“Dia nerima lamaran gue, Va.”
Haiva diam. Terpukul.
“Kasih selamat dong buat kakak lo
ini.”
“Selamat ya Kang.”
Kang, begitu panggilan Haiva kepada laki-laki bernama Arya itu. Mereka memang sudah
berteman sangat akrab, seperti adik-kakak. Itu mengapa ia memanggil lelaki itu Akang. Ironisnya, hanya Arya yang
menganggap Haiva sebagai adik. Haiva sendiri selalu mencintai lelaki itu, sejak
awal.
Beruntung Arya mengatakan berita
itu lewat telepon. Haiva tidak perlu berpura-pura tersenyum selagi ia sama
sekali tidak ingin tersenyum.
“Makasih ya Va.”
Haiva tidak menjawab.
“Sekarang gue harus menyiapkan
strategi berikutnya untuk bilang ke Ibu gue dan orang tuanya.”
“Hmm.”
“Doain supaya lancar ya. Nanti pasti
gue undang.”
“Iya.”
Tiba-tiba Haiva sadar, pipinya
sudah basah. Ia harus segera memutus pembicaraan telepon itu.
“Eh, aku dipanggil bos nih Kang,”
Haiva buru-buru memutus. “Udah dulu ya.”
“Oke deh. Met kerja lagi ya Va.”
“Daaah.”
Tanpa menunggu balasan Arya,
Haiva sudah mematikan ponselnya.
Beruntung saat itu sudah lepas
jam kerja. Tidak ada siapapun di ruang kerjanya. Mas Bram sudah pulang sejak
jam 5 sore tadi. Kalau tidak, Haiva akan sangat kesulitan menutupi
kesedihannya. Ia sudah jatuh.
Sebenarnya sudah sewajarnya pada
waktu semalam itu semua orang di factory
sudah pulang. Haris memang terbiasa pulang paling akhir. Ia tidak suka
melakukan pekerjaan di rumah, jadi ia terbiasa menyelesaikan semua pekerjaan di
kantor sebelum pulang ke rumah. Toh pulang jam berapapun tidak ada yang
menunggunya di rumah selain kura-kura peliharaannya. Ia tidak merasa keberatan
selalu menjadi yang paling akhir pulang. Lagipula sebagai seorang pemimpin,
sudah seharusnya ia datang lebih pagi daripada anak buahnya dan pulang lebih
akhir setelah semua anak buahnya pulang. Karena itulah ketika melewati ruang
QA, Haris agak terkejut karena ruangan itu masih terang-benderang. Entah karena
masih ada orang di sana atau karena yang paling akhir pulang lupa mematikan
lampu.
Haris memutar langkahnya.
Mengurungkan niatnya untuk pulang, ia berbalik ke ruangan QA. Ia mencoba
membuka pintunya dan ternyata memang tidak dikunci. Tapi ketika pintu terbuka,
tidak ada siapapun di ruangan itu.
Bram dan Haiva harus dimarahi besok karena pulang tanpa mengunci pintu dan
mematikan lampu, pikir Haris dalam hati.
Tapi kemudian ia mendengar suara
pelan, seperti suara tangis. Bulu kuduknya berdiri. Ruangan itu kosong, mengapa
ada suara seperti itu? Desas-desus tentang hantu yang paling sering beredar
adalah penampakan di gowning room production. Jadi harusnya
tidak di ruangan ini kan?
Perasaan Haris makin tidak enak
ketika ia melihat sepotong tangan terjulur dari bawah meja kerja Haiva. Haris
baru saja hendak bergegas kabur ketika akal sehat menguasainya. Memberanikan
diri, ia masuk ke ruangan itu dan perlahan mengintip ke bawah meja kerja Haiva.
“Ya ampun Iva!” Haris membentak
dengan keras. Membuat Haiva kaget. Tangisnya segera terhenti. “Kamu seperti setan
saja! Bikin saya jantungan. Ngapain sembunyi di bawah kolong meja begini? Saya
kira setan. Dan itu apa tadi? Kamu nangis? Suaranya seperti kuntilanak sedang
menangis!”
Haris memarahi Haiva dengan suara
keras. Dia kesal karena anak ini sudah membuatnya ketakutan hingga hampir mati.
Haiva serta-merta diam. Berhenti
menangis. Ia kaget dibentak seperti itu. Sudah sering ia dimarahi atau ditegur
Haris. Tapi Haris selalu menggunakan suara yang pelan dan tajam alih-alih bentakan
dengan suara keras seperti yang barusan dilakukannya. Ini pertama kalinya Haiva
mendengar bos besarnya itu membentaknya dengan suara keras.
Belum cukup rasanya ia mendengar
pria yang dicintainya akan menikahi perempuan lain, yang ironisnya adalah
temannya juga. Ternyata nasib sialnya hari ini masih harus ditambah dengan
amarah bosnya. Terima kasih Tuhan.
Meski anak itu duduk di kolong
meja seperti itu, penerangan ruangan masih cukup untuk membuat Haris melihat
keanehan pada wajah Haiva. Matanya sembab dan wajahnya basah. Hal itu membuat
wajah Haris melunak. Mata Haiva yang berkaca-kaca itu membuat Haris jadi gugup
dan merasa bersalah karena membentak gadis itu.
“Iva nangis ya?” Haris bertanya
hati-hati.
Haiva buru-buru mengeringkan
pipinya.
“HP saya jatuh, Pak. Pas mau
ngambil, kepala saya kejedot. Sakit banget.”
Haiva menggoyang-goyangkan
ponselnya di depan Haris dan berupaya memasang wajah lucunya. Meski begitu
Haris tidak percaya. Tapi demi menghargai usaha Haiva untuk menutupi
tangisannya, Haris berpura-pura percaya.
“Ayo berdiri!”
Sedikit terhuyung, Haiva
merangkak keluar dari kolong meja dan bangkit berdiri. Lalu dengan wajah riang,
ia bertanya pada bosnya: “Bapak kok belum pulang?”
“Saya memang biasa pulang jam
segini. Seharusnya saya yang tanya, kenapa kamu belum pulang?”
Gugup karena malah diintrogasi,
Haiva berlagak sok sibuk mematikan laptopnya.
“Er... tadi ada yang harus saya
kerjakan, Pak.”
Mengerjakan apa? Menangis di kolong meja?, Haris nyaris mengatakannya.
Tapi ia menahannya karena merasa tidak bijak meledek gadis yang suara tangisnya
seperti kuntilanak ini. Haris merasa tidak akan tahan mendengar suara tangisnya
lagi.
“Sekarang sudah selesai
kerjaannya? Sudah mau pulang?”
“Hmmm.” Haiva bergumam dan
mengangguk.
“Apa Iva buru-buru pulang?”
“Eh?”
“Saya belum makan malam. Iva juga
belum kan?”
Haiva melirik bingung.
“Iva mau temani saya makan?”
tanya Haris kemudian.
“Iva mau pesan apa?”
Haris membuka-buka menu makanan
di resto seafood itu dan dengan
bersemangat bergumam ingin memesan ini dan itu. Haiva menggaruk kepalanya yang
sebenarnya tidak gatal. Dia sedang berusaha menemukan makanan yang dapat
dimakannya dari daftar menu itu. Tapi belum lagi Iva menemukan yang dicarinya,
Haris sudah memanggil waitress
restoran itu.
“Kepiting saos padang. Cumi
goreng tepung. Cah kangkung...” Haris menyebutkan pesanannya dengan
bersemangat. Lalu ia menoleh pada Haiva. “Iva?”
“Tumis buncis ...”
Sang waitress mencatat pesanan
Haiva. Lama ia menunggu, tapi gadis itu tidak menyebutkan pesanannya yang lain.
Haris memandang Haiva dengan mendesak.
“Apa lagi? Masa pesan itu aja?
Disini ada udang mayonaise, kerang rebus.”
Haiva balas memandang bosnya
dengan tatapan meminta maaf. “Saya sebenarnya alergi seafood, Pak.”
“Hah!” desah Haris, separuh kaget
dan separuh kesal, “Kenapa Iva baru bilang? Kalau gitu kita ...”
“Saya makan itu aja, Pak,” kata
Iva buru-buru. Ia khawatir bosnya akan mulai memarahinya lagi.
“Apa kita makan di tempat lain?”
Sang waitress tampak tidak rela kehilangan calon pelanggannya. Ia segera
memotong percakapan kedua tamunya itu.
“Kami punya gurame. Ikan air
tawar, Mbak,” kata waitress itu,
menawarkan kepada Haiva.
“Kalau gitu, kami pesan itu,”
kata Haris cepat.
Sang waitress tersenyum. “Guramenya
bumbu apa? Dibakar? Lada hitam? Atau ...” tanyanya kemudian.
Haiva menatap Haris. Tidak tahu
harus memilih yang mana.
“Kepiting saos padang disini enak
banget,” Haris menjawab tatapan Haiva. Ia lalu menoleh pada waitress. “ Apa bisa guramenya pakai
saos padang?”
Sang waitress mengangguk. “Bisa, Pak.”
Ia kemudian mengkonfirmasi
pesanan kedua tamunya sebelum pergi meninggalkan mereka berdua.
“Harusnya Iva bilang kalau nggak
bisa makan seafood. Untung disini ada
gurame.”
“Iya, maaf Pak. Saya nggak tahu
bahwa kita mau makan disini.”
“Hmmm. Iya sih, saya juga nggak
bilang ya?”
Haiva memerhatikan berkeliling.
Hampir semua meja penuh. Hampir semua kursi diduduki oleh pria berkemeja rapi
dan perempuan berpakaian modis, seperti para eksekutif muda. Mereka semua
tampak seperti orang-orang yang baru pulang kerja. Lagipula restoran ini
berdiri di daerah perkantoran elit. Tampaknya ia sedang makan di restoran seafood yang terkenal dan mahal. Well, it looks fit with the boss anyway.
Semua orang tampak sedang
menikmati makanan di piringnya masing-masing dengan bersemangat. Tidak ada
satupun yang tidak menikmati makanannya. Dilihat dari makanan-makanan yang
tersaji di tiap piring di semua meja, mereka memang tampak menggiurkan. Tidak
heran jika bosnya mengajak ke sana.
Eh? Oh, mungkin hanya sepasang
muda-mudi yang berada di meja sebelah yang tidak tampak sedang menikmati
makanannya. Laki-laki tampan dan perempuan cantik itu keduanya berwajah keras.
Mereka mengacuhkan sepiring kerang dengan kuah yang tampak pedas dan seekor
gurame besar yang bertabur potongan mangga di hadapan mereka. Mengacuhkan
makanan-makanan yang tampak menggiurkan itu, mereka pasti sedang membicarakan
masalah yang serius. Haiva tidak sengaja mencuri dengar pembicaraan kedua orang
di meja sebelah.
“Kenapa?” Si gadis bertanya pada
pemuda di hadapannya.
“Kita udah nggak cocok lagi,”
kata si pemuda dengan wajah kaku. Pemuda itu tampak tidak peduli pada wajah
nelangsa gadis di hadapannya. Haiva menduga gadis itu sebentar lagi akan mulai
menangis.
Tapi ternyata tidak. “Jangan
bercanda!” Gadis itu malah tersenyum mencemooh, “Nggak cocok lagi adalah alasan basi. Kamu ... apa ada perempuan
lain?”
Cih!, gumam Haiva dalam hati, kasus
perselingkuhan. Nggak heran, cowok ini punya wajah yang tampan. Pasti banyak
gadis yang menyukainya.
“Sorry. Kita putus.” Haiva
mendengar si pemuda menjawab tanpa basa-basi.
Si gadis mendelik. “Apa?!
Putus?!” Gadis itu mendesis dengan marah. “Kamu yang selingkuh, kenapa kamu
yang mutusin aku? Hah?!”
Si pemuda tampak agak syok.
