gimana kamu hidup sendirian di sana? Apa nggak
bahaya? “
“ Aku punya kenalan kok di sana. “
“ Orang Indonesia yang kuliah disana juga? “
“ Orang Korea. “
“ Apa?! Jadi kamu nggak punya teman Indonesia di
sana? Di negeri orang dan
kamu bergantung pada orang asing? Itu bahaya, Tita! “
“ Mas, nggak usah khawatir gitu lah. Bang Ghaza
aja biasa aja kok. Teman Korea-ku itu orang baik. Kami udah saling kenal selama
lima tahun. Dia banyak membantuku selama skripsi. Dia juga yang membantuku
mendapatkan beasiswa itu. Dia bahkan yang mencarikan apartemen untukku. He’s
a good guy. Mas nggak perlu khawatir. “
“ He? Teman Korea-mu itu laki-laki? “
“ Iya.”
“ Dan kamu masih menganggapnya baik? Bagaimana kalau dia bermaksud jahat
padamu?”
“ Maksud jahat apa maksud mas?” tanya Tita sambil menatap gua dengan tatapan tajam. Tatapannya bermakna
tersinggung. “ Kenapa mas tiba-tiba jadi berpikir picik begitu sih?”
“ Realistislah, Tita. Dia laki-laki dan kamu
perempuan. Dia bisa saja …”
“ Apa? Berniat memperkosaku? “ potong Tita
dengan lugas. Ini salah satu sifat Tita yang sangat tidak disukai ibu gua. Terkadang Tita bisa bicara sangat lugas
dan tanpa basa-basi. Dia selalu mengungkapkan apa yang ada di pikirannya. Nggak
peduli apakah pikirannya pantas diucapkan atau nggak. Seperti saat ini
contohnya.
“ Dia
bahkan nggak tahu kalau aku perempuan, mas. Selama kami chatting, dia
menganggapku sebagai laki-laki. Jadi bagaimana mungkin dia sudah berniat
mencelakakanku? “
Lugu banget sih ni anak?! Gua nggak tahan melihat kepolosannya. Di luar sana
begitu banyak orang jahat dan dia masih saja menganggap semua orang baik.
Sementara disini ada seseorang yang mencintainya sejak dulu, tapi dia malah
menganggap kebaikan gua sebagai kebaikan biasa. Damn!
“ Kalau dia aja bahkan nggak tahu bahwa kamu
perempuan, gimana kamu bisa yakin bahwa dia orang baik?” kata gua kesal.
“ Dan gimana mas yakin bahwa dia bukan orang baik
padahal mas nggak pernah ngobrol dengannya?” Tita balik bertanya,
memukul perasaan gua dengan telak. Tita membela orang asing itu dan malah memojokkan gua, padahal gua kan
mencemaskannya.
“ Kalau dia bermaksud jahat padaku, buat apa
menunggu bertahun-tahun? Buat apa dia repot-repot mengusahakan beasiswaku?
Lagipula, realistislah, mas. Aku bahkan nggak cantik. Siapa sih orang bodoh
yang bakal tertarik berbuat macam-macam padaku? Gadis Korea pasti lebih cantik
dariku.”
Lo mungkin nggak memenuhi kriteria cantik di mata
orang lain, Tita, tapi gua selalu merasa lo sangat cantik. Don’t you know
that?! Damn!
“ Dan aku nggak yakin dia sejahat yang mas pikir. Aku lebih mengenalnya daripada mas. Dan
dia orang baik,” lanjut Tita tegas. “ Kurasa aku cuma memberitahu
mas bahwa aku akan pergi belajar ke Korea bulan depan, dan bukannya meminta
izin. Ibu sudah merestuiku dan bang Ghaza sudah setuju. Aku hanya
memberitahu mas. Jadi aku nggak akan merubah rencanaku cuma karena
prasangka-tak-berdasar mas. Tapi jangan takut, aku usahakan tetap datang ke pernikahan mas.”
Gua merasa sebuah sembilu menusuk jantung gua. Gua
jadi teringat lagi bahwa gua adalah lelaki yang sudah akan segera menikah dan
nggak sepantasnya mengurusi urusan gadis lain selain calon istri gua. Damn!
Kenapa sih gua harus mengingat kenyataan itu lagi?! Kenapa akal sehat gua
kembali?
“ Selamat,
kalau begitu, Tita … atas beasiswamu,” kata gua akhirnya. Gua menyerah.
Tampaknya kami memang sudah ditakdirkan untuk berpisah. “ Semoga kamu berhasil
di sana … dan selalu baik-baik aja. “
“ Makasih atas doanya, mas, “ jawab Tita, “Selamat
juga atas pernikahan mas dan Indy. “
“ Ucapanmu disimpan aja sampai hari pernikahanku.
Artinya kamu harus datang, “ kata gua, masih dengan hati yang sakit
tersayat sembilu.
Tita mengangguk dan tersenyum, kelihatannya
benar-benar senang atas pernikahan gua. Dan ekspresi seperti itu justru makin
menyakiti hati gua.
Gua pulang dari rumah Tita nggak lama setelah kami
berbasa-basi sebentar. Hati gua remuk redam malam ini, apalagi saat mengingat
perpisahan kami, ketika Tita mengantar gua pulang hingga ke pagar rumahnya.
Dia memanggil gua tepat saat gua baru aja akan
masuk ke dalam mobil. Langkah gua tertahan dan gua menolehkan kepala kepadanya.
Nampaknya tiba-tiba Tita menyadari perasaannya terhadap gua lalu berlari ke
arah gua dan memeluk gua, lalu mengatakan bahwa sebenarnya selama ini dia
mencintai gua lalu dia melarang gua menikah dengan Indy dan berjanji nggak akan
kuliah ke Seoul.
Geblek! Semua kejadian dramatis itu cuma hayalan
liar gua belaka! Kenyataannya, semua impian itu nggak
pernah menjadi kenyataan.
“ Saranghaeyo, mas, “ kata Tita kemudian.
Gua terpana karena sama sekali nggak tahu apa maksud kata-katanya. “ Saranghamida,
Danu-Oppa!“ Tita mengulangi kata-kata aneh itu sambil membungkuk ala orang
Jepang memberi salam.
“ Apa itu bahasa Korea? “ terka gua yang tiba-tiba
aja segera menyadarinya.
“ Iya, “ jawab Tita. “ Oppa itu panggilan
kepada kakak laki-laki. Danu-Oppa artinya mas Danu.”
Hati gua luluh lantak mendengar penjelasan bahasa
Tita (tepat seperti judul lagu Samson). Jadi benar, selama ini Tita memang cuma
menganggap gua sebagai kakak laki-lakinya … sama saja seperti bang Ghaza, dan
nggak pernah lebih.
“ Dan Saranghaeyo itu artinya seperti Sarang
in Gayo-mu selama ini? “ gua merasa
menanyakan hal itu dengan nada suara yang dingin.
Tita nggak langsung menjawabnya. Dia memandang gua
dengan tatapan dalam, membuat jantung gua berdetak cepat ketika menunggu
jawabannya.
“ Lebih dalam dari itu, “ jawab Tita akhirnya.
“ Apa yang lebih dalam artinya daripada kata-kata Sampai
Jumpa-mu itu? “
Tita lalu tersenyum. Senyumnya kaku dan tampak
sedih. Meskipun gua nggak benar-benar yakin, tapi kalau gua nggak salah
mengartikannya, itu memang sebuah senyuman sedih. Dan ini pertama kalinya gua
melihat senyum-tak-ceria seperti itu dari bibir Tita. Gua jadi penasaran.
Tapi sebelum gua sempat berpikir lebih jauh, Tita melambaikan tangannya pada gua sambil
mengucapkan: “ Bye then, mas, at your wedding. “
Akhirnya gua cuma bisa memandanginya untuk
terakhir kalinya dengan penuh rasa cinta. Berharap bahwa untuk sekali saja Tita
bisa melihat rasa cinta gua melalui pandangan mata gua. Ini terakhir kalinya
gua berhak mencintai gadis lain. Kali lain gua bertemu dengan Tita lagi, gua
sudah nggak berhak memandanginya seperti ini lagi karena saat itu gua pasti
sudah menjadi suami Indy.
Tita tersenyum pada gua. Gua membalas senyumnya.
Lalu gua mengucap salam. Tita membalas salam gua, dan gua pun masuk ke mobil.
Itulah perpisahan kami. Nggak dramatis seperti
yang gua hayalkan. Tidak pula romantis. Hanya menyakitkan.
Semuanya sudah terlanjur. Gua melangkah pergi. Dan Titapun pergi meninggalkan gua. Kami
saling meninggalkan. Kami memang bukan dua orang yang ditakdirkan untuk
menghabiskan hidup bersama. Mungkin memang Indy-lah jodoh gua. Dan gua harus
belajar menerima kenyataan itu.
* * *
---CALISTA—
Akhirnya gue mengatakannya juga. Semalam gue mengatakan perasaan gue pada
Danu. Cuma … ya itu … Damn! Lagi-lagi waktunya nggak tepat. Gue mengatakannya
saat dia mengantarkan undangan pernikahannya. And guess what!
Lebih geblek
lagi, gue mengatakannya dalam
bahasa Korea yang bikin Danu salah mengartikannya. Pada akhirnya dia tetap
nggak tahu bahwa gue mencintainya.
Tapi apa gunanya kalau dia tahu? Toh dia bakal
segera menikah, dan ironisnya, dengan sahabat gue sendiri. Apa gunanya kalau
dia tahu? Toh keluarga kami nggak merestui. Jadi apa artinya kalau gue mengatakan yang sebenarnya? Itu cuma bakal
bikin keadaan jadi runyam dan hubungan gue dengan Danu dan Indy malah bakal
rusak. Biarlah semua tersimpan dalam hati, selamanya. Halahhhhh…..
Setelah dia pulang semalam, gue segera pergi
tidur, dan berharap bisa melarikan diri ke alam mimpi. Tapi ternyata nggak
bisa. Aneh banget kan? Bahkan orang yang paling bersahabat dengan alam mimpi
seperti gue pun (secara ya, gue ini orang yang doyan banget tidur) tetep nggak
bisa numpang membuang kesedihan gue di alam mimpi.
Gue tidur selama 9 jam, dan di tiap jamnya gue
memimpikan perjalanan kami setiap tahunnya yang diputar cepat bagai film. Saat
gue terbangun ketika mendengar azan subuh, gue merasa pipi dan bantal gue basah
kuyup. Gue pasti menangis semalaman tanpa gue sadari.
Entah apakah hidup gue bakal senormal biasanya
setelah ini? Kayaknya sih nggak mungkin. Gue nggak bakal pernah bisa hidup
seperti biasa lagi. Karena gue udah terbiasa hidup dengan Danu ada di sekitar
gue selama sembilan tahun ini. Well, actually, emang sih dia nggak
selalu menemani gue, tapi setidaknya dia nggak menghilang dari sisi gue karena
(meski cuma terkadang) dia masih tetap menelpon dan mengirimi gue e-mail dengan
kata-katanya yang menentramkan dan menyemangati. Dan kalau sekarang gue harus
berpisah dari Danu, maka hidup gue nggak akan pernah seperti biasa lagi, karena
nggak bakal ada lagi mas Danu yang dengan penuh perhatian menanyakan kabar gue.
Bahkan meskipun dia masih tetap melakukannya setelah dia menikah nanti, gue
yang bakal merasa bersalah pada Indy. Gue pribadi nggak akan rela kalau suami
gue dengan penuh perhatian menanyakan kabar perempuan lain. Jadi gue nggak akan
tega melakukan hal sejahat itu pada sahabat gue sendiri.
Gue udah melatih
diri sekuat hati sejak hari Indy memberitahu gue tentang lamaran Danu. Gue udah
melatih diri untuk nggak bersedih dan belajar menerima kenyataan. Tapi ternyata
gue tetap nggak bisa nggak bersedih karena kehilangannya.
Gue sudah mencintainya selama 9 tahun, jadi
bagaimana mungkin gue bisa tiba-tiba berhenti mencintainya begitu aja?
Bagaimana mungkin gue nggak bersedih saat kehilangan dirinya selamanya? Mungkin
gue masih akan terus bersedih dan terus mencintainya sampai beberapa tahun ke
depan. Entahlah.
Bang Ghaza datang pagi ini saat sarapan. Tanpa
basa-basi dia tanya apakah gue udah mendapat undangan pernikahan Danu. Gue
jawab sudah.
“ Dan gimana perasaan lo sekarang? “ tanya bang
Ghaza kemudian.
“ Ya nggak gimana-gimana. Biasa aja.” jawab gue acuh-tak-acuh.
“ Kamu marah sama Abang? “
“ Marah kenapa? “
“ Karena abang melarang kalian? ”
“ Sejauh apapun terpisah, kalau memang jodoh pasti
tetap bersatu. Selama apapun bersatu, kalau bukan jodoh maka akan terpisah
juga. “
Halahhhh … lagi-lagi gue mengucapkan kata-kata
bijak yang menyayat hati gue sendiri. Gue mengakui kebenaran kata-kata itu,
tapi gue membencinya! But, unfortunately,,, nampaknya gue bakal sering
mengucapkan kata-kata itu mulai sekarang.
“ Lo masih cinta dia? “
“ Apa aku pernah mencintainya? “gue balik
bertanya dengan suara yang gue rasakan dingin. Gue sebenarnya jarang banget lho
bersikap dingin begini terhadap abang kesayangan gue ini.
“ Lo cinta dia kan? “ sekali lagi bang Ghaza
menanyakan hal yang bikin gue makin senewen.
Damn!!! Bang, kalau Abang tanya hal itu sekali lagi, Abang bakal dapet
bonus piring cantik! Tapi itu piring gua lempar ke muka Abang!!!!!!!
“ Apa perlunya aku menjawab pertanyaan konyol itu sekarang?!
“
“ Lo pasti marah sama Abang kan?! “
Bang Ghaza tetap berkeras mengetahui isi hati gue.
Dan gue berkeras mengelak darinya.
“ Apa ada gunanya aku marah pada abang? ” jawab
gue, berusaha mengatur suara gue agar tetap datar dan nggak naik satu tone pun.
Gue meninggalkan Abang bahkan sebelum sarapan gue
habis (dan sebelum itu piring sarapan bisa gue lempar ke mukanya). Gue udah
nggak kuat ngomong berlama-lama lagi sama Abang karena takut gue bakal meledak
di hadapannya dan memberinya sebuah piring cantik (yang bakal gua lempar ke mukanya!!!!!).
Kalau mau jujur, gue emang marah buanggggeeeet sama Abang. Tapi rasa cinta gue
pada Abang lebih besar dari rasa benci gue. Cuma ya … gue lagi nggak mau aja
ngomong dengan siapapun saat ini, terutama soal pernikahan Danu.
Lagu Bunga Citra Lestari mengalun dari MP4
komputer gue saat ini, saat gue menuliskan ini. Itu mengingatkan gue pada film
yang pernah gue tonton beberapa tahun lalu yang dimainkan oleh Bunga Citra dan
Benjamin Joshua berjudul Cinta Pertama.
Ada satu kalimat yang sampai sekarang gue nggak
bakal pernah bisa lupa karena begitu mirip menggambarkan diri gue dan kisah gue
selama beberapa tahun ini:
Semua orang punya impian,
Ada yang berlari dan mengejarnya,
Ada yang mundur dan membuangnya,
Tapi ada juga yang diam dan memendamnya,
Dan aku adalah yang ketiga.
Kata-kata itu benar-benar menggambarkan diri gue
saat ini. Dan lagu Bunga Citra yang sedang gue dengarkan ini justru menambah
sedih gue.
Never
thought you came into my life
And
makes my life brighter
And
makes my dreams come true
You
bring life to everything I do
All things that you say
Will
be last forever
I
love you,,, and you know my love is true
It
will never end till the end of time
How
I’ll never find someone like you
But
I have to go on, and I still will go on
How
I’ll never find love like yours
And
those sweet memories, it will always last forever
*
* *
big_barney :
Aku datang besok, Parker.
mr.parker :
Datang kemana?
big_barney :
Ke negaramu lah.
mr.parker :
WHAT??? Serius, Barn?
big_barney :
Apa aku terkesan bercanda?
mr.parker :
Kamu selalu bercanda kan?
big_barney : Sekarang aku benar-benar serius.
mr.parker : Kenapa tiba-tiba?
Subject :
about going married
Assalamu’alaikum
mas Danu,,,
Congratulation ya
mas... Selamat!!! Akhirnya nikah juga. Finally u find her... She must be very
gorgeus at wedding.
Tapi aku minta
maaf banget ya mas, aku nggak bisa datang ke acara pernikahan mas. Besok aku
udah harus berangkat ke Seoul. Semoga mas dan Indy bisa mengerti. Maafin aku ya
mas. Sampaikan juga maafku ke Indy.
Kado pernikahan
kalian aku titipkan melalui bang Ghaza. Semoga kalian suka, dan semoga bermanfaat. Semoga kalian berdua ... happily
ever after.
Ini adalah e-mail
terakhirku. Aku pasti sibuk banget di sana, jadi nggak akan bisa kirim e-mail
lagi. Kita mungkin juga nggak bakal ketemu lagi,,,
Wassalamu’alaikum...
SARANG HAEYO
Tita
mr.parker : Barney...?
mr.parker : Barn ...?
mr.parker : Hei, Bro??? Kamu masih disitu?
mr.parker : Aku pergi nih...
mr.parker :
Kalau sekali lagi kamu nggak balas juga, aku sign-out ya.
big_barney :
Sorry, sorry, Parker.
mr.parker : Kamu kemana aja sih?!
big_barney :
Maaf, tadi ada urusan sedikit. Sampai mana obrolan kita tadi?
mr.parker :
Aku tanya, kenapa kamu datang mendadak?
big_barney :
Nggak mendadak kok. Pengen kasih kamu
kejutan aja.
big_barney :
Kenapa memangnya? Kamu nggak suka aku datang sekarang?
mr.parker :
Jangan bodoh deh! Aku malah senang banget. Akhirnya kita bisa ketemu,,, Teman
dari Negeri Jauh
mr.parker :
Aku jemput ya?
big_barney :
Kamu nggak keberatan?
mr.parker :
Tentu aja nggak.
big_barney :
Aku jadi benar-benar merepotkanmu, Parker.
mr.parker :
Jangan sungkan! Aku akan menjemputmu.
big_barney : Wah, makasih
banyak, Parker. Maaf merepotkan.
mr.parker : Hei! Teman
seharusnya nggak bilang begitu, Bro.
big_barney : Sorry, Bro.
Tapi makasih banyak ya... Aku jadi banyak merepotkanmu nih ,,, =) Kalau nggak
bareng kamu, aku pasti bakal tersesat di negeri orang. Untung kamu mau jemput aku. Makasih ya, Bro.
mr.parker :
Tipikal orang Indonesia banget deh,,, penuh rasa sungkan dan selalu berterima
kasih dan minta maaf secara berlebihan. Dasar!
big_barney :
Yah, maaf deh,,,
mr.parker :
Tuh kan, minta maaf lagi.
big_barney :
HWAHAHAHA,,,
Calista mengetik kata tawa itu masih sambil terus berlinangan air mata.
Tangisannya tak juga mau berhenti sejak dia menulis e-mail perpisahannya. Tapi
dia berjanji pada dirinya sendiri, itu adalah air mata terakhirnya. Dia tidak akan pernah menangis sedih lagi
mulai saat itu. Sudah waktunya memulai segalanya dari awal lagi. Teman baru dan
tempat yang baru telah menunggunya untuk itu.
Dan jika nantinya dia akan menangis lagi ... Calista bersumpah bahwa
tangisan berikutnya haruslah sebuah tangis bahagia.
* * *
---CALISTA—
Gue berdiri. Dan tangisan
ibu gue makin memilukan. Air mata gue pun jadi nggak tertahankan ketika melihat
beliau menangis. Gue tahu bahwa ibu gue sedih. Gue juga sedih banget. Ini
pertama kalinya gue hidup jauh dari ibu. Setelah 24 tahun hidup di dalam kasih
sayangnya, sekarang gue harus belajar hidup mandiri dan tinggal jauh dari
beliau. But at least, gue tahu bahwa bang Ghaza akan menggantikan gue
menjaga ibu.
Gue memeluk ibu sekali lagi, untuk terakhir kali. Air mata ibu jatuh
bercucuran di pundak gue, dan segala kesedihannya jatuh seiring air
matanya, menimpa dan membebani gue. Kami
berpelukan sangat lama, karena dalam waktu lama kami nggak akan bisa berpelukan
lagi.
“ Doakan Tita supaya cepat selesai kuliah ya, bu. Tita akan secepatnya pulang, ” kata gue dengan
suara terisak.
” Belajarlah yang benar, Tita sayang. Jangan pulang sebelum mendapat gelar Master
of Pharmacy di belakang namamu, ” kata ibu. Suaranya tertahan. ”Ibu dan
Abang menunggu. Jadi kamu harus lulus secepatnya, dan pulang secepatnya,”
lanjut ibu. Beliau menangis, tapi tampak sangat tegar. Dan kekuatannya itu
menegarkan gue.
Setelah ibu melepaskan pelukannya, bang Ghaza segera menyergap gue. Dan gue
menangis sesenggukan di dadanya yang bidang. Abang merengkuh gue dengan
lengannya yang kekar dan pelukannya makin kuat seolah dia ingin menyembunyikan
gue dalam dekapannya dan nggak membiarkan gue pergi. Sebenarnya badan gue
serasa remuk oleh pelukan Abang, tapi gue sama sekali nggak mau melepaskan
diri. Gue tetap memeluk Abang gue tersayang.
Sama seperti ibu, selama 24 tahun ini gue nggak pernah lepas dari kasih
sayang Abang, bahkan setelah Abang menikah, dia tetap memperhatikan gue. Kami
sering bertengkar karena kekeras-kepalaan Abang, tapi Abang juga selalu
melindungi gue. Terkadang gue merasa Abang over-protective terhadap gue.
Pada kasus terakhir belakangan ini, gue membenci Abang karena sudah terlalu
mengatur hidup gue ... tapi ternyata gue tetap merasa kehilangannya sekarang.
Itu bukti yang jelas bahwa apapun yang terjadi, gue tetap mencintai Abang. Gue
tahu bahwa semua yang dilakukannya untuk melindungi gue.
Saat kami saling melepaskan pelukan dengan enggan, gue melihat Abang
menangis. Seingat gue, Abang hanya pernah dua kali meneteskan air mata.
Pertama, saat menikahi mbak Alma (dan itu jelas tangis bahagia) dan kedua ...
sekarang. Dia selalu bilang sama gue bahwa di dalam hidupnya dia cuma pernah
mencintai tiga orang perempuan: ibu, mbak Alma dan gue. Sekarang gue tahu bahwa
Abang bukan cuma merayu.
” Jaga diri baik-baik disana, Tita ... ” kata Abang, sambil buru-buru
menghapus air matanya. ”Abang nggak bisa jagain lo lagi ... ”
” Jangan anggap Tita anak kecil melulu, Abang ... ” kata gue terharu.
Untuk menghindari menangis lebih parah lagi, gue memalingkan wajah kepada
mbak Alma yang ikut mengantar gue.
” Tita pergi ya, mbak, ” gue pamit pada mbak Alma yang matanya sudah
berkaca-kaca. Dia mengangguk, dan tersenyum, dan menangis, tanpa sanggup
bersuara.
”Tante Tita pergi ya, Azis, ” dan
gue berpaling pada keponakan gue yang sedang dalam gendongan mbak Alma. Gue
mencubit pipinya dengan gemas.
Azis ... gue yang menamainya. Abang memberi gue kesempatan untuk menamai
anak sulungnya. Suatu kehormatan buat gue. Dan gue menamakannya Azis, yang
artinya Perkasa. Kelak dia akan jadi lelaki perkasa yang akan menjaga
adik-adiknya, seperti yang dilakukan ayahnya pada gue.
Sekarang gue baru percaya bahwa anak kecil adalah peniru. Nggak cuma meniru
film-film superhero di TV aja, tapi ternyata mereka juga dengan cepat meniru
perasaan orang-orang di sekitarnya. Azis mengantar gue dengan tangisan. Dan itu
suatu kehormatan buat gue, karena anak sekecil itupun sudah mencintai gue.
Mbak Alma sedang menangis sambil berusaha membuat Azis berhenti menangis
ketika terdengar pengumuman keberangkatan.
Gue menyambar ransel gue, lalu kembali pada ibu. Gue meraih tangannya dan
menciumnya takzim. Sementara itu, ibu membelai kepala gue dengan tangannya yang
satu lagi. Gue bakal merindukan tangan-tangan yang selalu membelai gue dengan
lembut dan penuh kasih sayang ini.
Setelah itu gue mencium tangan Abang, sama takzimnya. Dia membelai kepala
gue juga, lalu menambahkan ciuman di dahi gue. Ini pertama kalinya dia
melakukannya. Dan gue terharu banget.
Setelah sesi haru-biru itu, gue membuka ransel dan memberikan sesuatu pada
Abang.
“ Aku titip ini buat mas Danu. Hari ini Abang datang ke sana kan? ” kata
gue sambil mengulurkan bingkisan berwarna pink itu.
Gue kesal pada Abang karena tiba-tiba dia menunjukkan wajah itu lagi
saat gue nggak mau melihatnya begitu.
” Sekali lagi Abang minta maaf, Ta, ” kata Abang dengan tampang menyesal.
Gue menarik tangan Abang dan meletakkan bingkisan pink itu di tangannya. ” Abang
udah menggantinya dengan mantel-mantel yang bagus dan hangat, ” kata gue asal.
” Tapi Danu nggak tergantikan kan? ” tanya bang Ghaza kemudian. Makin bikin mood gue jelek.
“ Abang yang
nggak tergantikan.”
“ Jawab jujur,
Ta. Apa lo menyesal dia
menikah dengan orang lain? Apa lo cinta dia? Apa lo menyalahkan Abang?“
Gue benci harus berbohong sekali lagi. Tapi kalau white-lie
benar-benar ada … inilah contohnya. Gue nggak akan meninggalkan Abang dalam
rasa bersalah. Dan dia memang nggak bersalah.
Gue memaksakan sebuah senyum.
“Aku nggak pernah mencintai lelaki manapun melebihi terhadap Abang,”
kata gue jujur.
Sebuah lagu lama terngiang di telinga gue ketika gue melangkah pergi. Itu soundtrack hidup gue hari ini. Tapi
nggak akan bertahan lama. Gue yakin.
Can not touch, can not hold
Can not be together
Can not love, can not kiss
Can not have each other
Must be strong and we must let go
Can not say what our hearts must know
How can I not love you?
What do I tell my heart?
When do I not wants you here in my
arms?
How does one walk away from all of the
memories?
How do I not miss you when you’re
gone?
Can not dream
Can not share sweet and tender moment
Can not feel, how we feel
Must pretended over
Must be brave and we must go on
Must not say what we’ve known all a
long
How can I not love you?
(Joy Enriques – Soundtrack of Anna &
The King)
Keluarga gue masih menangis di belakang. Tapi gue nggak mau menoleh ke
belakang, karena gue bakal tambah berat berpisah dengan mereka.
Gue melangkah menuju gerbang keberangkatan. Itu gerbang kehidupan gue yang
baru. Gue meninggalkan kenangan di belakang dan melangkah menuju impian.
Gue merobek-robek undangan pernikahan Danu menjadi serpihan dan membuangnya
ke tong sampah sebelum keluar menuju landasan pesawat. Seperti itulah gue
membuang masa lalu gue.
Gue menaiki pesawat sambil mengucap doa. Seperti itulah gue menyongsong
masa depan gue.
---DANU---
Gua melihat sekeliling. Dari sekian banyak tamu yang datang, gue belum juga
melihat bang Ghaza maupun Tita. Sambil terus menyalami tamu-tamu yang datang ke
acara pernikahan gua ini, mata gua terus tertuju ke arah pintu masuk aula ini.
Pada jam 12 siang akhirnya bang Ghaza datang bersama istri dan anaknya.
Tapi gua sama sekali nggak melihat Tita.
” Selamat, Bro! Congratulation! Ganteng banget lo hari ini, ” kata bang
Ghaza sambil menjabat tangan gua dan menepuk-nepuk bahu gua. Dia tersenyum
lebar, tapi wajahnya tampak agak suntuk.
” Thanks for coming, bang! ” kata gua.
“ Barni nggak bareng sama Abang? ” tanya Indy tiba-tiba, lebih dulu
menanyakan hal yang membuat gua penasaran dari tadi.
“ Tita nggak bisa datang, “ kata bang Ghaza.
Zleppp!!! Rasanya seperti jantung gue dicabut dari rongga dada gue dengan
kekerasan.
” Tapi dia nitipin sesuatu buat kalian. Kado pernikahan. Gue taruh di meja
penerima tamu. Dia menyampaikan maafnya pada kalian. Dia juga ucapin selamat
buat kalian.”
Damn! Rasanya rongga dada gua nyeri banget.
” Dia pergi pagi ini ke Seoul.”
Rongga dada gue serasa kosong dan hampa. Mungkin jantung gue nggak lagi ada
di tempatnya. Debarannya pergi bersama Tita.
Mengapa kita bertemu jika akhirnya
dipisahkan?
Mengapa kita
berjumpa tapi akhirnya dijauhkan?
Kau bilang hatimu
aku,
nyatanya bukan
untuk aku
Bintang di langit
yang indah... dimanakah cinta yang dulu?
Masihkah aku
disana? Di relung hati dan mimpimu?
Andaikan engkau
disini, andaikan tetap denganku...
Aku hancur, ku
terluka...
Namun engkaulah
nafasku
Kau cintaku meski
aku bukan dibenakmu lagi
Dan ku beruntung
sempat memilikimu...
(Yovie n Nuno)
* * *
Incheon International Airport
Aku sudah
menunggu selama setengah jam ketika akhirnya pesawat yang kutunggu mendarat.
Dari jendela terlihat warna putih salju melatarbelakangi seluruh sudut
pandangku saat melihat pesawat itu mendarat. Aku segera berdiri dan menunggu di gerbang
kedatangan.
Tak lama setelah itu serombongan orang keluar dari gerbang itu. Aku mengawasi mereka satu per satu. Aku
tidak mengenali satupun dari mereka. Dan sebenarnya aku juga belum benar-benar
mengenal orang yang kujemput ini selain hanya namanya. Kurasa aku malah lebih
mengenal kepribadiannya daripada fisiknya.
Aku mengangkat sebuah papan bertuliskan namanya. Berharap seseorang dari
orang-orang yang baru turun dari pesawat itu akan menghampiriku dan mengkonfirmasikan
dirinya. Anehnya, sampai tidak ada lagi orang yang keluar dari gerbang itu,
tidak ada satu orangpun yang menghampiriku.
Jangan-jangan papan nama yang kubuat kurang jelas? Atau aku salah mengeja
namanya dalam huruf latin? Makanya dia tidak mengenaliku? Atau pesawat yang
baru saja mendarat itu bukan pesawat yang kutunggu? Tapi menurut jadwal,
harusnya pesawat itulah yang membawa temanku itu.
Sepuluh menit aku menunggu, tapi tidak ada lagi orang yang keluar dari
sana. Aku menanyakan pada petugas dan katanya semua penumpang sudah turun dari
pesawat itu. Jadi dimana dia?!Dengan perasaan kesal aku mengambil ponsel dan
berusaha menghubunginya lewat email. Tapi percuma, di sedang offline. Akhirnya
kuputuskan untuk menunggu kedatangan penerbangan berikutnya. Jangan-jangan
penerbangannya terlambat atau dia ketinggalan pesawat dan naik pesawat
berikutnya?
Satu jam kemudian serombongan orang kembali keluar dari gerbang kedatangan.
Aku kembali berdiri dan menunggu. Mungkin dia berada di antara orang-orang itu.
Aku kembali mengangkat tinggi-tinggi papan bertuliskan namanya.
Saat itulah aku melihat gadis aneh itu. Tubuhnya kecil tapi penampilannya
sangat mencolok diantara sekelompok orang yang baru datang itu. Diantara
kerumunan orang, mataku terpaku padanya.
Tubuhnya yang kecil menyandang sebuah tas ransel besar di punggungnya dan
dengan terburu-buru menarik kedua kopernya. Lucu juga melihat tingkah gadis
itu. Satu-satunya bagian tubuhnya yang terlihat hanya wajahnya, dan kulit
wajahnya berwarna coklat, khas orang-orang Asia Tenggara. Matanya bulat dan
besar, tidak seperti mata orang-orang Asia Timur. Tubuhnya yang kecil tampak
menghilang dalam mantel tebalnya. Dan gaya berpakaiannya mirip dengan
orang-orang Timur-Tengah.
Gadis itu tampak berusaha menyelinap diantara kerumunan orang dengan
langkah lebar dan gerakan yang gesit. Lalu tiba-tiba tatapan mata kami beradu.
Dia tampak bingung melihatku, dan wajah bingungnya tampak makin lucu.
Tapi kemudian aku segera mengalihkan pandanganku ke arah rombongan orang-orang
di belakangnya, sambil terus mencari-cari orang yang kutunggu. Aku tidak boleh
hilang konsentrasi hanya karena terpesona pada kelucuan gadis Asia Tenggara
itu, nanti malah aku luput melihat kedatangan Teman dari Negeri Jauh-ku.
Tapi kemudian, tiba-tiba aku sadar bahwa gadis kecil berkulit coklat itu
terus berjalan ke arahku dan tak lepas memandangku. Beberapa saat kemudian
orang dengan tas banyak dan mode pakaian ala Timur Tengah itu berhenti di
hadapanku.
” Mr. Park? ” tanyanya padaku dengan nada sangsi dan tampak takut-takut.
Itu nama keluargaku. Aku mengangguk.
Kemudian tiba-tiba kesadaran yang lain memasuki otakku.
”Parker ?” tanyanya sekali lagi.
Itu nama sandiku di dunia maya. Aku mengangguk lagi dengan perasaan tak
karuan.
Aku menurunkan
papan nama bertuliskan ”Barney”.
” Barney? ” tanyaku, mengkonfirmasi dengan sangat ragu.
Jujur saja, gadis kecil ini sama sekali jauh berbeda dengan apa yang
kubayangkan. Aku jadi tidak yakin apakah dia adalah Barney yang kukenal selama
5 tahun ini. Dari gaya bahasa dan nama akunnya, kukira dia
adalah seorang lelaki gagah. Tapi ternyata yang ada di hadapanku sekarang hanya
seorang gadis setinggi 160 cm dengan selera fashion yang aneh dan tubuh yang
tenggelam di dalam mantel tebalnya.
Kini gadis itu yang mengangguk dengan wajah tampak lelah sekaligus lega.
Tapi aku justru sama sekali tidak mempercayainya. Aku berusaha mencerna
kenyataan aneh ini secepat yang bisa dilakukan otakku. Bagaimana mungkin orang
yang ngobrol denganku di internet selama 5 tahun ini adalah seorang perempuan?
”Barni imnida, ” jawab gadis itu sambil membungkuk sekilas ketika
memperkenalkan dirinya.
” You can’t
be a girl! “ tuntutku syok. Aku tentu saja tidak mau percaya begitu saja!
Gadis itu
menatapku sambil tertawa renyah. Kemudian dia melepaskan koper-kopernya, lalu
berdiri tegak dan tampak mempersiapkan diri.
” Angeyon haseyo!
My full name is Calista Shelma Barnita.,” sapanya, dengan nada
suara riang dan nyaring, memperkenalkan diri dalam bahasa Korea yang terdengar
canggung. Dia membungkuk untuk memberi salam, seperti kebiasaan bangsa kami.
Lalu dia melanjutkan kata-katanya dalam bahasa Inggris sambil nyengir lucu: ” I’m
a girl and you just call me Barni! But I don’t mind if you want to
call me Dinosaur. ”
Aku terpukul.
Ternyata perempuan ini memang Barney. Hanya dia orang bodoh yang mau kupanggil
Dinosaurus.
Jadi selama 5 tahun ini aku berbicara dan
berdebat dengan seorang perempuan kecil seperti ini? Tata bahasanya memang
cenderung lebih halus dibanding Alex, tapi kupikir itu hanya karena dia berasal
dari bangsa Melayu yang terkenal sopan dan ramah. Dia selalu mengemukakan
pendapatnya dengan lugas dan tak jarang mengintimidasi, jadi aku sangat yakin
bahwa dia seorang lelaki.
Meskipun demikian, kalau dipikir-pikir lagi
... aku memang sering menganggapnya lelaki homo karena terkadang dia bersikap
seperti perempuan juga. Jadi itukah alasannya? Karena sebenarnya dia memang
seorang perempuan?! Sial! Aku tertipu! Tapi aku tak bisa marah, karena
panggilan ”Barney” itu kedengarannya memang bagian dari nama lengkapnya. Jadi
dia mungkin memang tak bermaksud menipuku.
”I’m so sorry to make you wait for so long.
Myanhamida, Parker, ” kata gadis itu kemudian. Dan
sekali lagi dia membungkuk dalam, seperti kebiasaan bangsa kami saat meminta
maaf.
Selama beberapa lama aku cuma terdiam saking syoknya. Tapi kemudian, masih
dalam kebingungan, aku membalas sapaannya juga.
” Angeyon haseyo! ” aku membalas sapaannya sambil membungkuk
singkat.
Gadis itu ikut-ikutan membungkuk lagi dengan canggung.
Kami menegakkan badan pada saat bersamaan dan gadis itu tersenyum dengan
gaya yang menurutku sangat menawan. Rasa bingungku karena baru mengetahui jati
dirinya jadi tak terhiraukan lagi. Rasa kesalku karena sudah menunggunya selama
satu jam juga segera lenyap. Saat itu juga aku langsung merasa akan bisa
berteman baik dengan gadis ini. Apalagi ketika melihat tingkahnya yang lincah
sehingga bahkan bisa mengimbangi langkah lelaki setinggi 180 cm sepertiku saat
kami berjalan bersisian keluar dari bandara.
Sambil menarik salah satu kopernya dan menjajari langkahku (sementara aku
membantu membawakan kopernya yang satu lagi), gadis itu mulai menceritakan
alasan keterlambatannya. Saat memasuki taksi, dia sudah mengakhiri ceritanya
dan sudah berhasil membuatku tertawa terbahak-bahak beberapa kali dan
mencegahku untuk memarahinya karena sudah datang terlambat.
” Myane, Parker. May i know your full name? ” tanya gadis itu sesaat
sebelum taksi meluncur pergi.
Aku menghentikan tawaku dan menoleh kepadanya sambil tersenyum.
” Park Jun Sung imnida.
But you can call me Parker, as always, ” kataku.
Dia menggeleng sambil
tersenyum.
” May I call
you: Jun Sung-Oppa? ” tanya gadis itu.
Aku terpana.
Agak risih juga dengan panggilan seperti itu. Tapi entah kenapa, aku merasa
suka dipanggil seperti itu olehnya.
Adik
perempuan yang lucu, pikirku sambil mengangguk
memberi persetujuan, Boleh juga!
Aku membawanya pulang ke rumah. Sebenarnya aku sudah menyewa sebuah apartemen untuknya. Tapi aku sudah terlanjur berjanji pada
keluargaku bahwa hari ini aku akan mengenalkan mereka dengan seorang teman
asingku yang lain. Jadi aku mengajaknya pulang ke rumahku. Kukatakan padanya,
setidaknya besok pagi dia baru bisa menempati apartemennya.
Secara umum, keluargaku berisi orang-orang yang sangat moderat dan selalu
terbuka dengan teman-teman asingku. Mereka selalu bersikap ramah saat menyambut
teman-teman asingku, yang berasal dari kebudayaan yang berbeda, yang datang
berlibur ke Korea dan menginap di rumah kami. Meskipun begitu, aku agak
khawatir juga dengan penerimaan mereka kali ini dengan mengingat dua hal: bahwa
Barney adalah perempuan, dan karena gaya busananya yang aneh.
Tepat seperti kekhawatiranku, keluargaku tampak kaget saat bertemu dan
berkenalan dengan Barney. Aku ragu bahwa mereka bisa menerima Barney seperti
teman-teman asingku yang lain. Seperti juga petugas bandara yang sempat
menangkapnya karena mengira Barney seorang teroris (lantaran gaya pakaian
Timur-Tengahnya), keluargaku juga sempat mencurigainya demikian.
Tapi saat Barney mengucapkan ”Gamsahamnida” dan membungkuk berterima kasih
dengan agak terlalu berlebihan (saking terharunya terhadap pesta penyambutan
yang sudah terlanjur disiapkan oleh ibuku), wajah tegang keluargaku
tampak luluh. Meskipun gaya Barney yang berlebihan itu sebenarnya norak, tapi
kami semua dapat melihat ketulusannya.
Keluargaku akhirnya bahkan terbahak-bahak juga ketika mendengar kisah
tragis keterlambatan Barney di bandara yang diceritakan Barney dalam campuran
bahasa Korea dan bahasa Inggris yang aneh dan terbata-bata. Sama sekali tidak
ada yang lucu tentang kisahnya atau kata-katanya, tapi gaya bicara Barney dan
ekspresi merengutnya yang lucu itu membuat kami merasa dia sedang melawak.
Adik lelakiku segera menyukainya dan bersedia tidur sekamar denganku demi
meminjamkan kamarnya untuk Barney.
”Dia boleh pakai kamarku kalau dia mau, Hyung, ” kata adikku padaku sambil
tersenyum pada gadis itu.
Bahkan ibuku segera mengijinkan Barney memakai dapurnya yang keramat pada
keesokan harinya ketika Barney ingin membuat sarapan perkenalan untuk keluarga
kami (mengingat tidak semua orang diperbolehkan ibuku untuk memasuki dapur
keramatnya itu).
Kurasa aku juga mulai menyukainya, dan menjadi sama sekali tidak peduli
pada selera fashion ala Timur-Tengahnya yang aneh. Barney menjelaskan bahwa itu
adalah tuntunan agamanya. Dan aku sama sekali tidak keberatan dengan itu.
Terlepas dari penampilannya, dia tetap orang yang menyenangkan. Persis seperti
Barney yang kukenal selama 5 tahun ini, meskipun dia bukan laki-laki.
Jadi seperti yang pernah
dikatakannya padaku: ” Apa yang salah dengan model pakaianku? Para biarawati
juga memakai kerudung, hanya sedikit berbeda model, dan nggak ada seorangpun
yang menangkapnya dengan tuduhan terorisme? ” , maka aku tidak mempermasalahkan
gaya pakaiannya karena aku tahu kebaikan hatinya. Aku tidak merasa ada yang
salah jika berteman dengannya.
*
* *
Musik mengalun dari sudut-sudut ruangan, berasal dari sound system
yang menghasilkan suara menggema di seluruh penjuru aula yang besar itu.
Lagu-lagu yang diperdengarkan berganti-ganti antara musik Jawa dan Oriental.
Aula berhias warna putih lily, warna ungu anggrek, warna pink sakura dan
taburan salju buatan.
Pesta diadakan tidak secara besar-besaran, tapi cukup meriah. Yang tersedia
bukan hanya makanan wajib pesta, tapi ditambah juga dengan kambing guling,
lasagna, zupa soup, es krim aneka rasa, sampai bulgogi. Makanan asing lainnya,
yang bercita rasa aneh dan baru bagi para tamu, dihidangkan dan membuat para
tamu penasaran. Ada yang suka, tapi ada juga yang tidak merasa cocok dengan
rasanya.
Dan diantara segala keunikan pesta itu, yang paling membuat para tamu
takjub adalah kedua orang si empunya pesta. Keduanya bersanding di pelaminan,
sambil tak berhenti saling menatap dan tersenyum. Ada yang tidak biasa pada
pasangan itu ... mereka berdua tidak terlihat sebagai pasangan yang serasi
karena pasangan pengantin itu menunjukkan perbedaan ras yang mencolok. Terlebih
kedua mempelai dan keluarga sempat berganti pakaian adat saat resepsi: pakaian
adat Jawa dan kemudian pada pertengahan pesta mereka berganti pakaian adat yang
belum pernah dilihat para tamu selain melalui televisi. Meskipun begitu,
tampaknya tidak ada tamu yang berkeberatan dengan pernikahan mereka berdua.
Para tamu justru cenderung merasa iri (dalam arti baik) dan takjub pada
pasangan itu. Tapi mungkin tidak semuanya merasakan yang sama.
“Yang laki-laki itu
mualaf ?” tanya salah seorang tamu kepada temannya, sambil melirik sepasang
pengantin itu.
“Yah. Saya dengar baru
kira-kira setahun yang lalu dia masuk Islam.”
“Tapi bacaan
Al-Qur’an-nya lumayan lancar,” kata teman yang lain lagi.
“Oh ya? ”
“Memang tadi nggak lihat
acara ijab-qabulnya?”
” Nggak. Memang kenapa? ”
” Maharnya nggak seperti biasa. Seperangkat alat sholat, sebuah cincin
berlian... dan hafalan Al-Qur’an surat Ar-Rahman.”
” Subhanallah... ”
Sebongkah hati di pojok ruangan yang mendengar perbincangan itu merasakan
penyesalan yang makin mendalam.
Dia sudah mendengar lelaki di pelaminan itu tadi melafalkan surat Ar-Rahman
dengan sempurna. Itu merupakan suatu pengakuan cinta yang mendalam sekaligus
bentuk pamer yang memukulnya telak.
Seandainya dia dulu lebih berani dan lebih bersabar, apakah masih ada
kemungkinan lain?
Seandainya dia menyadari semuanya lebih cepat, apakah takdir bisa diubah?
Tapi semua pengandaian itu menjadi tak berarti lagi, karena semuanya sudah
terlalu terlambat untuk diubah. Dia tidak bisa mundur lagi, karena dia sudah
terlanjur melangkah maju terlalu jauh. Dia marah dan kesal, tapi tidak bisa
menyalahkan siapapun, karena dia sadar bahwa dirinyalah yang bersalah. Dia
berusaha mengingkarinya, tapi hati kecilnya tahu bahwa dialah yang terlebih
dahulu meninggalkan impiannya ... Kini yang tersisa hanya penyesalan dan rasa
kehilangan.
Sang pengantin wanita menatap suaminya dengan senyum bahagia tak lepas dari
bibirnya. Dia tidak pernah menduga bisa mendapatkan anugerah seindah itu.
Bahkan sampai ketika dia bersanding dengan pria itu di pelaminan, dia tetap
merasa bagaikan bermimpi bisa mendapatkan pria sebaik itu.
Ada begitu banyak perbedaan diantara mereka, tapi entah mengapa perjalanan
mereka begitu dimudahkan oleh Allah. Segalanya hanya serasa bagai air tenang
yang mengalir. Semua itu membuat gadis itu merasa bahwa memang lelaki itulah
yang diciptakan Allah untuknya, karena demikian pulalah jawaban shalat Istikharahnya
selama berbulan-bulan.
Gadis itu menangis saat suaminya berhasil mengucapkan ijab qabul di hadapan
kakak lelakinya dalam bahasa
Indonesia yang terbata-bata
... Tapi terlebih lagi dia menangis saat suaminya selesai membacakan maharnya
dengan lancar.
Dia menangis bahagia ... seperti sumpahnya.
Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang akan kau dustakan?
* * *
” Syapa namanya, sayang? ” kata Tita sambil berlutut menyesuaikan posisi
dengan seorang gadis kecil di hadapannya.
” Lila, ” jawab gadis kecil itu dengan canggung dan masih takut-takut.
” Kelas berapa sekarang? ”
Gadis kecil itu tampak agak bingung menjawabnya. Tita nyengir-nyengir
menggoda.
” Kelas nol kecil, tante, ” Ibu gadis kecil itulah yang menjawab pertanyaan
Tita.
Tita tersenyum sambil mencubit pipi si mungil itu, lalu berdiri dan
tersenyum pada ibu si kecil itu.
” Empat tahun, Ndy? ” tanya Tita.
” Iya, Ni, ” jawab Indy sambil mengelus rambut putri kecilnya dengan
sayang.
” Duh lucunya,,,, ” kata Tita gemas. Matanya tak lepas menatap gadis kecil
itu.
” Makanya bikin sendiri. Lu kapan punya anak, Ni? Kan S3 lu udah kelar,
nunggu apa lagi? ”
” InsyaAllah 7 bulan lagi, Ndy, ” jawab Tita sambil tersenyum sok
malu-malu.
” Oh ya? Serius? Wah, congrats ya Ni.”
“ Doain aja Ndy, hehehe.”
Saat itu seorang pria setinggi 180 cm, dengan wajah oriental mirip Ken Zhu
(pemeran Xi Men di serial Taiwán, Meteor Garden, yang sempat digandrungi para
gadis di awal tahun 2000-an), menghampiri mereka berdua sambil membawakan minum
untuk Tita.
“ Gomawo, Yeobo, “ kata Tita, menerima gelasnya sambil
tersenyum berterima kasih pada lelaki itu. Pria itu membalas senyumnya, tapi kemudian
perhatiannya segera teralih pada gadis kecil yang sedang digandeng Indy. Dia
menunduk sedikit lalu mencubit pelan pipi gadis kecil itu.
“ Jangan iseng sama anak orang, Yeobo. Nanti juga
kita punya sendiri, “ kata Tita dalam pada lelaki itu, dalam bahasa yang tak
dimengerti Indy.
Lelaki itupun tersenyum lebar.
” Anak kita nanti selucu ini nggak ya, sayang? “ balas lelaki itu, dalam
bahasa yang sama dengan yang digunakan Tita barusan.
” Kalau ayahnya seiseng kamu, dan ibunya sekonyol aku, kira-kira anak kita
selucu apa ya? ” Tita malah balik tanya, menggoda, membuat lelaki itu dengan
gemas mengelus-elus kepala Tita.
” Oh, I hate
you. Why don’t you guys speak English so I can understand what you’re talking
about, “ protes Indy tiba-tiba.
Tita dan lelaki disampingnya tertawa serentak.
“ Gini aja, “ kata Tita kemudian, “ Gue tinggalin kalian berdua, supaya
kalian bisa ngobrol, “ katanya pada Indy, lalu dia menjelaskan hal yang sama
kepada suaminya dalam bahasa mereka. “ Dan jangan coba-coba bikin temanku frustasi
dengan sok nggak bisa bahasa Inggris ya, Oppa, “ tambahnya sambil nyengir
mengancam. Tapi pria itu
membalasnya dengan cengiran jahil.
Tita meninggalkan mereka berdua dan memulai perburuan makanannya. Ada
banyak makanan enak yang tersedia di resepsi pernikahan sahabatnya, Arini, tapi
Tita justru tidak memilih lassagna atau zuppa soup atau makanan internasional
lain. Dia sudah lama tidak makan makanan khas Indonesia, jadi dia memilih
bakwan malang, apalagi karena antriannyapun tidak terlalu panjang.
Saat itulah dia bertemu dengan Danu. Lelaki itu mengantri di belakangnya.
“ Wah, apa kabar, mas? “ sapa Tita ramah.
“ Baik, Ta. Kamu sendiri gimana?”
” Hehehe, alhamdulillah, ” jawab Tita, sambil nyengir khas. ” Tadi saya
udah ketemu Indy, tapi katanya mas lagi cari makanan. Belum dapet juga? Atau
ini udah ronde kesepuluh? hahaha, ” goda Tita sambil tertawa renyah.
” Kamu ga berubah ya Ta, masih aja suka ngeledekin orang, ” jawab Danu
sambil nyengir tertangkap basah.
” Gimana mau berubah, mas? Lha wong suami saya juga kerjaannya ngisengin
orang melulu kok. Hehehe. ”
Ekspresi Danu sedikit berubah. ” Kamu datang sama suami kamu? ”
” Iya. Tuh sekarang lagi ngobrol sama Indy dan Lila, ” jawab Tita, ”
Eh, Lila tuh lucu banget ya mas. Jun Sung gemes banget tuh sama dia.”
” Kamu udah lama pulang ke Indonesia? ” tanya Danu, mengalihkan
pembicaraan.
” Baru bulan lalu. Habis agak lama ngurus kepindahan suami saya ke
Indonesia.”
“ Jadi sekarang kalian stay
disini?”
“ InsyaAllah, mas. Dia
udah minta dipindah kerja ke kantor di Indonesia. Nggak mungkin dong saya kerja disini, trus dia tetep kerja disana. Jadi dia yang ngalah dan pindah
kesini. Hehehe. “
Danu mengangguk-angguk. Dia baru saja akan bicara lagi ketika sudah tiba
giliran Tita untuk mengambil bakwan malangnya.
“ Saya tungguin, mas, “ katanya ketika bakwan malangnya sudah di tangan dan
giliran Danu untuk memesan. Danu berterima kasih dan tersenyum.
Setelah mereka berdua mendapatkan bakwan malang masing-masing, mereka
memutuskan untuk mencari Indy & Jun Sung.
“ Aku kira kamu udah ga doyan makanan Indonesia lagi, saking udah kelamaan
di Korea, “ kata Danu sambil berjalan di samping Tita.
“ Ya nggak dong mas. Malah sekarang saya ngidamnya masakan Indonesia semua.
“
“ Ngidam? Kamu lagi hamil? “
“ Hehehe. Iya, alhamdulillah, udah 6 minggu.”
“ Selamat kalo gitu! “ kata Danu kemudian, agak canggung.
Tita berterima kasih dengan nada ceria.
Tiba-tiba Tita menemukan sosok Indy dan suaminya diantara kerumunan orang.
Dia memberitahukan Danu, dan segera bergegas menghampiri mereka berdua.
“ Kamu tahu, Ta … “ kata Danu
tiba-tiba.
“ Ya? “
“ Dulu kan saya pernah jatuh cinta sama kamu.”
Langkah Tita terhenti dan dia menatap heran pada Danu. Tapi itu hanya
sesaat.
“ Bercandanya aneh deh mas,” kata Tita sambil nyengir nggak habis
pikir.
“ Saya nggak bercanda.”
Dan sampai sekarangpun masih ... lanjutnya dalam hati. Danu sendiri syok.
Entah kekuatan dari mana yang membuatnya bisa mengucapkan hal itu padahal
selama 14 tahun dia tidak pernah berani mengatakannya.
Danu menunggu komentar Tita dengan harap-harap cemas. Meski dia akan maklum
kalau Tita akan marah atau akan bersikap menjauhinya mulai saat itu, tapi dia
berharap Tita bisa memahami perasaannya.
“ Ah, itu kan dulu. Sekarang udah nggak lagi kan mas? “ kata Tita akhirnya, dengan nada ringan,
sambil nyengir sok polos.
Danu tidak tahu harus menjawab Tita seperti apa. Rasanya jadi serba salah
sekarang.
“ Daun yang sudah tertiup angin nggak akan pernah kembali ke pohonnya,” kata Tita sambil tersenyum bijak.
Sampai disini Danu benar-benar tak bisa bicara apa-apa. Rasanya terpukul
telak di jantungnya. Dia tahu betul maksud ucapan Tita.
“ Eh, tuh mereka! “ kata Tita, agak
tiba-tiba dan membuat Danu kaget, sambil menunjuk ke arah suaminya, Indy
dan Lila.
Tita membalas lambaian tangan suaminya dan berkata pada Danu: “Kita kesana yuk, mas. Tuh Indy dan Lila juga disana,” Dan kini tanpa menunggu Danu lagi, Tita bergegas menghampiri suami dan
sahabatnya.
Danu, yang kini perasaannya jadi seperti sedang digantungi beban 10 ton
setelah mendengar komentar Tita, mengikuti Tita dari belakang.
“ Kok lama banget sih, sayang? Makan apa aja sih? “ sambut suami
Tita begitu melihatnya mendekat. “Kamu menghabiskan semua
makanan, eh?” lanjutnya sambil nyengir iseng.
“Kamu! ” desis Tita sambil menyikut lengan suaminya. “Aku membawakanmu ini, tahu. Aku yakin kamu belum pernah makan ini, jadi aku
ambilin buat kamu. ” lanjutnya. Dia menunjukkan semangkuk bakwan malangnya yang
aromanya menggiurkan dengan tampang sok ngambek.
” Uuuu,,, my lovely wife,,, ” rayu suaminya sambil mencubit-cubit pipi Tita
gemas.
” Kalian barengan? ” tanya Indy ketika melihat Danu datang beberapa detik
setelah Tita.
” Iya, tadi kita ketemu pas sama-sama ngantri bakwan malang, ” jawab Tita
pada Indy. Dia menjelaskan hal yang sama pada suaminya dengan bahasa Korea,
lalu menambahkan: ” Trus ngobrol-ngobrol sambil nyari kalian, makanya agak
lama. Myane, Oppa. ”
” Dan kamu nggak berniat mengenalkanku dengan temanmu ini? ” tanya suami
Tita.
Tita nyengir dan mengangguk.
” Dia Danu, suaminya Indy sekaligus teman lamaku, ” kata Tita pada suaminya
dalam bahasa mereka, lalu menoleh pada Danu dan berkata dalam bahasa Indonesia:
”Mas, kenalkan, ini Park Jun Sung, suami saya.”
Jun Sung mengulurkan tangannya sambil tersenyum ramah. Danu menyambutnya
meski dengan agak canggung dan mereka pun berkenalan.
Kedua pria itu berbincang beberapa saat sebelum akhirnya terputus oleh
rengekan Lila yang minta diambilkan es krim oleh Papanya. Setelah itu keluarga
Danupun pamit dan memisahkan diri.
” Ayo kita duduk dan makan ini. Hampir dingin lho, ” kata Tita kemudian,
pada Jun Sung sambil menariknya ke deretan kursi di pinggir ruangan resepsi
itu.
” Kalian para lelaki bisa cepat saling akrab dan ngobrol panjang lebar
tentang sepak bola dan membiarkan kami bosan, eh? ” sindir Tita ketika mereka
sudah duduk. Dia berdoa sesaat, lalu mulai memakan bakwan malangnya.
” Dan kalian para wanita, tahan ngerumpi dan belanja seharian, dan
melupakan kami menunggu di rumah kelaparan karena belum dimasakkan makan malam,
” balas Jun Sung sambil nyengir.
Tita menyikut lengan suaminya sambil sok merengut kesal.
” Eh, teman lamamu itu, Danu, lelaki yang pernah kamu suka kan? ” tanya Jun
Sung kemudian, tiba-tiba.
” Hah? “
“ Dan sepertinya dia juga suka sama kamu. Bahkan mungkin masih.”
“ Hah? “ Tita takjub. Kok suaminya
bisa tahu? Kejutan nomor dua hari ini, setelah barusan Danu mengaku pernah
mencintainya.
“ Aku emang konyol dan nggak romantis, Barn, tapi bukannya aku nggak peka,” kata Jun Sung. “ Ini pertemuan
keduaku dengannya, setelah di pesta pernikahan kita. Dan selalu saja dalam
setiap kesempatan aku selalu memergoki dia sedang memandangimu. Dia sempat
membuatku cemburu saat melihatnya begitu saat pesta pernikahan kita dulu. Dan
sekarang aku melihatnya begitu lagi. Kau tahu bagaimana caranya memandangimu?
Dia menatapmu dengan tatapan kangen, tahu?”
” Oppa, ingatanmu luar biasa hebat. Kau pintar sekali, ” kata Tita
menggoda.
” Tentu saja. Kau nggak akan menerimaku kalau aku nggak sepintar ini kan? ”
Tita menggeleng sambil tertawa renyah. ” Anieyo,
Oppa, ” katanya sambil membelai pipi Jun Sung. ” Apa kau pikir aku jatuh
cinta padamu karena kau pintar sekali? Ani. InsyaAllah kepintaranku
sudah cukup untuk anak-anak kita. Juga bukan karena wajahmu mirip Ken. Tapi
karena kau yang paling berani dan
paling tulus padaku.
Kau selalu sangat baik padaku, bahkan jauh sebelum kau tahu aku seorang gadis.
Dan kau yang paling berani memperjuangkanku.”
Jun Sung senang mendengar hal itu, tapi dia
menyembunyikan senyumnya dan masih memasang tampang merengut.
”Dia kelihatan masih cinta padamu. Padahal dia kan sudah punya anak dan istri. Gimana
sih? “
“ Oh, sudahlah, my lovely husband,
kenapa masih membahas itu? “ potong Tita. “ Seperti katamu, dia kan sudah punya
anak & istri, jadi kenapa kamu mesti cemburu padanya? Lagipula, buat apa
kau peduli kemana Danu memandang? Kenapa kamu nggak perhatikan kemana mataku
memandang?”
Jun Sung memandang Tita dengan pandangan bertanya.
“ Mataku selalu melihat ke arahmu, Jun Sung-Oppa. Bahkan meski diantara
kerumunan orang.“ kata Tita sambil nyengir menggoda.
Jun Sung nyengir senang, seperti anak kecil yang sedang ngambek lalu
dibelikan permen oleh ibunya.
” Nyengir deh. Dasar gampang dirayu, ” ejek Tita.
” Rayuan perempuan lain nggak akan mempan padaku, Barney, cuma kamu yang
bisa. ”
” Kamu bilang begitu juga saat dirayu Soh Yoon? ”
” Ih, kok jadi ungkit-ungkit masa lalu? Cemburu ya?”
” Nggak tuh. Enak aja. ” kata Tita
sok cool, lalu langsung mengalihkan topik pembicaraan.
“ Nih dimakan,
ntar kalo udah dingin nggak enak lho,“ katanya sambil menyerahkan mangkuk
bakwan malangnya pada Jun Sung.
“ Maunya disuapin sama kamu, “ kata
Jun Sung merajuk. Dia tidak
mau menerima mangkuk yang disodorkan Tita dan malah membuka mulutnya, minta
disuapi.
” Seingatku, aku yang sedang hamil, kenapa kamu yang jadi manja? Harusnya
aku yang bermanja padamu kan?” kata Tita sambil nyengir geli melihat sikap konyol
suaminya.
” Aaaa... ” lelaki besar itu tidak menggubrisnya dan tetap membuka
mulutnya, dan merajuk seperti anak kecil.
Akhirnya Tita menyuapkan sesendok
bakwan malang ke mulut suaminya sambil sok bersungut-sungut.
Saat itu Jun Sung menerima suapan istrinya sambil sekilas melirik ke
seberang ruangan. Dia memergoki lelaki itu lagi, sedang memandangi dia dan
istrinya dengan pandangan yang tidak disukainya.