Makan
apa, makan apa, makan apa sekarang?
Sekarang
makan apa, makan apa sekarang?
Saya tidak tahu apakah
saat kamu mulai belajar bernyanyi nanti, lagu ini masih digunakan dalam
permainan-permainan anak-anak. Anak-anak di masa ini kebanyakan justru lebih hapal
lagu remaja dan orang dewasa dibanding lagu anak-anak. Semoga nanti saya tidak
lupa mengajarkan lagu anak-anak semacam ini kepadamu.
Akhir-akhir ini saya
sering menyanyikan lagu ini di hadapan ayahmu. Haha. Sejak kamu berusia 6
minggu dalam rahim saya, saya tidak pernah memasak lagi untuk ayahmu karena
setiap berdiri terlalu lama untuk memasak, saya pusing. Jika mencium aroma
bumbu yang terlalu kuat, saya mual. Sampai saat ini, kamu berusia 13 minggu di
rahim saya, kami selalu membeli makan di warteg, warung makan, atau restoran.
Beruntung ayahmu tidak pernah protes tentang ketidakmampuan saya memasak sejak
kamu hadir, pun tidak protes karena kenaikan uang belanja akibat jajan melulu.
Tapi masalah tidak selesai sampai di situ, Sayang.
Meski kita tinggal di Indonesia dimana warung-warung makan dan restoran dengan
berbagai menu bertebaran di sekitar kita, saya tetap selalu bingung tiap waktu
makan tiba. Meski Alhamdulillah rejeki ayahmu cukup untuk membeli
makanan-makanan itu, tapi saya selalu galau tiap akan makan. Saya selalu
bertanya kepada ayahmu “Makan apa kita sekarang?” Dan ayahmu selalu menjawab
dengan sabar “Kamu mau makan apa? Nanti aku ikut aja.”
Nak, orang bilang, jaman sekarang ini, sungguh
susah orang yang tak punya uang. Tapi Nak, kadang punya uangpun, kita masih
bisa kesusahan.
Selama 7 minggu ini tiada hari yang saya lalui
tanpa rasa mual. Terhitung sudah 7 kali saya muntah-muntah. Berat badan saya
turun 3 kg. Dulu saya bisa mengalahkan ayahmu dalam lomba makan, sekarang saya
perlu waktu 1 jam untuk menghabiskan makan siang yang porsinya hanya
seperempatnya porsi normal. Sulit sekali menemukan makanan yang sesuai dengan
selera. Seluruh warung makan dan restoran di sekitar Depok sudah dijelajahi,
tapi saya tidak juga menemukan makanan yang menggugah selera. Saya makan hanya
karena mengingat bahwa kamu butuh makan, bukan karena saya ingin.
Pernah suatu ketika saya hampir tidak tahan dan
menangis. Saya tahu bahwa saya perlu dan butuh makan, tapi saya tidak berdaya
menelan makanan-makanan itu. Baru kali ini saya tahu bahwa saya melakukan
kesalahan tapi saya tidak berdaya memperbaiki kesalahan itu.
Tapi, Nak, eyang uti dan
nenek menceritakan pengalamannya saat mengandung saya dan ayahmu. Keduanya mengalami
kesulitan yang lebih berat, dan mereka bertahan. Seorang tantemu sudah dirawat
di rumah sakit dan perlu diberi nutrisi lewat infus ketika kehamilannya baru
saja 6 pekan. Seorang teman saya perlu bedrest
selama 7 bulan, beberapa kali dirawat dan di-infus, sepanjang kehamilannya.
Mendengar itu semua, saya merasa tertampar, betapa lemahnya saya karena
mengeluh hanya karena hal-hal yang saya alami. Bagaimanapun, perjuangan saya
belum seberat perjuangan mereka.
Pengalaman ini memberi hikmah
tersendiri untuk saya. Bahwa kita tidak bisa terlalu mudah menilai kelemahan/
kekuatan seseorang sebelum kita tahu seberapa berat perjuangan yang telah
dilaluinya. Lagi-lagi saya diingatkan untuk tidak mudah menghakimi.
Masing-masing orang memiliki perjuangannya sendiri-sendiri.
Jadi, malam ini kita
makan apa, Nak?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar