Luna Lovegood inside. Noda Megumi outside.

Selasa, 30 Juli 2013

BOSAN

"Aku ingin bersamamu. Selamanya."
"Selamanya adalah waktu yang lama."


Apa yang kau lakukan dua puluh atau tiga puluh tahun mendatang, atau mungkin lebih, bersama orang itu? Satu orang yang sama yang akan selalu kamu temui setiap hari. Yang kau lihat wajahnya pertama kali saat bangun tidur? Yang kau lihat lagi terakhir kali saat kau akan rebah?


"Apa yang akan kau lakukan dengannya setiap hari?"
"Kami paling suka berjalan-jalan. Kami suka wisata kuliner. Kami juga suka nonton."
"Hobi yang asik."
"Tentu saja."
"Lalu apa lagi yang biasa kalian lakukan setiap hari?"
"Dia biasa membangunkanku dengan Ping! di BBM ku. Aku balas mengingatkannya untuk makan siang. Dia menanyakan apakah aku sampai kantor dengan selamat. Aku balas mengingatkannya untuk pulang jika sudah terlalu malam."
"Sounds romantic."
"Yeah."
"Apalagi?"
"Aku suka membaca buku. Dia suka mengoleksi buku. Dia biasa membeli untuk kemudian diberikan padaku, menyuruhku membaca dan menceritakan isi buku itu padanya."
"Rasanya itu yang dimaksud saling melengkapi."
"I think so."
"Apa saja yang biasa kalian obrolkan?"
"Terutama pekerjaan. Kami bekerja di bidang yang sama, kau tahu? Kami biasa membicarakan masalah pekerjaan kami."
"Apa kalian tidak pernah kehabisan topik pembicaraan?"
"Sampai saat ini belum."
"Kalau nanti kalian tidak bisa lagi berjalan-jalan dan berwisata kuliner, bukankah hidup jadi membosankan?"
"..."
"Kalau pekerjaan sedang berjalan lancar, apa kalian tidak kehilangan bahan untuk diobrolkan? Apa kamu tidak pernah kebingungan mencari topik obrolan saat kalian bersama?"
"..."
"Kalau membangunkan pagi dan mengingatkan makan sudah menjadi rutinitas, apa kamu tidak merasa itu sekedar basa-basi?"
"..."
"Apa kamu tidak akan bosan?"
"Kurasa tidak. Aku bukan pembosan yang mudah berubah-ubah."
"Lalu, apa dia juga tidak akan bosan?"
"... aku tidak yakin."


Pernah suatu ketika aku berteman dengan seseorang. Bukan, ini bukan jenis hubungan romantis. Kami cuma berteman. Toh kami memang tidak boleh punya hubungan romantis ditinjau dari semua hal yang mungkin dipikirkan manusia: ras, agama, usia, gender.
Kami sama-sama memulai dari bawah, dari kekurangan masing-masing. Lalu kami saling menguatkan dan menyemangati. Aku rasa itu landasan yang cukup kuat untuk sebuah hubungan pertemanan.
Kami teratur berkirim pesan. Bahkan kepada ibuku saja aku tidak melapor sedang makan siang dimana dan makan apa. Lalu tanpa diminta, dia mulai sering membicarakan pekerjaan dan hobinya kepadaku. Tentang masalah pekerjaan dan teman-temannya.
Aku baru mengira kami bisa mencapai level berikutnya, persahabatan, ketika kemudian tidak ada lagi masalah besar yang dia hadapi di pekerjaannya. Tidak ada lagi bagian dari hobi dan teman-temannya yang belum diceritakan padaku. Tidak ada lagi permasalahan dunia yang cukup menarik untuk dipusingkan bersama. Tidak ada lagi film bagus untuk kami tonton dan obrolkan. Tidak ada lagi makanan baru yang perlu kami cicipi bersama.
Dia masih mengirim pesan tiga kali sehari. Tapi kalimatnya nyaris sama setiap kali. Seperti template message basa-basi. Lalu lama kelamaan frekuensinya berkurang. Lalu sama sekali tiada, pada akhirnya.
Aku pikir kemiripan sifat, hobi dan pekerjaan adalah landasan yang cukup kuat untuk sebuah hubungan pertemanan. Tapi ternyata tidak. Apa karena aku mulai bosan padanya? Tidak. Aku masih menunggu pesan BBMnya. Aku masih menunggu ucapan selamat pagi dan selamat tidur darinya, meski aku tidak pernah memulainya jika ia tidak memulainya lebih dulu. Kurasa justru dia yang bosan. Mungkin karena aku memang jenis makhluk yang membosankan.
Tidak bisa dipungkiri, kebosanan dapat hadir pada segala kesempatan. Termasuk dalam sebuah hubungan. Dan tiap orang punya batas bosan tertentu. Tapi rasanya lebih menyakitkan saat dia sudah mencapai batas bosannya lebih cepat daripada batas bosanmu.


"Nanti kamu pasti bosan denganku."
"Apa itu cara lain mengatakan kamu bosan denganku?"
"Aku tidak akan pernah bosan denganmu. Kamu selalu menyenangkan. Kamulah yang aku khawatirkan. Aku orang yang membosankan. Kamu akan lebih dulu bosan denganku sebelum aku bosan denganmu."
"Kalau aku mulai bosan denganmu, apa kamu tidak berusaha membuatku tertarik lagi?"
"Bagaimana caranya?"
"Kalau aku mulai jarang SMS, kamu bisa SMS aku lebih dulu. Kalau aku mulai jarang mengajakmu nonton, kamu bisa mengajakku nonton. Kalau tidak banyak hal yang bisa aku bicarakan, kamu bisa menceritakan tentang dirimu."
"Kamu tahu bahwa aku bukan jenis orang seperti itu. Itu mengapa aku bilang bahwa aku jenis orang yang membosankan. Itu kenapa tidak banyak yang tahan berteman denganku. Karena aku membosankan dan tidak perhatian."
"Jangan memandang rendah diri sendiri. Aku tidak merasa kau membosankan."
"Itu karena kamu selalu datang padaku dengan segudang cerita. Dan aku pendengar yang baik. Itu mengapa kamu belum bosan denganku. Bayangkan kalau suatu hari nanti hidupmu mulus dan lancar. Apalagi gunanya aku yang hanya seorang pendengar? Kamu akan kelelahan hanya untuk mencari topik pembicaraan denganku. Kamu akan kelelahan, dan akhirnya bosan."
"Apa kita tidak bisa bersama dalam diam?"
"Aku bisa. Kamu?"
"Kamu pikir aku tidak bisa?"
"Bukankah kamu memang tidak pernah bisa diam? Bersamaku, ketika semua topik pembicaraan sudah selesai dibahas, semua film sudah ditonton, semua makanan sudah kita coba, apa yang akan kita lakukan? Apa yang akan kamu lakukan? Duduk diam di sampingku?"
"Iya."
"Kamu akan mati kebosanan."
"Tidak, jika bersamamu."
"Hal yang kamu katakan sekarang saat kamu belum merasakan sendiri kebosanan itu."
"Bukankah kita bisa melakukan banyak hal bersama selagi kita diam?"
"Menurutmu begitu?"
"Mau mencoba?"


Dia mengabaikanku. Selama satu jam dia tidak bicara padaku. Dia cuma duduk di sebelahku, membuka laptopnya, memasang earphonenya, mengerjakan entah apa. Aku tidak tahu apa maksudnya.
Aku akhirnya beranjak. Tidak tahan dengan ketidakacuhannya dan kebungkamannya. Untuk apa dia berada di sampingku kalau hanya untuk mengabaikan aku? Banyak hal lain yang bisa kulakukan selain menunggunya bicara.
Aku beranjak. Saat itu akhirnya ia bicara.
"Jangan pergi," katanya.
Seringkali seseorang baru bertindak saat dihadapkan pada kemungkinan untuk kehilangan.



“Kenapa pergi?”
“Karena kamu mengabaikanku.”
“Aku tidak mengabaikanmu. Aku cuma diam.”
“Jadi untuk apa kita di sini kalau hanya untuk saling diam?”
“Aku pikir kita sedang menikmati kebersamaan dalam diam?”
“Lebih tepatnya, kamu yang sendirian menikmati.”
“Apa kamu bosan menemaniku?”
“Kau pikir siapa yang tidak bosan duduk tanpa melakukan apa-apa, hanya melihatmu sibuk sendiri?”



Dia tersenyum.
“Lihat?” katanya, “Katanya kau tidak akan bosan denganku? Tapi ternyata, baru saja satu jam kau sudah bosan. Kau yang lebih dulu bosan, sebelum aku.”
“Apa maksudnya itu?”
Dia menggenggam tangaku dan menatap lurus ke hamparan rumput hijau di hadapan. Matahari sudah berada di langit barat, sebagian tertutup awan berarak. Tidak mendung, tidak pula terik. Angin menggoyang pohon randu, membuat jalanan kotor dengan kapas-kapas mentah.
“Komunikasi adalah hal yang penting dalam sebuah hubungan,” katanya, “... tapi komunikasi tidak melulu berarti saling berkata-kata.”
Aku menatap ke samping. Mendapati bibirnya, yang dibingkai rahang kuat dengan banyak rambut halus di belakang tulang pipinya, melengkung. Senyumnya mencapai matanya yang berbinar.
“Kalau nanti tidak ditemukan lagi varian eskrim dan kopi baru, apa kita tidak akan berwisata kuliner lagi? Kalau nanti sudah tidak ada masalah yang perlu kita obrolkan, apa itu berarti kita berhenti berkomunikasi? Kalau nanti hidup menjadi sangat lurus, apa kita tidak bisa belok ke pantai, atau ke hutan? Kalau nanti kita hidup bersama, apa masih perlu aku telepon kamu sepuluh kali sehari?”
Aku terdiam. Memahami maksudnya dan menjadi malu sendiri.
“Banyak hal yang bisa kita lakukan bersama selagi kita tidak berkata-kata,” ujarnya lagi. “Kamu bisa memasak selagi aku berkebun, misalnya. Kamu bisa menyuapi si bungsu selagi aku mengajari si sulung membaca. Aku bisa mengerjakan pekerjaan kantorku selagi kamu menonton serial tivi kesukaanmu. Dan saat kamu asik makan, aku bisa memotretmu. Kurasa itu bukan ide buruk untuk menghabiskan hidup bersama?”
Kurasa juga begitu. Tapi aku tidak menjawab.
“Kita tidak mungkin tidak akan menjadi bosan satu sama lain. Bertemu denganmu setiap hari seperti ini saja kadang membuatku bosan, apalagi kalau hidup bersamamu sampai tiga puluh tahun lagi.”
Aku merengut. Dia tertawa.
“Tapi, memangnya kenapa kalau kita merasa bosan? Rasa bosan kadang lebih baik daripada kehilangan rasa nyaman saat kamu tidak ada.”
Dia memasangkan salah satu earphonenya di telinga kiriku.
“Lihat apa yang bisa aku lakukan selagi kita tidak bicara tadi,” katanya sambil menunjukkan laptopnya. “Banyak hal yang bisa kita lakukan bersama, sambil berbincang atau dalam diam. Jangan takut bosan. Tetaplah di sampingku.”
Dia memutarkan lagu-lagu yang tadi dipilihnya. Katanya ia ingin lagu-lagu itu diputar di pesta pernikahan kami. Dia juga memperlihatkan rancangan dekorasi ruang resepsi dan makanan-makanan yang tadi dipilihnya.
“Saatnya melakukan hobi kita, Cinta,” dia melirikku sambil tersenyum nakal, “... mencicipi makanan.”
Angin bertiup, menggoyang pohon randu, membuat jalanan kotor dengan kapas-kapas. Serupa sakura yang berguguran ditiup angin musim semi. Serupa salju yang jatuh di atas kepala.
Dia membersihkan kapas-kapas yang tersangkut di rambutku.






"Aku ingin bersamamu. Selamanya."
"Selamanya adalah waktu yang lama."

"Aku rasa itu tidak terlalu lama untuk dihabiskan bersamamu."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar