Luna Lovegood inside. Noda Megumi outside.

Jumat, 21 April 2017

Makan apa?

Makan apa, makan apa, makan apa sekarang?
Sekarang makan apa, makan apa sekarang?

Saya tidak tahu apakah saat kamu mulai belajar bernyanyi nanti, lagu ini masih digunakan dalam permainan-permainan anak-anak. Anak-anak di masa ini kebanyakan justru lebih hapal lagu remaja dan orang dewasa dibanding lagu anak-anak. Semoga nanti saya tidak lupa mengajarkan lagu anak-anak semacam ini kepadamu.

Akhir-akhir ini saya sering menyanyikan lagu ini di hadapan ayahmu. Haha. Sejak kamu berusia 6 minggu dalam rahim saya, saya tidak pernah memasak lagi untuk ayahmu karena setiap berdiri terlalu lama untuk memasak, saya pusing. Jika mencium aroma bumbu yang terlalu kuat, saya mual. Sampai saat ini, kamu berusia 13 minggu di rahim saya, kami selalu membeli makan di warteg, warung makan, atau restoran. Beruntung ayahmu tidak pernah protes tentang ketidakmampuan saya memasak sejak kamu hadir, pun tidak protes karena kenaikan uang belanja akibat jajan melulu.

Tapi masalah tidak selesai sampai di situ, Sayang. Meski kita tinggal di Indonesia dimana warung-warung makan dan restoran dengan berbagai menu bertebaran di sekitar kita, saya tetap selalu bingung tiap waktu makan tiba. Meski Alhamdulillah rejeki ayahmu cukup untuk membeli makanan-makanan itu, tapi saya selalu galau tiap akan makan. Saya selalu bertanya kepada ayahmu “Makan apa kita sekarang?” Dan ayahmu selalu menjawab dengan sabar “Kamu mau makan apa? Nanti aku ikut aja.”

Nak, orang bilang, jaman sekarang ini, sungguh susah orang yang tak punya uang. Tapi Nak, kadang punya uangpun, kita masih bisa kesusahan.

Selama 7 minggu ini tiada hari yang saya lalui tanpa rasa mual. Terhitung sudah 7 kali saya muntah-muntah. Berat badan saya turun 3 kg. Dulu saya bisa mengalahkan ayahmu dalam lomba makan, sekarang saya perlu waktu 1 jam untuk menghabiskan makan siang yang porsinya hanya seperempatnya porsi normal. Sulit sekali menemukan makanan yang sesuai dengan selera. Seluruh warung makan dan restoran di sekitar Depok sudah dijelajahi, tapi saya tidak juga menemukan makanan yang menggugah selera. Saya makan hanya karena mengingat bahwa kamu butuh makan, bukan karena saya ingin.

Pernah suatu ketika saya hampir tidak tahan dan menangis. Saya tahu bahwa saya perlu dan butuh makan, tapi saya tidak berdaya menelan makanan-makanan itu. Baru kali ini saya tahu bahwa saya melakukan kesalahan tapi saya tidak berdaya memperbaiki kesalahan itu.

Tapi, Nak, eyang uti dan nenek menceritakan pengalamannya saat mengandung saya dan ayahmu. Keduanya mengalami kesulitan yang lebih berat, dan mereka bertahan. Seorang tantemu sudah dirawat di rumah sakit dan perlu diberi nutrisi lewat infus ketika kehamilannya baru saja 6 pekan. Seorang teman saya perlu bedrest selama 7 bulan, beberapa kali dirawat dan di-infus, sepanjang kehamilannya. Mendengar itu semua, saya merasa tertampar, betapa lemahnya saya karena mengeluh hanya karena hal-hal yang saya alami. Bagaimanapun, perjuangan saya belum seberat perjuangan mereka.

Pengalaman ini memberi hikmah tersendiri untuk saya. Bahwa kita tidak bisa terlalu mudah menilai kelemahan/ kekuatan seseorang sebelum kita tahu seberapa berat perjuangan yang telah dilaluinya. Lagi-lagi saya diingatkan untuk tidak mudah menghakimi. Masing-masing orang memiliki perjuangannya sendiri-sendiri.


Jadi, malam ini kita makan apa, Nak?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar