Luna Lovegood inside. Noda Megumi outside.

Rabu, 28 Januari 2015

PERJALANAN

Sudah seberapa jauh kamu berjalan? Seberapa tinggi kamu mendaki? Seberapa lama kamu melangkah? Seberapa luas kamu menjelajah? Seberapa dalam kamu menyelam?

Dan yang lebih penting, seberapa banyak pelajaran yang sudah kamu kumpulkan?

Kemarin saya menghadiri defense ceremony 3 orang teman saya. Saya selalu suka menghadiri acara ini. Beragam perasaan selalu bercampur baur. Seperti beberapa tahun lalu saat saya jadi mahasiswa baru di UI, berdiri di bangku paduan suara, menyanyikan lagu-lagu wisuda untuk kakak-kakak yang baru saja menyelesaikan studinya. Seperti itulah saya sekarang. Menyaksikan senior-senior saya menyelesaikan PhD-nya. Penuh rasa bahagia, bersemangat, tapi juga sekaligus nervous.

Berapa lama waktu yang saya butuhkan untuk bisa menjadi sehebat mereka? Apa saya bisa jadi sehebat mereka, mampu menjawab semua pertanyaan dan mempertahankan hasil penelitian saya? Bagaimana supaya bisa jadi sepintar mereka?

Itulah pertanyaan-pertanyaan yang melintas di pikiran saya saat hadir pada defense ceremony mereka.

Lebih dari itu, saya bertanya-tanya, hal-hal apa saja yang telah mereka lalui sehingga mereka bisa menjadi sehebat itu?


Belakangan ini saya sering memperhatikan komen-komen yang muncul pada banyak foto-foto yang diunggah teman-teman di media sosial. Terutama foto perjalanan.
Kebanyakan komentarnya seperti ini: “Bagus ya pemandangannya. Enak banget kamu bisa kesana.”

Nggak ada yang salah dengan komentar-komentar itu. Tapi belakangan ini saya jadi merasa lucu aja. Betapa sering kita menyaksikan kebahagiaan orang lain, lalu mengira kebahagiaan itu diraih tanpa susah payah. Dan betapa sering kita mengasihani diri kita sendiri dan mengira bahwa diri kita tidak seberuntung orang lain yang selalu menampilkan foto-foto kebahagiaannya.

Seperti kata pepatah, rumput tetangga memang selalu tampak lebih hijau. Ya iya lah, soalnya kita cuma menikmati keindahannya saja. Kita nggak ikutan susah payah menyiram dan memupuk rumput di halaman rumah tetangga itu. Yang kita nikmati hanya keindahan warna hijau terhampar di halaman rumah tetangga. Andai kita tahu tiap hari si tetangga harus menyiram kebunnya dan tiap minggu harus memangkas rumput di halamannya supaya tetap terlihat rapi, mungkin kita yang pemalas ini bakal bilang “iya sih, rumput tetangga lebih hijau, pantes aja modal pupuk dan modal tenaganya besar.”

Seperti juga kata pepatah, pacar sahabat selalu nampak lebih cantik. Andai kita tahu seberapa besar modalnya sahabat untuk membelikan baju-baju bagus dan membayari perawatan di salon, dan seberapa lama waktu yang si sahabat perlukan untuk menunggu pacarnya dandan dan seberapa lelah si sahabat menemani pacarnya keliling mall, mungkin kita jadi berpikir “Ah, nggak usah punya pacar cantik-cantik asal nggak ngerepotin dan nggak berat di ongkos.” Haha.

Seperti itu juga saat kita melihat foto-foto teman.
Dua bulan lalu, saat Dirgahayu Indonesia ke 69, saya dan beberapa sahabat jalan-jalan ke Luxembourg. Pastinya, kami langsung post foto-foto perjalanan kami dong. Pemandangannya bagus-bagus, dan foto-foto kami tampak cerah ceria semua. Pantas saja teman-teman lain berkomentar “Wah, pemandangannya bagus. Iri deh, pengen bisa kesana juga.”
Mereka nggak tahu bahwa kami harus berjalan 3 km dari hotel untuk sampai ke halte bis terdekat, kami hanya bisa makan kebab dari waktu ke waktu karena nggak yakin dengan kehalalan makanan lain, kami harus hujan-hujanan mencari hotel yang letaknya jauh dari pusat kota.
Yang mereka lihat hanya foto-foto keindahan dan kebahagiaan. Tanpa tahu perjuangan di baliknya.

