Luna Lovegood inside. Noda Megumi outside.

Minggu, 22 Juli 2012

CALISTA dan DANU


Calista merasa tidak pernah bisa memahami cara berpikir Ghazali, abangnya, terutama karena pola pikirnya yang aneh setiap kali terkait dengan Danu. Sejak dulu Ghaza sudah berkali-kali melarang Calista berhubungan dengan Danu, meski dengan gaya santai dan terkesan bercanda. Tapi kali itu Ghaza menekankan hal itu kepada Calista dengan ekspresi yang lebih serius.

“Kami nggak ada hubungan apa-apa, bang. Kami bahkan udah lama nggak sms-an. Terakhir kali kami sms-an cuma pas aku kasih tahu dia bahwa aku udah lulus sidang sarjana,“ kata Tita pada Ghaza, mengakui kenyataan pahit itu.“Lagian ya bang ... pertama, ada masalah apa sih antara Abang dan mas Danu? Kok Abang sebegitu keukeuhnya melarang aku? Kedua, ngapain sih Abang keukeuh melarang aku? Toh mas Danu sendiri nggak naksir aku kan? Abang nggak usah paranoid gitu kaleee, lanjutnya.

Ghaza menggeleng dengan lelah.

“ Pertama ya, Tita, adikku yang manis … “ kata Ghaza, “ … hubungan gue dan Danu luar biasa baik. Seperti lo tahu, kami udah dekat banget seperti saudara sendiri. Tapi justru karena itulah, gue jadi tahu sisi lain kehidupannya. Dan gue nggak mau lo terjebak dalam sisi hidupnya yang itu.”

Apa maksud Abang? Dia punya sisi gelap?”

Sebaliknya, he has a very sparkling side.”

“ Maksudnya? “

Tita sama sekali tidak bisa memahami pikiran kakaknya.

“ Dengar Tita … Dia orang yang baik, personally. Tapi di Indonesia, kalo lo menikahi satu orang, lo juga harus menikahi keluarganya. Secara pribadi, gue bakal senang banget kalo dia benar-benar jadi saudara gue, jadi adik ipar gue dan bukan sekedar saudara angkat aja. Tapi gue sadar, itu nggak mungkin.”

Maksudnya? ”

Tita jadi makin bingung. Kenapa omongan Ghaza jadi melantur kemana-mana? Tapi tak ayal, wajah Tita agak memerah ketika Ghaza mengatakan bahwa dia senang kalau Danu jadi adik iparnya.

Dia anak orang kaya, Tita. Ayahnya pengusaha terkenal di Indonesia yang punya banyak anak perusahaan dan hotel-hotel di seluruh pulau Jawa. Ibunya masih keluarga keraton Jogja. Dia anak orang kaya dan berdarah biru. Bandingkan dengan lo! Siapa lo? Lo cuma gadis dari kalangan biasa. Lo sendiri udah pernah ketemu ibunya Danu kan, Ta? Sikapnya yang priyayi itu ... nggak terlalu jelas diperlihatkan sih, tapi gue melihatnya, Ta.”

Ibunya mas Danu baik sama aku kok, Bang.”

Itu karena lo cuma temannya Danu! Beliau nggak masalah anaknya berteman dengan siapa aja. Tapi beliau pasti punya kriteria khusus untuk menantunya. Bibit, bebet dan bobot. Dan gue ragu apakah beliau bisa menerima calon menantu dari kalangan biasa seperti lo masuk ke dalam keluarga kaya-pengusaha-ningrat-nya. Lo nggak akan tahan punya mertua seperti beliau. ”

Kenapa kita jadi ngomongin pernikahan sih? Mas Danu nggak suka sama aku kan? Dia cuma anggap aku adik aja kok. ”

Tapi meskipun mengelak demikian, sebenarnya Tita separuh berharap bahwa Danu memang naksir padanya.

Lo pasti bakal GR banget dengar ini ... but unfortunately, dia emang naksir lo! ” kata Ghaza.

Tolong diputar ulang! Trus ngomongnya pelan-pelan aja, Bang! Tolong ulangi kalimat terakhir tadi dong, Bang!

Tita nyaris tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Bahkan Tita sampai bengong sangat lama … berusaha memastikan pendengaranya, sekaligus menjernihkan pikirannya.

“ Waktu kami makan siang bareng tadi, dia tanya ke gue, apa lo udah punya pendamping untuk wisuda atau belum.”

Kemudian Ghaza diam. Dia sengaja membuat jeda agar dapat melihat reaksi adiknya. Tita yang tiba-tiba tersadar langsung memasang ekspresi sok polos, meskipun di dalam hatinya sedang berkecamuk berbagai perasaan yang kompleks.

Gue bilang gue nggak tahu, ” kata Ghaza beberapa saat kemudian, setelah berhasil mengetahui reaksi Tita. Dan itu bukan reaksi yang diharapkannya.

Dia sempat mengatakan sesuatu yang menyiratkan bahwa dia mau jadi PW (Pendamping Wisuda) lo, mau nembak lo, atau semacam itulah. Gue nggak jawab apa-apa dan akhirnya gue langsung mengalihkan pembicaraan. Jadi dia nggak ngomong lebih jauh...lanjut Ghaza, “ Tapi dia pasti nggak puas dengan jawaban gue. Jadi mungkin aja nanti dia tanya langsung ke lo. Karena itulah gue merasa perlu ngomong sama lo sebelum lo kasih jawaban ke dia.”

Ghaza diam sejenak sebelum mulai bicara lagi. Dia merasa sangat tertekan harus membicarakan hal ini. Tapi dia tak punya pilihan lagi. Dia tidak ingin adik tersayangnya merasa menderita nantinya.

“ Umur lo berapa Ta? “ tanya Ghaza.

“ 22 tahun, September ini. “

Ghaza mengangguk dengan gaya yang sangat berwibawa. Dia memandang adiknya lebih dalam, membuat Tita merasa kecil. Tita memang selalu merasa hanya seorang gadis kecil di hadapan kakaknya, terutama pada saat-saat dimana Ghaza menatapnya seperti itu.

” Pada umur segini, pastinya pikiran lo tentang suatu hubungan udah melebihi sekedar pacaran kan? Gue percaya, biarpun lo masih sering bersikap childish, tapi lo juga pasti udah berpikir tentang pernikahan.  Jadi kalau hubungan lo dan Danu menjadi makin serius, pasti akan mengarah ke pernikahan kan? ”

Wajah Tita memerah mendengar hal itu. Dalam hati dia mengakuinya ... dia memang sudah beberapa kali menghayalkan pernikahannya dengan Danu. Tapi Tita tetap tidak berani menjawab pertanyaan abangnya.

Tapi ada yang harus gue kasih tahu ke lo, Ta,” kata Ghaza kemudian. ” Ini dunia nyata. Bukan dongeng Cinderella atau Bawang Putih. Kita nggak tahu apakah setelah Cinderella menikah dengan Pangeran trus sang Raja dan Ratu benar-benar menerima Cinderella sebagai menantu mereka atau nggak. Tapi setahu gue, nggak ada hubungan beda kasta yang bisa berjalan mulus.

Memang saat ini hubungan lo dan Danu masih sebatas teman. Tapi sejak dulu gue udah merasakan pertanda tentang perasaannya terhadap lo. Dan baru siang ini gue bisa memastikannya. Dia memang suka sama lo.

Gue pikir selama ini dia bertahan nggak mendekati lo karena gue pernah setengah-bercanda mengancamnya untuk nggak mengganggu lo yang masih kuliah. Tapi sekarang lo udah lulus kan? Well, meski lo masih harus kuliah profesi setahun lagi sih. Jadi gue pikir, mungkin dalam waktu dekat ini dia bakal menyatakan perasaannya. “

Tita merasa jantungnya berdegup dengan irama tak beraturan. Aritmia. Dia senang mendengar bahwa Danu mencintainya. Setelah bertahun-tahun mengira cintanya bertepuk sebelah tangan, akhirnya dia tahu bahwa Danu juga mencintainya. Tapi kata-kata Ghaza membuat perasaannya hancur.

Apa lo tahu bahwa Ayah masih mencintai Ibu sampai sekarang?” tanya Ghaza, tiba-tiba mengubah topik pembicaraan.

Mata Tita membesar ketika menatap abangnya. Dia terkejut dengan fakta itu. Tita tidak pernah bertemu ayahnya lagi sejak kedua orangtuanya bercerai saat usianya baru 3 tahun. Tita bahkan sama sekali tidak ingat pada wajah ayahnya. Tidak ada foto beliau di dalam rumah itu. Mungkin ibunya sudah menyembunyikan atau membuang semuanya, dan tak berniat mengingatnya lagi. Setiap kali Tita menanyakan tentang ayahnya kepada sang ibu, beliau juga selalu berusaha mengalihkan pembicaraan. Jadi Tita mengira bahwa hubungan kedua orangtuanya sudah benar-benar berakhir.

Gue nggak bohong, Ta, ” kata Ghaza ketika melihat sinar mata ragu adiknya. Ayah masih cinta sama Ibu. Dia mengatakannya saat di pernikahan gue, bahwa dia masih cinta sama Ibu.”

Apa? Ayah datang ke pernikahan Abang? ”

Ya.”

“ Aku nggak melihatnya. “

“ Lo ketemu sama dia kok. Cuma lo nggak menyadarinya.”

Apa? “

Gue ngobrol sebentar dengannya. Dan gue juga sempat mengenalkan lo padanya. Tapi lo nggak sadar siapa dia.”

Tita berusaha mengingat-ingat lagi. Tapi dia tidak bisa mengingatnya. Resepsi pernikahan Ghaza sudah lewat setahun yang lalu. Lagipula saat itu ada banyak sekali orang (teman-teman kantor atau teman kuliah Ghaza) yang dikenalkan Ghaza padanya. Tita tidak bisa mengingat mereka satu per satu. Saat itu pasti bang Ghaza mengenalkan ayahnya sebagai salah seorang kenalannya.

“ Kenapa nggak kasih tahu aku kalau dia ádalah ayah?! “ tanya Tita dengan nada marah.

“ Apa perlunya? ”

Aku juga anaknya, bang. Aku berhak mengenal ayahku sendiri! Kenapa nggak bilang padaku?! Abang jahat banget sih?!!!!”

Ibu nggak mengijinkan gue kasih tahu lo, ” jawab Ghaza dengan berat hati.

Seketika air mata Tita merembes dari kelopak matanya. Rasanya dia ingin menangis karena tumpukan perasaan di hatinya. Kini perasaannya jadi makin kompleks. Dia senang mengetahui Danu mencintainya. Dia terpukul karena Ghaza justru melarang hubungannya dengan Danu. Trus sekarang tiba-tiba dia tahu bahwa ayahnya masih hidup dan malah datang ke pernikahan kakaknya setahun yang lalu, tapi ibunya sengaja tak memberitahunya. Tita sedih karena telah kehilangan kesempatan untuk mengenal ayahnya.

Itulah yang mau gue bahas sekarang, Tita, ” kata Ghaza kemudian. Dia melihat air mata berlinangan di pipi adiknya, tapi dia menguatkan hati untuk tetap mengatakan kenyataan.

Ghaza tahu, apa yang akan dikatakannya kali ini akan menyakiti Tita. Tapi mengatakannya dan membiarkan Tita menangis sekarang justru lebih baik daripada melihat adik kesayangannya itu menangis terus di kemudian hari.

Bahkan dua orang yang saling mencintaipun nggak bisa bersatu kalau cuma bermodal cinta aja, Ta, ” kata Ghaza.

Jadi apa hubungannya antara cerita ayah dan ibu dengan aku dan mas Danu? “ tanya Tita akhirnya.

Lama-lama Tita jadi makin sedih dan makin bingung karena mendengar cerita Ghaza yang ngalor-ngidul. Belum selesai ngomongin cerita Cinderella, trus nyambung ke pengakuan cinta Danu, trus tiba-tiba pembicaraan beralih lagi kepada masalah ayah dan ibunya? Tita jadi nggak mengerti.

“ Gue takut kisah ayah dan ibu bakal terulang lagi pada lo dan Danu.”

“ Apa sih? “ tanya Tita, makin nggak ngerti.

Gue mau cerita sesuatu, Tita ... kata Ghaza. Wajahnya berubah jadi lebih serius lagi daripada sebelumnya. “ ... bukan dongeng Cinderella, tapi kenyataan ...

Ghaza menghembuskan nafas berat sebelum memulai inti ceritanya. Dia memutar otak lebih keras daripada biasanya untuk menemukan kata-kata yang tepat untuk menjelaskan segalanya ... agar adiknya mengetahui kenyataan pahit itu, tanpa harus terlalu tersakiti.

“ Ayah dan ibu bercerai bukan karena sudah nggak saling mencintai. Mereka masih saling mencintai, Tita ... bahkan sampai sekarang. Lo pikir, kenapa ibu nggak menikah lagi setelah bercerai? Padahal saat itu umur ibu belum sampai 40 tahun? Belum terlalu tua untuk menikah lagi kan? Tapi ibu nggak melakukannya karena masih cinta sama ayah, dan masih belum bisa melupakan beliau.Begitu juga dengan ayah, bahkan meski ayah sudah menikah dengan orang lain, ternyata beliau tetap mencintai ibu. Beliau menikah lagi dengan wanita pilihan ibunya. Lo pikir, kenapa hal itu bisa terjadi, Tita? Kenapa ayah dan ibu bisa bercerai? Kenapa dua orang yang saling mencintai harus berpisah juga?

Ghaza menatap adiknya. Tita menggeleng sebagai jawaban atas ketidaktahuannya tentang jawaban dari pertanyaan kakaknya.

“ Gue nggak pernah bisa memahaminya, Ta,“ kata Ghaza kemudian. Mereka bercerai saat gue masih 8 tahun, jadi gue nggak bisa memahami kenapa mereka bercerai, padahal mereka nggak pernah bertengkar hebat. Gue nggak pernah melihat ayah memaki atau memukul ibu. Beberapa kali gue melihat ibu menangis, tapi itu bukan karena ayah, karena pada saat yang sama ayah juga bermuka sedih. Gue nggak bisa ngerti kenapa mereka cerai, karena waktu itu gue masih kecil. Ibu cuma bilang bahwa mereka cerai karena nggak cocok. Tapi belakangan, setelah gue lebih besar dan terus mendesak ibu, akhirnya ibu menceritakan alasannya yang sebenarnya.”

“ Apa alasannya? Kenapa sebelumnya ibu bohong pada Abang? “ tanya Tita.

“ Ibu nggak bohong. Mereka memang bercerai karena ketidak cocokan. Masuk akal sih. Mereka nggak mungkin cocok. Ayah adalah anak seorang pengusaha terkenal. Dan ibu cuma karyawati biasa ... Gimana? Udah lihat hubungannya dengan keadaan lo dan Danu? ”

Tita memandang kakaknya dengan tatapan ngeri. Dia mulai bisa menangkap arah tujuan pembicaraan itu. Dan dia nggak menyukainya.

Ibunya ayah nggak pernah benar-benar setuju dengan pernikahan mereka, karena ibu bukan berasal dari kalangan mereka. Jadi setelah mereka menikahpun, nenek kita itu ... ” Ghaza mengatakan ketiga kata terakhir itu dengan nada sinis, ... selalu saja cari masalah, bahkan untuk urusan sepele sekalipun, beliau selalu mengomentari ibu. Gue rasa gue nggak perlu lebih jauh merincinya ... beliau udah meninggal, jadi nggak baik membicarakan kejelekan orang yang sudah meninggal.

Intinya, setelah mencoba bertahan selama lebih dari 10 tahun, ibu merasa sudah nggak tahan lagi hidup dibawah bayang-bayang nenek. Ayah juga kelihatannya nggak cukup bijak dan berwibawa untuk menghadapi semua tekanan nenek dan membela ibu ... Maka ibu meminta cerai dari ayah. Dan setelah itu nenek menjodohkan ayah dengan wanita pilihannya ... dan ayah terpaksa menerimanya.

Ayah dan ibu masih sangat saling mencintai, Tita. Tapi bahkan cinta yang dalampun nggak cukup kuat untuk menentang kasta. Ingat Prince Charles dan Lady Diana? Itu juga kan yang terjadi pada mereka? Tanpa perbedaan kastapun, banyak orang yang cek-cok dengan mertuanya, apalagi dengan adanya ketimpangan kasta itu.

Saat gue melihat lo dan Danu ... Abang takut hal yang sama bakal terulang pada lo, seperti hal yang menimpa ibu. ”

Ghaza berhenti bercerita. Jeda panjang terjadi. Pikiran Tita penuh. Sementara itu, perasaan Ghaza lega karena telah mengungkapkan semuanya.

Apa hal itu udah pasti terjadi? ” tanya Tita tiba-tiba. Ibunya mas Danu belum tentu sama dengan nenek ... ” tambahnya. Entah kenapa ada sesuatu yang mendorongnya untuk bertanya begitu. Meskipun Tita belum mendengar sendiri pernyataan cinta Danu ... tapi rasanya dia sendiri ingin memperjuangkan Danu. Tita mencintai Danu, dan dia nggak mau melepasnya setelah tahun-tahun panjang penantiannya.

Jelas nggak sama, ” potong Ghaza cepat. ”Perkiraan gue, justru lebih parah. Nenek hanya orang-yang-luar-biasa-kaya. Tapi ibunya Danu adalah konglomerat-berdarah-biru. Lebih parah kan? Menurut akal sehat lo, mana yang kriteria-calon-menantu-nya lebih parah?”

Tapi kita nggak bisa men-generalisir bahwa semua orang kaya atau ningrat berpikir gitu kan?! ” Tita tetap keukeuh membela Danu.

Oh ya? ” Ghaza balik bertanya.

Nada tanya Ghaza dan tatapan matanya sangat mengintimidasi Tita, membuatnya meragukan argumennya sendiri.

Jeda panjang kembali terjadi. Tita kehilangan kata-kata dan tak bisa mendebat lebih jauh lagi. Karena bahkan dirinya sendiri juga meragukan bahwa ibunya Danu tidak seperti orang-kaya-dan-ningrat kebanyakan. Tita benci mengakuinya, tapi dia tahu bahwa semua kata-kata abangnya benar … bahkan tanpa ketimpangan kasta atau hartapun, banyak orang yang cek-cok dengan mertuanya … apalagi dengan adanya ketimpangan kedua hal itu pada dirinya dan Danu.

“ Kenapa ibu cuma cerita pada Abang tentang semua itu? Kenapa nggak cerita padaku juga? Padahal aku berhak tahu kan? ” kata Tita akhirnya ... setelah lama tidak berhasil menemukan kata-kata pembelaan yang tepat untuk hubungannya dan Danu. Kini perhatiannya malah kembali teralih pada masalah ayah dan ibunya.

“ Karena lo masih sangat kecil waktu mereka cerai. Ibu pikir, lebih baik nggak membicarakan kebenarannya. Ibu ingin lo tetap berpikir positif tentang ayah dan nenek. Tapi sekarang gue terpaksa melanggar janji gue pada ibu dan memberitahu lo ... karena gue nggak mau hal yang sama terulang lagi pada adik kesayangan gue.

Ghaza membiarkan adiknya berpikir lebih dalam. Ketika Ghaza pergi, Tita terpuruk dalam kenyataan pahit … bahwa ternyata cintanya pada Danu tidak bertepuk sebelah tangan ... dan bahwa meskipun ternyata mereka saling mencintai, mereka tetap tidak bisa saling mencintai ... karena ternyata cinta tidak sekuat itu ...

Cinta tidak bisa mendaki gunung tertinggi.

Cinta juga tidak bisa menyeberangi samudra terluas ... dan tak juga menyelami laut terdalam.

Cinta tidak bisa mendaki tebing yang curam ... dan tak juga melubangi batu karang yang keras.

Semua perumpamaan itu hanya ada di cerita dongeng ... Karena bahkan cinta sejatipun tidak bisa mengalahkan kasta dan harta.



*                  *                  *





---DANU---



Kelihatannya gua udah melangkah terlalu jauh. Tanpa gua sadari segalanya sudah terlanjur. Gua terbawa arus. Dan ternyata gelombang penghanyut itu adalah ibu gua sendiri.

Gua menyukai Indy. Gua juga senang berteman dengannya. Gua nyaman bersamanya. Tapi gua sadar bahwa itu bukan cinta. Apa gua sayang sama dia? Mungkin ya. Bersamanya gua merasa benar-benar sebagai lelaki pelindung yang dibutuhkan.

Dia adalah gadis yang dewasa dan lembut. Dan dia gadis Jawa tulen yang penuh sopan santun dan tata krama. Itulah yang membuat ibu gua jatuh hati padanya. Semua yang ada di diri Indy adalah tipe menantu idaman ibu gua. Gua menyukai Indy, tapi mencintainya itu lain soal. Menjadikannya sebagai istri gua dan menghabiskan hidup gua dengannya … itu juga persoalan besar lainnya.

Tapi seperti gua bilang tadi, gua terlalu mencintai ibu gua dan nggak bisa nolak permintaan beliau. Makanya, gua sekarang udah melangkah terlalu jauh. Tiba-tiba saja gua sudah melamar Indy dan – meskipun gua setengah berharap Indy bakal nolak gua – Indy justru menerima lamaran gua tanpa berpikir terlalu lama. Dalam waktu singkat, tanpa sepenuhnya gua sadari, tiba-tiba gedung sudah dipesan, pakaian pengantin sudah dijahit, catering sudah diurus, sepasang cincin sudah dipilih dan undangan sudah tercetak.

Apakah sekarang gua bahagia karena akan segera menikah? Nggak bisa tepat dikatakan gitu sih. At least, gua bersyukur karena sudah bisa membahagiakan ibu gua. Ada rasa bersalah di hati gua pada Indy karena gua nggak bisa sepenuhnya mencintainya. Gua menyayanginya dan ingin menjaganya. Tapi perasaan gua pada Indy lebih mirip perasaan kakak kepada adiknya. Meskipun demikian, gua nggak pernah mengakuinya pada Indy, karena pasti akan membuatnya terluka.

Damn!! Gua benci keadaan kayak gini, dimana gua seperti nggak punya pilihan lain. Andai gua bisa memilih, ada gadis lain yang mengisi sebagian besar hati dan pikiran gua. Terkadang gua merasa nggak berharga dan nggak dibutuhkan di sampingnya, karena dia begitu mandiri, kuat dan independen. Tapi gua suka dengan sikapnya yang selalu ceria dan lincah, sepertinya dia nggak pernah benar-benar meninggalkan masa kanak-kanaknya. Sifatnya mirip sama gua, makanya kami suka bercanda, tertawa terbahak-bahak, dodol-dodolan bareng dan mengenyahkan semua sopan santun. Gua mengenalnya apa adanya, nggak ada yang disembunyikannya dari gua. Dan selama 9 tahun ini kehadirannya terlanjur menyentuh hati gua begitu dalam. Orang itu Calista Shelma Barnita.

Tapi belakangan gua tersadar, kami nggak ditakdirkan bersama. Melihat gelagat kakaknya, bang Ghaza, kelihatannya dia nggak setuju kalau gua mendekati adiknya. Gua nggak tahu, dan sama sekali nggak habis pikir, apa yang salah pada diri gua. Gua pikir gua dan bang Ghaza udah bersahabat dekat banget dan kelak dia bisa menerima gua lebih dari sekedar adik angkat, maksudnya mengizinkan gua jadi adik iparnya. Tapi gua salah. Salah besar! Berkali-kali gua menangkap kesan bahwa dia nggak bisa membiarkan gua bersama adiknya meski dia nggak pernah benar-benar menunjukkannnya secara jelas. Persahabatan kami tetap baik, tapi dia tetap nggak bisa menerima gua. Hal itu bikin gua ragu untuk menyatakan cinta pada Tita.

Kenyataannnya, sampai sekarang gua memang belum pernah sekalipun menyatakan perasaan gua secara terbuka kepada Tita. Goblok banget kan?! Gua cuma terlalu sering memberinya isyarat halus bahwa gua mencintainya. Tapi teori gua kelihatannya benar. Tita masih polos dan lugu sehingga nggak bisa menangkap maksud tersirat gua. Gua frustasi berat dan putus asa menghadapi sikap Tita yang tetap normal seakan nggak pernah tahu ada seseorang yang mencintainya sejak lama. Dan dia tetap sering memanggil gua dengan panggilan “Dear brother” atau “Kakakku yang cakep”, dengan tampang lugu-bloon seperti biasanya, seakan-akan gua ini kakaknya aja. Tita goblok!

Gua tahu bahwa gua bodoh dan pengecut. Setelah mencintainya bertahun-tahunpun gua tetap nggak berani menyatakannya pada Tita. Gua takut ditolak (Betapa gobloknya cowok kaya’ gua yang sebegitu takutnya ditolak seorang cewek!). Hubungan Tita dan bang Ghaza sangat dekat. Kalau Ghaza aja menolak gua sebagai adik iparnya, kemungkinan besar Tita juga bakal berpikiran sama kan? Dan gua sangat pengecut karena nggak mau mengambil resiko ditolak Tita yang malah bisa bikin hubungan gua dan Tita justru jadi buruk. Gua nggak akan bisa tahan jika Tita jadi menjauhi gua setelahnya.

Saat hati gua terombang-ambing dan perasaan gua masih bimbang dan rasa cinta gua pada Tita belum sempat terucapkan, ayah mengirim gua ke Jogja. Kami jadi terpisah jauh, meski gua tetap merasa hati kami sedekat biasanya. Meskipun begitu, pada akhirnya jarak jugalah yang memisahkan kami.

Di kota Jogja itulah gua ketemu Indy. Gua senang berteman sama Indy dan obrolan kami cukup nyambung. Pemikirannya yang dewasa membuatnya berbeda sangat jelas dengan sahabat dekatnya semasa kuliah, Tita. Kadang gua nggak habis pikir, kok bisa-bisanya dua gadis yang berbeda kepribadian itu (Tita dan Indy) bisa bersahabat dekat?

Ibu gua jelas-jelas jatuh cinta pada pandangan pertama kepada Indy. Semua kriteria menantu idaman ibu ada pada Indy. Jadilah beliau pingin gua cepat-cepat melamar Indy, padahal gua bahkan nggak pernah minta Indy jadi pacar gua. Sinting kan? Gua menikahi Indy? Itu adalah ide tersinting ibu gua seumur hidup.

“ Gadis seperti apa lagi yang kamu cari, Danu? “ tanya ibu waktu gua menolak keinginannya. “ Seperti Tita? “ beliau dengan segera menebaknya dengan tepat sasaran.

Ibupun memasang tampang seriusnya. Dan gua benar-benar nggak suka melihatnya. Itu wajah yang hanya ibu perlihatkan saat mengintimidasi seseorang. Dan sekarang gua yang terintimidasi!

“ Indy lebih baik dari Tita, Nak, “ kata ibu dengan nada bicara penuh wibawa dan intimidasi seperti biasanya. “ Indy adalah gadis Jawa yang penuh sopan santun dan tata krama. Anaknya lembut, baik dan dewasa. Dia pantas jadi istrimu, Nak. Dan memang seumurmu ini sudah sepantasnya menikah.”

“ Tita juga anak yang baik, ibu. Dan jangan paksa saya menikahi Indy. Kami nggak saling mencintai.”

“ Ibu nggak maksa kamu, “ kata ibu berkilah dengan lihai, “ Dan tahu dari mana kamu apakah Indy cinta atau ndak padamu? Kamu bahkan belum menanyakannya padanya. Ibu nggak bilang bahwa Tita nggak baik. Dia juga gadis baik. Tapi sikapnya nggak cocok denganmu.”

“ Saya merasa nyaman dan cocok dengan Tita, ibu, “ potong gua cepat-cepat.

“ Tapi dia nggak pantas jadi istrimu!potong ibu dengan tegas, mengintimidasi lebih kuat. “ Dia gadis yang baik, tapi nggak pantas untukmu, Danu. Ingat siapa dirimu! Anak pengusaha besar di Jakarta dan kamu juga masih keturunan ningrat. Kamu harus memilih istri yang tepat! Dan Tita bukanlah orang yang tepat. Gadis yang tertawa terlalu lebar, tidak suka berbasa-basi dan terlalu lugu, nggak dewasa.”

“ Tapi Tita gadis yang tulus. Dia selalu apa adanya.” kata gua membela. Nggak jelas membela apa … membela Tita atau membela pilihan gua?

“ Indy juga tulus, tapi dia nggap pernah tertawa terlalu lebar. Indy juga apa adanya, tapi nggak kekanakan seperti Tita. Jujur aja, Ibu lebih cocok dengan Indy. Ibu lebih setuju kalau dialah yang jadi menantu ibu.”

“ Tapi saya nggak mencintai Indy, ibu.”

“ Apa itu cinta? Kalau kamu merasa nyaman dan senang berteman dengannya, itu sudah cukup. Cinta itu akan tumbuh dengan sendirinya setelah kalian menikah nanti.”

“ Tapi bagaimana kalau Indy juga nggak mencintai Danu? “

“ Kamu itu bodoh atau buta sih, Nak? Sekali melihat saja, ibu langsung tahu bahwa Indy mencintaimu.”

“ Tapi ibu … “

“ Lalu apa Tita mencintaimu? “ lanjut ibu balik bertanya.

Gua terdiam, dan terhenyak, dan tersudut, dan nggak bisa menjawab. Bagaimana gua bisa menjawab kalau gua juga nggak tahu jawabannya. Sampai sekarang gua sendiri aja masih terus bertanya-tanya tentang perasaan Tita terhadap gua. Dia selalu baik terhadap gua. Dan karena Tita adalah gadis yang mandiri, maka ketika kadang-kadang dia bersikap agak manja pada gua, gua sering menafsirkannya sebagai rasa sukanya terhadap gua. Tapi toh dia nggak pernah menunjukkannya secara jelas. Dia selalu bikin gua terombang-ambing dengan sikapnya yang fluktuatif, yang kadang sangat cuek dan mandiri namun terkadang manja dan kekanakan. Gua bahkan sempat marah pada Tita karena gua pikir selama ini dia cuma mempermainkan perasaan gua aja dengan sikap baiknya. Tapi setelah gua pikir-pikir lagi, gua rasa sikap cueknya itu mungkin karena dia emang masih polos dan kekanakan, sehingga bahkan nggak sadar bahwa gua mencintainya dan sikap baiknya udah bikin gua salah paham dan mengiranya juga mencintai gua. Damn! GR-nya gua!!!

Sikap bang Ghaza juga mencegah gua bertanya pada Tita. Akhirnya sampai 9 tahun hubungan kami, segalanya tetap seperti ketika semula kami berteman. Hubungan kami tetap di situ-situ aja dan tanpa kemajuan sedikitpun.

Setelah pembicaraan dengan ibu gua itu, gua jadi memikirkan kembali hubungan gua dan Tita. Sembilan tahun hubungan kami serasa tak berarti. Bang Ghaza menetangnya, dan ibu gua menginginkan gua menikahi Indy. Segala jalan serasa tertutup untuk gua dan Tita. Kedua pihak nggak merestui, dan gua juga nggak tahu dengan pasti perasaan Tita terhadap gua. Semua rintangan itu membuat gua berkesimpulan bahwa mungkin kami emang nggak berjodoh dan nggak ditakdirkan untuk menikah dan melalui hidup bersama.

Akhirnya dengan segala pertimbangan, dan karena rasa cinta gua yang besar kepada ibu gua, sekaligus rasa takut durhaka kepada beliau, maka guapun melamar Indy. Dan seperti yang tadi udah gua ceritakan … seperti hukum alam yang biasa ... sialnya, semuanya berjalan terlalu cepat diluar kendali justru saat lo sebenarnya ingin menghindarinya. Dan tiba-tiba aja … gua sudah akan segera menikah dengan Indy sebulan lagi.

Undangan sudah selesai dicetak dan sudah banyak yang kami sebarkan kepada saudara, kerabat, rekan bisnis ayah dan para sahabat. Undangan untuk bang Ghaza gua serahkan sendiri kepada bang Ghaza. Dia mengucapkan selamat dengan ekspresi wajah kompleks yang sulit gua pahami. Sejujurnya gua nggak tahu berharap ingin melihat ekspresi seperti apa dari abang angkat gua itu.

Tadinya Indy berkeras pingin ngasih sendiri undangan pernikahan kami kepada Tita karena mereka bersahabat dekat saat kuliah. Tapi gua nggak kalah berkeras untuk memberikan undangan itu kepada Tita. Gua bilang sama Indy bahwa gua akan menyerahkan undangan untuk Tita sekalian saat menyerahkan undangan untuk Ghaza, dengan alasan efisiensi. Dan akhirnya Indy setuju.

Pada kenyataannya, gua nggak menyerahkan undangan untuk Tita kepada bang Ghaza. Sebenarnya gua emang nggak pernah benar-benar berniat begitu. Gua pingin memberikan undangan itu secara pribadi kepada Tita. Gua pingin ketemu dia, at least for the last time before I married another girl. Gua pingin menemuinya dan mencintainya terakhir kali, meski gua nggak akan pernah bisa menyatakan cinta gua padanya seumur hidup.







Malam ini gua datang ke rumah Tita dan menyerahkan undangan pernikahan gua kepadanya. Tita menerimanya sambil diam dan membacanya dengan sangat lama. Gua menunggunya dengan perasaan nggak karuan. Gua benci menunggu seperti itu! Sial!!! Kenapa belakangan ini gua harus melakukan hal-hal yang nggak pingin gua lakukan?!

Setelah beberapa saat yang lama, akhirnya Tita menutup kartu undangan pernikahan gua. Lalu dia menatap gua dengan ekspresi datar.

“ Aku udah tahu mas akan menikah dengan Indy, “ kata Tita dengan nada tenang.

Gua yang kaget karena ternyata bang Ghaza bergerak cepat mengabarkan berita ini pada adiknya, padahal gua baru memberitahunya tadi siang. Dasar!

“ Indy yang cerita, “ kata Tita kemudian, seperti menjawab kesalahpahaman gua. Inilah salah satu hal yang bikin gua suka pada Tita. Entah bagaimana, sepertinya dia selalu bisa membaca pikiran gua. Gua nggak pernah perlu menjelaskan panjang lebar tentang diri gua atau pikiran gua. Tita memahami gua seolah-olah udah mengenal gua berabad-abad. Sialnya ... kenapa dia cuma bisa membaca pikiran gua aja sih? Dan kenapa nggak bisa membaca hati gua? Kenapa???!!!

“ Dia minta pendapatku waktu mas Danu malamarnya beberapa bulan yang lalu, lanjut Tita.

Gua kaget untuk kedua kalinya. Indy meminta pendapat Tita? Dan apa jawaban Tita?

“ Kubilang pada Indy, dia harus mengikuti kata hatinya. Dan ternyata dia menerima mas. Selamat ya Mas! “ lagi-lagi Tita menjawab pertanyaan di kepala gua. Ekspresinya datar dan normal.

Gua nggak tahu harus mengharapkan reaksi seperti apa dari Tita. Tapi jelas bukan reaksi seperti ini. Gua mengharapkan ekspresi yang lebih ekstrim lagi! Gua justru berharap dulu Tita melarang Indy menerima lamaran gua. Mungkin juga gua setengah berharap Tita akan menangis setelah membaca undangan pernikahan gua karena merasa kehilangan gua. Gua juga setengah berharap Tita tiba-tiba marah dan menentang pernikahan gua, dan justru menyatakan cintanya terhadap gua. Tapi semua itu tentu saja, sialnya, cuma ada di dalam hayalan liar gua. Tita nggak pernah melakukan kedua hal konyol itu. Dan dia justru memberi gua selamat sambil tersenyum. Sialan!

Hati gua hancur dan sakit menerima reaksi Tita. Jadi selama ini dia memang nggak mencintai gua. Dia cuma menganggap gua sebagai kakaknya. Maka dia nggak menyuruh Indy menolak gua dan malah memberi gua selamat atas pernikahan gua dengan sahabatnya sendiri.

“ Aku marah karena mas baru kasih tahu aku sekarang, “ kata Tita tiba-tiba. “ Tapi aku ikut bahagia untuk kebahagiaan mas.”

Aku nggak bahagia, Tita … kata gua perih dalam hati … Aku menderita melihatmu begini.

Tiba-tiba saja gua merasa pertahanan gua hampir jebol. Gua pasti sudah gila karena tiba-tiba aja gua pingin memeluk Tita dan menyatakan cinta gua padanya. Tapi kemudian, unfortunately, lagi-lagi kepengecutan dan akal sehat gua kembali mengambil alih. Untuk apa gua mengatakannya sekarang? Tita hanya akan menatap gua dengan jijik karena mengkhianati sahabatnya atau dia akan menganggap gua sudah gila dan mempermainkannya. Dan kalau aja Tita malah menerima cinta gua, apa artinya? Toh gua udah akan segera menikah dengan orang lain. Gua nggak bisa membatalkannya dengan tiba-tiba. Kalau benar kami saling mencintai, trus gimana? Toh kedua keluarga kami menentang hubungan kami … bang Ghaza dan ibu gua. Kalau kami memang saling mencintai, toh kami tetap nggak bisa bersatu. Jadi apa gunanya mengatakan perasaan gua sekarang, di saat segalanya sudah terlambat. Perbuatan bodoh itu malah bakal membuat keruh suasana dan memperburuk hubungan kami.

Biarlah kami selamanya seperti ini. Mungkin emang selamanya gua cuma bisa mencintainya dalam hati … pikir gua.

“ Kamu bakal datang kan? kata gua akhirnya, dengan hati tersayat-sayat, sambil berusaha sekuat mungkin untuk bersikap normal.

Tita tersenyum.

“ Aku nggak yakin sih Mas, “ katanya,  “Sebenarnya bulan depan aku sudah harus pergi ke Korea … “

“ Pergi kemana? “ potong gua cepat. Gua kaget setengah mati, sampai-sampai gua menegakkan posisi duduk gua saking kagetnya gua pas dengar berita itu.

“ Korea Selatan. Seoul tepatnya.”

“ Ngapain? “

“ Hehe … maaf ya aku lupa cerita. Akhirnya aku dapat beasiswa ke Korea.”

Gua syok. Tita akan pergi. Bahkan sekarang gua sudah merasa kehilangan sebelum dia benar-benar pergi.

“ Tapi kurasa aku masih sempat datang ke acara pernikahan mas, “ kata Tita kemudian.

Tapi gua nggak peduli. Gua udah nggak peduli lagi pada acara pernikahan gua. Berita yang baru aja gua dengar bikin gua syok berat.

“ Berapa lama di sana? “ tanya gua khawatir.

“ Tiga tahun, mungkin? Atau lebih kalau aku bisa dapat beasiswa doktoral juga.“

“ Gimana kamu hidup sendirian di sana? Apa nggak bahaya? “

“ Aku punya kenalan kok di sana. “

“ Orang Indonesia yang kuliah disana juga? “

“ Orang Korea. “

“ Apa?! Jadi kamu nggak punya teman Indonesia di sana? Di negeri orang dan kamu bergantung pada orang asing? Itu bahaya, Tita! “

“ Mas, nggak usah khawatir gitu lah. Bang Ghaza aja biasa aja kok. Teman Korea-ku itu orang baik. Kami udah saling kenal selama lima tahun. Dia banyak membantuku selama skripsi. Dia juga yang membantuku mendapatkan beasiswa itu. Dia bahkan yang mencarikan apartemen untukku. He’s a good guy. Mas nggak perlu khawatir. “

He? Teman Korea-mu itu laki-laki? “

“ Iya.”

“ Dan kamu masih menganggapnya baik? Bagaimana kalau dia bermaksud jahat padamu?”

Maksud jahat apa maksud mas?tanya Tita sambil menatap gua dengan tatapan tajam. Tatapannya bermakna tersinggung. “ Kenapa mas tiba-tiba jadi berpikir picik begitu sih?

“ Realistislah, Tita. Dia laki-laki dan kamu perempuan. Dia bisa saja …

“ Apa? Berniat memperkosaku? “ potong Tita dengan lugas. Ini salah satu sifat Tita yang sangat tidak disukai ibu gua. Terkadang Tita bisa bicara sangat lugas dan tanpa basa-basi. Dia selalu mengungkapkan apa yang ada di pikirannya. Nggak peduli apakah pikirannya pantas diucapkan atau nggak. Seperti saat ini contohnya.

 “ Dia bahkan nggak tahu kalau aku perempuan, mas. Selama kami chatting, dia menganggapku sebagai laki-laki. Jadi bagaimana mungkin dia sudah berniat mencelakakanku? “

Lugu banget sih ni anak?! Gua nggak tahan melihat kepolosannya. Di luar sana begitu banyak orang jahat dan dia masih saja menganggap semua orang baik. Sementara disini ada seseorang yang mencintainya sejak dulu, tapi dia malah menganggap kebaikan gua sebagai kebaikan biasa. Damn!

“ Kalau dia aja bahkan nggak tahu bahwa kamu perempuan, gimana kamu bisa yakin bahwa dia orang baik? kata gua kesal.

“ Dan gimana mas yakin bahwa dia bukan orang baik padahal mas nggak pernah ngobrol dengannya? Tita balik bertanya, memukul perasaan gua dengan telak. Tita membela orang asing  itu dan malah memojokkan gua, padahal gua kan mencemaskannya.

“ Kalau dia bermaksud jahat padaku, buat apa menunggu bertahun-tahun? Buat apa dia repot-repot mengusahakan beasiswaku? Lagipula, realistislah, mas. Aku bahkan nggak cantik. Siapa sih orang bodoh yang bakal tertarik berbuat macam-macam padaku? Gadis Korea pasti lebih cantik dariku.”

Lo mungkin nggak memenuhi kriteria cantik di mata orang lain, Tita, tapi gua selalu merasa lo sangat cantik. Don’t you know that?! Damn!

“ Dan aku nggak yakin dia sejahat yang mas pikir. Aku lebih mengenalnya daripada mas. Dan dia orang baik,” lanjut Tita tegas. “ Kurasa aku cuma memberitahu mas bahwa aku akan pergi belajar ke Korea bulan depan, dan bukannya meminta izin. Ibu sudah merestuiku dan bang Ghaza sudah setuju. Aku hanya memberitahu mas. Jadi aku nggak akan merubah rencanaku cuma karena prasangka-tak-berdasar mas. Tapi jangan takut, aku usahakan tetap datang ke pernikahan mas.

Gua merasa sebuah sembilu menusuk jantung gua. Gua jadi teringat lagi bahwa gua adalah lelaki yang sudah akan segera menikah dan nggak sepantasnya mengurusi urusan gadis lain selain calon istri gua. Damn! Kenapa sih gua harus mengingat kenyataan itu lagi?! Kenapa akal sehat gua kembali?

 “ Selamat, kalau begitu, Tita … atas beasiswamu,” kata gua akhirnya. Gua menyerah. Tampaknya kami memang sudah ditakdirkan untuk berpisah. “ Semoga kamu berhasil di sana … dan selalu baik-baik aja. “

“ Makasih atas doanya, mas, “ jawab Tita, “Selamat juga atas pernikahan mas dan Indy. “

“ Ucapanmu disimpan aja sampai hari pernikahanku. Artinya kamu harus datang, “ kata gua, masih dengan hati yang sakit tersayat sembilu.

Tita mengangguk dan tersenyum, kelihatannya benar-benar senang atas pernikahan gua. Dan ekspresi seperti itu justru makin menyakiti hati gua.

Gua pulang dari rumah Tita nggak lama setelah kami berbasa-basi sebentar. Hati gua remuk redam malam ini, apalagi saat mengingat perpisahan kami, ketika Tita mengantar gua pulang hingga ke pagar rumahnya.

Dia memanggil gua tepat saat gua baru aja akan masuk ke dalam mobil. Langkah gua tertahan dan gua menolehkan kepala kepadanya. Nampaknya tiba-tiba Tita menyadari perasaannya terhadap gua lalu berlari ke arah gua dan memeluk gua, lalu mengatakan bahwa sebenarnya selama ini dia mencintai gua lalu dia melarang gua menikah dengan Indy dan berjanji nggak akan kuliah ke Seoul.

Geblek! Semua kejadian dramatis itu cuma hayalan liar gua belaka! Kenyataannya, semua impian itu nggak pernah menjadi kenyataan.

Saranghaeyo, mas, “ kata Tita kemudian. Gua terpana karena sama sekali nggak tahu apa maksud kata-katanya. “ Saranghamida, Danu-Oppa!“ Tita mengulangi kata-kata aneh itu sambil membungkuk ala orang Jepang memberi salam.

“ Apa itu bahasa Korea? “ terka gua yang tiba-tiba aja segera menyadarinya.

“ Iya, “ jawab Tita. “ Oppa itu panggilan kepada kakak laki-laki. Danu-Oppa artinya mas Danu.”

Hati gua luluh lantak mendengar penjelasan bahasa Tita (tepat seperti judul lagu Samson). Jadi benar, selama ini Tita memang cuma menganggap gua sebagai kakak laki-lakinya … sama saja seperti bang Ghaza, dan nggak pernah lebih.

“ Dan Saranghaeyo itu artinya seperti Sarang in Gayo-mu selama ini? “ gua merasa  menanyakan hal itu dengan nada suara yang dingin.

Tita nggak langsung menjawabnya. Dia memandang gua dengan tatapan dalam, membuat jantung gua berdetak cepat ketika menunggu jawabannya.

“ Lebih dalam dari itu, “ jawab Tita akhirnya.

“ Apa yang lebih dalam artinya daripada kata-kata Sampai Jumpa-mu itu? “

Tita lalu tersenyum. Senyumnya kaku dan tampak sedih. Meskipun gua nggak benar-benar yakin, tapi kalau gua nggak salah mengartikannya, itu memang sebuah senyuman sedih. Dan ini pertama kalinya gua melihat senyum-tak-ceria seperti itu dari bibir Tita. Gua jadi penasaran.

Tapi sebelum gua sempat berpikir lebih jauh,  Tita melambaikan tangannya pada gua sambil mengucapkan: “ Bye then, mas, at your wedding. “

Akhirnya gua cuma bisa memandanginya untuk terakhir kalinya dengan penuh rasa cinta. Berharap bahwa untuk sekali saja Tita bisa melihat rasa cinta gua melalui pandangan mata gua. Ini terakhir kalinya gua berhak mencintai gadis lain. Kali lain gua bertemu dengan Tita lagi, gua sudah nggak berhak memandanginya seperti ini lagi karena saat itu gua pasti sudah menjadi suami Indy.

Tita tersenyum pada gua. Gua membalas senyumnya. Lalu gua mengucap salam. Tita membalas salam gua, dan gua pun masuk ke mobil.

Itulah perpisahan kami. Nggak dramatis seperti yang gua hayalkan. Tidak pula romantis. Hanya menyakitkan.

Semuanya sudah terlanjur. Gua melangkah pergi. Dan Titapun pergi meninggalkan gua. Kami saling meninggalkan. Kami memang bukan dua orang yang ditakdirkan untuk menghabiskan hidup bersama. Mungkin memang Indy-lah jodoh gua. Dan gua harus belajar menerima kenyataan itu.



*     *    *



---CALISTA—



Akhirnya gue mengatakannya juga. Semalam gue mengatakan perasaan gue pada Danu. Cuma … ya itu … Damn! Lagi-lagi waktunya nggak tepat. Gue mengatakannya saat dia mengantarkan undangan pernikahannya. And guess what! Lebih geblek lagi, gue mengatakannya dalam bahasa Korea yang bikin Danu salah mengartikannya. Pada akhirnya dia tetap nggak tahu bahwa gue mencintainya.

Tapi apa gunanya kalau dia tahu? Toh dia bakal segera menikah, dan ironisnya, dengan sahabat gue sendiri. Apa gunanya kalau dia tahu? Toh keluarga kami nggak merestui. Jadi apa artinya kalau gue  mengatakan yang sebenarnya? Itu cuma bakal bikin keadaan jadi runyam dan hubungan gue dengan Danu dan Indy malah bakal rusak. Biarlah semua tersimpan dalam hati, selamanya. Halahhhhh…..

Setelah dia pulang semalam, gue segera pergi tidur, dan berharap bisa melarikan diri ke alam mimpi. Tapi ternyata nggak bisa. Aneh banget kan? Bahkan orang yang paling bersahabat dengan alam mimpi seperti gue pun (secara ya, gue ini orang yang doyan banget tidur) tetep nggak bisa numpang membuang kesedihan gue di alam mimpi.

Gue tidur selama 9 jam, dan di tiap jamnya gue memimpikan perjalanan kami setiap tahunnya yang diputar cepat bagai film. Saat gue terbangun ketika mendengar azan subuh, gue merasa pipi dan bantal gue basah kuyup. Gue pasti menangis semalaman tanpa gue sadari.

Entah apakah hidup gue bakal senormal biasanya setelah ini? Kayaknya sih nggak mungkin. Gue nggak bakal pernah bisa hidup seperti biasa lagi. Karena gue udah terbiasa hidup dengan Danu ada di sekitar gue selama sembilan tahun ini. Well, actually, emang sih dia nggak selalu menemani gue, tapi setidaknya dia nggak menghilang dari sisi gue karena (meski cuma terkadang) dia masih tetap menelpon dan mengirimi gue e-mail dengan kata-katanya yang menentramkan dan menyemangati. Dan kalau sekarang gue harus berpisah dari Danu, maka hidup gue nggak akan pernah seperti biasa lagi, karena nggak bakal ada lagi mas Danu yang dengan penuh perhatian menanyakan kabar gue. Bahkan meskipun dia masih tetap melakukannya setelah dia menikah nanti, gue yang bakal merasa bersalah pada Indy. Gue pribadi nggak akan rela kalau suami gue dengan penuh perhatian menanyakan kabar perempuan lain. Jadi gue nggak akan tega melakukan hal sejahat itu pada sahabat gue sendiri.

 Gue udah melatih diri sekuat hati sejak hari Indy memberitahu gue tentang lamaran Danu. Gue udah melatih diri untuk nggak bersedih dan belajar menerima kenyataan. Tapi ternyata gue tetap nggak bisa nggak bersedih karena kehilangannya.

Gue sudah mencintainya selama 9 tahun, jadi bagaimana mungkin gue bisa tiba-tiba berhenti mencintainya begitu aja? Bagaimana mungkin gue nggak bersedih saat kehilangan dirinya selamanya? Mungkin gue masih akan terus bersedih dan terus mencintainya sampai beberapa tahun ke depan. Entahlah.





Bang Ghaza datang pagi ini saat sarapan. Tanpa basa-basi dia tanya apakah gue udah mendapat undangan pernikahan Danu. Gue jawab sudah.

“ Dan gimana perasaan lo sekarang? “ tanya bang Ghaza kemudian.

“ Ya nggak gimana-gimana. Biasa aja.” jawab gue acuh-tak-acuh.

“ Kamu marah sama Abang?

“ Marah kenapa? “

“ Karena abang melarang kalian? ”

“ Sejauh apapun terpisah, kalau memang jodoh pasti tetap bersatu. Selama apapun bersatu, kalau bukan jodoh maka akan terpisah juga. “

Halahhhh … lagi-lagi gue mengucapkan kata-kata bijak yang menyayat hati gue sendiri. Gue mengakui kebenaran kata-kata itu, tapi gue membencinya! But, unfortunately,,, nampaknya gue bakal sering mengucapkan kata-kata itu mulai sekarang.

“ Lo masih cinta dia? “

“ Apa aku pernah mencintainya? “gue balik bertanya dengan suara yang gue rasakan dingin. Gue sebenarnya jarang banget lho bersikap dingin begini terhadap abang kesayangan gue ini.

“ Lo cinta dia kan? “ sekali lagi bang Ghaza menanyakan hal yang bikin gue makin senewen.

Damn!!! Bang, kalau Abang tanya hal itu sekali lagi, Abang bakal dapet bonus piring cantik! Tapi itu piring gua lempar ke muka Abang!!!!!!!

“ Apa perlunya aku menjawab pertanyaan konyol itu sekarang?!

“ Lo pasti marah sama Abang kan?! “

Bang Ghaza tetap berkeras mengetahui isi hati gue. Dan gue berkeras mengelak darinya.

“ Apa ada gunanya aku marah pada abang? ” jawab gue, berusaha mengatur suara gue agar tetap datar dan nggak naik satu tone pun.

Gue meninggalkan Abang bahkan sebelum sarapan gue habis (dan sebelum itu piring sarapan bisa gue lempar ke mukanya). Gue udah nggak kuat ngomong berlama-lama lagi sama Abang karena takut gue bakal meledak di hadapannya dan memberinya sebuah piring cantik (yang bakal gua lempar ke mukanya!!!!!). Kalau mau jujur, gue emang marah buanggggeeeet sama Abang. Tapi rasa cinta gue pada Abang lebih besar dari rasa benci gue. Cuma ya … gue lagi nggak mau aja ngomong dengan siapapun saat ini, terutama soal pernikahan Danu.





Lagu Bunga Citra Lestari mengalun dari MP4 komputer gue saat ini, saat gue menuliskan ini. Itu mengingatkan gue pada film yang pernah gue tonton beberapa tahun lalu yang dimainkan oleh Bunga Citra dan Benjamin Joshua berjudul Cinta Pertama.

Ada satu kalimat yang sampai sekarang gue nggak bakal pernah bisa lupa karena begitu mirip menggambarkan diri gue dan kisah gue selama beberapa tahun ini:



Semua orang punya impian,

Ada yang berlari dan mengejarnya,

Ada yang mundur dan membuangnya,

Tapi ada juga yang diam dan memendamnya,

Dan aku adalah yang ketiga.



Kata-kata itu benar-benar menggambarkan diri gue saat ini. Dan lagu Bunga Citra yang sedang gue dengarkan ini justru menambah sedih gue.



Never thought you came into my life

And makes my life brighter

And makes my dreams come true

You bring life to everything I do

All  things that you say

Will be last forever

I love you,,, and you know my love is true

It will never end till the end of time



How I’ll never find someone like you

But I have to go on, and I still will go on

How I’ll never find love like yours

And those sweet memories, it will always last forever


*  *   *





big_barney      : Aku datang besok, Parker.

mr.parker         : Datang kemana?

big_barney      : Ke negaramu lah.

mr.parker         : WHAT??? Serius, Barn?

big_barney      : Apa aku terkesan bercanda?

mr.parker         : Kamu selalu bercanda kan?

big_barney      : Sekarang aku benar-benar serius.

mr.parker         : Kenapa tiba-tiba?



 




To        : danu@gmail.com

From    : big_barney@yahoo.com

Subject            : about going married



Assalamu’alaikum mas Danu,,,



Congratulation ya mas... Selamat!!! Akhirnya nikah juga. Finally u find her... She must be very gorgeus at wedding.



Tapi aku minta maaf banget ya mas, aku nggak bisa datang ke acara pernikahan mas. Besok aku udah harus berangkat ke Seoul. Semoga mas dan Indy bisa mengerti. Maafin aku ya mas. Sampaikan juga maafku ke Indy.



Kado pernikahan kalian aku titipkan melalui bang Ghaza. Semoga kalian suka, dan semoga bermanfaat. Semoga kalian berdua ... happily ever after.



Ini adalah e-mail terakhirku. Aku pasti sibuk banget di sana, jadi nggak akan bisa kirim e-mail lagi. Kita mungkin juga nggak bakal ketemu lagi,,,



Wassalamu’alaikum...



SARANG HAEYO





                                              Tita

 






mr.parker         : Barney...?

mr.parker         : Barn ...?

mr.parker         : Hei, Bro??? Kamu masih disitu?

mr.parker         : Aku pergi nih...

mr.parker         : Kalau sekali lagi kamu nggak balas juga, aku sign-out ya.

big_barney      : Sorry, sorry, Parker.

mr.parker         : Kamu kemana aja sih?!

big_barney      : Maaf, tadi ada urusan sedikit. Sampai mana obrolan kita tadi?

mr.parker         : Aku tanya, kenapa kamu datang mendadak?

big_barney      : Nggak mendadak kok. Pengen kasih kamu kejutan aja.

big_barney      : Kenapa memangnya? Kamu nggak suka aku datang sekarang?

mr.parker         : Jangan bodoh deh! Aku malah senang banget. Akhirnya kita bisa ketemu,,, Teman dari Negeri Jauh

mr.parker         : Aku jemput ya?

big_barney      : Kamu nggak keberatan?

mr.parker         : Tentu aja nggak.

big_barney      : Aku jadi benar-benar merepotkanmu, Parker.

mr.parker         : Jangan sungkan! Aku akan menjemputmu.

big_barney      : Wah, makasih banyak, Parker. Maaf merepotkan.

mr.parker         : Hei! Teman seharusnya nggak bilang begitu, Bro.

big_barney      : Sorry, Bro. Tapi makasih banyak ya... Aku jadi banyak merepotkanmu nih ,,, =) Kalau nggak bareng kamu, aku pasti bakal tersesat di negeri orang. Untung kamu mau jemput aku. Makasih ya, Bro.

mr.parker         : Tipikal orang Indonesia banget deh,,, penuh rasa sungkan dan selalu berterima kasih dan minta maaf secara berlebihan. Dasar!

big_barney      : Yah, maaf deh,,,

mr.parker         : Tuh kan, minta maaf lagi.

big_barney      : HWAHAHAHA,,, 





 


Calista mengetik kata tawa itu masih sambil terus berlinangan air mata. Tangisannya tak juga mau berhenti sejak dia menulis e-mail perpisahannya. Tapi dia berjanji pada dirinya sendiri, itu adalah air mata terakhirnya. Dia tidak akan pernah menangis sedih lagi mulai saat itu. Sudah waktunya memulai segalanya dari awal lagi. Teman baru dan tempat yang baru telah menunggunya untuk itu.

Dan jika nantinya dia akan menangis lagi ... Calista bersumpah bahwa tangisan berikutnya haruslah sebuah tangis bahagia.



*              *              *







---CALISTA—



Gue berdiri. Dan tangisan ibu gue makin memilukan. Air mata gue pun jadi nggak tertahankan ketika melihat beliau menangis. Gue tahu bahwa ibu gue sedih. Gue juga sedih banget. Ini pertama kalinya gue hidup jauh dari ibu. Setelah 24 tahun hidup di dalam kasih sayangnya, sekarang gue harus belajar hidup mandiri dan tinggal jauh dari beliau. But at least, gue tahu bahwa bang Ghaza akan menggantikan gue menjaga ibu.  

Gue memeluk ibu sekali lagi, untuk terakhir kali. Air mata ibu jatuh bercucuran di pundak gue, dan segala kesedihannya jatuh seiring air matanya,  menimpa dan membebani gue. Kami berpelukan sangat lama, karena dalam waktu lama kami nggak akan bisa berpelukan lagi.

“ Doakan Tita supaya cepat selesai kuliah ya, bu. Tita akan secepatnya pulang, ” kata gue dengan suara terisak.

” Belajarlah yang benar, Tita sayang. Jangan pulang sebelum mendapat gelar Master of Pharmacy di belakang namamu, ” kata ibu. Suaranya tertahan. ”Ibu dan Abang menunggu. Jadi kamu harus lulus secepatnya, dan pulang secepatnya,” lanjut ibu. Beliau menangis, tapi tampak sangat tegar. Dan kekuatannya itu menegarkan gue.

Setelah ibu melepaskan pelukannya, bang Ghaza segera menyergap gue. Dan gue menangis sesenggukan di dadanya yang bidang. Abang merengkuh gue dengan lengannya yang kekar dan pelukannya makin kuat seolah dia ingin menyembunyikan gue dalam dekapannya dan nggak membiarkan gue pergi. Sebenarnya badan gue serasa remuk oleh pelukan Abang, tapi gue sama sekali nggak mau melepaskan diri. Gue tetap memeluk Abang gue tersayang.

Sama seperti ibu, selama 24 tahun ini gue nggak pernah lepas dari kasih sayang Abang, bahkan setelah Abang menikah, dia tetap memperhatikan gue. Kami sering bertengkar karena kekeras-kepalaan Abang, tapi Abang juga selalu melindungi gue. Terkadang gue merasa Abang over-protective terhadap gue. Pada kasus terakhir belakangan ini, gue membenci Abang karena sudah terlalu mengatur hidup gue ... tapi ternyata gue tetap merasa kehilangannya sekarang. Itu bukti yang jelas bahwa apapun yang terjadi, gue tetap mencintai Abang. Gue tahu bahwa semua yang dilakukannya untuk melindungi gue.

Saat kami saling melepaskan pelukan dengan enggan, gue melihat Abang menangis. Seingat gue, Abang hanya pernah dua kali meneteskan air mata. Pertama, saat menikahi mbak Alma (dan itu jelas tangis bahagia) dan kedua ... sekarang. Dia selalu bilang sama gue bahwa di dalam hidupnya dia cuma pernah mencintai tiga orang perempuan: ibu, mbak Alma dan gue. Sekarang gue tahu bahwa Abang bukan cuma merayu.

” Jaga diri baik-baik disana, Tita ... ” kata Abang, sambil buru-buru menghapus air matanya. ”Abang nggak bisa jagain lo lagi ... ”

” Jangan anggap Tita anak kecil melulu, Abang ... ” kata gue terharu.

Untuk menghindari menangis lebih parah lagi, gue memalingkan wajah kepada mbak Alma yang ikut mengantar gue.

” Tita pergi ya, mbak, ” gue pamit pada mbak Alma yang matanya sudah berkaca-kaca. Dia mengangguk, dan tersenyum, dan menangis, tanpa sanggup bersuara.

 ”Tante Tita pergi ya, Azis, ” dan gue berpaling pada keponakan gue yang sedang dalam gendongan mbak Alma. Gue mencubit pipinya dengan gemas.

Azis ... gue yang menamainya. Abang memberi gue kesempatan untuk menamai anak sulungnya. Suatu kehormatan buat gue. Dan gue menamakannya Azis, yang artinya Perkasa. Kelak dia akan jadi lelaki perkasa yang akan menjaga adik-adiknya, seperti yang dilakukan ayahnya pada gue.

Sekarang gue baru percaya bahwa anak kecil adalah peniru. Nggak cuma meniru film-film superhero di TV aja, tapi ternyata mereka juga dengan cepat meniru perasaan orang-orang di sekitarnya. Azis mengantar gue dengan tangisan. Dan itu suatu kehormatan buat gue, karena anak sekecil itupun sudah mencintai gue.

Mbak Alma sedang menangis sambil berusaha membuat Azis berhenti menangis ketika terdengar pengumuman keberangkatan.

Gue menyambar ransel gue, lalu kembali pada ibu. Gue meraih tangannya dan menciumnya takzim. Sementara itu, ibu membelai kepala gue dengan tangannya yang satu lagi. Gue bakal merindukan tangan-tangan yang selalu membelai gue dengan lembut dan penuh kasih sayang ini.

Setelah itu gue mencium tangan Abang, sama takzimnya. Dia membelai kepala gue juga, lalu menambahkan ciuman di dahi gue. Ini pertama kalinya dia melakukannya. Dan gue terharu banget.

Setelah sesi haru-biru itu, gue membuka ransel dan memberikan sesuatu pada Abang.

“ Aku titip ini buat mas Danu. Hari ini Abang datang ke sana kan? ” kata gue sambil mengulurkan bingkisan berwarna pink itu.

Gue kesal pada Abang karena tiba-tiba dia menunjukkan wajah itu lagi saat gue nggak mau melihatnya begitu.

” Sekali lagi Abang minta maaf, Ta, ” kata Abang dengan tampang menyesal.

Gue menarik tangan Abang dan meletakkan bingkisan pink itu di tangannya. ” Abang udah menggantinya dengan mantel-mantel yang bagus dan hangat, ” kata gue asal.

” Tapi Danu nggak tergantikan kan? ” tanya bang Ghaza kemudian. Makin bikin mood gue jelek.

“ Abang yang nggak tergantikan.”

“ Jawab jujur, Ta. Apa lo menyesal dia menikah dengan orang lain? Apa lo cinta dia? Apa lo menyalahkan Abang?“

Gue benci harus berbohong sekali lagi. Tapi kalau white-lie benar-benar ada … inilah contohnya. Gue nggak akan meninggalkan Abang dalam rasa bersalah. Dan dia memang nggak bersalah.

Gue memaksakan sebuah senyum.

Aku nggak pernah mencintai lelaki manapun melebihi terhadap Abang,” kata gue jujur.

Sebuah lagu lama terngiang di telinga gue ketika gue melangkah pergi. Itu soundtrack hidup gue hari ini. Tapi nggak akan bertahan lama. Gue yakin.





Can not touch, can not hold

Can not be together

Can not love, can not kiss

Can not have each other



Must be strong and we must let go

Can not say what our hearts must know



How can I not love you?

What do I tell my heart?

When do I not wants you here in my arms?

How does one walk away from all of the memories?

How do I not miss you when you’re gone?



Can not dream

Can not share sweet and tender moment

Can not feel, how we feel

Must pretended over



Must be brave and we must go on

Must not say what we’ve known all a long



How can I not love you?



(Joy Enriques – Soundtrack of Anna & The King)





Keluarga gue masih menangis di belakang. Tapi gue nggak mau menoleh ke belakang, karena gue bakal tambah berat berpisah dengan mereka.

Gue melangkah menuju gerbang keberangkatan. Itu gerbang kehidupan gue yang baru. Gue meninggalkan kenangan di belakang dan melangkah menuju impian.

Gue merobek-robek undangan pernikahan Danu menjadi serpihan dan membuangnya ke tong sampah sebelum keluar menuju landasan pesawat. Seperti itulah gue membuang masa lalu gue.

Gue menaiki pesawat sambil mengucap doa. Seperti itulah gue menyongsong masa depan gue.









---DANU---



Gua melihat sekeliling. Dari sekian banyak tamu yang datang, gue belum juga melihat bang Ghaza maupun Tita. Sambil terus menyalami tamu-tamu yang datang ke acara pernikahan gua ini, mata gua terus tertuju ke arah pintu masuk aula ini.

Pada jam 12 siang akhirnya bang Ghaza datang bersama istri dan anaknya. Tapi gua sama sekali nggak melihat Tita.

” Selamat, Bro! Congratulation! Ganteng banget lo hari ini, ” kata bang Ghaza sambil menjabat tangan gua dan menepuk-nepuk bahu gua. Dia tersenyum lebar, tapi wajahnya tampak agak suntuk.

Thanks for coming, bang! ” kata gua.

“ Barni nggak bareng sama Abang? ” tanya Indy tiba-tiba, lebih dulu menanyakan hal yang membuat gua penasaran dari tadi.

“ Tita nggak bisa datang, “ kata bang Ghaza.

Zleppp!!! Rasanya seperti jantung gue dicabut dari rongga dada gue dengan kekerasan.

” Tapi dia nitipin sesuatu buat kalian. Kado pernikahan. Gue taruh di meja penerima tamu. Dia menyampaikan maafnya pada kalian. Dia juga ucapin selamat buat kalian.”

Damn! Rasanya rongga dada gua nyeri banget.

” Dia pergi pagi ini ke Seoul.”

Rongga dada gue serasa kosong dan hampa. Mungkin jantung gue nggak lagi ada di tempatnya. Debarannya pergi bersama Tita.





 Mengapa kita bertemu jika akhirnya dipisahkan?

Mengapa kita berjumpa tapi akhirnya dijauhkan?

Kau bilang hatimu aku,

nyatanya bukan untuk aku



Bintang di langit yang indah... dimanakah cinta yang dulu?

Masihkah aku disana? Di relung hati dan mimpimu?

Andaikan engkau disini, andaikan tetap denganku...



Aku hancur, ku terluka...

Namun engkaulah nafasku

Kau cintaku meski aku bukan dibenakmu lagi

Dan ku beruntung sempat memilikimu...



(Yovie n Nuno)





*         *         *













Incheon International Airport



Aku sudah menunggu selama setengah jam ketika akhirnya pesawat yang kutunggu mendarat. Dari jendela terlihat warna putih salju melatarbelakangi seluruh sudut pandangku saat melihat pesawat itu mendarat. Aku segera berdiri dan menunggu di gerbang kedatangan.

Tak lama setelah itu serombongan orang keluar dari gerbang itu. Aku mengawasi mereka satu per satu. Aku tidak mengenali satupun dari mereka. Dan sebenarnya aku juga belum benar-benar mengenal orang yang kujemput ini selain hanya namanya. Kurasa aku malah lebih mengenal kepribadiannya daripada fisiknya.

Aku mengangkat sebuah papan bertuliskan namanya. Berharap seseorang dari orang-orang yang baru turun dari pesawat itu akan menghampiriku dan mengkonfirmasikan dirinya. Anehnya, sampai tidak ada lagi orang yang keluar dari gerbang itu, tidak ada satu orangpun yang menghampiriku.

Jangan-jangan papan nama yang kubuat kurang jelas? Atau aku salah mengeja namanya dalam huruf latin? Makanya dia tidak mengenaliku? Atau pesawat yang baru saja mendarat itu bukan pesawat yang kutunggu? Tapi menurut jadwal, harusnya pesawat itulah yang membawa temanku itu.

Sepuluh menit aku menunggu, tapi tidak ada lagi orang yang keluar dari sana. Aku menanyakan pada petugas dan katanya semua penumpang sudah turun dari pesawat itu. Jadi dimana dia?!Dengan perasaan kesal aku mengambil ponsel dan berusaha menghubunginya lewat email. Tapi percuma, di sedang offline. Akhirnya kuputuskan untuk menunggu kedatangan penerbangan berikutnya. Jangan-jangan penerbangannya terlambat atau dia ketinggalan pesawat dan naik pesawat berikutnya?

Satu jam kemudian serombongan orang kembali keluar dari gerbang kedatangan. Aku kembali berdiri dan menunggu. Mungkin dia berada di antara orang-orang itu. Aku kembali mengangkat tinggi-tinggi papan bertuliskan namanya.

Saat itulah aku melihat gadis aneh itu. Tubuhnya kecil tapi penampilannya sangat mencolok diantara sekelompok orang yang baru datang itu. Diantara kerumunan orang, mataku terpaku padanya.

Tubuhnya yang kecil menyandang sebuah tas ransel besar di punggungnya dan dengan terburu-buru menarik kedua kopernya. Lucu juga melihat tingkah gadis itu. Satu-satunya bagian tubuhnya yang terlihat hanya wajahnya, dan kulit wajahnya berwarna coklat, khas orang-orang Asia Tenggara. Matanya bulat dan besar, tidak seperti mata orang-orang Asia Timur. Tubuhnya yang kecil tampak menghilang dalam mantel tebalnya. Dan gaya berpakaiannya mirip dengan orang-orang Timur-Tengah.

Gadis itu tampak berusaha menyelinap diantara kerumunan orang dengan langkah lebar dan gerakan yang gesit. Lalu tiba-tiba tatapan mata kami beradu. Dia tampak bingung melihatku, dan wajah bingungnya tampak makin lucu.

Tapi kemudian aku segera mengalihkan pandanganku ke arah rombongan orang-orang di belakangnya, sambil terus mencari-cari orang yang kutunggu. Aku tidak boleh hilang konsentrasi hanya karena terpesona pada kelucuan gadis Asia Tenggara itu, nanti malah aku luput melihat kedatangan Teman dari Negeri Jauh-ku.

Tapi kemudian, tiba-tiba aku sadar bahwa gadis kecil berkulit coklat itu terus berjalan ke arahku dan tak lepas memandangku. Beberapa saat kemudian orang dengan tas banyak dan mode pakaian ala Timur Tengah itu berhenti di hadapanku.

” Mr. Park? ” tanyanya padaku dengan nada sangsi dan tampak takut-takut.

Itu nama keluargaku. Aku mengangguk.

Kemudian tiba-tiba kesadaran yang lain memasuki otakku.

”Parker ?” tanyanya sekali lagi.

Itu nama sandiku di dunia maya. Aku mengangguk lagi dengan perasaan tak karuan.

Aku menurunkan papan nama bertuliskan ”Barney”.

” Barney? ” tanyaku, mengkonfirmasi dengan sangat ragu.

Jujur saja, gadis kecil ini sama sekali jauh berbeda dengan apa yang kubayangkan. Aku jadi tidak yakin apakah dia adalah Barney yang kukenal selama 5 tahun ini. Dari gaya bahasa dan nama akunnya, kukira dia adalah seorang lelaki gagah. Tapi ternyata yang ada di hadapanku sekarang hanya seorang gadis setinggi 160 cm dengan selera fashion yang aneh dan tubuh yang tenggelam di dalam mantel tebalnya.

Kini gadis itu yang mengangguk dengan wajah tampak lelah sekaligus lega.

Tapi aku justru sama sekali tidak mempercayainya. Aku berusaha mencerna kenyataan aneh ini secepat yang bisa dilakukan otakku. Bagaimana mungkin orang yang ngobrol denganku di internet selama 5 tahun ini adalah seorang perempuan?

”Barni imnida, ” jawab gadis itu sambil membungkuk sekilas ketika memperkenalkan dirinya.

You can’t be a girl! “ tuntutku syok. Aku tentu saja tidak mau percaya begitu saja!

Gadis itu menatapku sambil tertawa renyah. Kemudian dia melepaskan koper-kopernya, lalu berdiri tegak dan tampak mempersiapkan diri.

Angeyon haseyo! My full name is Calista Shelma Barnita.,” sapanya, dengan nada suara riang dan nyaring, memperkenalkan diri dalam bahasa Korea yang terdengar canggung. Dia membungkuk untuk memberi salam, seperti kebiasaan bangsa kami. Lalu dia melanjutkan kata-katanya dalam bahasa Inggris sambil nyengir lucu: ” I’m a girl and you just call me Barni! But I don’t mind if  you want to  call me Dinosaur. ”

Aku terpukul. Ternyata perempuan ini memang Barney. Hanya dia orang bodoh yang mau kupanggil Dinosaurus.

Jadi selama 5 tahun ini aku berbicara dan berdebat dengan seorang perempuan kecil seperti ini? Tata bahasanya memang cenderung lebih halus dibanding Alex, tapi kupikir itu hanya karena dia berasal dari bangsa Melayu yang terkenal sopan dan ramah. Dia selalu mengemukakan pendapatnya dengan lugas dan tak jarang mengintimidasi, jadi aku sangat yakin bahwa dia seorang lelaki.

Meskipun demikian, kalau dipikir-pikir lagi ... aku memang sering menganggapnya lelaki homo karena terkadang dia bersikap seperti perempuan juga. Jadi itukah alasannya? Karena sebenarnya dia memang seorang perempuan?! Sial! Aku tertipu! Tapi aku tak bisa marah, karena panggilan ”Barney” itu kedengarannya memang bagian dari nama lengkapnya. Jadi dia mungkin memang tak bermaksud menipuku.

I’m so sorry to make you wait for so long. Myanhamida, Parker, ” kata gadis itu kemudian. Dan sekali lagi dia membungkuk dalam, seperti kebiasaan bangsa kami saat meminta maaf.

Selama beberapa lama aku cuma terdiam saking syoknya. Tapi kemudian, masih dalam kebingungan, aku membalas sapaannya juga.

Angeyon haseyo! ” aku membalas sapaannya sambil membungkuk singkat.

Gadis itu ikut-ikutan membungkuk lagi dengan canggung.

Kami menegakkan badan pada saat bersamaan dan gadis itu tersenyum dengan gaya yang menurutku sangat menawan. Rasa bingungku karena baru mengetahui jati dirinya jadi tak terhiraukan lagi. Rasa kesalku karena sudah menunggunya selama satu jam juga segera lenyap. Saat itu juga aku langsung merasa akan bisa berteman baik dengan gadis ini. Apalagi ketika melihat tingkahnya yang lincah sehingga bahkan bisa mengimbangi langkah lelaki setinggi 180 cm sepertiku saat kami berjalan bersisian keluar dari bandara.

Sambil menarik salah satu kopernya dan menjajari langkahku (sementara aku membantu membawakan kopernya yang satu lagi), gadis itu mulai menceritakan alasan keterlambatannya. Saat memasuki taksi, dia sudah mengakhiri ceritanya dan sudah berhasil membuatku tertawa terbahak-bahak beberapa kali dan mencegahku untuk memarahinya karena sudah datang terlambat.

Myane, Parker. May i know your full name? ” tanya gadis itu sesaat sebelum taksi meluncur pergi.

Aku menghentikan tawaku dan menoleh kepadanya sambil tersenyum.

” Park Jun Sung imnida. But you can call me Parker, as always, ” kataku.

Dia menggeleng sambil tersenyum.

” May I call you: Jun Sung-Oppa? ” tanya gadis itu.

Aku terpana. Agak risih juga dengan panggilan seperti itu. Tapi entah kenapa, aku merasa suka dipanggil seperti itu olehnya.

Adik perempuan yang lucu, pikirku sambil mengangguk memberi persetujuan, Boleh juga!







Aku membawanya pulang ke rumah. Sebenarnya aku sudah menyewa sebuah apartemen untuknya. Tapi aku sudah terlanjur berjanji pada keluargaku bahwa hari ini aku akan mengenalkan mereka dengan seorang teman asingku yang lain. Jadi aku mengajaknya pulang ke rumahku. Kukatakan padanya, setidaknya besok pagi dia baru bisa menempati apartemennya.

Secara umum, keluargaku berisi orang-orang yang sangat moderat dan selalu terbuka dengan teman-teman asingku. Mereka selalu bersikap ramah saat menyambut teman-teman asingku, yang berasal dari kebudayaan yang berbeda, yang datang berlibur ke Korea dan menginap di rumah kami. Meskipun begitu, aku agak khawatir juga dengan penerimaan mereka kali ini dengan mengingat dua hal: bahwa Barney adalah perempuan, dan karena gaya busananya yang aneh.

Tepat seperti kekhawatiranku, keluargaku tampak kaget saat bertemu dan berkenalan dengan Barney. Aku ragu bahwa mereka bisa menerima Barney seperti teman-teman asingku yang lain. Seperti juga petugas bandara yang sempat menangkapnya karena mengira Barney seorang teroris (lantaran gaya pakaian Timur-Tengahnya), keluargaku juga sempat mencurigainya demikian.

Tapi saat Barney mengucapkan ”Gamsahamnida” dan membungkuk berterima kasih dengan agak terlalu berlebihan (saking terharunya terhadap pesta penyambutan yang sudah terlanjur disiapkan oleh ibuku), wajah tegang keluargaku tampak luluh. Meskipun gaya Barney yang berlebihan itu sebenarnya norak, tapi kami semua dapat melihat ketulusannya.

Keluargaku akhirnya bahkan terbahak-bahak juga ketika mendengar kisah tragis keterlambatan Barney di bandara yang diceritakan Barney dalam campuran bahasa Korea dan bahasa Inggris yang aneh dan terbata-bata. Sama sekali tidak ada yang lucu tentang kisahnya atau kata-katanya, tapi gaya bicara Barney dan ekspresi merengutnya yang lucu itu membuat kami merasa dia sedang melawak.

Adik lelakiku segera menyukainya dan bersedia tidur sekamar denganku demi meminjamkan kamarnya untuk Barney.

”Dia boleh pakai kamarku kalau dia mau, Hyung, ” kata adikku padaku sambil tersenyum pada gadis itu.

Bahkan ibuku segera mengijinkan Barney memakai dapurnya yang keramat pada keesokan harinya ketika Barney ingin membuat sarapan perkenalan untuk keluarga kami (mengingat tidak semua orang diperbolehkan ibuku untuk memasuki dapur keramatnya itu).

Kurasa aku juga mulai menyukainya, dan menjadi sama sekali tidak peduli pada selera fashion ala Timur-Tengahnya yang aneh. Barney menjelaskan bahwa itu adalah tuntunan agamanya. Dan aku sama sekali tidak keberatan dengan itu. Terlepas dari penampilannya, dia tetap orang yang menyenangkan. Persis seperti Barney yang kukenal selama 5 tahun ini, meskipun dia bukan laki-laki.

 Jadi seperti yang pernah dikatakannya padaku: ” Apa yang salah dengan model pakaianku? Para biarawati juga memakai kerudung, hanya sedikit berbeda model, dan nggak ada seorangpun yang menangkapnya dengan tuduhan terorisme? ” , maka aku tidak mempermasalahkan gaya pakaiannya karena aku tahu kebaikan hatinya. Aku tidak merasa ada yang salah jika berteman dengannya.







*              *                 *





Musik mengalun dari sudut-sudut ruangan, berasal dari sound system yang menghasilkan suara menggema di seluruh penjuru aula yang besar itu. Lagu-lagu yang diperdengarkan berganti-ganti antara musik Jawa dan Oriental. Aula berhias warna putih lily, warna ungu anggrek, warna pink sakura dan taburan salju buatan.

Pesta diadakan tidak secara besar-besaran, tapi cukup meriah. Yang tersedia bukan hanya makanan wajib pesta, tapi ditambah juga dengan kambing guling, lasagna, zupa soup, es krim aneka rasa, sampai bulgogi. Makanan asing lainnya, yang bercita rasa aneh dan baru bagi para tamu, dihidangkan dan membuat para tamu penasaran. Ada yang suka, tapi ada juga yang tidak merasa cocok dengan rasanya.

Dan diantara segala keunikan pesta itu, yang paling membuat para tamu takjub adalah kedua orang si empunya pesta. Keduanya bersanding di pelaminan, sambil tak berhenti saling menatap dan tersenyum. Ada yang tidak biasa pada pasangan itu ... mereka berdua tidak terlihat sebagai pasangan yang serasi karena pasangan pengantin itu menunjukkan perbedaan ras yang mencolok. Terlebih kedua mempelai dan keluarga sempat berganti pakaian adat saat resepsi: pakaian adat Jawa dan kemudian pada pertengahan pesta mereka berganti pakaian adat yang belum pernah dilihat para tamu selain melalui televisi. Meskipun begitu, tampaknya tidak ada tamu yang berkeberatan dengan pernikahan mereka berdua. Para tamu justru cenderung merasa iri (dalam arti baik) dan takjub pada pasangan itu. Tapi mungkin tidak semuanya merasakan yang sama.





Yang laki-laki itu mualaf ?” tanya salah seorang tamu kepada temannya, sambil melirik sepasang pengantin itu.

Yah. Saya dengar baru kira-kira setahun yang lalu dia masuk Islam.”

Tapi bacaan Al-Qur’an-nya lumayan lancar,” kata teman yang lain lagi.

Oh ya? ”

Memang tadi nggak lihat acara ijab-qabulnya?”

” Nggak. Memang kenapa? ”

” Maharnya nggak seperti biasa. Seperangkat alat sholat, sebuah cincin berlian... dan hafalan Al-Qur’an surat Ar-Rahman.”

” Subhanallah... ”





Sebongkah hati di pojok ruangan yang mendengar perbincangan itu merasakan penyesalan yang makin mendalam.

Dia sudah mendengar lelaki di pelaminan itu tadi melafalkan surat Ar-Rahman dengan sempurna. Itu merupakan suatu pengakuan cinta yang mendalam sekaligus bentuk pamer yang memukulnya telak.

Seandainya dia dulu lebih berani dan lebih bersabar, apakah masih ada kemungkinan lain?

Seandainya dia menyadari semuanya lebih cepat, apakah takdir bisa diubah?

Tapi semua pengandaian itu menjadi tak berarti lagi, karena semuanya sudah terlalu terlambat untuk diubah. Dia tidak bisa mundur lagi, karena dia sudah terlanjur melangkah maju terlalu jauh. Dia marah dan kesal, tapi tidak bisa menyalahkan siapapun, karena dia sadar bahwa dirinyalah yang bersalah. Dia berusaha mengingkarinya, tapi hati kecilnya tahu bahwa dialah yang terlebih dahulu meninggalkan impiannya ... Kini yang tersisa hanya penyesalan dan rasa kehilangan.





Sang pengantin wanita menatap suaminya dengan senyum bahagia tak lepas dari bibirnya. Dia tidak pernah menduga bisa mendapatkan anugerah seindah itu. Bahkan sampai ketika dia bersanding dengan pria itu di pelaminan, dia tetap merasa bagaikan bermimpi bisa mendapatkan pria sebaik itu.

Ada begitu banyak perbedaan diantara mereka, tapi entah mengapa perjalanan mereka begitu dimudahkan oleh Allah. Segalanya hanya serasa bagai air tenang yang mengalir. Semua itu membuat gadis itu merasa bahwa memang lelaki itulah yang diciptakan Allah untuknya, karena demikian pulalah jawaban shalat Istikharahnya selama berbulan-bulan.

Gadis itu menangis saat suaminya berhasil mengucapkan ijab qabul di hadapan kakak lelakinya dalam bahasa Indonesia yang terbata-bata ... Tapi terlebih lagi dia menangis saat suaminya selesai membacakan maharnya dengan lancar.

Dia menangis bahagia ... seperti sumpahnya.





Fa bi ayyi aalaa  i Rabbikuma tukadzibaan...                      (Q.S Ar Rahman)

Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang akan kau dustakan?        



*                         *                          *





” Syapa namanya, sayang? ” kata Tita sambil berlutut menyesuaikan posisi dengan seorang gadis kecil di hadapannya.

” Lila, ” jawab gadis kecil itu dengan canggung dan masih takut-takut.

” Kelas berapa sekarang? ”

Gadis kecil itu tampak agak bingung menjawabnya. Tita nyengir-nyengir menggoda.

” Kelas nol kecil, tante, ” Ibu gadis kecil itulah yang menjawab pertanyaan Tita.

Tita tersenyum sambil mencubit pipi si mungil itu, lalu berdiri dan tersenyum pada ibu si kecil itu.

” Empat tahun, Ndy? ” tanya Tita.

” Iya, Ni, ” jawab Indy sambil mengelus rambut putri kecilnya dengan sayang.

” Duh lucunya,,,, ” kata Tita gemas. Matanya tak lepas menatap gadis kecil itu.

” Makanya bikin sendiri. Lu kapan punya anak, Ni? Kan S3 lu udah kelar, nunggu apa lagi? ”

” InsyaAllah 7 bulan lagi, Ndy, ” jawab Tita sambil tersenyum sok malu-malu.

” Oh ya? Serius? Wah, congrats ya Ni.”

“ Doain aja Ndy, hehehe.”

Saat itu seorang pria setinggi 180 cm, dengan wajah oriental mirip Ken Zhu (pemeran Xi Men di serial Taiwán, Meteor Garden, yang sempat digandrungi para gadis di awal tahun 2000-an), menghampiri mereka berdua sambil membawakan minum untuk Tita.

Gomawo, Yeobo, “ kata Tita, menerima gelasnya sambil tersenyum berterima kasih pada lelaki itu. Pria itu membalas senyumnya, tapi kemudian perhatiannya segera teralih pada gadis kecil yang sedang digandeng Indy. Dia menunduk sedikit lalu mencubit pelan pipi gadis kecil itu.

“ Jangan iseng sama anak orang, Yeobo. Nanti juga kita punya sendiri, “ kata Tita dalam pada lelaki itu, dalam bahasa yang tak dimengerti Indy.

Lelaki itupun tersenyum lebar.

” Anak kita nanti selucu ini nggak ya, sayang? “ balas lelaki itu, dalam bahasa yang sama dengan yang digunakan Tita barusan.

” Kalau ayahnya seiseng kamu, dan ibunya sekonyol aku, kira-kira anak kita selucu apa ya? ” Tita malah balik tanya, menggoda, membuat lelaki itu dengan gemas mengelus-elus kepala Tita.