“Kita putus! I’m tho one who dump you, jerk!”
Si gadis, meski dengan mata
berkaca-kaca, memutuskan pacarnya dengan sangat tegas. Ia menenggak es jeruknya
dalam segali teguk. Dan selagi si pemuda masih tampak syok, gadis itu berkata:
“Lo yang bayar!”
Lalu gadis itu pergi.
Sebelum gadis itu membuka pintu restoran
dan keluar, Haiva melihatnya menghapus air mata. Tidak ada gadis yang tidak
sedih diselingkuhi, tapi toh gadis itu menghadapinya dengan gaya yang keren.
Haiva tersenyum diam-diam, mengagumi ketegaran gadis itu. Ia berharap bisa setegar
gadis itu menghadapi perasaan patah hatinya.
“It’s like today is not good day for relationship,” Haiva bergumam
muram.
Haris melirik ke arah yang sama
dengan tatapan gadis di hadapannya. “Apa?”
Haiva tersenyum. “Nggak apa-apa,
Pak.”
Haris bukan tidak mendengar
gumaman pelan Haiva barusan. Dia juga jelas-jelas melihat Haiva memperhatikan
pasangan di sebelah mereka. Ditambah lagi, dari sikap Haiva sesorean ini, Haris
menduga bahwa gadis ini baru saja putus dengan pacarnya. Itu mengapa si kelinci
yang biasanya suka meloncat-loncat ini terlihat lesu sore ini. Itu mengapa gadis
itu menangis saat ia tadi memergokinya. Tapi kalau Haiva tidak berniat
memberitahunya, bukankah dia tidak berhak memaksa?
“Orang-orang datang dan pergi
dalam hidup.”
Haiva mendengar Haris bergumam.
Dia tidak yakin apakah Haris sedang bicara padanya atau hanya bergumam sendiri.
Haiva menoleh dan memperhatikan bosnya.
“Setiap hari, orang-orang datang
dan pergi dalam hidup kita,” Haris mengulang. Kali ini sambil menatap langsung
ke mata Haiva. Haiva merasa si bos sedang bicara padanya. “Tidak perlu terlalu bergantung
pada satu orang. Toh dia akan pergi juga.”
Haiva curiga, jangan-jangan si
bos sedang menyindirnya. Tapi sebelum Haiva membuka mulut, seorang waitress mengantarkan pesanan mereka. Berpiring-piring
makanan tersaji di meja mereka dalam beberapa menit saja.
“Makan yang banyak, Iva.”
Haris tersenyum lebar. Haiva
menganggapnya sebagai perintah. Ia mengangguk dan mendekatkan piring berisi
seekor gurame besar yang disiram kuah merah ke arahnya. Ia melirik sesaat ke
meja sebelah. Gurame bertabur potongan mangga masih utuh tersaji. Piringnya
bahkan belum tersentuh. Si pemuda sudah pergi meninggalkan makanan-makanan itu
tersia-sia.
“Sayang banget, kenapa mereka
harus putus sebelum makan malam dimulai,” kata Haiva pada Haris sambil
mengerling meja sebelah, “Makanan yang sudah mereka pesan jadi tersia-sia kan?”
Haris tertawa. “Jangan
memperhatikan hal-hal lain. Perhatikan yang ada di depan mata.” Haris
mengendikkan kepala pada piring berisi gurame saos padang di hadapan Haiva.
“Kalau Iva berhasil menghabiskannya, saya belikan gurame saos mangga juga buat
Iva.”
Perhatikan yang ada di depan.
Haiva menatap ke depan. Ada Haris disana. Haiva tertawa.
“Apa rasa sakitnya sudah
berkurang?” tanya Haris.
Lampu-lampu jalanan berkelebat di
kiri-kanan mereka ketika mobil Haris melaju membelah jalanan Jakarta. Selesai
makan malam, Haris mengajak Haiva pulang bersamanya. Rumah mereka searah
sehingga Haris tidak keberatan mengantar Haiva. Toh sebenarnya Haris tidak
repot sama sekali. Dia kan punya supir pribadi.
Haiva menoleh cepat. Kaget. “Apa?”
Penerangan di dalam mobil tidak
begitu terang. Haiva tidak bisa melihat ekspresi bosnya dengan jelas. Ia tidak
tahu apa maksud pertanyaan bosnya itu.
“Yang tadi bikin Iva nangis, apa
rasa sakitnya sudah berkurang sekarang?”
Haiva hanya mengerjap. Apakah
bosnya mengetahui alasan sebenarnya ia menangis? Apa acting HP-jatuh tadi kurang meyakinkan? Lalu bagaimana ia harus
mengalihkan pembicaraan sekarang supaya ia tidak perlu menjawab.
“Meski makanan enak tidak bisa
mengobati sakit kepala yang terbentur tadi ...” Haris menoleh pada Haiva, “ ...
setidaknya Iva sudah lupa rasa sakit terbentur yang sampai bikin Iva nangis
tadi kan?”
Haiva bengong sesaat. Tapi
kemudian ia tertawa.
“Makasih ya Pak,” kata Haiva,
masih tertawa, “Kata orang: perut kenyang, hati senang. Kepala saya nggak sakit
lagi sekarang.”
Tinggal hati saya aja yang masih sakit, lanjut Haiva dalam hati. Masih
sambil tertawa.
Tapi hatimu masih sakit kan?, tanya Haris dalam hati, sambil
ikut tertawa bersama gadis itu. Dasar
anak muda.
Ini pertama kalinya Haiva ngobrol
dengan Haris, di luar jam kantor, dan selain membicarakan validation report dan deviation
report.
*
* *
Dear Boss,
Aku mau mengaku, bos. Selama ini
di belakangmu, aku memanggilmu “Hulk”. Kalau saja kau tahu panggilanku ini,
seharusnya kau juga tahu alasannya kan? Itu karena badanmu yang tingi besar dan
tiap marah saat meeting selalu seperti
Hulk yang ditakuti semua orang. Jadi jangan salahkan aku karena memanggilmu
begitu ya, bos :p
Tapi bos, seperti halnya Hulk, di
balik tubuh hijau-besar-menakutkan itu ada Dr. Bruce Banner yang tampan, pintar
dan baik hati. Aku pikir, seperti itulah dirimu. Dibalik sosok menakutkan saat meeting itu, ada sosok lain. Haris
Hananjaya yang tidak kalah tampan, pintar dan baik hatinya dengan Bruce Banner.
Setelah selama ini aku melihat
sosok Hulk-mu, akhirnya aku bisa bertemu dengan Bruce Banner dalam dirimu.
*
*
*
Sejak hari itu, Haiva tidak lagi
kaku dan ketakutan jika bertemu dengan Haris. Betapa seringnyapun Haris
memarahinya soal pekerjaan, diluar jam kerja Haris kembali bersikap seperti
Bruce Banner. Beberapa kali saat Haiva lembur dan pulang malam, Haris bahkan
menawarinya nebeng sampai terminal
bis terdekat. Haiva juga mulai memberanikan diri menyapa bosnya itu setiap
berpapasan di koridor, tidak lagi hanya menundukkan kepala dengan kikuk. Di
hari lain ketika ia dan bosnya, sang Supervisor QA, berencana makan seafood
bersama, Haiva juga sudah berani mengajak bos besarnya itu ikut bersama mereka
ketika mereka bertemu di halaman parkir.
“Kami mau pergi makan seafood, Pak! Bapak ikut aja,” kata
Haiva bersemangat.
Tapi Nala, sambil tertawa,
melarang Haiva. “Jangan ajak Bapak,” katanya, “Bapak pasti nggak mau.”
Haris balik bertanya. “Kenapa
saya pasti tidak mau?”
“Karena kami nggak akan makan di
restoran seafood. Ini warung pinggir jalan,” Nala menjawab sambil tersenyum
mengejek.
Mata Haris mengerjap.
“Jadi kenapa?” Haiva bertanya,
“Kepiting saos padang disana enak banget kan Mbak? Bapak pasti suka.”
“Saya baru ingat, saya harus
langsung pulang,” kata Haris tiba-tiba.
“Eh?” Haiva bengong. Sikap Haris
berubah dengan sangat cepat.
“Kalau gitu kami duluan, Pak,”
kata Nala cepat. Tersenyum dan menarik tangan Haiva untuk segera ke mobilnya.
Sampai di mobilnya, Nala baru
menjelaskan alasan mengapa bos besar mereka tidak akan mau diajak makan di Seafood Ayu.
“Bapak punya penyakit alergi.”
“Alergi makanan laut? Itu mah
saya, Mbak. Saya pernah lihat Bapak makan kepiting dan beliau baik-baik aja
kok.”
“Bukan,” jawab Nala kalem.
“Penyakit Bapak itu namanya Cheap-Food
Alergy.”
“Food Alergy apa, Mbak?”
“Cheap-Food Alergy,” Nala mengulangi sambil nyengir sendiri, “Alergi
sama makanan murahan dan makanan pinggir jalan. Percaya deh, beliau bakal
langsung sakit perut kalau makan makanan murah atau di pinggir jalan. Harus di
restoran.”
Haiva bengong. Tapi kemudian ia
tertawa. Tidak tahan mendengar hal yang lucu luar biasa itu.
*
* *
Haiva sampai lupa warna matahari.
Dia berangkat kantor pagi-pagi sekali sebelum matahari terbit. Pulang
malam-malam setelah matahari terbenam. Bahkan makan siangpun tidak bisa ia
lakukan dengan tenang. Semua itu gara-gara proyek besar perusahaannya tahun
ini. Semua karyawan di kantor itu, tak terkecuali Haiva, jelas kena imbasnya.
Tapi meski Haiva nyaris tidak
bisa melihat matahari, ia selalu bisa menemukan mataharinya sendiri. Hari itu
mataharinya datang ke ruangannya.
“Iva tadi nggak makan siang? Saya
cari Iva. Ada yang harus diperbaiki dari APR
report ini,” kata sang matahari saat membuka pintu dan menemukan Haiva ada
di dalamnya.
Haiva mengalihkan pandangannya
dari kotak sampel. Dengan pipi yang menggembung, ia kaget hingga nyaris
tersedak melihat si matahari yang begitu menyilaukan.
Buru-buru dan hati-hati Haiva
berusaha secepat mungkin menelan makanan yang memenuhi mulutnya. Si matahari
tertawa kecil melihat tingkah Haiva.
“Kenapa nggak titip messenger aja, Pak?” tanya Haiva setelah
makanannya tertelan.
Sang matahari tidak menjawab. Ia
malah balik bertanya, “Iva makan apa?”
“Pak Haris mau?”
“Apa itu?” tanya Haris sambil
meletakkan odner APR report di atas
meja kerja Haiva sambil melirik sepiring makanan di atas meja itu.
“Bapak nggak tahu ini apa? Ini
bakpao.”
“Saya tahu itu bakpao. Iva beli
dimana?”
Teringat kata-kata Nala bahwa bos
besar mengidap Cheap-Food Alergy,
Haiva jadi malas memberitahu si bos dimana ia membeli bakpao itu sebenarnya.
“Enak lho, Pak. Ini isi coklat.
Ini isi daging ayam. Ini isi kacang ijo,” Haiva menunjuk satu per satu bakpao
yang dibelinya. “Bapak mau yang mana?” Ia lalu mengulurkan semuanya ke hadapan
Haris.
“Iva beli dimana?”
Dengan cepat Haiva memutar otak
dan menjawab dengan gaya cool, “Di
toko roti di Kelapa Gading. Tadi saya nggak sempat makan siang, jadi nitip sama
Mbak Asri Regulatory yang lagi lunch-out buat beliin ini.”
“Oh.”
Haris tampak mulai tertarik
melihat bakpao-bakpao yang masih panas-mengepul itu.
“Ambil aja Pak.”
Sekali lagi Haiva menggoda Haris
dengan menyodorkan bakpao-mengepul itu tepat di depan wajah bos besar. Dan ia
berhasil. Haris tergoda dan mengambil sebuah bakpao isi daging ayam.
Tersenyum, Haiva meletakkan
piring berisi bakpao-bakpao itu di mejanya sambil berkata: “Kalau Bapak suka,
nanti ambil lagi aja. Jangan malu-malu. Dihabiskan juga nggak apa-apa. Saya
tinggal dulu ya Pak.”
“Iva mau kemana?”
“Saya mau sampling cleaning validation lagi Pak ke Produksi.”
Haiva mengambil sebuah bakpao
coklat. Dan tanpa diduga Haris, gadis itu mampu memasukkan bakpao itu
bulat-bulat ke mulutnya. Membuat Haris takjub.
Haiva menyambar kotak berisi sampling vial lalu pergi dengan pipi
yang menggembung. Gadis itu bergumam pamit kepada bosnya dengan suara yang
tidak jelas.
“Di Produksi tidak boleh makan,
Iva! Telan sebelum masuk sana!” kata Haris sok galak ketika Haiva membuka pintu
ruangannya dan keluar.
Haiva bergumam tak jelas. Di
balik punggung gadis itu, Haris tidak lagi menyembunyikan senyumannya. Ia
takjub bahwa gadis berbadan kurus-kecil itu ternyata pipinya bisa menggembung
hingga sebesar itu sehingga mampu memakan sebuah bakpao sekaligus. Tidak heran
gadis itu punya pipi yang tembem.
Dasar bakpao, gumam Haris sambil tersenyum memandang punggung yang menjauh itu.
Sementara itu, berjalan
memunggungi Haris, Haiva mengunyah bakpaonya sambil tertawa dalam hati. Kita lihat, gumamnya pada diri sendiri, apa besok pagi Pak Haris sakit perut? Kalau
nggak, berarti beliau nggak alergi sama makanan pinggir jalan. Beliau cuma
alergi sama makanan yang dia tahu
dibeli di pinggir jalan. Selama beliau nggak tahu darimana asalnya, beliau
nggak akan sakit perut kan?
Setelah menelan bakpaonya dan
masuk ke gowning room (ruang ganti
baju sebelum masuk ke ruang produksi obat-obatan), Haiva tertawa puas. Bakpao itu tadi dibelikan oleh Rizal, si office boy, di tukang bakpao keliling
yang suka mangkal di belakang kantor mereka.
*
* *
“Kenapa?” tanya seorang lelaki
yang sedang menyetir di sebelahnya.
“Nggak apa-apa,” Haiva menjawab
singkat.
Lelaki itu jelas tidak percaya.
Sudah lewat enam bulan sejak Arya
memberitahu Haiva bahwa Linda menerima lamarannya. Haiva mengira setelah sekian
lama, hatinya sudah membaik. Tapi ternyata ketika dua minggu lalu ia menerima
undangan pernikahan berwarna hijau itu, ternyata hatinya tetap bisa merasa
perih. Bahkan hingga hari itu. Hari pernikahan mereka.
Haiva sudah berdandan rapi hari
itu. Mengenakan gaun birunya. Dia berharap tidak akan tampak mengenaskan nanti.
“Iva nanti makannya jangan
banyak-banyak ya!” perintah lelaki itu sambil melirik Haiva. Berusaha
mengalihkan perhatian gadis itu dari undangan pernikahan di tangannya.
Haiva memandang undangan itu untuk
terakhir kali, kemudian memasukkannya ke dalam tas tangannya.
“Kenapa, Pak?”
“Habis ini kan Iva harus temani
saya makan malam.”
Haiva melirik Haris yang sedang
fokus menyetir.
“Masa Iva aja yang makan malam.
Saya tidak bisa tidur kalau tidak makan malam.”
“Lho? Bapak ikut masuk ke gedung
resepsi kan? Kita makan malam disitu.”
“Nanti saya tunggu di luar aja.”
“Kenapa?”
“Saya tidak suka datang ke acara
pernikahan.”
“Kenapa?” Haiva terus menuntut.
“Ndak suka saja.”
“Kalau gitu kenapa mau mengantar
saya?”
“Saya cuma mau mengantar Iva saja.”
“Buat apa mengantar saya kalau nggak
ikut masuk? Saya pikir minggu lalu Bapak menawarkan diri untuk menemani saya ke
pesta pernikahan ini, bukan sekedar mengantar dan menunggu di tempat parkir?”
“Pokoknya saya menunggu di
parkiran.”
“Kalau tahu begitu saya nggak
akan mau diantar Bapak.”
“Jadi Iva tidak mau menemani saya
makan malam?”
“Ya nggak begitu, Pak. Tapi kan
saya merasa nggak enak. Masa Bapak udah jemput dan antar saya kesini, tapi cuma
nunggu di tempat parkir.”
Haris tertawa.
“Kalau gitu Bapak nggak usah
nungguin saya. Saya pulang sendiri aja.”
Mobil Haris tepat berhenti di
depan ballroom sebuah hotel tempat resepsi pernikahan Arya berlangsung. Dengan
kerlingan matanya, Haris menyuruh Haiva turun dari mobilnya.
“Telepon saya kalau Iva sudah
selesai. Saya jemput Iva disini lagi. Oke?”
“Pak?”
“Saya tunggu Iva,” begitu jawaban
terakhir Haris. Tegas. “Iva masuk aja. Ingat, jangan makan banyak-banyak.”
Haiva cemberut, menggembungkan
pipinya.
Haris tertawa dan membelai pelan
kepala Haiva. “Bakpao,” dia bergumam.
Haiva tersenyum kecut. Dia
melangkahkan kakinya ke luar mobil sambil menggerutu dalam hati Memangnya gue bisa punya nafsu makan di pesta
pernikahan laki-laki yang gue cintai?
“Gimana tadi?” tanya Haris
setelah Haiva kembali ke mobilnya.
Haiva tersenyum. Meski cahaya di
dalam mobil di malam hari hanya samar-samar, Haris yakin itu bukan senyum
bahagia.
“Kenapa sih nggak mau masuk,
Pak?” Haiva mengalihkan pembicaraan. Ia masih penasaran.
“Saya nggak suka aja.”
“Kenapa?”
“Ya tidak kenapa-napa. Saya cuma tidak
suka datang ke acara pernikahan. Sudah lama saya tidak pernah datang ke
undangan pernikahan.”
“Pasti ada alasannya?”
Ada. Tapi saya nggak mau kasih tahu kamu. Kamu cuma akan mengasihani saya.
“Pak?”
Saya sudah muak dengan pertanyaan “kapan nikah” yang ditanyakan semua orang
saat pesta pernikahan. Dan kalau saya tadi ikut masuk, pertanyaan “kapan nikah?”
yang sering mereka tanyakan padamu akan berubah menjadi pertanyaan“datang sama
ayahnya ya?”. Pertanyaan semacam itu akan membuat kamu malu berada di samping
saya.
“Jadi kalau nanti saya nikah, Bapak
juga nggak mau datang meski saya undang?”
Haris menoleh cepat. Untung saat
itu sedang lampu merah. Lelaki itu kehilangan konsentrasinya sesaat. Dia tidak
menduga Haiva akan bertanya begitu.
“Tidak,” jawab Haris tanpa
basa-basi.
Haiva juga tidak menduga bosnya
akan menjawab sefrontal dan setegas itu. Dan menerima jawaban itu, Haiva merasa
ada yang berdesir di rongga dadanya dan menekan paru-parunya.
Tanpa bisa dicegah, dan tanpa
tahu kenapa, Haiva sedih mendengar jawaban Haris.
Kalau nanti kamu menikah, semoga tidak mengundang saya. Semoga saya yang
berada di samping kamu.
Dear Boss,
Maaf. Aku sama sekali tidak
berniat mengundangmu ke resepsi pernikahanku. Aku berharap kamu dan aku yang
mengirimkan undangan itu kepada orang-orang. Apa aku keterlaluan?