Kita sering iri pada perjalanan hidup orang lain karena yang kita lihat hanya happy endingnya saja, tanpa pernah benar-benar tahu bagaimana perjalanannya. Kalaupun kita tahu lika-liku yang sudah dilaluinya, toh kita tidak pernah benar-benar tahu apa yang dirasakannya pada jalan-jalan yang telah ditempuhnya.

Kita kadang menderita karena iri melihat kebahagiaan orang lain yang ditampilkan di atas pentas, tanpa kita tahu penderitaan orang tersebut dibalik panggung.

Seringnya kita iri betapa seseorang bisa sukses kuliah jalan-jalan di luar negeri tanpa tahu bahwa dulu dia bukan murid terpandai di sekolah sehingga perlu banyak perjuangan untuk bisa menyamakan kecepatan dengan murid-murid lain, atau bahwa dia pernah jadi murid paling introvert sejagat raya dan bagaimana perjuangannya untuk bisa diterima oleh teman-temannya, atau bahwa dibalik kesuksesannya ada masalah keluarga yang tidak pernah diceritakannya pada orang lain, atau sekeras apa perjuangannya mengusahakan beasiswa. Hal-hal seperti itu sering luput dari penglihatan kita. Dan dengan cepat kita iri kepada teman yang beruntung tersebut, tanpa tahu tentang “cerita di balik layar”nya.

Kita sering iri pada orang lain, tapi sebenarnya mungkin ada orang lain yang melihat kita dengan tatapan iri yang sama. Bagi orang lain, mungkin kita juga tampak sebagai orang beruntung itu. Tapi kita terlalu sibuk iri pada orang lain sehingga nggak sadar pada nikmat yang telah kita miliki.

Sawang sinawang. Manusia kadang terlalu sibuk iri kepada orang lain, lalu lupa bahwa dia memiliki hal yang membuat orang lain iri juga. Lalu lupa mensyukurinya, hingga nikmat yang sudah dimiliki itu tidak lagi terasa nikmat.

Iri itu penting, supaya kita terpacu untuk mencapai yang lebih tinggi. Tapi bersyukur itu lebih penting. Karena kalau kita bersyukur, Tuhan akan menambah nikmatNya. Dan bersyukur itu bukan hanya dalam hati dan dalam ucapan, tapi juga dalam tindakan. Dengan memanfaatkan semua nikmat yang telah diberikan Tuhan, sehingga bisa menghasilkan sesuatu yang lebih bermanfaat lagi, misalnya.


Jadi sekarang tiap kali menyaksikan defense ceremony teman-teman, saya selalu berpikir “Dia pasti sudah melalui hari-hari yang berat sehingga bisa jadi sehebat sekarang.” Dan pasti saya harus melalui hari-hari seberat itu juga kalau ingin menjadi sehebat itu.

Berikut saya kutip beberapa stellingen dari disertasi ketiga teman saya yang defense kemarin:

Whether a fish in water is in its element strongly depends on water quality (Floris Grasmeijer)

Facing many problems in life is a good lesson to become wise (Muhamad Insanu)

One best book is equal to hundreds friends, but one best friend is equal to a library (Niu Xiao Yu, modified from Dr. APJ Abdul Kalam)

Beruntung bagi saya karena saya memiliki “keluarga” baru disini. Bapak-ibu kos yang baik hati. Juga dua sahabat yang banyaaak membantu penelitian saya. Dan teman-teman lain yang membuat hidup jauuuhhh lebih menyenangkan di negeri asing ini.
Kepada dua sahabat saya disini (iya, kamu. Kamu tahu bahwa kamu yang saya maksud), saya kadang bertanya, bagaimana jadinya hidup saya disini tanpa kalian. Saya pasti bisa hidup tanpa kalian, tapi pasti jauh lebih berat dan susah. Semoga Tuhan memudahkan hidup kalian seperti kalian sudah membuat hidup saya lebih mudah dan menyenangkan disini.


Sudah seberapa jauh kamu berjalan? Seberapa tinggi kamu mendaki? Seberapa lama kamu melangkah? Seberapa luas kamu menjelajah? Seberapa dalam kamu menyelam?

Dan yang terpenting, seberapa banyak nikmat yang telah kamu syukuri?


4 komentar:

  1. Terimakasih atas tulisan reflektifnya mbak.

    BalasHapus
  2. kita memang selalu sibuk iri pada kebahagiaan orang lain tanpa mikir apakah dia sudah kehilangan banyak hal selama ini

    BalasHapus
  3. Facing many problems in life is a good lesson to become wise (Muhamad Insanu)...ini bener sekali...become more stronger, more adaptable etc.

    BalasHapus