” Oh, I hate you. Why don’t you guys speak English so I can understand what you’re talking about, “ protes Indy tiba-tiba.

Tita dan lelaki disampingnya tertawa serentak.

“ Gini aja, “ kata Tita kemudian, “ Gue tinggalin kalian berdua, supaya kalian bisa ngobrol, “ katanya pada Indy, lalu dia menjelaskan hal yang sama kepada suaminya dalam bahasa mereka. “ Dan jangan coba-coba bikin temanku frustasi dengan sok nggak bisa bahasa Inggris ya, Oppa, “ tambahnya sambil nyengir mengancam. Tapi pria itu membalasnya dengan cengiran jahil.

Tita meninggalkan mereka berdua dan memulai perburuan makanannya. Ada banyak makanan enak yang tersedia di resepsi pernikahan sahabatnya, Arini, tapi Tita justru tidak memilih lassagna atau zuppa soup atau makanan internasional lain. Dia sudah lama tidak makan makanan khas Indonesia, jadi dia memilih bakwan malang, apalagi karena antriannyapun tidak terlalu panjang.

Saat itulah dia bertemu dengan Danu. Lelaki itu mengantri di belakangnya.

“ Wah, apa kabar, mas? “ sapa Tita ramah.

“ Baik, Ta. Kamu sendiri gimana?”

” Hehehe, alhamdulillah, ” jawab Tita, sambil nyengir khas. ” Tadi saya udah ketemu Indy, tapi katanya mas lagi cari makanan. Belum dapet juga? Atau ini udah ronde kesepuluh? hahaha, ” goda Tita sambil tertawa renyah.

” Kamu ga berubah ya Ta, masih aja suka ngeledekin orang, ” jawab Danu sambil nyengir tertangkap basah.

” Gimana mau berubah, mas? Lha wong suami saya juga kerjaannya ngisengin orang melulu kok. Hehehe. ”

Ekspresi Danu sedikit berubah. ” Kamu datang sama suami kamu? ”

” Iya. Tuh sekarang lagi ngobrol sama Indy dan Lila, ” jawab Tita, ” Eh, Lila tuh lucu banget ya mas. Jun Sung gemes banget tuh sama dia.”

” Kamu udah lama pulang ke Indonesia? ” tanya Danu, mengalihkan pembicaraan.

” Baru bulan lalu. Habis agak lama ngurus kepindahan suami saya ke Indonesia.”

“ Jadi sekarang kalian stay disini?”

“ InsyaAllah, mas. Dia udah minta dipindah kerja ke kantor di Indonesia. Nggak mungkin dong saya kerja disini, trus dia tetep kerja disana. Jadi dia yang ngalah dan pindah kesini. Hehehe. “

Danu mengangguk-angguk. Dia baru saja akan bicara lagi ketika sudah tiba giliran Tita untuk mengambil bakwan malangnya.

“ Saya tungguin, mas, “ katanya ketika bakwan malangnya sudah di tangan dan giliran Danu untuk memesan. Danu berterima kasih dan tersenyum.

Setelah mereka berdua mendapatkan bakwan malang masing-masing, mereka memutuskan untuk mencari Indy & Jun Sung.

“ Aku kira kamu udah ga doyan makanan Indonesia lagi, saking udah kelamaan di Korea, “ kata Danu sambil berjalan di samping Tita.

“ Ya nggak dong mas. Malah sekarang saya ngidamnya masakan Indonesia semua. “

“ Ngidam? Kamu lagi hamil? “

“ Hehehe. Iya, alhamdulillah, udah 6 minggu.”

“ Selamat kalo gitu! “ kata Danu kemudian, agak canggung.

Tita berterima kasih dengan nada ceria.

Tiba-tiba Tita menemukan sosok Indy dan suaminya diantara kerumunan orang. Dia memberitahukan Danu, dan segera bergegas menghampiri mereka berdua.

“ Kamu tahu, Ta …  “ kata Danu tiba-tiba.

“ Ya? 

“ Dulu kan saya pernah jatuh cinta sama kamu.

Langkah Tita terhenti dan dia menatap heran pada Danu. Tapi itu hanya sesaat.

“ Bercandanya aneh deh mas, kata Tita sambil nyengir nggak habis pikir.

“ Saya nggak bercanda.”

Dan sampai sekarangpun masih ... lanjutnya dalam hati. Danu sendiri syok. Entah kekuatan dari mana yang membuatnya bisa mengucapkan hal itu padahal selama 14 tahun dia tidak pernah berani mengatakannya.

Danu menunggu komentar Tita dengan harap-harap cemas. Meski dia akan maklum kalau Tita akan marah atau akan bersikap menjauhinya mulai saat itu, tapi dia berharap Tita bisa memahami perasaannya.

“ Ah, itu kan dulu. Sekarang udah nggak lagi kan mas?  “ kata Tita akhirnya, dengan nada ringan, sambil nyengir sok polos.

Danu tidak tahu harus menjawab Tita seperti apa. Rasanya jadi serba salah sekarang.

“ Daun yang sudah tertiup angin nggak akan pernah kembali ke pohonnya, kata Tita sambil tersenyum bijak.

Sampai disini Danu benar-benar tak bisa bicara apa-apa. Rasanya terpukul telak di jantungnya. Dia tahu betul maksud ucapan Tita.

“ Eh, tuh mereka! “ kata Tita, agak  tiba-tiba dan membuat Danu kaget, sambil menunjuk ke arah suaminya, Indy dan Lila.

Tita membalas lambaian tangan suaminya dan berkata pada Danu: Kita kesana yuk, mas. Tuh Indy dan Lila juga disana,Dan kini tanpa menunggu Danu lagi, Tita bergegas menghampiri suami dan sahabatnya.

Danu, yang kini perasaannya jadi seperti sedang digantungi beban 10 ton setelah mendengar komentar Tita, mengikuti Tita dari belakang.

“ Kok lama banget sih, sayang? Makan apa aja sih?  “ sambut suami Tita begitu melihatnya mendekat. Kamu menghabiskan semua makanan, eh?” lanjutnya sambil nyengir iseng.

Kamu! ” desis Tita sambil menyikut lengan suaminya. Aku membawakanmu ini, tahu. Aku yakin kamu belum pernah makan ini, jadi aku ambilin buat kamu. ” lanjutnya. Dia menunjukkan semangkuk bakwan malangnya yang aromanya menggiurkan dengan tampang sok ngambek.

” Uuuu,,, my lovely wife,,, ” rayu suaminya sambil mencubit-cubit pipi Tita gemas.

” Kalian barengan? ” tanya Indy ketika melihat Danu datang beberapa detik setelah Tita.

” Iya, tadi kita ketemu pas sama-sama ngantri bakwan malang, ” jawab Tita pada Indy. Dia menjelaskan hal yang sama pada suaminya dengan bahasa Korea, lalu menambahkan: ” Trus ngobrol-ngobrol sambil nyari kalian, makanya agak lama. Myane, Oppa. ”

” Dan kamu nggak berniat mengenalkanku dengan temanmu ini? ” tanya suami Tita.

Tita nyengir dan mengangguk.

” Dia Danu, suaminya Indy sekaligus teman lamaku, ” kata Tita pada suaminya dalam bahasa mereka, lalu menoleh pada Danu dan berkata dalam bahasa Indonesia: ”Mas, kenalkan, ini Park Jun Sung, suami saya.”

Jun Sung mengulurkan tangannya sambil tersenyum ramah. Danu menyambutnya meski dengan agak canggung dan mereka pun berkenalan.

Kedua pria itu berbincang beberapa saat sebelum akhirnya terputus oleh rengekan Lila yang minta diambilkan es krim oleh Papanya. Setelah itu keluarga Danupun pamit dan memisahkan diri.

” Ayo kita duduk dan makan ini. Hampir dingin lho, ” kata Tita kemudian, pada Jun Sung sambil menariknya ke deretan kursi di pinggir ruangan resepsi itu.

” Kalian para lelaki bisa cepat saling akrab dan ngobrol panjang lebar tentang sepak bola dan membiarkan kami bosan, eh? ” sindir Tita ketika mereka sudah duduk. Dia berdoa sesaat, lalu mulai memakan bakwan malangnya.

” Dan kalian para wanita, tahan ngerumpi dan belanja seharian, dan melupakan kami menunggu di rumah kelaparan karena belum dimasakkan makan malam, ” balas Jun Sung sambil nyengir.

Tita menyikut lengan suaminya sambil sok merengut kesal.

” Eh, teman lamamu itu, Danu, lelaki yang pernah kamu suka kan? ” tanya Jun Sung kemudian, tiba-tiba.

” Hah? “

“ Dan sepertinya dia juga suka sama kamu. Bahkan mungkin masih.

“ Hah?  “ Tita takjub. Kok suaminya bisa tahu? Kejutan nomor dua hari ini, setelah barusan Danu mengaku pernah mencintainya.

“ Aku emang konyol dan nggak romantis, Barn, tapi bukannya aku nggak peka,” kata Jun Sung.  “ Ini pertemuan keduaku dengannya, setelah di pesta pernikahan kita. Dan selalu saja dalam setiap kesempatan aku selalu memergoki dia sedang memandangimu. Dia sempat membuatku cemburu saat melihatnya begitu saat pesta pernikahan kita dulu. Dan sekarang aku melihatnya begitu lagi. Kau tahu bagaimana caranya memandangimu? Dia menatapmu dengan tatapan kangen, tahu?”

” Oppa, ingatanmu luar biasa hebat. Kau pintar sekali, ” kata Tita menggoda.

” Tentu saja. Kau nggak akan menerimaku kalau aku nggak sepintar ini kan? ”

Tita menggeleng sambil tertawa renyah. ” Anieyo, Oppa, ” katanya sambil membelai pipi Jun Sung. ” Apa kau pikir aku jatuh cinta padamu karena kau pintar sekali? Ani. InsyaAllah kepintaranku sudah cukup untuk anak-anak kita. Juga bukan karena wajahmu mirip Ken. Tapi karena kau yang paling berani dan paling tulus padaku. Kau selalu sangat baik padaku, bahkan jauh sebelum kau tahu aku seorang gadis. Dan kau yang paling berani memperjuangkanku.”

Jun Sung senang mendengar hal itu, tapi dia menyembunyikan senyumnya dan masih memasang tampang merengut.

”Dia kelihatan masih cinta padamu. Padahal dia kan sudah punya anak dan istri. Gimana sih?  

“ Oh, sudahlah, my lovely husband, kenapa masih membahas itu? “ potong Tita. “ Seperti katamu, dia kan sudah punya anak & istri, jadi kenapa kamu mesti cemburu padanya? Lagipula, buat apa kau peduli kemana Danu memandang? Kenapa kamu nggak perhatikan kemana mataku memandang?”

Jun Sung memandang Tita dengan pandangan bertanya.

“ Mataku selalu melihat ke arahmu, Jun Sung-Oppa. Bahkan meski diantara kerumunan orang.“ kata Tita sambil nyengir menggoda.

Jun Sung nyengir senang, seperti anak kecil yang sedang ngambek lalu dibelikan permen oleh ibunya.

” Nyengir deh. Dasar gampang dirayu, ” ejek Tita.

” Rayuan perempuan lain nggak akan mempan padaku, Barney, cuma kamu yang bisa. ”

” Kamu bilang begitu juga saat dirayu Soh Yoon? ”

” Ih, kok jadi ungkit-ungkit masa lalu? Cemburu ya?”

  Nggak tuh. Enak aja. ” kata Tita sok cool, lalu langsung mengalihkan topik pembicaraan.

“ Nih dimakan, ntar kalo udah dingin nggak enak lho,“ katanya sambil menyerahkan mangkuk bakwan malangnya pada Jun Sung.

“ Maunya disuapin sama kamu,  “ kata Jun Sung merajuk. Dia tidak mau menerima mangkuk yang disodorkan Tita dan malah membuka mulutnya, minta disuapi.

” Seingatku, aku yang sedang hamil, kenapa kamu yang jadi manja? Harusnya aku yang bermanja padamu kan?” kata Tita sambil nyengir geli melihat sikap konyol suaminya.

” Aaaa... ” lelaki besar itu tidak menggubrisnya dan tetap membuka mulutnya, dan merajuk seperti anak kecil.

Akhirnya  Tita menyuapkan sesendok bakwan malang ke mulut suaminya sambil sok bersungut-sungut.

Saat itu Jun Sung menerima suapan istrinya sambil sekilas melirik ke seberang ruangan. Dia memergoki lelaki itu lagi, sedang memandangi dia dan istrinya dengan pandangan yang tidak disukainya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar