Luna Lovegood inside. Noda Megumi outside.

Sabtu, 16 November 2013

KOMITMEN

Malam minggu ini saya mau cerita tentang pengalaman saya. Pekan ini saya mempelajari satu pelajaran berharga.

Sebelumnya, saya mau cerita dulu tentang pekerjaan sampingan saya dua tahun terakhir ini. Saya rasa semua orang sudah tahu bahwa saya seorang guru. Tapi diluar itu, saya sedang merintis pekerjaan sampingan baru. Well, nggak bisa disebut pekerjaan juga sih kalau indikator sebuah pekerjaan adalah “gaji”. Haha.

Pekerjaan sampingan saya adalah menghubungkan orang-orang yang butuh pekerjaan dengan orang yang butuh karyawan. Bisa dibilang semacam “penyalur tenaga kerja” atau outsourcing. Haha. Dan saya berada di tempat yang tepat, dimana banyak sarjana farmasi terbaik bangsa diluluskan tiap tahunnya. Itu mengapa banyak teman-teman saya yang sekarang sudah jadi manager, atau beberapa mantan bos saya, sering meminta tolong saya mencarikan adik-adik yang baru lulus kuliah ini untuk bekerja di perusahaan mereka.

Pekan ini salah satu mantan bos saya, yang kerap kali meminta saya mencarikannya anak buah, menelepon saya.

“Ni, si A ternyata sudah sign kontrak di Perusahaan X,” kata si bos memulai curhat. Beliau bercerita tentang salah seorang adik kelas saya yang sedang melamar ke perusahannya. Lalu curhatlah beliau panjang lebar kepada saya.

Kalian bisa bilang pekerjaan saya ini semacam comblang. Dan karena saya juga beberapa kali berpengalaman sebagai comblang di dunia percintaan, bukan hanya di bidang pekerjaan, saya selalu mencari info dari kedua pihak.

Lalu beginilah jawaban dari pihak kedua: “Soalnya perusahaan X ngasih kepastian duluan, Kak. Mereka minta saya tandatangan kontrak.”
“Mereka menawarkan gaji lebih tinggi?”
“Nggak juga sih Kak. Saya bahkan belum ditawari gaji oleh perusahaan Bapak.”
“Serius?”

Saat berikutnya bos menelepon saya lagi, saya menyampaikan hal tersebut kepada beliau.
“Padahal saya sudah menyampaikan ke temannya bahwa saya akan menerima dia,” kata si bos.

“Bapak nggak bilang langsung ke saya. Kalaupun iya, belum ada perjanjian tertulis. Bapak nggak memberi kepastian,” begitulah klarifikasi pihak kedua.

Jadi begitulah. Bos saya merasa sudah memberikan isyarat bahwa beliau akan menerima adik kelas saya itu, dengan memberitahu melalui temannya. Sementara adik kelas saya merasa isyarat tidaklah cukup untuk menjawab pertanyaan.

*                *                   *


“Selama ini aku pikir aku tahu segalanya tentang kamu. Nyatanya, aku nggak pernah tahu apa-apa. Semua yang aku tahu hanya di permukaan. Susah banget masuk ke hati dan pikiranmu. Penuh gembok. Khas golongan darah A.”
“Memangnya kamu nggak begitu? Kamu punya banyak wilayah gelap gulita. Itu kenapa aku juga nggak membuka wilayah gelap gulitaku.”
“Aku golongan darah B. Dengan mudah kamu bisa masuk ke sana. Aku sudah membuka pintu buatmu, tapi mungkin kamu yang nggak ingin masuk.”
“Kamu mungkin membuka pintu. Tapi aku nggak tahu kalau kamu mempersilakanku masuk.”
“Bukannya aku sudah sering memberi tanda supaya kamu masuk?”
“Jangan pakai kode yang sulit. Ajak saja aku masuk. Begitu lebih mudah.”


*                *                   *

Beberapa dari kita sering bereaksi terhadap aksi seseorang yang sesungguhnya merupakan reaksi terhadap aksi kita.

To every action, there is always opposed an equal reaction. Untuk setiap aksi, akan selalu ada reaksi yang seimbang – Isacc Newton -

Beberapa dari kita merasa sudah cukup hanya dengan memberi isyarat. Tapi tidak semua isyarat bisa diterjemahkan. Beberapa dari kita merasa telah memberi jawaban, tanpa benar-benar tahu apa yang ditanyakan.

Kepastian. Bukan hanya dengan kata-kata. Tapi dengan perjanjian hitam-di atas-putih. That’s what we call “commitment”.

Hal yang sama tidak hanya berlaku pada pekerjaan. Tapi juga pada cinta dan hidup.
Sayangnya, tidak semua orang berani menghadapi komitmen. Beberapa yang lain membutuhkan waktu sangat lama untuk memutuskan berkomitmen. Kadang karena terlalu lama, orang yang ingin diajak berkomitmen telah lebih dahulu diberi kepastian oleh yang lain.

*                *                   *

“Dia tetap pilih perusahaan X, Pak. Mungkin memang bukan jodoh di perusahaan Bapak.”
“Iya, bukan jodoh.”


Jodoh, bukan hanya pertemuan-pertemuan yang kebetulan. Juga bukan hanya takdir yang direncanakan Tuhan.
Jodoh juga adalah keberanian berkomitmen.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar